• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Uji Kecernaan

Data kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium pada TBBK yang diolah dan TBBK tidak diolah pada benih ikan mas tercantum pada Tabel 10 dan Lampiran 3. Proses pengolahan TBBK dengan cara pengurangan lemak mampu meningkatkan kecernaan total dan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%.

Tabel 10. Kecernaan total, protein, fosfor dan kalsium TBBK diolah dan TBBK tidak diolah

Bahan Kecernaan (%)

Total Prote in Fosfor (P) Kalsium (Ca) TBBK diolah 69,81 ± 0,95a 84,23 ± 0,62a 86,51 ± 0,85a 78,09 ± 3,86a TBBK tidak diolah 60,07 ± 2,27b 78,83 ± 2,07b 83,15 ± 1,16b 65,21 ± 0,72b

Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Uji Kinerja Pertumbuhan

Data uji kinerja pertumbuhan benih ikan mas yang diberi berbagai pakan perlakuan tercantum pada Tabel 12 dan Lampiran 4. Nilai TKH benih ikan mas pada berbagai perlakuan pakan tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar 83,33-86,67%. Perlakuan P1 memberikan nilai JKP tertinggi sebesar 165,43 g dan terendah pada

perlakuan P4 sebesar 131,93 g. Perlakuan P1 dan P2 memberikan EP yang tidak

berbeda nyata (p>0,05) berkisar 81,72-84,57% dan mencapai nilai terendah pada perlakuan P4 sebesar 65,24%.

Tabel 11. Tingkat kelangsungan hidup (TKH), jumlah konsumsi pakan (JKP), efisiensi pakan (EP), pertumbuhan relatif (PR), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL)

Paramete r Perlakuan P1 P2 P3 P4 TKH (%) 86,67 ± 5,77a 86,67 ± 2,89a 86,67 ± 2,89a 83,33 ± 5,77a JKP (g) 165,43 ± 0,34a 163,54 ± 0,25a 157,50 ± 0,17b 131,93 ± 0,46c EP (%) 81,72 ± 3,88a 84,57 ± 0,44a 67,62 ± 2,80b 65,24 ± 1,53b PR (%) 262,48 ± 21,88a 259,45 ± 11,90a 202,66 ± 11,26b 146,60 ± 21,21c RP (%) 37,94 ± 3,26a 37,12 ± 1,40a 26,03 ± 0,79b 19,64 ± 2,48 c RL (%) 41,74 ± 2,69a 44,19 ± 1,83a 45,27 ± 2,13a 45,67 ± 2,76a

Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Nilai RP pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata (p>0,05), berkisar

37,12-37,94% kemudian menurun pada perlakuan P3 dan P4 (p<0,05), berkisar 19,64-

26,03% (Lampiran 5). Nilai RL tertinggi terdapat pada P4 (45,67%) dan tidak berbeda

nyata pada perlakuan TBBK diolah lainnya (p>0,05), berkisar 41,74-45,27% dengan nilai RL terendah pada perlakuan P1 sebesar 41,74%.

Kadar Air, Hati, Glikogen Hati dan Nilai Hepatosomatik Indeks (HSI)

Lemak dan glikogen hati benih ikan mas relatif meningkat setelah diberi pakan perlakuan (Tabel 12 dan Lampiran 6). Kadar air hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 77,24% lebih tinggi dibandingkan perlakuan P4 sebesar 71,72%. Lemak

hati tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar 12,16% dan terendah pada perlakuan

P1 sebesar 9,33% sedangkan untuk glikogen hati tertinggi terdapat pada perlakuan P2

sebesar 0,105% dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 0,022% sedangkan hasil

pengukuran HSI menunjukkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,05

dan terendah pada perlakuan P3 dan P4 sebesar 0,02.

