• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

KRIPTOSPORIDIOSIS PADA PETERNAKAN SAPI PERAH

DI KABUPATEN BOGOR

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Arifin Budiman Nugraha

(4)

RINGKASAN

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA.

Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan ETIH SUDARNIKA

Kriptosporidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang termasuk ke dalam filum Apikompleksa. Parasit protozoa ini menginfeksi sel saluran pencernaan sehingga menyebabkan diare dengan gejala ringan sampai berat. Transmisi kriptosporidiosis dapat terjadi melalui air minum, makanan ataupun lingkungan yang terkontaminasi oleh feses yang mengandung ookista.

Kriptosporidiosis merupakan penyakit yang sangat penting bagi kesehatan hewan dan manusia, karena bersifat zoonotik. Peternakan sapi perah sangat berpotensi sebagai sumber penyebaran ookista Cryptosporidium. Kriptosporidiosis berdasarkan berbagai kajian bahwa sangat mudah terjadi pada hewan yang berumur muda dan memiliki angka morbiditas yang cukup tinggi. Sapi yang terinfeksi Cryptosporidium secara kronis akan mengalami penurunan bobot badan sebanyak 0.5 kg per hari, sedangkan pada sapi muda dapat menyebabkan gangguan proses pertumbuhan hingga menyebabkan kematian, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan kajian mengenai infeksi Cryptosporidium spp. pada peternakan sapi perah yang dikaitkan dengan tata laksana manajemen peternakan, selain itu kajian mengenai kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini belum pernah di laporkan.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menduga prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor; (2) membandingkan tingkat infeksi Cryptosporidium spp. pada setiap tingkatan umur; dan (3) menduga faktor risiko terhadap infeksi Cryptosporidium spp. pada peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor.

Sampel feses diambil pada sapi dengan tingkatan umur yang berbeda yakni sapi berumur kurang dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan, dan lebih dari 12 bulan. Besaran sampel feses yang diambil sebanyak 308 sampel. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan metode pengapungan gula Sheater’s dan pewarnaan Ziehl Neelsen. Pengamatan ookista dilakukan di bawah mikroskop pada perbesaran 400 kali. Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuisioner dilakukan terhadap 100 peternak. Wawancara dilakukan untuk mengetahui tata laksana manajemen peternakan. Selanjutnya seluruh variabel diuji dengan regresi logistik untuk mengetahui faktor-faktor risiko terkait dengan kejadian kriptosporidiosis.

Prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada dua lokasi di peternakan sapi perah di Bogor sebesar 21.1% (SK 95%, 16.5%-25.6%) dengan prevalensi tertinggi terjadi pada sapi berumur kurang dari 6 bulan, yakni 29% (SK 95%; 26.8%-31.7%). Sementara itu, ternak yang berumur kurang dari 6 bulan merupakan kelompok umur mempunyai nilai Odds 2.7 kali lebih besar (SK 95%; 1.5-5.5) dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Kelimpahan ookista

(5)

dialirkan ke sungai atau ke areal perkebunan (ladang penanaman rumput). Karena diketahui masyarakat sampai saat ini masih menggunakan air sungai untuk mencuci, mandi bahkan untuk air minum. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian Cryptosporidium perlu dilakukan sehingga dapat mengurangi potensi infeksi ke manusia dan kematian pedet.

(6)

SUMMARY

ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA.

Prevalence and Risk Factors of Cryptosporidiosis in Dairy Farm at Bogor. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and ETIH SUDARNIKA.

Cryptosporidiosis is disease caused by protozoa that belong to the phylum Apicomplexa. This protozoan parasite infects the digestive tract cells, causing diarrhea with mild to severe symptoms. Transmission of cryptosporidiosis can occured through drinking water, food or environment contaminated by faecal containing oocysts. Cryptosporidiosis is very important for the humans and animals health, because it is zoonotic. Dairy farm has the potential as a source to spread of Cryptosporidium oocysts. Based on various studies cryptosporidiosis were commonly occured in young animals and have a fairly high rate of morbidity. Cattle infected by Cryptosporidium (chronic disease) will decrease as much as 0.5 kg of body weight per day, whereas in young cattle can inhibited of growth process to cause death, and also economic losses. Therefore it is very important to do a study on the infection of Cryptosporidium spp. on a dairy farm that associated with farm management, in addition the study of cryptosporidiosis in dairy cattle in Indonesia until now has not been reported.

This study have three main objectives that include the following: (1) to estimate the prevalence of cryptosporidiosis on dairy cattle farm in Bogor; (2) compare of infection rate of Cryptosporidium spp. infection on different aged; and (3) estimate risk factors of infection Cryptosporidium spp. on a dairy farm in Bogor.

Faecal samples were taken from cattle aged less than 6 months, 6 until 12 months, and more than 12 months. The total of 308 faecal samples were taken from 100 farmers. Examination of samples were made by sucrose flotation (Sheater's) and Ziehl Neelsen method on 400 magnifition. Interviewed were conducted to figure out of farm management. Furthermore, all variables were tested by logistic regression models to determine the risk factors associated with

Cryptosporidium spp.infection.

Prevalence of cryptosporidiosis in two location dairy farms in district of Bogor was 21.1% (CI 95%, 16.5%-25.6%) with the highest prevalence in cattle aged less than 6 months, 29% (CI 95%; 26.8%-31.7% ). Meanwhile, cattle aged less than 6 months was the age group has a value of Odds Ratio 2.7 (CI 95%; 1.5-5.5) compared than other age groups. Cryptosporidium oocysts abundance in general was still in the low range (less than 5 oocysts per field of view). However, based on that condition, animals and humans potentially infected by

Cryptosporidium oocysts from feces of infected cows, one of them due to sewage farms directly channeled into the river or to the plantation (planting grass fields). Because the community was still used river water for washing, bathing and even for drinking water. Therefore, prevention and control of infection

Cryptosporidium needs to be done to reduce the potential of infection to humans and calf mortality.

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

KAJIAN PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

KRIPTOSPORIDIOSIS PADA PETERNAKAN SAPI PERAH

DI KABUPATEN BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)

Judul Tesis : Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor

Nama : Arifin Budiman Nugraha NIM : B252120041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS Ketua

Dr Ir Etih Sudarnika, MSi Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Januari 2015 (tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:

(tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai April 2014 ini ialah kriptosporidiosis, dengan judul Kajian Prevalensi dan Faktor Risiko Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Drh Umi Cahyaningsih, MS dan Dr Ir Etih Sudarnika, M.Si selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran tenaga serta motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis ucapkan juga terimakasih kepada Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PS PEK), Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS dan staf pengajar PS PEK (Prof Singgih, Dr FX Koesharto, Dr Drh Fadjar Satrija, MSc., Dr Drh Yusuf Ridwan M.Si., Dr Drh Elok Budi Retnani, MS., Dr Drh Risa Tiuria MS., Dr Drh Susi Soviana, MSi., Dr Drh Dwi Jayanti Gunandini, M.Si., dan Dr Drh Ahmad Arif Amien) serta staf tenaga kependidikan lainnya yang telah membantu proses pendidikan dan memberikan dukungan moril.

Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Asep dan Bapak Harisman dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Bapak Heru beserta staff Koperasi Unit Desa (KUD) Giri Tani, Cisarua Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data, serta teman-teman Pascasarjana PS PEK. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

3 METODE PENELITIAN 7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Lokasi Penelitian 9

Karakteristik Responden 10

Manajemen Peternakan 11

Higiene Personal dan Sanitasi 13

Riwayat Kesehatan dan Pengobatan Ternak 14

Prevalensi Kriptosporidiosis 16

Kelimpahan Ookista 17

Faktor-Faktor yang Berisiko terhadap Kejadian Kriptosporidiosis 19

5 SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 22

(14)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi dan taksonomi Cryptosporidium spp. 4 2 Karakteristik responden peternak sapi perah di Kabupaten Bogor 10 3 Sistim manajemen peternakan sapi perah terkait dengan infeksi

Cryptosporidium spp.di Kabupaten Bogor

11 4 Higiene personal peternak dan sanitasi kandang pada peternakan sapi

perah di Kabupaten Bogor

13 5 Riwayat kesehatan dan pengobatan pada ternak diare 14 6 Prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan KUNAK dan Cisarua di

Kabupaten Bogor

16 7 Prevalensi kriptosporidiosis berdasarkan tingkat umur pada peternakan

sapi perah di Kabupaten Bogor

17 8 Kelimpahan ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Ziehl

Neelsen berdasarkan tingkat umur

17 9 Analisis faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis 19

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup Cryptosporidium spp. 4

2 Ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Ziehl Neelsen 18

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cryptosporidium adalah protozoa dari filum Apikompleksa yang tersebar luas di dunia. Protozoa ini dapat menginfeksi sel saluran pencernaan, sehingga menyebabkan diare dengan gejala ringan sampai berat (Zu et al. 1992; Vitovec dan Koudela 1992; Clark dan Sears 1996). Cryptosporidium merupakan parasit yang bersifat zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Penularan kriptosporidiosis melalui air minum, makanan dan lingkungan yang terkontaminasi oleh ookista. Sumber kontaminasi berasal dari limbah peternakan, satwa liar, manusia, dan limbah pertanian. Ramirez et al.

