• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Jeroan

Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi. Secara teknis, daging adalah otot rangka (sceletal muscle), sedangkan offal adalah seluruh bagian tubuh hewan yang disembelih secara halal dan higienis selain karkas, yang terdiri dari organ-organ di rongga dada dan rongga perut, kepala, ekor, kaki mulai dari tarsus/karpus ke bawah, ambing dan alat reproduksi. Jeroan (edible offal) disebut juga variety meat atau fancy meat, yaitu organ atau jaringan selain otot rangka yang lazim dan layak dikonsumsi manusia yang tidak mengalami proses lebih lanjut selain dari pendinginan atau pembekuan.

Jeroan (hati, jantung, limpa, ginjal, paru dan usus) kepala, kaki dan kulit terpisah dari karkas karena bagian tersebut merupakan by-products, yaitu hasil sampingan yang berasal dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan kembali. Hasil sampingan tersebut ada yang dapat di konsumsi (edible) dan ada juga yang tidak dapat dikonsumsi (inedible). Hasil sampingan yang dapat ataupun tidak dapat dikonsumsi ditentukan oleh penerimaan konsumen, peraturan perundang- undangan yang berlaku, kebersihan, tradisi yang berkembang di masyarakat dan agama yang dianut. Jeroan terdiri dari jantung, lidah, hati, daging di kepala, otak, timus dan atau pankreas, babat, usus, ginjal, ekor (Lukman et al. 2007).

Dari beberapa jeroan yang ada hati merupakan pilihan utama yang umum dikonsumsi oleh manusia selain jantung dan organ-organ lainnya. Oleh sebab itu, Indonesia memperbolehkan importasi jeroan hati dan jantung sapi. Hati memiliki nilai ekonomis karena selain diperjual belikan untuk dikonsumsi hati juga dapat digunakan sebagai bahan baku pakan hewan terutama untuk anjing dan kucing.

Karakteristik Hati

Hati tersusun atas sel-sel hati, dan dihubungkan oleh pembuluh darah dan barisan epitel sinusoid yang terletak diantara sel-sel hati. Sel hati tersusun

sedemikian rupa dalam lobus poligon yang saling melekat dengan bantuan jaringan penghubung. Hati melekat pada bagian anterior dinding abdominal dan diafragma oleh ligamen, serta melekat pada lambung di bagian omasum. Ketika hati akan dipisahkan maka semua ligamen tersebut harus dipotong beserta kantong empedu.

Warna hati digunakan untuk menentukan kualitas hati, Hati dengan kualitas baik biasanya berwarna merah kecoklatan sampai coklat tua, sedangkan untuk kualitas yang buruk biasanya berwarna biru sampai kehitaman (Pearson dan Dutson 1988).

Gambar 1 Hati sapi; (1) lobus kanan, (2) lobus kiri, (3) lobus kaudal, (4) lobus kuadral, (5) Arteri hepatica dan Vena porta, (6) Lymphonodus hepatica, (7) kantung empedu.

Pada saat sapi lahir, berat hati mencapai ± 2.2% dari berat hidupnya, sedangkan pada saat usia dewasa berat hati mencapai ± 1.3-1.45% dari berat hidupnya. Pada sapi dengan berat hidup 300-400 kg, perkiraan berat hati sekitar 3000-4600 g, sedangkan sapi dengan berat hidup 450-600 kg maka perkiraan berat hati akan mencapai 4000-8600 g. Berat tersebut dapat berkurang hingga 8% jika sapi diistirahatkan selama 24 jam atau akan berkurang 12% jika sapi diistirahatkan selama empat hari sebelum dilakukan penyembelihan (Pearson dan Dutson 1988).

