• Tidak ada hasil yang ditemukan

: jumlah feses positif : ukuran contoh

Z α/2 : nilai normal baku pada α/2, Z 0,025=1,96

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang dan peternakan Koperasi Unit Desa (KUD) Kelompok Giri Tani di Kecamatan Cisarua. Kedua peternakan tersebut merupakan peternakan berbasis peternakan rakyat. Pada umumnya peternakan sapi di kedua wilayah tersebut merupakan peternakan berskala kecil. Jumlah sapi yang dipelihara sebanyak lima sampai sepuluh ekor per peternak.

Wilayah KUNAK meliputi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan. Total luas wilayah pengembangan KUNAK adalah 140 ha. Topografi wilayah KUNAK ialah bergelombang sampai berbukit dan berada pada ketinggian 600 sampai 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Suhu udara di daerah tersebut berkisar 20 °C sampai 28 °C dan curah hujan sebesar 2000 mm per tahun.

KUD Kelompok Giri Tani berada di dua Kecamatan yakni Cisarua dan Megamendung. Berbeda dengan KUNAK, peternakan sapi di KUD Giri Tani

10

terbagi dalam lima kelompok peternak, diantaranya adalah kelompok Baru Tegal, Baru Sireum, Bina Warga, Tirta Kencana dan Mekarjaya. Topografi wilayah peternakan tersebut berada pada ketinggian 900 sampai 1800 mdpl dengan suhu rata-rata berkisar 16 °C sampai 24 °C.

Karakteristik Responden

Data karakteristik responden diambil dari hasil wawancara kuisioner secara langsung dengan 100 peternak. Data karakteristik responden meliputi status reponden, jenis kelamin, umur, pendidikan serta lama beternak (Tabel 2).

Hasil wawancara kuisioner memperlihatkan bahwa sebanyak 88% responden yang diwawancarai berstatus pemilik ternak, sedangkan 12% lainnya adalah pekerja. Peternak responden terdiri atas 91% responden pria dan 9% responden perempuan. Menurut undang-undang tenaga kerja No 14 Tahun 1969 disebutkan bahwa umur kurang atau sama dengan 14 tahun termasuk belum produktif, umur 15 sampai 54 tahun termasuk produktif dan lebih dari 55 tahun tidak produktif. Adapun terkait dengan umur responden, sebanyak 63% responden berumur antara 20 sampai dengan 45 tahun, sedangkan 27% lainnya berumur lebih dari 45 tahun. Melihat komposisi umur tersebut dapat dikatakan bahwa umur responden peternak di Kabupaten Bogor termasuk ke dalam umur produktif.

Banyaknya peternak umur produktif di peternakan diharapkan akan berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi perah.

Tingkat pendidikan berkaitan dengan tingkat kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, sehingga makin tinggi tingkat pendidikan cenderung akan lebih memahami dan menganalisis situasi serta kondisi yang terjadi di sekitarnya. Tingkat pendidikan responden peternak cukup beragam, yaitu pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

Tabel 2 Karakteristik responden peternak sapi perah di Kabupaten Bogor

No Uraian Jumlah Orang (%) 1 Jenis Kelamin Laki-laki 91 91 Perempuan 9 9 2 Umur 20-45 tahun 63 63 >45 tahun 27 27 3 Pendidikan Sekolah Dasar (SD) 21 21

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 37 37

Sekolah Menengah Atas (SMA) 42 42

4 Lama Beternak

> 5 tahun 100 100

5 Status Responden `

Pemilik 88 88

11 Menengah Atas (SMA) dengan persentase masing-masing 21%, 37% dan 42%. Selanjutnya seluruh peternak menyatakan bahwa telah beternak sapi perah selama lebih dari 5 tahun. Oleh karena itu, dengan usia produktif dan pengalaman rata-rata di atas 5 tahun dapat memberikan gambaran bahwa responden peternak di peternakan Kabupaten Bogor cukup baik dalam memelihara sapi perah.