(2004) melaporkan bahwa ookista yang berada di lingkungan dapat bertahan pada kondisi kering maupun basah. Fayer dan Nerad (1996) mengatakan bahwa ookista dapat bertahan selama berbulan-bulan di lingkungan pada temperatur kamar. Selain itu, ookista Cryptosporidium juga tahan terhadap paparan klorin dan kloramin yang digunakan sebagai desinfektan (Ruffel et al. 2000).

Wabah terbesar di dunia dilaporkan terjadi di Milwaukee, Wisconsin Amerika Serikat pada tahun 1993. Wabah terjadi akibat dari fasilitas air minum yang terkontaminasi oleh Cryptosporidium, sehingga menyebabkan lebih dari 400 000 orang sakit dan lebih dari 100 orang meninggal (MacKenzie et al. 1994). Selain itu, pada Agustus 2005 di Jepang juga terjadi wabah kriptosporidiosis di pusat olahraga Hotel Nagano. Sebanyak 151 dari 255 peserta pelatihan renang sakit dengan gejala diare. Kemudian, 30 dari 31 orang pasien diperiksa ditemukan ookista dari Cryptosporidium parvum (Yokoi et al. 2005). Sementara itu, wabah juga pernah terjadi melalui air yang telah menerapkan klorinasi, filtrasi dan ozonisasi (Kozwich et al. 2000).

Sampai saat ini telah teridentifikasi sebanyak 19 spesies Cryptosporidium

yakni 13 spesies berasal dari mamalia, 3 dari burung, 2 dari reptil, dan 1 dari amfibi (Fayer 2010). Delapan spesies dari Cryptosporidium teridentifikasi dapat menginfeksi manusia dan dua diantaranya berasal dari sapi (C. parvum dan C. andersoni). Berdasarkan studi molekular terdapat empat spesies dan satu genotif dari Cryptosporidium yang dapat menginfeksi sapi (C. parvum, C. bovis, C. andersoni, dan C deer-like genotype) (Feng et al. 2007). Menurut Leoni et al.

(2006).C. parvum diketahui menginfeksi manusia dan bersifat zoonosis

Cryptosporidium selain zoonosis juga menimbulkan kerugian secara ekonomi di bidang peternakan khususnya sapi perah. Infeksi Cryptosporidium

(16)

2

Prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada sapi berkisar antara 20%-50%. Kajian secara epidemiologi mengenai prevalensi dan faktor risiko kejadian kriptosporidiosis perlu diketahui, sehingga dapat menurunkan kejadian kriptosporidiosis.

Perumusan Masalah

Kriptosporidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa Cryptosporidium spp. Parasit ini merupakan parasit yang bersifat zoonosis. Kriptosporidiosis di beberapa negara telah menimbulkan wabah pada manusia yang menimbulkan kesakitan dan kematian. Walaupun demikian, kriptosporidiosis di negara berkembang masih termasuk dalam neglected diseases

atau penyakit yang terabaikan. Kriptosporidiosis selain bersifat zoonosis juga menimbulkan kerugian ekonomi, khususnya di bidang peternakan. Berdasarkan beberapa hasil kajian, prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada peternakan sapi berkisar antara 20%-50%. Kajian kriptosporidiosis secara epidemiologi sampai saat ini di Indonesia hanya terdapat dua kajian (Artama 2005 dan Ananta 2014). Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian prevalensi dan faktor risiko kriptosporidiosis pada sapi perah di Kabupaten Bogor.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga prevalensi kejadian kriptosporidiosis, membandingkan tingkat infeksi pada tingkat umur yang berbeda, serta. menduga faktor risiko terhadap infeksi Cryptosporidium spp. pada peternakan sapi perahdi Kabupaten Bogor.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keberadaan kriptosporidiosis pada sapi perah yang dapat menular ke manusia, serta memberikan gambaran epidemiologi dan faktor risiko terhadap infeksi Cryptosporidium spp.

Ruang Lingkup Penelitian

(17)

3

1

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah

Cryptosporidium pertama kali ditemukan oleh Tyzzer pada tahun 1907, tetapi pada saat itu masih tidak mempunyai kepentingan dalam bidang kesehatan manusia sampai kriptosporidosis pada manusia dilaporkan pada tahun 1976 (Fayer et al. 1997). Cryptosporidium pertama kali diketahui sebagai waterborne pathogen pada saat terjadi wabah pada manusia yaitu lebih dari 2000 orang terkena kriptosporidiosis di Braun Station, Texas tahun 1994 (Graczyk et al.

1998). Sejak saat itu, wabah yang terjadi pada satu juta lebih manusia telah dilaporkan di Amerika bagian Utara terjadi di Milwaukee, Wisconsin pada tahun 1993.

Taksonomi

Cryptosporidium merupakan protozoa yang termasuk ke dalam filum Apikompleksa, merupakan parasit yang bersifat obligat selular, menyerang sel saluran pencernaan (Fayer et al. 2000). Parasit ini mempunyai karakteristik dengan mempunyai organel khusus di bagian ujung yang digunakan untuk melakukan penetrasi ke sel inang.

Tabel 1 Klasifikasi dan taksonomi Cryptosporidium spp

Klasifikasi Karakter secara biologi

Filum : Apikomplexa Memiliki struktur bagian ujung yang kompleks (apical complex), terdiri atas cincin polar, roptri-roptri (rhoptries) mikronem-mikronem, konoid, dan mikrotubul-mikrotubul subpellikular yang terdapat pada stadium tertentu; nukleus vesikuler; tidak mempunyai silia, seksualitas bersifat singami; semua spesies bersifat parasitik.,

Kelas : Sporozoasida Mempunyai konoid membentuk kerucut, reproduksi seksual, ookista berisi sporozoit yang infekstif (dihasilkan dari tahapan sporogoni), bergerak dengan cara cambukan flagela, bersifat homoxenous dan heteroxinous

Ordo : Eucoccidiorida Tahap merogoni terjadi di hewan vertebrata Famili : Cryptosporidiidae Perkembangan terjadi di bawah membran

permukaan sel inang, ookista tanpa disertai adanya sporokista, mengandung 4 sporozoit, mikrogamet tidak memiliki flagella, hidup secara homoxenous

(18)

4

Cryptosporidium mempunyai 19 spesies yang diberi nama berdasarkan pada asal inangnya, morfologi, predileksi inang, dan tempat infeksinya, tetapi, hanya 13 spesies yang dinyatakan valid oleh investigator di lapangan. Cryptosporidium parvum sering dilaporkan pada berbagai hewan mamalia termasuk juga manusia. Ookista Cryptosporidium berbentuk bulat, dan berdiameter sekitar 4-6µm. Ookista berdinding tebal dikeluarkan oleh hewan terinfeksi yang tercampur dengan feses. Cryptosporidium mempunyai masa prepaten sekitar 4 hari. Masa prepaten adalah waktu mulai masuknya ookista pada induk semang sampai pertama kalinya ookista keluar pada feses. Masa paten adalah waktu ookista berada pada feses. Masa patennya adalah 6 sampai 8 hari, tetapi masa paten tersebut akan lebih lama pada penderita imunodefisiensi.

Siklus Hidup

Siklus hidup dari Cryptosporidium spp. dimulai dengan tertelannya ookista masuk ke saluran pencernaan bagian atas dan mengalami ekskistasi untuk melepaskan sporozoit. Sporozoit dapat mempenetrasi sel epitel saluran pencernaan serta membentuk vakuola parasitoporus, kemudian dalam vakuola ini berkembang menjadi tropozoit. Fase tropozoit merupakan fase perkembangan aseksual (pembelahan sel secara mitosis), lalu mengalami perkembangan aseksual menjadi skizon yang di dalamnya mengandung merozoit.

Selanjutnya, skizon pecah dan melepaskan merozoit I dan II. Pada tahap merogoni II, merozoit berkembang menjadi mikrogamet (jantan) dan makrogamet (betina). Fertilisasi akan terjadi antara mikrogamet dan makrogamet (tahap seksual) berkembang menjadi zigot. Zigot tersebut berdiferensiasi menjadi ookista yang di dalamnya mengandung 4 sporozoit tanpa sporokista.