Komposisi dan kandungan gizi hati menyerupai komposisi dan kandungan gizi daging, yaitu dengan kandungan terbesar adalah air dan protein. Oleh sebab itu, hati merupakan pangan yang sangat baik sebagai sumber protein yang

dibutuhkan oleh manusia. Komposisi dan kandungan gizi hati secara lengkap diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi dan kandungan gizi hati sapi (Pearson dan Dutson 1988) Komposisi dan kandungan gizi hati Nilai (per 100 gram)

Air (g) 68.99 Protein (g) 20 Lemak (g) 3.85 Karbohidrat (g) 5.82 Energi (Kal) 143 Asam amino (g/gN) Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Sistin Fenylalanin Tirosin Valin Arginin Histidin Alanin Asam aspartat Asam glutamat Glisin Prolin Serin 0.09 0.286 0.286 0.588 0.434 0.158 0.096 0.333 0.248 0.386 0.393 0.171 0.373 0.601 0.847 0.358 0.330 0.300 Vitamin Tiamin (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat (mg) B6 (mg) Folasin (mcg) B12 (mcg) Vitamin A (I.U) Asam askorbat (mg) 0.258 2.780 12.78 7.618 0.94 248 69.19 35 346 22.4 Mineral (mg/100g) Ca Fe Mg P K Na Zn Co Mn 6 6.82 19 318 323 73 3.92 2.763 0.264

Berat hati sapi dan komposisi kandungan gizi pada berbeda-beda pada setiap hewan dan juga sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu bangsa hewan (breed), jenis kelamin, jenis dan status gizinya, serta manajemen pemeliharaannya. Namun mengingat komposisi tersebut di atas, daging dan hati juga merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Lukman et al. 2007).

Mikroorganisme pada Hati

Produksi hati di rumah pemotongan hewan (RPH) banyak menimbulkan masalah terutama pada saat adanya kesalahan dalam hal penanganan, pendinginan atau pembekuan, pengemasan (pengepakan), penyimpanan, dan transportasi. Hati merupakan salah satu komoditi yang mudah rusak (perishable food) sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat agar kualitasnya tetap terjaga sampai pada saat akan dikonsumsi.

Bakteri secara umum terdapat pada hati. Menurut Hanna et al. (1982) jumlah bakteri pada hati setelah pemotongan <104 /cm2. Apabila jumlah bakteri melebihi 105 /cm2, hal tersebut mencerminkan kemungkinan penanganan hati yang buruk atau proses pendinginan yang tidak sempurna.

Penyimpanan hati sapi pada suhu 2 °C selama 3 hari tidak menunjukkan peningkatan jumlah mikroba, tetapi setelah mencapai 4 hari maka terjadi peningkatan jumlah bakteri terutama bakteri coryneform dan Micrococcus sp. Pada hari ke-5 setelah penyimpanan umumnya ditemukan Pseudomonas sp. Penyimpanan pada suhu 30 °C selama 6-12 jam akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme, tetapi apabila disimpan pada suhu -20 °C selama 4 hari maka tidak ada pertambahan jumlah mikroorganisme.

Pada umumnya jeroan memiliki kandungan karbohidrat yang rendah dibandingkan dengan karkas, kecuali pada hati. Karbohidrat pada hati mencapai 5.3% dan sebagian besar berupa glikogen. Menurut Shelef (1975) hati yang masih segar mempunyai pH 6.3. Nilai pH tersebut akan mengalami penurunan hingga 5.9 apabila mikroba mensintesis glikogen menjadi glukosa dan memproduksi asam laktat. Hal ini menyebabkan terjadinya pembusukan pada hati.

Penelitian yang dilakukan Oblinger et al. (1982) dengan membandingkan mikroorganisme pada hati yang masih segar, beku, dan hati yang disimpan pada kondisi yang tidak layak. Pada hati yang masih segar umumnya ditemukan Micrococcus sp, bakteri gram negatif dan Escherichia coli. Pada hati yang disimpan beku ditemukan bakteri gram positif yang lebih dominan dibandingkan dengan Enterobacteriaceae, sedangkan Pseudomonas sp lebih banyak ditemukan pada pada hati yang tidak layak penyimpanannya.