Manajemen Peternakan

Manajemen peternakan merupakan hal yang sangat penting dalam beternak. Manajemen peternakan yang diamati pada penelitian ini meliputi jenis alas kandang yang digunakan, frekuensi membersihkan kandang, cara membersihkan kandang, sumber air yang digunakan, jarak sumber air, dan cara menyimpan pakan (Tabel 3).

Alas kandang yang digunakan oleh peternak ada 2 jenis yaitu berbahan karet dan semen. Alas kandang berbahan semen lebih banyak digunakan oleh responden yaitu sebanyak 54%. Alas kandang semen bersifat masif dan mudah dalam membersihkannya, sehingga tidak terjadi perkembangan mikroorganisme patogen pada alas kandang.

Tabel 3 Sistim manajemen peternakan sapi perah terkait dengan infeksi

Cryptosporidium spp. di Kabupaten Bogor

No Uraian Jumlah

Orang (%)

1 Alas kandang

Karet 46 46

Semen 54 54

2 Frekuensi membersihkan kandang

Sehari dua kali 97 97

Sehari tiga kali 3 3

3 Cara membersihkan kandang

Disapu dan pakai air 100 100

4 Asal sumber air terdekat

Sungai 41 41

Mata Air 59 59

5 Jarak sumber air ke kandang

< 5 m 73 73

> 5 m 27 27

6 Sumber air difiltrasi dan klorinasi

Ya 27 27

Tidak 73 73

7 Cara menyimpan pakan

Di tempat pakan khusus 75 75

12

Penggunaan alas kandang berbahan semen dan karet merupakan pemilihan alas kandang yang baik, karena bersifat masif dan mudah dalam membersihkan dibandingkan dengan tanah. Kuczynska et al. (2005) melakukan studi mengenai tingkat perlekatan ookista pada tanah yang tercampur di dalam manur. Berdasarkan studi tersebut ookista yang tercampur dalam manur lebih mudah melekat pada partikel tanah, dibandingkan dengan ookista yang dicampurkan langsung dengan tanah. Manur merupakan campuran dari berbagai macam komponen yakni, terdiri atas urin, biomassa mikrobial, dan lendir saluran pencernaan. Lendir saluran pencernaan merupakan salah satu komponen yang dapat meningkatkan penempelan ookista pada partikel tanah. Oleh karena itu, penggunaan tanah sebagai alas kandang tidak disarankan. Pemilihan alas kandang yang baik sangat penting terhadap kesehatan ternak sapi perah.

Frekuensi membersihkan kandang di peternakan Kabupaten Bogor hampir seluruh responden (97%) membersihkan kandang sebanyak sehari dua kali, yakni dengan cara menyapu atau menyekop kotoran kemudian dibilas dengan air. Silverlas et al. (2009) melaporkan bahwa semakin sering membersihkan kandang maka akan menurunkan kejadian kriptosporidiosis pada sapi

Ada dua sumber air yang digunakan oleh respoden untuk kebutuhan beternak diantaranya adalah sumber air yang berasal dari air sungai dan mata air. Penggunaan kedua sumber air tersebut hampir merata, namun responden yang menggunakan mata air (59%) lebih banyak dibandingkan dengan yang menggunakan air sungai (41%). Penggunaan air sungai sebagai kebutuhan beternak sangatlah berisiko terhadap ternak sapi. Karena salah satu penularan ookista Cryptosporidium adalah melalui air. Diketahui bahwa air sungai merupakan kumpulan sisa pembuangan air dari berbagai tempat, salah satunya air dari limbah peternakan sapi. Selain itu, sebanyak 73% peternak menyatakan bahwa sumber air yang digunakan tidak pernah dilakukan pemeriksaan secara berkala ataupun dilakukan filtrasi dan klorinasi, karena sumber air yang digunakan dialirkan langsung ke dalam bak penampungan. Oleh karena itu, disarankan pada peternak salah satu pencegahan terhadap kemungkinan adanya kontaminasi ookista pada sumber air yang digunakan para peternak melakukan pemeriksaan air untuk memeriksa ookista Cryptosporidium spp. Korich et al. (1990) melaporkan bahwa penggunaan ozonisasi dan klorindioksida pada air mampu menurunkan viabilitas dan infektifitas dari ookista Cryptosporidium.