(19)

5 Ookista yang dihasilkan ada dua tipe yakni ookista yang berdinding tebal dan ookista berdinding tipis. Ookista berdinding tipis dihasilkan sebanyak 20% dan melakukan autoinfeksi, sedangkan ookista berdinding tebal sebanyak 80% dikeluarkan ke lingkungan bersama feses, sehingga dapat menginfeksi inang yang baru (Fayer dan Ungar 1986).

Transmisi

Transmisi Cryptosporidium spp. melalui air, makanan dan lingkungan yang terkontaminasi oleh ookista yang berasal dari individu yang terinfeksi. Pemeliharaan dan pemberian pakan dalam satu area antara induk sapi dan pedet dapat menjadi salah satu transmisi dalam penyebaran kriptosporidiosis. Sumber utama penularan Cryptosporidium spp. berasal dari suplai air yang terkontaminasi ookista.

Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi

Kriptosporidiosis pada hewan ruminansia umumnya terjadi pada hewan berumur muda (pedet), terutama beberapa hari setelah kelahiran sampai beberapa bulan. Infeksi pada pedet sapi perah sering terdeteksi melalui pemeriksaan feses antara umur 8 sampai 15 hari, sedangkan untuk pedet sapi potong terjadi antara umur 1 sampai 2 bulan. Infeksi pada anak domba dan kambing umumnya terjadi pada umur di bawah 1 bulan. Infeksi dapat menyebar antara hewan dengan hewan melalui fecal-oral, terjadi pada hewan yang dikandangkan dengan kondisi kandang yang sangat padat. Selain itu, kontaminasi dari ambing dan suplai air juga menjadi salah satu rute terjadinya infeksi, yaitu telah dilaporkan terjadi

outbreak kriptosporidiosis akibat meminum susu yang tidak dipasteurisasi. Jumlah ookista Cryptosporidium spp. yang dikeluarkan bersama feses dapat mengetahui tingkat pencemaran lingkungan akibat parasit tersebut. Hal tersebut diduga terjadi karena terdapat sapi yang dipelihara di dekat pinggiran sungai, sehingga berpotensi mengkontaminasi air. Pada musim kelahiran anak sapi sangat berasosiasi dengan terjadinya wabahkriptosporidiosis yang dapat disebabkan oleh penularan dari anak sapi ke sapi dewasa. Stress dan kondisi lingkungan yang buruk dapat meningkatkan terjadinya kejadian kriptosporidiosis ini. Ookista

Cryptosporidium spp. resisten terhadap kondisi lingkungan yang kurang baik dan dapat tersimpan dengan baik pada kondisi dingin dan lingkungan yang basah.

Kriptosporidiosis pada peternakan sapi umumnya terjadi pada hewan berumur 1 sampai 30 hari, namun pada sapi dewasa juga dapat terinfeksi Cryptosporidium spp. Selain faktor umur, pengelolaan manajemen peternakan juga mempunyai peranan terhadap kejadian kriptosporidiosis di peternakan sapi. Faktor risiko lainnya yang dapat menyebabkan meningkatnya kejadian kriptosporidiosis di peternakan adalah penggunaan alat-alat yang sama antar kandang (Hwan et al. 1996). Peternakan dengan penyediaan air yang baik seperti dilakukan klorinasi dan filtrasi pada air sebelum air tersebut digunakan, sehingga dapat mengurangi terjadinya kriptosporidiosis.

(20)

6

Prevalensi Kriptosporidiosis di Dunia

Kriptosporidiosis dilaporkan mempunyai nilai prevalensi cukup tinggi di negara Amerika dan Afrika. Hasil studi prevalensi terhadap kejadian kriptosporidiosis bervariasi antara 20% sampai dengan 50%. Sejumlah kajian telah dilakukan bahwa tingkat prevalensi terhadap infeksi Cryptosporidium spp di Amerika Serikat mencapai 56%, di Kanada mencapai angka 88.7% pada pedet (Faubert dan Litvinsky 2000).

Pengendalian

Ookista berdinding tebal yang dikeluarkan bersama feses ke lingkungan sangat sulit dikendalikan dan bersifat resisten terhadap desinfektan. Ookista dapat bertahan selama beberapa bulan di atas tanah dan lebih dari satu tahun di dalam air dengan turbiditas yang rendah (Fayer 2004). Daya infeksi ookista akan menurun jika ookista dibekukan, heat shock, terpapar air mendidih, dan dipanaskan pada suhu 60 ºC selama 5 sampai 10 menit. Secara umum, paparan suhu rendah akan menurunkan daya infeksi ookista Cryptosporidium (-70 ºC selama 1 jam dan -15 ºC selama 168 jam) (Fayer dan Nerad 1996) dan diinkubasi selama 18 hari pada suhu -22º C (Robertson et al. 2000). Selain itu, Harp et al.

(1996) melaporkan bahwa ookista yang terdapat di dalam air dan susu setelah dilakukan pemanasan pada suhu 71.7º C selama 5-15 detik dapat menurunkan daya infeksi. Sementara itu, Fayer et al. (2000) melaporkan bahwa feses yang mengandung ookista jika dilakukan pengeringan, maka daya infeksi ookista tersebut akan menurun. Untuk mengendalikan kriptosporidiosis pada manusia dengan membatasi akses manusia ke wilayah peternakan, membatasi perdagangan hewan dan mengawasi sanitasi lingkungan perkandangan (Ramirez et al. 2004). Penggunaan desinfektan ookista dapat diinaktivasi menggunakan larutan ammonia 5% (Campbell et al. 1982). Menurut Ruffel et al. (2000), ookista Cryptosporidium

spp. dapat diinaktivasi menggunakan klorin dioksida.

Faktor Risiko terhadap Kriptosporidiosis pada Sapi

(21)

7

3 METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan April tahun 2014. Feses diambil dari dua peternakan sapi perah, yaitu Peternakan Kelompok Usaha Ternak (KUNAK), Cibungbulang dan kelompok peternak sapi perah Cisarua yang terletak di Kabupaten Bogor. Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB.

Metode Penarikan Contoh

Contoh diambil dari dua wilayah, yaitu KUNAK dan kelompok peternak Cisarua. Satuan penarikan contoh dari penelitian ini adalah sapi perah. Jumlah populasi sapi perah dari kedua peternakan tersebut adalah 2500 ekor sapi, terdiri atas 1500 populasi di KUNAK dan 1000 populasi di peternakan Cisarua. Besaran sampel didapat dengan menggunakan tingkat kepercayaan sebesar 95%, prevalensi dugaan 50%, dan tingkat kesalahan sebesar 5%, sehingga didapat jumlah ukuran sampel sebanyak 333 sampel. Namun, pada penelitian ini sampel yang didapat sebesar 308. Komposisi sampel dari setiap peternak terdiri atas sapi yang berumur kurang dari 6 bulan, 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan dan di dapat dari 100 orang peternak. Rumus ukuran contoh untuk menduga prevalensi penyakit (Thrusfield 2005):

Keterangan: : ukuran contoh : prevalensi dugaan :

: tingkat kesalahan

Kuisioner

(22)

8

Koleksi Sampel Feses

Feses diambil secara perektal dan dimasukan ke dalam plastik. Feses tersebut diidentifikasi berdasarkan tanggal pengambilan, nama peternak, umur, jenis kelamin, dan nomor ternak. Feses dimasukan ke dalam cool box selama perjalanan dan disimpan di dalam pendingin pada suhu 4 sampai 6 °C sampai feses tersebut akan dilakukan pemeriksaan.

Koleksi Ookista Cryptosporidium spp.

Koleksi ookista Cryptosporidium spp. dilakukan dengan menimbang feses sebanyak 10 gram, ditambah dengan aquades, dihomogenkan dan dilakukan penyaringan terlebih dahulu, selanjutnya di sentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Hal tersebut bertujuan untuk membersihkan feses dari kotoran atau serat yang tercampur di dalamnya. Supernatan kemudian dibuang dan bagian sedimennya ditambahkan dengan larutan gula Sheater’s, kemudian dihomogenkan dan disentrifus 10 menit; 1500 rpm. Selanjutnya sepertiga bagian atas dari hasil sentrifus tersebut diambil menggunakan pipet dan dipindahkan ke tabung sentrifus yang baru, kemudian ditambahkan aquades setelah itu disentrifus (10 menit; 1500 rpm). Sedimen hasil sentrifus ke-2 dikoleksi ke dalam tabung kecil kemudian dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali dan dikonfirmasi dengan perbesaran 1000 kali.