Pada dasarnya sumber pencemaran mikroorganisme pada hati dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, sumber pencemaran dari dalam (intrinsik) dan sumber pencemaran dari luar (ekstrinsik). Hati diperoleh setelah dikeluarkan dari karkas, hati membawa mikroorganisme intrinsik dan ekstrinsik. Mikroorganisme ekstrinsik pada hati didominasi oleh bakteri-bakteri mesofilik Gram positif, terutama Micrococcus. Jenis mikroorganisme intrinsik pada umumnya hampir sama dengan jenis mikroorganisme ekstrinsik yang mengkontaminasi hati. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri-bakteri intrinsik bermigrasi melalui sel-sel sinusoid hati yang terbuka pada saat eviserasi dilakukan (pelepasan hati dari karkas). Sebaliknya, jika pada mulanya terdapat sejumlah kecil bakteri intrinsik yang berada dalam jaringan hati, maka jumlah dari kontaminasi bakteri intrinsik tersebut dapat bertambah akibat adanya bakteri ekstrinsik yang menginvasi ke dalam jaringan selama pemisahan organ berlangsung. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bakteri intrinsik yang diisolasi dari jaringan hati kemungkinan juga dapat berasal akibat kontaminasi dari luar.

Jumlah bakteri pada hati yang berasal dari kontaminasi ekstrinsik yaitu antara 103-105 /cm2 sedangkan jumlah kontaminasi bakteri intrinsik adalah 102 /g (Gill yang diacu dalam Pearson dan Dutson, 1988). Berdasarkan penelitian Patterson dan Gibbs (1979), jumlah cemaran mikroba pada hati yang masih segar di rumah potong hewan adalah 3.26 x 105 /cm2, sedangkan hati yang sudah didinginkan mencapai 1.28 x 106 /cm2. Menurut Shelef (1975) hati sapi akan mengalami pembusukan apabila jumlah bakteri mencapai log10 7.7/g.

Hati merupakan salah satu media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, karena hati memiliki pH >6.2 dan kaya akan glukosa (± 6 mg/g). Bakteri

Pseudomonas mendominasi permukaan hati selama masa penyimpanan pada suhu dingin dengan kondisi aerobik. Bakteri pembusuk lainnya yang terdapat pada permukaan hati adalah Acinetobacter, Alcaligenes, Enterobacter dan Brocothrix thermosphacta. Di sisi lain, bakteri aerobik gram negatif, Pseudomonas, Acinetobacter dan Alcaligenes tidak dapat diisolasi dari jaringan internal hati atau bukan merupakan bakteri intrinsik pada hati, tetapi didominasi oleh bakteri Lactobacillus. Bakteri gram negatif yang tumbuh dalam kondisi anaerobik fakultatif misalnya Aeromonas dan Enterobacter merupakan bakteri intrinsik yang mengkontaminasi hati.

Bakteri Lactobacillus dan bakteri fakultatif anaerob lainnya dapat diisolasi dari hati dengan penyimpanan pada suhu dingin yang dikemas menggunakan plastik-gas permeable, tetapi hanya bakteri Lactobacillus, Streptococcus dan Leuconostoc spp yang paling dominan dan dapat diisolasi dari hati yang dikemas menggunakan plastik yang telah divakum (Hanna et al. 1982).

Salmonella

Berdasarkan taksonominya, Salmonella spp dapat digolongkan sebagai berikut (Brenner 2000):

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella

Nomenklatur Salmonella

Berdasarkan klasifikasi yang diperoleh dari U.S Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO) yang dikutip dari CFSPH (2005) menyatakan bahwa terdapat dua spesies dari genus Salmonella, yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. Salmonella enterica memiliki 6 subspesies yaitu: S. enterica subsp. enterica atau subspesies I; S. enterica subsp.

salamae atau subspesies II; S. enterica subsp. arizonae atau subspesies IIIa; S. enterica subsp. diarizonae atau subspecies IIIb; S. enterica subsp. houtenae atau subspesies IV; dan S. enterica subsp. indica atau subspecies VI.

Gambar 2 Bakteri Salmonella typhi dengan pewarnaan gram.