Selain itu, penggunaan desinfektan secara kombinasi jauh lebih baik dibandingkan penggunaan desinfektan tanpa kombinasi.

Pemberian pakan ternak ada dua cara yaitu pemberian pakan (rumput, konsentrat dan ampas) langsung di atas alas kandang dan pemberian pakan dalam tempat khusus. Hasil wawancara hanya 25% responden yang memberikan pakan di atas alas kandang. Pemberian pakan langsung di atas alas kandang sangat berisiko terkontaminasi oleh feses dari sapi itu sendiri. Oleh karena itu, disarankan bahwa pemberian pakan sebaiknya diberikan pada tempat khusus untuk mengurangi risiko pakan yang diberikan terkontaminasi oleh feses yang mengandung ookista Cryptosporidium spp. Selain itu, peternak dalam membersihkan alas kandang hanya dilakukan 2 kali dalam sehari.

13

Higiene Personal dan Sanitasi

Higiene personal dan sanitasi kandang merupakan hal yang penting dalam tata laksana kandang di peternakan sapi perah. Data higiene personal dalam penelitian ini meliputi frekuensi mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah dan cara mencuci tangan.. Untuk komponen sanitasi diantaranya adalah frekuensi dan cara memandikan sapi, kebersihan ambing, serta lokasi pembuangan limbah feses dan sisa pakan (Tabel 4).

Higiene personal adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Hasil wawancara mengenai higiene personal menyatakan bahwa seluruh responden mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah hanya menggunakan air saja. Berdasarkan hal tersebut peternak responden belum mengetahui higiene personal yang baik, karena hanya menggunakan air tanpa sabun.

Higiene personal sangat penting diperhatikan pada peternakan sapi perah, karena susu merupakan komoditas utama, sehingga air susu yang dihasilkan harus melalui proses higiene personal yang baik, untuk menghindarkan cemaran mikroorganisme dalam air susu. Oleh karena itu, prosedur pembersihan kotoran dari ambing sebelum pemerahan dapat mengurangi pencemaran patogen untuk menyediakan produk yang aman. Menurut Baylis (2009) susu segar dapat menjadi sumber foodborne pathogen, sehingga menjadi wabah foodborne disease yang terkait dengan konsumsi susu mentah, susu yang tidak dipanaskan dengan baik, atau susu yang tercemar kembali setelah pemanasan.

Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan manusia. Tabel 4 Higiene personal peternak dan sanitasi kandang pada peternakan sapi

perah di Kabupaten Bogor 1

No Uraian Jumlah

Orang (%)

1 Cara mencuci tangan sebelum memerah

Pakai air saja 100 100

2 Memandikan sapi

Sebelum memerah susu 100 100

3 Cara memandikan sapi

Disikat dan dibilas 100 100

4 Cara membersihkan ambing

Dilap dan dibilas dengan air 96 96

Dilap dibilas dengan air dan sabun 4 4

5 Lokasi pembuangan feses

Saluran khusus 4 4

Sungai 69 69

Area kebun 27 27

6 Lokasi pembuangan sisa pakan

Di sekitar kandang 96 96

14

Terkait sanitasi kandang seluruh responden di peternakan Kabupaten Bogor memandikan sapi sebanyak dua kali sehari dengan cara disikat dan dibilas dengan air. Selain itu, sebanyak 96% responden juga menjaga kebersihan ambing sapinya dengan cara dilap dan dibilas dengan air saja.

Pembuangan limbah di peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor pada umumnya belum dilaksanakan dengan baik, karena limbah tidak dibuang pada saluran khusus. Hal tersebut terlihat pada hasil wawancara responden yakni terdapat beberapa lokasi pembuangan limbah (feses dan sisa pakan) yaitu dialirkan ke sungai, area perkebunan dan dialirkan pada saluran pembuangan khusus (biogas). Berdasarkan hasil pengamatan di wilayah peternakan Cisarua, sebagian besar para peternak membuang limbah peternakan (feses) langsung dialirkan ke sungai. Oleh karena itu, air sungai yang digunakan kembali oleh masyarakat di sekitar peternakan sangat berisiko terinfeksi oleh Cryptosporidium. Sischo et al. (2000) melaporkan bahwa pengelolaan air permukaan yang dialiri kotoran ternak merupakan salah satu risiko potensial untuk menyebarkan ookista