Pewarnaan Ziehl Neelsen

Pewarnaan Ziehl Neelsen dilakukan untuk mengetahui dan mewarnai ookista Cryptosporidium spp. Pewarnaan dengan menggunakan metode Ziehl Neelsen saat ini masih menjadi rekomendasi utama (Gold standard) untuk melakukan pemeriksaan terhadap ookista Cryptosporidium spp. Feses yang positif mengandung ookista Cryptosporidium spp. diambil dengan menggunakan pipet kemudian diteteskan di atas gelas objek, dikeringkan selama satu malam pada suhu kamar. Kemudian difiksasi dengan melewatkan di atas api Bunsen (tidak sampai mendidih). Selanjutnya, di teteskan larutan Ziehl Neelsen A, dan dilewatkan di atas api bunsen (tidak sampai mendidih atau terlihat adanya uap) selama 5-10 menit lalu dicuci dan dikeringkan. Setelah itu diteteskan larutan Ziehl Neelsen B sampai pewarnaan terlihat pucat (pink), kemudian dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya, diteteskan larutan Ziehl Neelsen C sebanyak 2 tetes selama (2-3 menit) setelah itu dicuci dan dikeringkan. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali .Sampel yang mengandung

(23)

9

Kelimpahan Ookista

Kelimpahan ookista dapat dihitung dengan melakukan pengamatan pada feses yang sudah di warnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali untuk memastikan bentuk ookista dan 400 kali untuk menghitung jumlah kelimpahan ookista. Kemudian dihitung nilai rata-rata ookista pada setiap 10 lapang pandang (+1= kurang dari 5 ookista per lapang pandang, +2 = 5 sampai 20 ookista per lapang pandang, dan +3 = lebih dari 20 ookista per lapang pandang) (Banda et al. 2009).

Analisis Data

Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor risiko dengan infeksi

Cryptosporidium spp. pada setiap tingkatan umur digunakan analisis regresi logistik. Sedangkan, untuk menduga prevalensi Cryptosporidium spp. dan selang kepercayaannya, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Keterangan: :

: jumlah feses positif : ukuran contoh

Z α/2 : nilai normal baku pada α/2, Z 0,025=1,96

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Kecamatan Cibungbulang dan peternakan Koperasi Unit Desa (KUD) Kelompok Giri Tani di Kecamatan Cisarua. Kedua peternakan tersebut merupakan peternakan berbasis peternakan rakyat. Pada umumnya peternakan sapi di kedua wilayah tersebut merupakan peternakan berskala kecil. Jumlah sapi yang dipelihara sebanyak lima sampai sepuluh ekor per peternak.

Wilayah KUNAK meliputi Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang dan Desa Pasarean, Kecamatan Pamijahan. Total luas wilayah pengembangan KUNAK adalah 140 ha. Topografi wilayah KUNAK ialah bergelombang sampai berbukit dan berada pada ketinggian 600 sampai 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Suhu udara di daerah tersebut berkisar 20 °C sampai 28 °C dan curah hujan sebesar 2000 mm per tahun.

(24)

10

terbagi dalam lima kelompok peternak, diantaranya adalah kelompok Baru Tegal, Baru Sireum, Bina Warga, Tirta Kencana dan Mekarjaya. Topografi wilayah peternakan tersebut berada pada ketinggian 900 sampai 1800 mdpl dengan suhu rata-rata berkisar 16 °C sampai 24 °C.

Karakteristik Responden

Data karakteristik responden diambil dari hasil wawancara kuisioner secara langsung dengan 100 peternak. Data karakteristik responden meliputi status reponden, jenis kelamin, umur, pendidikan serta lama beternak (Tabel 2).

Hasil wawancara kuisioner memperlihatkan bahwa sebanyak 88% responden yang diwawancarai berstatus pemilik ternak, sedangkan 12% lainnya adalah pekerja. Peternak responden terdiri atas 91% responden pria dan 9% responden perempuan. Menurut undang-undang tenaga kerja No 14 Tahun 1969 disebutkan bahwa umur kurang atau sama dengan 14 tahun termasuk belum produktif, umur 15 sampai 54 tahun termasuk produktif dan lebih dari 55 tahun tidak produktif. Adapun terkait dengan umur responden, sebanyak 63% responden berumur antara 20 sampai dengan 45 tahun, sedangkan 27% lainnya berumur lebih dari 45 tahun. Melihat komposisi umur tersebut dapat dikatakan bahwa umur responden peternak di Kabupaten Bogor termasuk ke dalam umur produktif.

Banyaknya peternak umur produktif di peternakan diharapkan akan berpengaruh terhadap pengembangan usaha sapi perah.

Tingkat pendidikan berkaitan dengan tingkat kemampuan seseorang dalam memahami sesuatu, sehingga makin tinggi tingkat pendidikan cenderung akan lebih memahami dan menganalisis situasi serta kondisi yang terjadi di sekitarnya. Tingkat pendidikan responden peternak cukup beragam, yaitu pada tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah

Tabel 2 Karakteristik responden peternak sapi perah di Kabupaten Bogor

No Uraian Jumlah

Sekolah Menengah Pertama (SMP) 37 37

(25)

11 Menengah Atas (SMA) dengan persentase masing-masing 21%, 37% dan 42%. Selanjutnya seluruh peternak menyatakan bahwa telah beternak sapi perah selama lebih dari 5 tahun. Oleh karena itu, dengan usia produktif dan pengalaman rata-rata di atas 5 tahun dapat memberikan gambaran bahwa responden peternak di peternakan Kabupaten Bogor cukup baik dalam memelihara sapi perah.

Manajemen Peternakan

Manajemen peternakan merupakan hal yang sangat penting dalam beternak. Manajemen peternakan yang diamati pada penelitian ini meliputi jenis alas kandang yang digunakan, frekuensi membersihkan kandang, cara membersihkan kandang, sumber air yang digunakan, jarak sumber air, dan cara menyimpan pakan (Tabel 3).

Alas kandang yang digunakan oleh peternak ada 2 jenis yaitu berbahan karet dan semen. Alas kandang berbahan semen lebih banyak digunakan oleh responden yaitu sebanyak 54%. Alas kandang semen bersifat masif dan mudah dalam membersihkannya, sehingga tidak terjadi perkembangan mikroorganisme patogen pada alas kandang.

Tabel 3 Sistim manajemen peternakan sapi perah terkait dengan infeksi

Cryptosporidium spp. di Kabupaten Bogor

No Uraian Jumlah

4 Asal sumber air terdekat

Sungai 41 41

Mata Air 59 59

5 Jarak sumber air ke kandang

< 5 m 73 73

> 5 m 27 27

6 Sumber air difiltrasi dan klorinasi

Ya 27 27

Tidak 73 73

7 Cara menyimpan pakan

Di tempat pakan khusus 75 75

(26)

12

Penggunaan alas kandang berbahan semen dan karet merupakan pemilihan alas kandang yang baik, karena bersifat masif dan mudah dalam membersihkan dibandingkan dengan tanah. Kuczynska et al. (2005) melakukan studi mengenai tingkat perlekatan ookista pada tanah yang tercampur di dalam manur. Berdasarkan studi tersebut ookista yang tercampur dalam manur lebih mudah melekat pada partikel tanah, dibandingkan dengan ookista yang dicampurkan langsung dengan tanah. Manur merupakan campuran dari berbagai macam komponen yakni, terdiri atas urin, biomassa mikrobial, dan lendir saluran pencernaan. Lendir saluran pencernaan merupakan salah satu komponen yang dapat meningkatkan penempelan ookista pada partikel tanah. Oleh karena itu, penggunaan tanah sebagai alas kandang tidak disarankan. Pemilihan alas kandang yang baik sangat penting terhadap kesehatan ternak sapi perah.

Frekuensi membersihkan kandang di peternakan Kabupaten Bogor hampir seluruh responden (97%) membersihkan kandang sebanyak sehari dua kali, yakni dengan cara menyapu atau menyekop kotoran kemudian dibilas dengan air. Silverlas et al. (2009) melaporkan bahwa semakin sering membersihkan kandang maka akan menurunkan kejadian kriptosporidiosis pada sapi

Ada dua sumber air yang digunakan oleh respoden untuk kebutuhan beternak diantaranya adalah sumber air yang berasal dari air sungai dan mata air. Penggunaan kedua sumber air tersebut hampir merata, namun responden yang menggunakan mata air (59%) lebih banyak dibandingkan dengan yang menggunakan air sungai (41%). Penggunaan air sungai sebagai kebutuhan beternak sangatlah berisiko terhadap ternak sapi. Karena salah satu penularan ookista Cryptosporidium adalah melalui air. Diketahui bahwa air sungai merupakan kumpulan sisa pembuangan air dari berbagai tempat, salah satunya air dari limbah peternakan sapi. Selain itu, sebanyak 73% peternak menyatakan bahwa sumber air yang digunakan tidak pernah dilakukan pemeriksaan secara berkala ataupun dilakukan filtrasi dan klorinasi, karena sumber air yang digunakan dialirkan langsung ke dalam bak penampungan. Oleh karena itu, disarankan pada peternak salah satu pencegahan terhadap kemungkinan adanya kontaminasi ookista pada sumber air yang digunakan para peternak melakukan pemeriksaan air untuk memeriksa ookista Cryptosporidium spp. Korich et al. (1990) melaporkan bahwa penggunaan ozonisasi dan klorindioksida pada air mampu menurunkan viabilitas dan infektifitas dari ookista Cryptosporidium.