Sampai saat ini diketahui Salmonella mempunyai 2500 serotipe (Popoff 2001). Nama serotipe ini biasanya dikaitkan dengan tempat ditemukannya bakteri tersebut. Serotipe dari S. enterica subsp. enterica merujuk berdasarkan nama tertentu. Penulisan nama dari serotipe tersebut dapat dipersingkat dari nama lengkapnya menjadi genus dan serotipenya saja. Sebagai contoh Salmonella enterica subsp enterica ser. Enteritidis dapat ditulis menjadi Salmonella ser. Enteritidis atau Salmonella Enteritidis.

Antigen O atau antigen somatik, terdiri dari badan sel bakteri dan diperoleh dengan pemanasan suspensi bakteri selama satu jam pada suhu 80-100 °C atau dengan metode ekstraksi menggunakan alkohol panas. Prosedur ini juga dapat digunakan untuk melepaskan antigen H atau antigen flagelar. Variasi antigen O ditandai dengan nomor 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, dan 10. Berdasarkan hubungan yang erat, kelompok spesies Salmonella ditandai dengan tipe A, B, C, dan seterusnya. Spesies tunggal boleh memiliki lebih dari satu antigen O, yang dapat mempunyai satu kelompok antigen yang pada umumnya mempunyai banyak anggota dalam kelompoknya (Brenner et al. 2000).

Antigen H atau antigen flagelar, terdiri dari sel flagela dan dipersiapkan oleh supensi pokok bakteri ke formalin yang diduga memperbaiki flagelar di luar permukaan bakteri sehingga menutup badan sel antigen O. Antigen ini tidak tahan panas. Antigen H terdiri dari 2 fase yaitu fase spesifik dan fase non- spesifik. Fase spesifik hanya terdiri dari komponen-komponen antigen yang spesifik untuk spesies atau turunan dari organisme tersebut. Antigen-antigen ini ditandai dengan a, b, c, dan seterusnya. Fase non-spesifik ditunjukkan dengan bagian antigen dari spesies lain pada tipe kelompok lain. Antigen-antigen ini ditandai dengan 1, 2, 3, 4, dan seterusnya (Brenner et al. 2000).

Sebagian besar penulisan serotipe dari 5 subspesies S. enterica dan S. bongori merujuk berdasarkan formula antigeniknya. Formula tersebut terdiri dari penggolongan spesies/subspsies (I, II, IIIa, IIIb, IV atau VI untuk Salmonella enterica dan V untuk Salmonella bongori), antigen O (somatik) yang diikuti oleh tanda titik dua, antigen H (flagelar) fase I yang diikuti oleh tanda titik dua, dan antigen H fase 2 (jika ada). Berdasarkan hasil kesepakatan maka S. enterica subsp. houtenae dengan memiliki antigen O menunjuk 45, antigen H menunjuk g dan z51, dan tidak memiliki antigen H fase 2 dapat dituliskan sebagai Salmonella serotipe IV 45:g,z51.

Menurut Brenner et al. (2003), komponen utama dari permukaan Salmonella pada umumnya terdiri dari flagela (disebut sebagai antigen H), dan lipopolisakarida (disebut sebagai antigen O). Kedua antigen ini yang sering menyebabkan reaksi silang diantara mikroba genus Salmonella. Beberapa strain Salmonella dapat bertahan dari aktivitas fagositosis karena adanya mutasi pada gen lipopolisakarida dan kehilangan antigen O nya.

Grup subspesies I termasuk kedalam serotipe penyebab penyakit pada manusia dan hewan berdarah panas seperti S. enterica, S. typhi, S. paratyphi, S. sendai, S. typhimurium, S. enteritidis, S. cholerasuis, S. dublin, S. gallinarum, S. pullorum dan S. abortusovis. Grup subspesies II sampai dengan VI adalah serovar yang biasa ditemukan pada hewan berdarah dingin. Klasifikasi dan deteksi dari bakteri ini didasarkan pada uji serologis dan phage susceptibility assay (Baumler et al. 1998).