Cryptosporidium. Yoshinori et al. (2000) melaporkan bahwa 6 dari 10 sampel air sungai yang berada di sepanjang peternakan sapi perah di Hokaido positif mengandung ookista Cryptosporidium. Selain itu, Artama (2005) melaporkan bahwa, air sungai yang digunakan untuk memandikan Sapi Bali di Kabupaten Karang Asem 100% mengandung ookista Cryptosporidium. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan terhadap ookista Cryptosporidium pada air sungai. Pengelolaan dan pembuangan limbah tidak dilakukan dengan baik akan menjadi sumber pencemaran lingkungan. Ada 69% responden yang membuang limbah langsung dialirkan ke sungai. Sementara itu, 96% responden membuang sisa pakan di sekitar kandang. Pembuangan limbah peternakan secara langsung ke areal kebun sangat berisiko terhadap penyebaran ookista. Area kebun di wilayah KUNAK merupakan wilayah penanaman rumput untuk pakan ternak sapi perah. Oleh karena itu, apabila limbah peternakan dialirkan ke areal kebun, maka berisiko terjadi reinfeksi terhadap ternak, selain itu, menjadi sangat berisiko bagi peternak terinfeksi ookista.

Berdasarkan kondisi tersebut bahwa sangat perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran serta kepedulian peternak terhadap pentingnya memperhatikan higiene personal serta sanitasi di peternakan. Karena apabila pada peternakan tersebut terdapat sumber kontaminan mikroorganisme yang bersifat zoonosis maka sangat membahayakan dan merugikan ternak dan peternaknya itu sendiri.

Riwayat Kesehatan dan Pengobatan Ternak

Riwayat kesehatan dan pengobatan ternak yang didapat dari hasil wawancara kuisioner meliputi umur ternak yang terkena diare, lama diare, kematian akibat diare, pengobatan diare serta kondisi ternak setelah dilakukan pengobatan (Tabel 5). Hasil wawancara menyatakan bahwa sebanyak 81% responden ternaknya pernah mengalami diare, dengan lama diare kurang dari 2 minggu. Diare pada ternak terjadi pada tiga kategori umur yaitu berumur kurang dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan.

15 Dari ketiga kategori umur tersebut paling banyak terjadi pada sapi berumur antara 6 sampai 12 bulan (36%) Kemudian, 73% responden menyatakan bahwa sapinya pernah mengalami kematian akibat diare. Penyebab diare pada sapi, diantaranya adalah bakteri, virus, dan parasit.

Naciri et al. (1999) melaporkan bahwa sapi dapat terinfeksi mikroorganisme yang menyebabkan diare berumur 4 sampai 10 hari diantaranya 6.1% E.coli, 14.3% rotavirus, 6.8% coronavirus, 0.3% Salmonella dan lebih dari 50% disebabkan oleh ookista dari Cryptosporidium parvum. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pemeriksaan terhadap ternak yang terkena diare sehingga diketahui penyebab utama terjadinya diare. Diare pada anak sapi dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan informasi responden terdapat beberapa jenis obat yang biasa digunakan untuk mengobati ternak yang mengalami diare, diantaranya sediaan antibiotik (injeksi dan per oral) dan obat tradisional. Adapun obat tradisonal yang diberikan diantaranya adalah daun sirsak, daun papaya dan daun jambu. Tingkat kesembuhan ternak yang telah diobati cukup baik, berdasarkan penelitian 79 responden menyatakan ternaknya sembuh setelah dilakukan pengobatan. Jenis antibiotik yang diberikan pada sapi diare oleh paramedik ataupun inseminator adalah antibiotik yang mengandung sulfadiazine dan trimetropin, namun obat tersebut hanya efektif untuk bakteri gram negatif dan gram positif saja, sehingga pengobatan untuk penyebab diare akibat protozoa tidak efektif.