Selain itu, penggunaan desinfektan secara kombinasi jauh lebih baik dibandingkan penggunaan desinfektan tanpa kombinasi.

(27)

13

Higiene Personal dan Sanitasi

Higiene personal dan sanitasi kandang merupakan hal yang penting dalam tata laksana kandang di peternakan sapi perah. Data higiene personal dalam penelitian ini meliputi frekuensi mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah dan cara mencuci tangan.. Untuk komponen sanitasi diantaranya adalah frekuensi dan cara memandikan sapi, kebersihan ambing, serta lokasi pembuangan limbah feses dan sisa pakan (Tabel 4).

Higiene personal adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Hasil wawancara mengenai higiene personal menyatakan bahwa seluruh responden mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah hanya menggunakan air saja. Berdasarkan hal tersebut peternak responden belum mengetahui higiene personal yang baik, karena hanya menggunakan air tanpa sabun.

Higiene personal sangat penting diperhatikan pada peternakan sapi perah, karena susu merupakan komoditas utama, sehingga air susu yang dihasilkan harus melalui proses higiene personal yang baik, untuk menghindarkan cemaran mikroorganisme dalam air susu. Oleh karena itu, prosedur pembersihan kotoran dari ambing sebelum pemerahan dapat mengurangi pencemaran patogen untuk menyediakan produk yang aman. Menurut Baylis (2009) susu segar dapat menjadi sumber foodborne pathogen, sehingga menjadi wabah foodborne disease yang terkait dengan konsumsi susu mentah, susu yang tidak dipanaskan dengan baik, atau susu yang tercemar kembali setelah pemanasan.

Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan kepada pengawasan terhadap faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan manusia. Tabel 4 Higiene personal peternak dan sanitasi kandang pada peternakan sapi

perah di Kabupaten Bogor 1

No Uraian Jumlah

Orang (%)

1 Cara mencuci tangan sebelum memerah

Pakai air saja 100 100

2 Memandikan sapi

Sebelum memerah susu 100 100

3 Cara memandikan sapi

6 Lokasi pembuangan sisa pakan

Di sekitar kandang 96 96

(28)

14

Terkait sanitasi kandang seluruh responden di peternakan Kabupaten Bogor memandikan sapi sebanyak dua kali sehari dengan cara disikat dan dibilas dengan air. Selain itu, sebanyak 96% responden juga menjaga kebersihan ambing sapinya dengan cara dilap dan dibilas dengan air saja.

Pembuangan limbah di peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor pada umumnya belum dilaksanakan dengan baik, karena limbah tidak dibuang pada saluran khusus. Hal tersebut terlihat pada hasil wawancara responden yakni terdapat beberapa lokasi pembuangan limbah (feses dan sisa pakan) yaitu dialirkan ke sungai, area perkebunan dan dialirkan pada saluran pembuangan khusus (biogas). Berdasarkan hasil pengamatan di wilayah peternakan Cisarua, sebagian besar para peternak membuang limbah peternakan (feses) langsung dialirkan ke sungai. Oleh karena itu, air sungai yang digunakan kembali oleh masyarakat di sekitar peternakan sangat berisiko terinfeksi oleh Cryptosporidium. Sischo et al. (2000) melaporkan bahwa pengelolaan air permukaan yang dialiri kotoran ternak merupakan salah satu risiko potensial untuk menyebarkan ookista

Cryptosporidium. Yoshinori et al. (2000) melaporkan bahwa 6 dari 10 sampel air sungai yang berada di sepanjang peternakan sapi perah di Hokaido positif mengandung ookista Cryptosporidium. Selain itu, Artama (2005) melaporkan bahwa, air sungai yang digunakan untuk memandikan Sapi Bali di Kabupaten Karang Asem 100% mengandung ookista Cryptosporidium. Namun, dalam penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan terhadap ookista Cryptosporidium pada air sungai. Pengelolaan dan pembuangan limbah tidak dilakukan dengan baik akan menjadi sumber pencemaran lingkungan. Ada 69% responden yang membuang limbah langsung dialirkan ke sungai. Sementara itu, 96% responden membuang sisa pakan di sekitar kandang. Pembuangan limbah peternakan secara langsung ke areal kebun sangat berisiko terhadap penyebaran ookista. Area kebun di wilayah KUNAK merupakan wilayah penanaman rumput untuk pakan ternak sapi perah. Oleh karena itu, apabila limbah peternakan dialirkan ke areal kebun, maka berisiko terjadi reinfeksi terhadap ternak, selain itu, menjadi sangat berisiko bagi peternak terinfeksi ookista.

Berdasarkan kondisi tersebut bahwa sangat perlu upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran serta kepedulian peternak terhadap pentingnya memperhatikan higiene personal serta sanitasi di peternakan. Karena apabila pada peternakan tersebut terdapat sumber kontaminan mikroorganisme yang bersifat zoonosis maka sangat membahayakan dan merugikan ternak dan peternaknya itu sendiri.

Riwayat Kesehatan dan Pengobatan Ternak

(29)

15 Dari ketiga kategori umur tersebut paling banyak terjadi pada sapi berumur antara 6 sampai 12 bulan (36%) Kemudian, 73% responden menyatakan bahwa sapinya pernah mengalami kematian akibat diare. Penyebab diare pada sapi, diantaranya adalah bakteri, virus, dan parasit.

Naciri et al. (1999) melaporkan bahwa sapi dapat terinfeksi mikroorganisme yang menyebabkan diare berumur 4 sampai 10 hari diantaranya 6.1% E.coli, 14.3% rotavirus, 6.8% coronavirus, 0.3% Salmonella dan lebih dari 50% disebabkan oleh ookista dari Cryptosporidium parvum. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pemeriksaan terhadap ternak yang terkena diare sehingga diketahui penyebab utama terjadinya diare. Diare pada anak sapi dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan informasi responden terdapat beberapa jenis obat yang biasa digunakan untuk mengobati ternak yang mengalami diare, diantaranya sediaan antibiotik (injeksi dan per oral) dan obat tradisional. Adapun obat tradisonal yang diberikan diantaranya adalah daun sirsak, daun papaya dan daun jambu. Tingkat kesembuhan ternak yang telah diobati cukup baik, berdasarkan penelitian 79 responden menyatakan ternaknya sembuh setelah dilakukan pengobatan. Jenis antibiotik yang diberikan pada sapi diare oleh paramedik ataupun inseminator adalah antibiotik yang mengandung sulfadiazine dan trimetropin, namun obat tersebut hanya efektif untuk bakteri gram negatif dan gram positif saja, sehingga pengobatan untuk penyebab diare akibat protozoa tidak efektif.

Peternak dan petugas kesehatan saat ini secara umum tidak mengetahui penyebab diare pada ternak, sehingga pengobatan dilakukan hanya berdasarkan gejala klinis yang terlihat tanpa mengetahui penyebab diare tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemahaman dan pemeriksaan secara rutin mengenai penyebab diare pada ternak yang disebabkan oleh Cryptosporidium, sehingga dengan adanya informasi tersebut pencegahan dan pengobatan yang dilakukan akan lebih baik. Walaupun saat ini belum ada obat yang efektif terhadap infeksi

Tabel 5 Riwayat kesehatan dan pengobatan pada ternak diare

No Uraian Jumlah

Orang (%)

1 Pedet diare

Ya 81 81

Tidak 19 19

2 Umur ternak terkena diare

< 6 bulan 19 19

4 Jenis obat yang diberikan

Antibiotika injeksi 25 25

Antibiotika oral 54 54

(30)

16

Cryptosporidium (Waele et al. 2010). Selain pengobatan terhadap ternak yang terkena diare, juga perlu perbaikan manajemen peternakan.