Sifat dan Karakteristik Salmonella spp

Salmonella spp adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae berbentuk batang, motil, tanpa spora, dan hidup dalam kondisi aerobik dan anaerobik fakultatif. Spesies Salmonella dibagi menjadi beberapa serotipe yang didasarkan pada lipopolisakarida (O), protein flagelar (H), dan antigen kapsular (Vi).

Salmonella spp dapat hidup secara optimal pada suhu 35-37 °C, tetapi mampu hidup pada kisaran suhu 5-47 °C (D’Aoust 2000). Kondisi pH yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri Salmonella spp sangat bervariasi, pH optimal pertumbuhannya adalah 6.5-6.7, tetapi mampu tumbuh pada kisaran pH 4.5-9.0 (Garbutt 1997).

Dalam larutan asam asetat dengan pH 5.4 dan asam sitrat pH 4.05 bakteri Salmonella spp masih dapat tumbuh (Adams dan Moss 1995). Perubahan pH yang sangat ekstrim menyebabkan bakteri akan mati. Kondisi pH optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan dengan menggunakan asidulan asam laktat dan asam asetat (D’Aoust 2000).

Tabel 2 Batasan suhu, pH, dan aktivitas air (aw) optimal untuk pertumbuhan Salmonella spp (Baumler et al. 1998)

Kondisi Minimal Optimal Maksimal

Suhu (°) 5.2 35-43 46.2

pH 3.8 7.0-7.5 9.5

Aktivitas air 0.94 0.99 0.99

Salmonella spp mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, memproduksi gas dari glukosa, memproduksi gas H2S dari pada triple sugar iron agar, dapat tumbuh pada sitrat. Indol dan urease negatif, lisin, ornitin, dekarboksilase positif. Salisin, inositol, sukrosa, dan amigdalin negatif.

Salmonella spp dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada lingkungan tertentu. Bakteri tersebut memiliki beberapa perbedaan mekanisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Foster dan Spector 1995). Hal ini yang memungkinkan bakteri tersebut mampu mempertahankan hidupnya pada

saat terjadi perubahan lingkungan secara tiba-tiba dan mampu bertahan pada waktu lama di lingkungan yang berbeda-beda.

Salmonella spp dapat diisolasi dari beberapa sumber termasuk dari limbah peternakan, limbah manusia, dan air. Berdasarkan hasil penelitian Forshell dan Ekesbo (1996) dan Baloda (2001), bakteri ini dapat bertahan pada bagian permukaan, kotoran, dan pada feses kering yang tidak terkena sinar matahari. Hasil penelitian menyebutkan bahwa Salmonella dapat bertahan selama 5½ tahun pada lantai tempat defekasi sapi. Salmonella cholerasuis berhasil diisolasi selama 450 hari dari daging babi dan beberapa bulan dari feses. Salmonella Typhimurium dan Salmonella dublin telah ditemukan mampu bertahan lebih dari satu tahun pada lingkungan (CFSPH 2005).

Resistensi Terhadap Antibiotik

Pada industri peternakan, pemberian antimikroba selain untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, juga digunakan sebagai imbuhan pakan untuk memacu pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al.2000). Di Negara-negara Eropa, ada beberapa antimikroba yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan seperti olaquinodik, basirasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin, avoparsin, dan avilamisin (Witte1997). Di Indonesia, pemanfaatan antimikroba sebagai imbuhan pakan ternak sudah dilakukan, hasil penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Veteriner menunjukkan 71.43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang, Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan golongan tetrasiklin dan sulfonamide pada produk pakannya (Kusumaningsih 2007).