Peternak dan petugas kesehatan saat ini secara umum tidak mengetahui penyebab diare pada ternak, sehingga pengobatan dilakukan hanya berdasarkan gejala klinis yang terlihat tanpa mengetahui penyebab diare tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemahaman dan pemeriksaan secara rutin mengenai penyebab diare pada ternak yang disebabkan oleh Cryptosporidium, sehingga dengan adanya informasi tersebut pencegahan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih baik. Walaupun saat ini belum ada obat yang efektif terhadap infeksi

Tabel 5 Riwayat kesehatan dan pengobatan pada ternak diare

No Uraian Jumlah

Orang (%)

1 Pedet diare

Ya 81 81

Tidak 19 19

2 Umur ternak terkena diare

< 6 bulan 19 19

6-12 bulan 36 36

> 12 bulan 26 26

3 Kematian akibat diare

Ya 73 73

Tidak 7 7

4 Jenis obat yang diberikan

Antibiotika injeksi 25 25

Antibiotika oral 54 54

16

Cryptosporidium (Waele et al. 2010). Selain pengobatan terhadap ternak yang terkena diare, juga perlu perbaikan manajemen peternakan.

Prevalensi Kriptosporidiosis

Jumlah sampel feses yang didapat pada penelitian ini adalah sebanyak 308 sampel. Sampel tersebut terdiri atas 136 sampel feses dari sapi berumur kurang dari 6 bulan, 43 sampel (6 sampai 12 bulan) dan 128 sampel (lebih dari 12 bulan). Secara keseluruhan prevalensi kejadian kriptosporidiosis di dua lokasi peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor sebesar 21.1% (Selang Kepercayaan (SK) 95%; 13.1%-21.5%) dengan masing-masing prevalensi pada setiap peternakan adalah 17.3% (SK 95%; 13.1%-21.5%) di KUNAK dan 24.9% (SK 95%; 20%-29.7%) di Cisarua. Data prevalensi kriptosporidiosis pada setiap wilayah tersaji pada Tabel 6.

Menurut Fayer et al. (2000) hasil kajian prevalensi kriptosporidiosis sangat bergantung pada sensitivitas dan spesivitas dari metode pemeriksaan yang digunakan serta umur hewan. Pemeriksaan sampel dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah, dibandingkan dengan pemeriksaan molekular. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dilakukan kombinasi pemeriksaan secara konvensional dan molekular (Brook et al. 2008).

Sementara itu, prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada kategori umur yang berbeda prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok umur kurang dari 6 bulan yaitu 29% (SK 95%; 26.8%-31.7%). Data prevalensi kriptosporidiosis pada tingkatan umur berbeda tersaji pada Tabel 7.

Sampai saat ini kajian mengenai prevalensi kriptosporidiosis di Indonesia pada sapi potong telah dilaporkan di dua wilayah yakni di Kabupaten Bali sebesar 37.4% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada sapi berumur kurang dari 6 bulan (16%) (Artama 2005), dan di wilayah Jawa Barat dilaporkan dua sampel positif terhadap Cryptosporidium andersoni (Ananta 2014). Sementara itu, kajian prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan

Tabel 6 Prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah KUNAK dan Cisarua di Kabupaten Bogor

Lokasi Prevalensi (%) Selang Kepercayaan (SK) 95% KUNAK (n= 124) 17.3 13.1-21.5 Cisarua (n= 184) 24.9 20-29.7 Prevalensi Keseluruhan (n=308) 21.1 16.5-25.6

17

Kejadian diare pada sapi berumur muda telah banyak dilaporkan. Salah satunya disebabkan oleh sistim kekebalan yang belum baik dan infeksi penyakit lainnya diantaranya adalah virus, bakteri, cacing dan protozoa. Cryptosporidium

spp. merupakan salah satu protozoa penyebab diare, namun dengan gejala klinis asimptomatik.

Kelimpahan ookista

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode pewarnaan Ziehl Neelsen terdapat 67 sampel feses positif terhadap Cryptosporidium spp., dengan kelimpahan ookista rata-rata kurang dari 5 ookista per lapang pandang dengan perbesaran 400 kali. Sapi berumur kurang dari 6 bulan merupakan kelompok umur tertinggi terinfeksi Cryptosporidium spp. dibandingkan dua kelompok umur lainnya (6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan) (Tabel 8).