Prevalensi Kriptosporidiosis

Jumlah sampel feses yang didapat pada penelitian ini adalah sebanyak 308 sampel. Sampel tersebut terdiri atas 136 sampel feses dari sapi berumur kurang dari 6 bulan, 43 sampel (6 sampai 12 bulan) dan 128 sampel (lebih dari 12 bulan). Secara keseluruhan prevalensi kejadian kriptosporidiosis di dua lokasi peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor sebesar 21.1% (Selang Kepercayaan (SK) 95%; 13.1%-21.5%) dengan masing-masing prevalensi pada setiap peternakan adalah 17.3% (SK 95%; 13.1%-21.5%) di KUNAK dan 24.9% (SK 95%; 20%-29.7%) di Cisarua. Data prevalensi kriptosporidiosis pada setiap wilayah tersaji pada Tabel 6.

Menurut Fayer et al. (2000) hasil kajian prevalensi kriptosporidiosis sangat bergantung pada sensitivitas dan spesivitas dari metode pemeriksaan yang digunakan serta umur hewan. Pemeriksaan sampel dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih rendah, dibandingkan dengan pemeriksaan molekular. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu dilakukan kombinasi pemeriksaan secara konvensional dan molekular (Brook et al. 2008).

Sementara itu, prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada kategori umur yang berbeda prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok umur kurang dari 6 bulan yaitu 29% (SK 95%; 26.8%-31.7%). Data prevalensi kriptosporidiosis pada tingkatan umur berbeda tersaji pada Tabel 7.

Sampai saat ini kajian mengenai prevalensi kriptosporidiosis di Indonesia pada sapi potong telah dilaporkan di dua wilayah yakni di Kabupaten Bali sebesar 37.4% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada sapi berumur kurang dari 6 bulan (16%) (Artama 2005), dan di wilayah Jawa Barat dilaporkan dua sampel positif terhadap Cryptosporidium andersoni (Ananta 2014). Sementara itu, kajian prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan

Tabel 6 Prevalensi kriptosporidiosis pada peternakan sapi perah KUNAK dan Cisarua di Kabupaten Bogor

(31)

17

Kejadian diare pada sapi berumur muda telah banyak dilaporkan. Salah satunya disebabkan oleh sistim kekebalan yang belum baik dan infeksi penyakit lainnya diantaranya adalah virus, bakteri, cacing dan protozoa. Cryptosporidium

spp. merupakan salah satu protozoa penyebab diare, namun dengan gejala klinis asimptomatik.

Kelimpahan ookista

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan metode pewarnaan Ziehl Neelsen terdapat 67 sampel feses positif terhadap Cryptosporidium spp., dengan kelimpahan ookista rata-rata kurang dari 5 ookista per lapang pandang dengan perbesaran 400 kali. Sapi berumur kurang dari 6 bulan merupakan kelompok umur tertinggi terinfeksi Cryptosporidium spp. dibandingkan dua kelompok umur lainnya (6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan) (Tabel 8).

Kelimpahan ookista yang terdapat pada feses hanya berkisar kurang dari 5 ookista per lapang pandang, berarti infeksi Cryptosporidium spp. masih rendah. Rendahnya ookista yang terlihat pada pemeriksaan tersebut disebabkan sampel dari hewan sapi yang berumur muda hanya sedikit. Hal tersebut karena sebagian besar peternak menjual sapi berumur muda, sehingga sulit mendapatkan sapi yang berumur kurang dari 1 bulan.

Tabel 7 Prevalensi kriptosporidiosis berdasarkan tingkat umur pada peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor

Umur Prevalensi (%) Selang Kepercayaan (SK) 95%

< 6 bulan (n=136) 29 26.8-31.7

6-12 bulan (n=44) 23 18.3-27.7

> 12 bulan (n=128) 13 12.3-23.7

Prevalensi (n=308) 21.1 16.5-25.6

(32)

18

Walaupun demikian terdeteksinya ookista dapat menjadi sumber informasi bahwa terdapat sapi yang terinfeksi ookista Cryptosporidium, sehingga berpotensi mengkontaminasi lingkungan dan menginfeksi ke manusia dan hewan

Pada pewarnaan Ziehl Neelsen ookista Cryptosporidium spp. terlihat berwarna merah dengan latar belakang biru, karena ookista tersebut tahan terhadap pewarnaan asam. Spesies Cryptosporidium spp. yang terdapat pada sapi adalah C. bovis, C. andersoni, dan C. parvum. C. parvum merupakan jenis yang bersifat zoonosis, sehingga dapat menginfeksi manusia. Menurut Xiao dan Fayer (2008) bahwa selama 20 tahun terakhir sapi merupakan salah satu reservoir terpenting yang berperan untuk penularan Cryptosporidium parvum, namun saat ini secara kajian molekular diindikasikan bahwa sapi dapat terinfeksi oleh 5 jenis

Cryptospoidium spp diantaranya adalah C. parvum, C. bovis, C. andersoni, C. ryane (sebelumnya deer like genotype) dan C. suis. Sementara itu, Fayer et al.

(2006) melaporkan bahwa infeksi secara sporadik pada sapi telah terjadi disebabkan oleh C. felis, C. hominis, C. suis dan C. suis-like genotype serta

Cryptosporidium babi genotype II. Selain itu berdasarkan hasil kajian Shresta et al. (2014) bahwa satu ekor sapi dapat terinfeksi oleh berbagai macam spesies

Cryptosporidium spp.

Ukuran ookista dari Cryptosporidium spp. sangat kecil berkisar antara 4-6 µm (Gambar 2). Menurut Lindsay et al. (2000); Fayer (2005); dan OIE (2008) bahwa ukuran ookista dari Cryptosporidium parvum (5.0 x 4.5 µm)

Cryptosporidium andersoni (7.4 x 5.5 µm), Cryptosporidium bovis (4.9 x 4.6 µm), Cryptosporidium suis (5.1 x 4.1 µm), Cryptosporidium felis (4.5 x 5 µm)

Cryptosporidium hominis (4.5 x 5.5 µm) sehingga berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini cenderung mengarah ke C. parvum, C. bovis, C. suis, dan C. felis,

berdasarkan OIE (2008) bahwa keempat jenis Cryptosporidium tersebut dapat menginfeksi manusia.

Gambar 2 Ookista Cryptosporidium spp. dengan pewarnaan Zieh Neelsen

(33)

19

Faktor-Faktor yang Berisiko terhadap Kejadian Kriptosporidiosis

Analisa faktor risiko dilakukan untuk mengetahui variabel yang berisiko terhadap kejadian kriptosporidiosis. Seluruh variabel diuji dengan analisa bivariat (uji khi-kuadrat) untuk mengetahui kandidat variabel yang berisiko terhadap kejadian kriptosporidiosis. Variabel yang mempunyai p<0.25 merupakan variabel kandidat faktor risiko kejadian kriptosporidiosis. Adapun variabel yang merupakan kandidat tersebut adalah sumber air, diare pada ternak, umur ternak, lama diare, lokasi pembuangan feses, dan jumlah ternak yang dipelihara. Selanjutnya keenam variabel tersebut dilakukan uji regresi logistik berganda untuk mengetahui variabel yang berisiko terhadap kejadian kriptosporidiosis pada sapi. Hasil analisa regresi logistik membuktikan bahwa hanya terdapat satu faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian kriptosporidiosis adalah sapi yang berumur kurang dari enam bulan. Hasil analisa regresi logistik membuktikan bahwa sapi berumur kurang dari 6 bulan mempunyai nilai Odds 2.7 kali lebih besar (SK 95%; 1.5-5.5), serta sapi berumur 6 sampai 12 bulan mempunyai nilai Odds 1.9 kali lebih besar (SK 95%; 0.8-4.8) dibandingkan dengan sapi yang berumur lebih dari 12 bulan, namun hanya sapi berumur kurang dari 6 bulan yang mempunyai hubungan bermakna (p<0.05) terhadap kejadian kriptosporidiosis (Tabel 9).

Menurut Nydam dan Mohammed (2005) terdapat 5 faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis diantaranya adalah kepadatan ternak, jumlah hewan laktasi, keberadaan hewan lain, jarak kandang ke tempat pembuangan limbah dan umur sapi. Umur ternak yang terkena diare pada umumnya terjadi pada ternak yang berumur kurang dari 6 bulan dibandingkan dengan ternak yang berumur 6 sampai 12 bulan dan lebih dari 12 bulan. Sapi yang berumur kurang dari 6 bulan lebih rentan terkena kriptosporidiosis karena sistim kekebalan. Infeksi

Cryptosporidium pada sapi berumur muda dapat terjadi akibat beberapa cara Tabel 9 Analisis faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis pada

peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor

No Variabel Jumlah Kriptosporidiosis OR

(SK 95%) p

(34)

20

diantaranya adalah akibat terinfeksi oleh sapi lain, sanitasi kandang yang kurang baik, pemeliharaan dalam satu kandang dengan sapi berumur lebih tua, alas atau jerami yang tidak dibersihkan secara teratur, serta higiene personal dari peternak yang tidak diperhatikan saat melakukan pemberian susu.