Dari kenyataan di lapangan dapat dipastikan bahwa pemakaian antimikroba sebagai imbuhan pakan ternak cenderung berlebihan dan kurang tepat. Beberapa peneliti mengkhawatirkan bahwa penggunaan antimikroba secara terus menerus dan dalam waktu lama melalui air minum atau pakan dalam konsentrasi rendah akan memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antimikroba pada ternak (Bahri et al. 2000). Munculnya fenomena resistensi antimikroba pada bakteri patogen sangat berbahaya. Hal ini diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan

sifat resistensi antimikroba bakteri pada ternak dan manusia dan dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Munculnya resistensi antimikroba pada bakteri pathogen disebabkan oleh adanya peran gen resistensi baik yang bersifat permanen dalam kromosom bakteri maupun yang dapat berpindah antar bakteri melalui perpindahan plasmid atau transposon. Transfer gen resistensi antimikroba pada bakteri dari ternak ke manusia dapat pula melalui gen resistensi antimikroba yang terdapat pada pathogen komensal dan pathogen asal makanan seperti S. Enteritidis (Kusumaningsih 2007).

Gen resistensi antimikroba merupakan gen yang mengendalikan suatu enzim yang dapat merubah aktivitas kerja antimikroba spesifik menjadi produk yang tidak berbahaya sehingga bakteri tersebut dapat melindungi dirinya dari efek antimikroba yang mematikan. Gen bakteri yang mengendalikan sifat resistensi antimikroba umumnya spesifik terhadap antimikroba atau golongan antimikroba tertentu, tetapi beberapa gen resistensi dapat mengendalikan satu jenis atau golongan antimikroba yang sama. Sebagai contoh pada kloramfenikol terdapat 7 gen resistensi (Chen et al. 2004).

Penyebaran Geografis

Salmonelosis tersebar di seluruh dunia, umumnya terdapat pada lingkungan hewan. Program pemberantasan Salmonella banyak dilakukan terhadap hewan- hewan domestik dan manusia, tetapi penting diingat bahwa hewan-hewan liar merupakan reservoir Salmonella. Serotipe yang paling banyak ditemukan dari kasus salmonelosis adalah Salmonella Enteritidis dan Salmonella Typhimurium (CFSPH 2005).

Hasil surveilan di Amerika Serikat pada tahun 2002 terhadap serotipe Salmonella yang telah diisolasi dari manusia adalah Salmonella enteritidis, Salmonella typhimurium, Salmonella montevideo, Salmonella muenchen, Salmonella oranienburg, dan Salmonella saintpaul. Kemudian pada tahun yang sama CDC dan National Veterinary Services Laboratory (NVSL) melaporkan bahwa serotipe Salmonella yang berhasil diisolasi dari hewan yang secara klinis memperlihatkan gejala salmonelosis adalah Salmonella typhimurium, Salmonella

newport, Salmonella agona, Salmonella heidelberg, Salmonella derby, Salmonella anatum, Salmonella cholerasuis, Salmonella montevideo, Salmonella kentucky, Salmonella senftenberg, dan Salmonella dublin (CFSPH 2005).

Di Selandia Baru dan Australia, Salmonella spp telah diisolasi pada manusia dan hewan terutama Salmonella Typhimurium, tetapi Salmonella Typhimurium DT104 yang diketahui sebagai serotipe yang resisten terhadap antibiotik hanya diisolasi dari manusia pada tahun 2003 dan 2004. Prevalensi Salmonella spp pada sapi dan kambing di Selandia Baru mencapai 1-5%. Salmonella dublin merupakan serotipe yang umum terdapat pada sapi dan kambing di beberapa negara di dunia, tetapi belum pernah ditemukan di Selandia Baru (MAFNZ 2006). Di Kanada, S. typhimurium dan S. hadar telah diisolasi dari manusia dan non- manusia selama 10 tahun terakhir, sedangkan S. heidelberg, S. enteritidis, dan S. infantis juga sering diisolasi dari sampel yang diperoleh dari manusia (Kakira et al. 1997).