Kelimpahan ookista yang terdapat pada feses hanya berkisar kurang dari 5 ookista per lapang pandang, berarti infeksi Cryptosporidium spp. masih rendah. Rendahnya ookista yang terlihat pada pemeriksaan tersebut disebabkan sampel dari hewan sapi yang berumur muda hanya sedikit. Hal tersebut karena sebagian besar peternak menjual sapi berumur muda, sehingga sulit mendapatkan sapi yang berumur kurang dari 1 bulan.

Tabel 7 Prevalensi kriptosporidiosis berdasarkan tingkat umur pada peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor

Umur Prevalensi (%) Selang Kepercayaan (SK) 95%

< 6 bulan (n=136) 29 26.8-31.7

6-12 bulan (n=44) 23 18.3-27.7

> 12 bulan (n=128) 13 12.3-23.7

Prevalensi (n=308) 21.1 16.5-25.6

Tabel 8 Kelimpahan ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Ziehl Neelsen berdasarkan tingkat umur

Umur Hasil Pemeriksaan (ekor)

+ + + + + + <6 bulan (n=136) 40 0 0 6-12 bulan (n=44) 10 0 0 >12 bulan (n=128) 17 0 0 Total (n=308) 67 0 0 Keterangan :

+ : kurang dari 5 ookista per lapang pandang + + : 5 sampai 20 ookista per lapang pandang + + + : lebih dari 20 ookista per lapang pandang

18

Walaupun demikian terdeteksinya ookista dapat menjadi sumber informasi bahwa terdapat sapi yang terinfeksi ookista Cryptosporidium, sehingga berpotensi mengkontaminasi lingkungan dan menginfeksi ke manusia dan hewan

Pada pewarnaan Ziehl Neelsen ookista Cryptosporidium spp. terlihat berwarna merah dengan latar belakang biru, karena ookista tersebut tahan terhadap pewarnaan asam. Spesies Cryptosporidium spp. yang terdapat pada sapi adalah C. bovis, C. andersoni, dan C. parvum. C. parvum merupakan jenis yang bersifat zoonosis, sehingga dapat menginfeksi manusia. Menurut Xiao dan Fayer (2008) bahwa selama 20 tahun terakhir sapi merupakan salah satu reservoir terpenting yang berperan untuk penularan Cryptosporidium parvum, namun saat ini secara kajian molekular diindikasikan bahwa sapi dapat terinfeksi oleh 5 jenis

Cryptospoidium spp diantaranya adalah C. parvum, C. bovis, C. andersoni, C. ryane (sebelumnya deer like genotype) dan C. suis. Sementara itu, Fayer et al.

(2006) melaporkan bahwa infeksi secara sporadik pada sapi telah terjadi disebabkan oleh C. felis, C. hominis, C. suis dan C. suis-like genotype serta

Cryptosporidium babi genotype II. Selain itu berdasarkan hasil kajian Shresta et al. (2014) bahwa satu ekor sapi dapat terinfeksi oleh berbagai macam spesies

Cryptosporidium spp.

Ukuran ookista dari Cryptosporidium spp. sangat kecil berkisar antara 4-6 µm (Gambar 2). Menurut Lindsay et al. (2000); Fayer (2005); dan OIE (2008) bahwa ukuran ookista dari Cryptosporidium parvum (5.0 x 4.5 µm)

Cryptosporidium andersoni (7.4 x 5.5 µm), Cryptosporidium bovis (4.9 x 4.6 µm), Cryptosporidium suis (5.1 x 4.1 µm), Cryptosporidium felis (4.5 x 5 µm)

Cryptosporidium hominis (4.5 x 5.5 µm) sehingga berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini cenderung mengarah ke C. parvum, C. bovis, C. suis, dan C. felis,

berdasarkan OIE (2008) bahwa keempat jenis Cryptosporidium tersebut dapat menginfeksi manusia.