Hal yang paling berperan dalam transmisi tertelannya ookista adalah saat pemberian susu kolostrum ke anak sapi. Peternak sapi di Kabupaten Bogor biasanya memberikan kolostrum di dalam ember dan dibantu dengan tangan untuk merangsang sapi tersebut meminum susu kolostrum, tetapi tidak memperhatikan higiene personal dengan baik misalnya mencuci tangan. Selain itu kebersihan ambing ketika pemerahan harus sangat diperhatikan karena kotoran yang menempel di ambing dapat menjadi sumber kontaminasi. Maldonado et al. (1998) melaporkan bahwa cara pemberian susu ke anak sapi juga berasosiasi terhadap kejadian kriptosporidiosis. Naciri et al. (2011) melaporkan bahwa anak sapi dapat terinfeksi oleh ookista Cryptosporidium adalah satu jam pertama pasca kelahiran akibat kontaminasi dari lingkungan secara oral. Menurut Sun Yin et al. (2012) kontak secara langsung maupun tidak langsung dengan hewan, mencuci tangan setelah memegang hewan, serta meminum susu yang tidak dipasteurisasi merupakan faktor risiko transmisi penularan Cryptosporidium ke manusia maupun hewan.

Peternak sapi di Kabupaten Bogor memelihara beberapa anak sapi di dalam satu kandang, tidak diletakan dalam kandang individu. Hal tersebut sangat berisiko apabila salah satu diantara anak sapi tersebut terkena kriptosporidiosis, maka akan sangat mudah sapi terinfeksi menularkan ke sapi yang lain. Atwill et al. (1999) mengatakan bahwa sapi yang berumur 4 bulan atau kurang mempunyai nilai Odds 13 kali lebih besar dibandingkan dengan sapi yang berumur lebih tua. Telah dilaporkan bahwa prevalensi kriptosporidiosis khususnya spesies

Cryptosporidium parvum pada sapi muda lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada sapi yang lebih tua (12 sampai 24 bulan dan lebih dari 2 tahun). Brook et al.

(2008) melaporkan bahwa sapi berumur antara 8 sampai dengan 21 hari memiliki nilai Odds 5.24 kali lebih besar dibandingkan sapi dewasa. Sementara itu, menurut Maldonado et al. (1998) melaporkan bahwa risiko terinfeksi

Cryptosporidium akan menurun seiring dengan bertambahnya umur sapi. Pada sapi dewasa infeksi nampak tidak begitu terlihat dibandingkan dengan sapi muda, sehingga kriptosporidiosis pada sapi dewasa dapat terjadi secara asimptomatis dan telah dilaporkan mencapai 80% (Nizeyi et al. 2002). Oleh karena itu, karena sistem kekebalan sapi muda belum terbentuk secara sempurna, maka sapi muda lebih berisiko untuk dapat menularkan Cryptosporidium parvum pada manusia, karena diketahui spesies tersebut bersifat zoonotik (Fayer et al. 2006). Oleh karena itu untuk mengetahui hingga tingkat spesies, maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan menggunakan PCR dan DNA sequencing.

(35)

21 sumber kontaminasi lain adalah adanya ternak yang baru masuk di kandang dan sebelumnya mungkin pernah terinfeksi oleh Cryptosporidium spp.

Penggunaan alat-alat yang sama antar kandang dapat menyebabkan risiko kejadian kriptosporidiosis di peternakan (Hwan et al. 1996). Peternakan dengan penyediaan air yang baik dapat menekan terjadinya kriptosporidiosis. Frekuensi serta cara membersihkan tempat pakan dan minum juga dapat menjadi salah satu faktor risiko terhadap kejadian kriptosporidiosis, namun dalam penelitian ini kedua faktor tersebut tidak ada hubungan yang bermakna terhadap kejadian kriptosporidiosis.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi kejadian kriptosporidiosis pada dua lokasi di peternakan sapi perah di Bogor sebesar 21.1% (SK 95%, 16.5%-25.6%) dengan prevalensi tertinggi terjadi pada sapi berumur kurang dari 6 bulan, yakni 29% (SK 95%; 26.8%-31.7%). Sementara itu, ternak yang berumur kurang dari 6 bulan merupakan kelompok umur mempunyai nilai Odds 2.7 kali lebih besar (SK 95%; 1.5-5.5) dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Kelimpahan ookista

Cryptosporidium secara umum masih dalam kisaran rendah (kurang dari 5 ookista per lapang pandang). Meskipun kelimpahan ookista yang diperoleh dari penelitian ini masih dalam kisaran rendah, tetapi memiliki potensi untuk menyebabkan infeksi baik pada manusia maupun hewan, akibat pembuangan limbah peternakan langsung dialirkan ke sungai atau ke areal perkebunan (ladang penanaman rumput). Karena masyarakat sampai saat ini masih menggunakan air sungai untuk mencuci, mandi bahkan untuk air minum, maka pencegahan dan pengendalian akibat dari infeksi Cryptosporidium perlu dilakukan sehingga dapat mengurangi potensi infeksi ke manusia dan kematian pedet.

Saran

(36)

22

DAFTAR PUSTAKA

Ananta MS, Suharno, Hidayat A, Matsubayashi M. 2014. Survey on gastrointestinal parasites and detection of Cryptosporidium spp. on cattle in West Java, Indonesia. AsianPac J Trop Med. 7(3):197-201.

Anderson BC. 1998. Cryptosporidiosis in bovine and human health. J Dairy Sci. 81(11):3036-3041.

Artama IK. 2005. Studi lintas seksional kriptosporidiosis pada sapi bali di Kabupaten Karang Asem Bali [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Atwill ER, Johnson EM, Pereira MG, 1999. Association of herd composition,

stocking rate, and duration of calving season with fecal shedding of

Cryptosporidium parvum oocysts in beef herds. J Am Vet Med Assoc. 215(12):1833–1838.

Banda Z, Rosely AB, Nicholas AM, Grimason, Smith HV. 2009.

Cryptosporidium infection in non-human hosts in Malawi. Onderstepoort Am J Vet Res. 76(4):363–375.

Baylis. 2009. Detection and typing strategies of pathogenic Escheria coli . Int J Food Microbiol. 111(1):1-5.

Brook EJ, Hart CA, French NP, Christley R. 2008. Detection of Cryptosporidium

oocysts in fresh and frozen cattle faeces: comparison three methods. Lett Appl Microbiol. 46:26-31.

Brook EJ, Hart CA, French NP, Christley R. 2008. Prevalence and risk factors for

Cryptosporidium spp. infection in young calves. Vet Parasitol. 152:46-52. Campbell AS, Tzipori G, Hutchison KW, Angus. 1982. Effect of disinfectants on

survival of Cryptosporidium oocysts. Vet Rec. 111:414–415.

Clark DP, Sears CL. 1996. The pathoghenesis of cryptosporidiosis. Parasitol Today. 12(6):221-225.

Faubert GM, Litvinsky. 2000. Natural transmission of Cryptosporidium parvum

between dams and calves on dairy farm. J Parasitol. 82(6):889-892.

Fayer R, Ungar. 1986. Cryptosporidium spp. and cryptosporidiosis. Microbiol Rev. 50(4):458-483.

Fayer R, Nerad T. 1996. Effects of low temperatures on viability of

Cryptosporidium parvum oocysts. Appl Environ Microbiol. 62(4):1431-1433.

Fayer R, U. Morgan, Upton SJ. 2000. Epidemiology of Cryptosporidium: transmission, detection and identification. Int J Parasitol. 30: 1305-1322. Fayer R, Trout JM, Graczyk TK, Lewis EJ. 2000. Prevalence of Cryptosporidium,

Gardia and Eimeria infections in post-weaned and adult cattle on three Maryland farms. Vet Parasitol. 93:103-112.

Fayer R. 2004. Review Cryptosporidium: a water-borne zoonotic parasite. Vet Parasitol. 126:37–56.

Fayer R, Santin M, Trout JM. 2006. Prevalence of Cryptosporidium species and genotype in mature dairy cattle on farms in Eastern United States compared with younger cattle from same location. Vet Parasitol. 145(3-4):260-266. Fayer R. 2010. Taxonomy and species delimitation Cryptosporidium. Exp

(37)

23 Feng Y, Ortega Y, Guesheng H, Das P, Xu M, Zhang X, Fayer R, Gatei W, Cama V, Xiao L. 2007. Wide geographic distribution of Cryptosporidium bovis and the deer-like genotype in bovines. Vet Parasitol.144(1):1-9.