Sumber Infeksi dan Cara Penularan

Penularan Salmonella spp terutama terjadi melalui rute fecal-oral. Bakteri tersebut umumya terdapat di dalam saluran pencernaan dan kantung empedu hewan tanpa menimbulkan gejala klinis, kemudian secara terus menerus atau kadang-kadang dikeluarkan bersama feses. Salmonella spp dapat tinggal menetap di kelenjar getah bening mesenterika atau tonsil tanpa terjadi shedding, tetapi bakteri tersebut dapat menjadi aktif kembali akibat adanya faktor-faktor pemicu misalnya cekaman atau tekanan tanggap kebal.

S. typhi dan S. paratyphi merupakan penyebab utama salmonelosis pada manusia. Hewan merupakan reservoir dari Salmonella spp. Hampir semua pangan hewani dapat terkontaminasi oleh Salmonella spp dan kemudian dapat menyebabkan infeksi salmonelosis pada manusia. Wahana utama penyebaran Salmonella spp ke manusia adalah daging unggas, daging babi, daging sapi, telur, susu dan hasil olahannya. Pangan nabati yang terkontaminasi oleh produk hewani, ekskreta manusia, atau peralatan kotor, baik dalam proses penanganan industri maupun dapur rumah tangga, merupakan salah satu wahana penularan

salmonelosis pada manusia. Air yang terkontaminasi Salmonella merupakan sumber penting terhadap penularan salmonelosis.

Manusia umumnya menderita salmonelosis akibat dari mengonsumsi pangan yang terkontaminasi Salmonella. Faktor penting yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah kesalahan dalam cara memasak, waktu dan tempat penyimpanan, serta pemanasan kembali sebelum dihidangkan. Manusia dapat terinfeksi secara langsung dari hewan dan hewan kesayangan yang terkontaminasi atau terinfeksi Salmonella seperti kura-kura, monyet, hamster, anjing dan hewan reptil lainnya.

Penularan antar manusia sangat penting bila terjadi di rumah sakit dimana pasien anak-anak menjadi korban utamanya. Lalat merupakan vektor mekanis yang membawa organisme dari lingkungan terkontaminasi ke perumahan penduduk. Berdasarkan hasil penelitian Olsen dan Hammack (2000), beberapa lalat rumah seperti Musca domestica dan Hydrotaea aenescens berpotensi sebagai reservoir dan vektor dari foodborne Salmonella terutama pada unggas dengan prevalensi mencapai 13%.

Penularan dari hewan ke hewan dapat berlangsung melalui ekskreta, pakan, dan sumber air minum yang terkontaminasi oleh Salmonella spp. Di beberapa negara berkembang, sumber infeksi utama adalah kontaminasi lingkungan dan sumber air yang merupakan tempat hewan sering berkumpul. Burung (unggas) dan tikus dapat menyebarkan Salmonella spp ke hewan. Karnivora dapat terinfeksi melalui daging, telur dan produk hewan lainnya yang tidak dimasak atau melalui proses pemasakan yang tidak sempurna sebagai bahan baku pakannya. Penularan dari hewan ke hewan tidak hanya terjadi di lingkungan kandang tetapi dapat terinfeksi selama masa transportasi, pada saat di pasar hewan, dan di tempat penampungan (holding ground) RPH sebelum hewan tersebut disembelih. Penularan secara vertikal dapat terjadi pada unggas, dimana bakteri tersebut dapat menembus membran vitelin, albumen, dan kemudian masuk ke dalam kuning telur. Salmonella spp juga dapat ditransmisikan melalui rahim hewan mamalia (CFSPH 2005).

Salmonelosis pada Manusia

Gejala klinis salmonelosis yang paling umum pada manusia adalah gastroenteritis. Masa inkubasi penyakit pada umumnya mencapai 12 jam sampai dengan 3 hari. Demam enterik biasanya muncul setelah 10-14 hari pasca-infeksi. Pada manusia gejala klinis salmonelosis sangat bervariasi mulai dari gastroenteritis sampai terjadi septisemia. Tingkat keparahan pada setiap individu berbeda-beda, tergantung dari kondisi induk semang (host) dan tingkat virulensi dari Salmonella yang menginfeksi. Infeksi asimtomatik juga dapat terjadi.

Dokumen terkait