Gambar 2 Ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Zieh Neelsen

19

Faktor-Faktor yang Berisiko terhadap Kejadian Kriptosporidiosis

Analisa faktor risiko dilakukan untuk mengetahui variabel yang berisiko terhadap kejadian kriptosporidiosis. Seluruh variabel diuji dengan analisa bivariat (uji khi-kuadrat) untuk mengetahui kandidat variabel yang berisiko terhadap kejadian kriptosporidiosis. Variabel yang mempunyai p<0.25 merupakan variabel kandidat faktor risiko kejadian kriptosporidiosis. Adapun variabel yang merupakan kandidat tersebut adalah sumber air, diare pada ternak, umur ternak, lama diare, lokasi pembuangan feses, dan jumlah ternak yang dipelihara. Selanjutnya keenam variabel tersebut dilakukan uji regresi logistik berganda untuk mengetahui variabel yang berisiko terhadap kejadian kriptosporidiosis pada sapi. Hasil analisa regresi logistik membuktikan bahwa hanya terdapat satu faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian kriptosporidiosis adalah sapi yang berumur kurang dari enam bulan. Hasil analisa regresi logistik membuktikan bahwa sapi berumur kurang dari 6 bulan mempunyai nilai Odds 2.7 kali lebih besar (SK 95%; 1.5-5.5), serta sapi berumur 6 sampai 12 bulan mempunyai nilai Odds 1.9 kali lebih besar (SK 95%; 0.8-4.8) dibandingkan dengan sapi yang berumur lebih dari 12 bulan, namun hanya sapi berumur kurang dari 6 bulan yang mempunyai hubungan bermakna (p<0.05) terhadap kejadian kriptosporidiosis (Tabel 9).

Menurut Nydam dan Mohammed (2005) terdapat 5 faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis diantaranya adalah kepadatan ternak, jumlah hewan laktasi, keberadaan hewan lain, jarak kandang ke tempat pembuangan limbah dan umur sapi. Umur ternak yang terkena diare pada umumnya terjadi pada ternak yang berumur kurang dari 6 bulan dibandingkan dengan ternak yang berumur 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Sapi yang berumur kurang dari 6 bulan lebih rentan terkena kriptosporidiosis karena sistim kekebalan. Infeksi

Cryptosporidium pada sapi berumur muda dapat terjadi akibat beberapa cara Tabel 9 Analisis faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis pada

peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor

No Variabel Jumlah Kriptosporidiosis OR

(SK 95%) p Positif Negatif

1 Cara menyimpan pakan

Di simpan di atas lantai 71 16 (23%) 55 (77%) 1.1 (0.6-2.1) 0.79 Tempat pakan khusus 237 51 (21%) 186 (79%) Referensi

2 Umur ternak diare

< 6 bulan 136 40 (29%) 96 (70%) 2.7 (1.5-5.5)* 0.002 6-12 bulan 43 10 (23%) 33 (77%) 1.9 (0.8-4.8) 0.12 > 12 bulan 128 17 (13%) 112 (87%) Referensi 3 Kepadatan Ternak < 10 ternak 156 35 (23%) 121 (77%) Referensi ≥ 10 ternak 152 32 (20%) 120 (80%) 1.1 (0.6- 1.9) 0.01

4 Lokasi pembuangan feses

Sungai 186 46 (24%) 140 (76%) 0.6 (0.1-3.6) 0.61 Area Kebun 116 19 (16%) 97 (84%) 0.4 (0.07-2.3) 0.29 Saluran khusus (biogas) 6 2 (33%) 4 (67%) Referensi

20

diantaranya adalah akibat terinfeksi oleh sapi lain, sanitasi kandang yang kurang baik, pemeliharaan dalam satu kandang dengan sapi berumur lebih tua, alas atau jerami yang tidak dibersihkan secara teratur, serta higiene personal dari peternak yang tidak diperhatikan saat melakukan pemberian susu.

Hal yang paling berperan dalam transmisi tertelannya ookista adalah saat pemberian susu kolostrum ke anak sapi. Peternak sapi di Kabupaten Bogor

Dokumen terkait