Graczyk TK, Fayer R, Cranfield MR. 1998. Zoonotic transmission of

Cryptosporidium parvum: Implications for waterborne cryptosporidiosis.

Parasitol Today. 13(9):348-351.

Harp JA, Fayer R, Pesch BA, and Jackson GJ. 1996. Effect of pasteurization on infectivity of Cryptosporidium parvum oocysts in water and milk. Appl. ozone, chlorine dioxide, chlorine, and monochloramine on Cryptosporidium parvum oocysts viability. Appl Environ Microbiol. 56(5):1423-1428.

Kozwich D, Kristine AJ, Keli L, Christope AR, Sam W, Roche PA. 2000. Development of novel, rapid integrated Cryptosporidium parvum detection assay. Appl Environ Microbiol. 66(7):2711-2717.

Kuczynska E, Shelton DR, Pachepsky Y. 2005. Effect of bovine manure on

Cryptosporidium parvum oocyst attachment to soil. Appl Environ Microb. 71(10):6394-6397.

Leoni F, Amar C, Nichols G, Diaz SP, Mc Lauchin J. 2006. Genetic analysis of

Cryptosporidium from 2414 humans with diarrhea in England between 1985 and 2000. J Med Micro. 55:703-707.

Levine ND. 1980. A newly revised classification of the protozoa. J Protozool.

27(2):37-58.

MacKenzie WR, Hoxie NJ, Proctor ME, Gradus MS, Blair KA, Peterson DE, Kazmerczak JJ, Addiss DG, Fox KR, Rose JB, Davis JP. 1994. A massive outbreak in Milwaukee of Cryptosporidium infection transmitted through the public water supply. N Engl J Med. 331(3):161–167.

Maldonado CS, Atwill ER, Saltijeral JA, Herrera LC. 1998. Prevalence and risk factors for shedding of Cryptosporidium parvum in holstein fresian dairy calves in Central Mexico. Prev Vet Med. 36(2):95–107.

Mohammed HO, Wade SE, Schaaf S. 1999. Risk factors associated with

Cryptosporidium parvum infection in dairy cattle in southeastern New York State. Vet Parasitol. 83:1-13.

Naciri M, Marie PL, Roselyne M, Pierre P, René C. 1999. Role of

Cryptosporidium parvum as a pathogen in neonatal diarrhea complex in suckling and dairy calves in France. Vet Parasitol. 85(4):245–257.

Naciri M, Mancassola R, Fort G, Danneels B, Verhaeghe J. 2011. Efficacy of amine-based disinfectant KENO COX on the infectivity of Cryptosporidium parvum oocycts. Vet Parasitol.179(1-3):43-49.

Nizeyi JB, Cranfield MR, Graczyk TK. 2002. Cattle near the Bwindi impenetrable National Park, Uganda, as a reservoir of Cryptosporidium parvum and

(38)

24

Nydam DV, Mohammed HO. 2005. Quantitative risk assessment of

Cryptosporidium species infection in dairy calves. J Dairy Sci. 88(11):3932-3943.

Ramirez NE, Ward LA, Sreevatsan S. 2004. A review of the biology and epidemiology of cryptosporidiosis in humans and animals. J Microbes and Infection. 6(8):773-785.

Robertson LJ, Campbell AT, Smith HV. 1992. Survival of Cryptosporidium parvum oocysts under various environmental pressures. Appl. Environ. Microbiol. 58(11):3494-3500.

Rosiléia M, De Quadros, Sandra MT, Marques, Camila R, Amendoeira, Larissa A, De Souza, Paula R, Amendoeira et al. 2006. Comparison detection of

Cryptosporidium oocysts by auramine and Ziehl Neelsen staining methods.

Parasitol Latinoam. 61(3-4):117–120.

Ruffel MK, Rennecker JL, Marinas BJ. 2000. Innactivation of Cryptosporidium parvum oocyst with chlorine dioxide.Wat Res. 34 (4):868-876.

Shrestha R, Alex G,Venkata SR, Dukkipati EJ, Pleydell, Deborah J, Prattley, Nigel P, French. 2014. Infections with multiple Cryptosporidium species and new genetic variants in young dairy calves on a farm located within a drinking water catchment area in New Zealand. Vet Parasitol. 202:287–291. Sirvelas C, Emanuelson U, Kerstin de Verdier, Bjorkman C. 2009. Prevalence and associated management factors of Cryptosporidium shedding in 50 Swedish dairy herds. Prev Vet Med. 90(3-4):242-253.

Sischo WM, Okhuyen PC, Atwill ER, Lanyon LE, George J. 2000.

Cryptosporidiaon dairy farms and the role these farms may have in contaminating surface water supplies in the northeastern United States. Prev Vet Med. 43:253-267.

Sun Yin N, Keith E, Belinda W, David N. Durrheim, Peter D. Massey, Philippe P, Ross K, McKinnon, Kate L, David, Elizabeth B, Una R. 2012. Evidence of

Cryptosporidium transmission between cattle and humans in Northern New South Wales. Exp Parasitol. 130(4):437-41.

Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology 3rd edition. Iowa (US): Blackwell Publishing Company.

[OIE] Organization International of Epizootic (US)

Vitovec J, Koudela B. 1992. Pathogenesis of intestinal cryptosporidiosis in conventional and gnobiotic piglets. Vet Parasitol. 43:25-36.

Waele VD, Speybroeck N, Berkvens D, Mulcahy G, Murphy MT. 2010. Control of cryptosporidiosis in neonatal calves: use halofuginone lactate in two different calf rearing systems. Prev Vet Med. 96(3-4):143-151.

Xiao L, Fayer R. 2008. Molecular characterisation of species and genotypes of

Cryptosporidium and Giardia and assessment of zoonotic transmission. Int J Parasitol. 38:1239–1255.

Yokoi H, Tsuruta M, Tanaka T, Tsutake M, Akiba Y, Kimura T, Tokita Y, Akimoto T, Mitsui Y, Ogasawara Y et al. 2005. Cryptosporidium outbreak in a sport center, Japan. J Infect. 58(5):331-332.

(39)

25 Zu XS, Fang GD, Fayer R, Guerrant RL. 1992. Cryptosporidiosis: pathogenesis

(40)

26

Lampiran 1 Kuisioner Kriptosporidiosis pada Peternakan Sapi Perah di Kabupaten Bogor 7. Berapa lama telah beternak :.

< 1 tahun

III. Struktur Populasi Ternak

9. Jumlah sapi yang dipelihara

Ternak 0-6 bulan >6-12 bulan >1-3 tahun >3 tahun Ternak Total Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

(41)

27

IV. Manajemen Peternakan

10. Alas kandang terbuat dari Tanah

Semen Karet

Lain-lain, sebutkan _____________________________________ 11. Apakah kandang dibersihkan secara teratur? (Jika jawaban TIDAK,

langsung ke pertanyaan no. 14)

Ya

Tidak,alasannya_________________________________________ 12. Seberapa sering anda membersihkan kandang?

Sehari sekali Sehari dua kali Sehari tiga kali

Setiap kandang terlihat kotor

Lainnya, ______________________________________________ 13. Bagaimana anda membersihkan kandang?

Disapu 14. Berasal darimana sumber air yang anda gunakan?

Sumur

PDAM (Jika, jawaban PDAM, langsung ke pertanyaan 17)

Sungai Mata air

15. Berapa jarak kandang dengan sumber air terdekat? < 5m

17. Bagaimana cara anda menyimpan pakan kepada ternak? Disimpan dalam tempat pakan khusus

Gambar

Tabel 3  Sistim manajemen peternakan sapi perah terkait dengan infeksi
Tabel 4  Higiene personal peternak dan sanitasi kandang pada peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor 1
Tabel 5  Riwayat kesehatan dan pengobatan pada ternak diare
Tabel 7  Prevalensi kriptosporidiosis berdasarkan tingkat umur pada peternakan
+3

Referensi

Dokumen terkait

saling berhubungan dan mendasari satu sama lain untuk menghasilkan kesatuan yang utuh, 3) mampu mengenali dan menerapkan matematika dalam konteks di luar

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan psikologis anak usia dini korban broken home di Pos PAUD Ananda Bowan Delanggu Kabupaten Klaten Tahun Pelajaran

[r]

The review of technical aspect, the farmers are reluctant to cultivate sugar canes is that the land ownership is small and disperses; to cultivate sugar canes is difficult and there

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada CV Maju Mapan mengenai hubungan sistem informasi akuntansi penjualan dengan efektivitas pengendalian

10 AHMAD SUWARDI L PEKON AMPAI, CUKUH BALAK. 11 AHMAD TAUFIK L GUNUNG

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa bentuk peran pengurus Qayah Thayibah dalam meningkatkan