Tabel 12. Kadar air, lemak, glikogen hati (%) dan nilai Hepatosomatik Indeks (HSI)

Paramete r Perlakuan Awal P1 P2 P3 P4 Kadar air (%) 70,45 74,43 ± 0,86b 77,24 ± 0,57a 73,66 ± 1,33b 71,72 ± 1,19c Lemak (%) 3,03 9,33 ± 0,64b 9,80 ± 0,15b 11,73 ± 0,70a 12,16 ± 1,42a Glikogen (%) 0,0018 0,093 ± 0,007b 0,105 ± 0,002a 0,039 ± 0,004c 0,022 ± 0,003d HSI 0,0044 0,04 ± 0,01a 0,05 ± 0,01a 0,02 ± 0,01b 0,02 ± 0,01b Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang

standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05).

Gambaran Darah

Pemberian TBBK diolah dan tidak diolah dalam pakan menyebabkan perbedaan gambaran darah. Hasil pengamatan berbagai perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 13 dan Lampiran 7. Jumlah SDM tertinggi terdapat pada perlakuan P1

sebesar 149,01x104 sel/mm3 dan terendah pada perlakuan P4 sebesar 120,51x104

sel/mm3 sedangkan jumlah SDP tertinggi terdapat pada perlakuan P4 sebesar

30

Jumlah Hb terendah terdapat pada perlakuan P4 sebesar 5,24 g % dan tertinggi pada

perlakuan P1 sebesar 5,84 g % dan jumlah Ht terendah terdapat pada perlakuan P1

sebesar 20,63% dan tertinggi pada perlakuan P4 sebesar 22,84%.

Tabel 13. Gambaran darah benih ikan mas Cyprinus carpio L. pada berbagai perlakuan pakan Paramete r Perlakuan Awal P1 P2 P3 P4 SDM 82,80 149,01 ± 0,08a 148,96 ± 0,05a 139,86 ± 0,17b 120,51 ± 0,17c SDP 42,20 97,36 ± 0,07d 98,92 ± 0,08c 99,76 ± 0,13b 100,41 ± 0,14a Hb 2,80 5,84 ± 0,07a 5,83 ± 0,05a 5,57 ± 0,13b 5,24 ± 0,11c Ht 5,80 20,63 ± 0,31d 20,93 ± 0,06c 21,90 ± 0,07b 22,84 ± 0,12a Keterangan: Nilai yang tertera merupakan rata-rata ± standar deviasi. Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Sel darah merah (SDM, x104 sel/mm3), sel darah putih (SDP, x104 sel/mm3), hemoglobin (Hb, g %) dan hematokrit (Ht, %).

Histologi Usus, Ginjal, Otot dan Hati

Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ pada benih ikan mas terdapat pada Tabel 14 dan Lampiran 8.

Tabel 14. Hasil pengamatan histologi pada beberapa organ tubuh

Organ Perlakuan P1 P2 P3 P4 Usus bagian depan Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik Nekrosis dan desquamasi epitel villi

mukosa Usus bagian belakang Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan spesifik

Nekrosis, infiltrasi sel mononuklar dan desquamasi epitel villi

mukosa Ginjal Protein cast, nekrosis pada tubulus dan hemoraghi Protein cast dan hemoraghi Protein cast, hemoraghi dan infiltrasi sel mononuklear Hemoraghi, nekrosis interstitialis dan infiltrasi sel mononuklear

Otot Tidak ada

kelainan spesifik

Tidak ada kelainan

spesifik

Hyperemia Hyperemia

Hati Vakuolisasi sel hati Vakuolisasi sel hati Vakuolisasi sel hati Vakuolisasi dan degenerasi sel epitel hati

Pembahasan

Proses pengolahan TBBK dapat meningkatkan kandungan protein serta meningkatkan kecernaan total dan kecernaan protein, yaitu 60,07% dan 78,83% menjadi 69,81% dan 84,23%. Menurut Brown (2008), bahwa evaluasi hasil kecernaan total tepung kedelai pada berbagai jenis ikan air tawar (herbivora, omnivora dan karnivora) dengan berbagai ukuran, yaitu 44-92% untuk kecernaan total dan 72-96% untuk kecernaan protein. Dengan menggunakan metode yang sama, benih ikan patin Pangasius hypophthalmus dapat mencerna 83,33% secara total dan 90,69% protein dari 50% pakan subtitusi tepung bungkil kedelai (Paisey 2009). Menurut Adelina (1999), bahwa kecernaan total pakan dengan kadar protein dan rasio energi protein yang berbeda dapat mencapai 94,95% pada pertumbuhan benih ikan bawal air tawar Colossoma macropomum.

Proses pengolahan TBBK juga meningkatkan sediaan fosfor (P) dan kalsium (Ca) masing-masing dari 83,15% dan 65,21% menjadi 86,51% dan 78,09%. Pada pemberian enzim fitase dalam pakan dengan atau tanpa asam fitat mampu meningkatkan kecernaan fosfor (P) pada pakan ikan lele Clarias sp hingga 86,10% dan kecernaan protein 85,78% (Amin 2007).

Fosfor dan kalsium merupakan mineral yang paling besar peranannya dalam pertumbuhan ikan. Kedua mineral ini merupakan elemen penting untuk mendukung pertumbuhan dan pembentukan tulang (Li et al. 2004). Kandungan fosfor dan kalsium dalam tubuh ikan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan hewan darat. Ikan memiliki keterbatasan dalam penyerapan fosfor dan kalsium karena konsentrasinya dalam air sangat kecil (NRC 1983). Kebutuhan fosfor pada ikan mas sebesar 0,5- 0,8% dan kalsium sebesar 0,34% (Kapoor et al. 1975).

Fosfor berperan penting dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, asam amino, otot dan jaringan syaraf serta berperan dalam menjaga tekanan osmotik cairan tubuh sedangkan kekurangan fosfor akan menyebabkan rendahnya efisiensi pakan dan menurunkan laju pertumbuhan. Fosfor diperlukan dalam pembentukan Adenosintrifosfot (ATP) yang merupakan senyawa P berenergi tinggi yang diperlukan untuk semua aktivitas tubuh. Meningkatnya ketersediaan P dalam tubuh

32

tentunya akan lebih banyak menyediakan P untuk sintesis protein sehingga meningkatnya proses metabolisme dalam tubuh yang kemudian akan memicu ikan untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak. Semakin banyak pakan yang dikonsumsi dan penggunaan pakan yang efisien maka akan semakin banyak protein yang diretensi sehingga pertumbuhan meningkat (Lall 2002). Pada beberapa ikan, defisiensi fosfor ditandai dengan pertumbuhan yang lambat, efisiensi pakan yang rendah dan mineralisasi tulang terhambat (Lall 2002). Tanda-tanda lain yaitu meningkatnya aktivitas enzim glukogenik di hati, meningkatnya air dalam karkas, menurunnya kadar fosfor dalam darah, pembentukan kepala dan kerangka yang tidak sempurna (NRC 1993).

Enzim yang berperan dalam sintesis fosfor adalah fosfatase yang mempunyai peranan penting dalam pencernaan bahan-bahan makanan dalam usus. Defisiensi fosfor sebagai fosfat mengakibatkan penurunan absorpsi dari usus dan pembuangan berlebihan dari ginjal (Vétter 2000). Penyebaran fosfor dalam tubuh melalui peredaran darah dan cairan antarsel dan selalu dijaga keseimbangannya melalui cara pertukaran antara senyawa fosfor dalam tulang dan fosfor yang ada dalam makanan (Djodjosubagio 1990), sedangkan kalsium dalam tubuh memiliki fungsi untuk membentuk struktur tulang, memelihara sistem koloid (tekanan osmotik, viskositas, difusi) dan mengatur keseimbangan asam basa (Lall 2002). Kalsium juga merupakan komponen penting dari aktivitas hormon dan enzim (NRC 1993).

Walaupun memiliki kandungan protein tinggi dan dapat dicerna dengan baik, pada setiap perlakuan mengalami penurunan jumlah konsumsi pakan pada benih ikan mas. Penurunan konsumsi pakan ini diduga terkait adanya zat anti nutrisi dalam TBBK berupa sianida (HCN). Penggunaan protein nabati dalam pakan ikan memiliki beberapa kelemahan antara lain defisiensi asam amino esensial serta adanya zat anti nutrien yang dapat menurunkan akseptabilitas dan palatabilitas (Venero et al. 2008). Tubuh sebenarnya memiliki mekanisme untuk menurunkan kekuatan racun (detoksikasi) HCN dengan menggunakan asam amino esensial sehingga dalam tubuh terjadi kekurangan asam amino esensial yang dapat menghambat pertumbuhan tubuh dan dapat menimbulkan berbagai penyakit (Suyono 2003).

Perbedaan jumlah konsumsi pakan pada tiap perlakuan menunjukkan adanya perbedaan palatabilitas pakan. Palatabilitas atau respon terhadap suatu pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi pakan yang meliputi bentuk, ukuran, warna, rasa dan aroma. Palatabilitas pakan juga berhubungan erat dengan atraktabilitas yang diberikan oleh asam amino bebas yang selanjutnya akan mempengaruhi searching respon, pengambilan serta penelanan (akseptabilitas) yang berhubungan dengan beberapa asam amino (taurina, glisina, arginina, alanina), betaina, nukleotida dan asam organik (Guillaume et al. 2001; Grey et al. 2009) untuk peningkatan penggunaan protein sebagai sumber energi yang akhirnya meningkatkan efisiensi protein pakan (Hara 1993). Selain itu, palatabiltas juga diduga dapat memperlambat retensi pakan dalam saluran pencernaan sehingga mempengaruhi tingkat pengambilan pakan akibat adanya zat anti nutrisi (Fournier et al. 2004).

Tabel 15. Unsur asam amino dalam tubuh ikan dan pakan perlakuan (%) Unsur Asam Amino Tubuh

Ikan* Perlakuan P1 P2 P3 P4 Histidin Arginin Threonin Valin Metionin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin 0,80 1,60 1,50 1,40 1,20 0,90 1,30 2,50 2,20 0,66 1,68 0,59 1,09 1,25 0,86 2,87 1,39 1,79 0,58 1,64 0,48 0,75 1,26 0,58 2,32 1,33 1,81 0,58 1,68 0,51 0,99 1,30 0,75 2,50 1,40 1,85 0,45 1,26 0,45 0,73 0,91 0,52 2,27 1,19 1,78

Sumber: Data primer yang diolah (2010) ** Wilson dan Cowel (1985)

Asam amino esensial diperlukan tubuh untuk pertumbuhan yang merupakan bahan baku pembentuk enzim, hormon dan antioksidan. Ketidakseimbangan asam amino dalam pakan akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat. Menurut Tilman et al. (1998), bahwa asam amino metionin merupakan asam amino esensial dan pembatas utama yang diperlukan dalam pertumbuhan, metabolisme jaringan dan reproduksi. Kekurangan asam amino metionin dalam pakan mengakibatkan konsumsi pakan menurun. Rendahnya asam amino metionin berpengaruh terhadap ketersediaan

34

asam amino sistin karena asam amino metionin dibutuhkan untuk menyediakan belerang untuk sintesis sistin. Kekurangan pemenuhan asam amino ini pula yang menyebabkan penurunan akseptabilitas dan palatabilitas ikan terhadap pakan tersebut (Halver 1989; Kissil et al. 2000).

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 Tubuh Ikan P2 P3 P4 P1

Gambar 4. Unsur asam amino pada tubuh ikan dan pakan perlakuan

(Sumber: Data primer yang diolah 2011)

Retensi nutrisi tertentu pada tubuh ikan selama periode tertentu biasanya digunakan untuk mengevaluasi ketersediaan dan keseimbangan asam amino dan ketersediaan beberapa elemen esensial nutrien lainnya. Retensi protein dan retensi lemak merupakan persentase protein dan lemak yang dikonsumsi oleh ikan selama pemeliharaan yang dapat disimpan dalam tubuh ikan (Halver dan Hardy 2002). Tingkat retensi protein yang semakin menurun seiring dengan meningkatnya penggunaan TBBK dalam pakan yang menunjukkan nilai nutrisi protein pakan semakin menurun juga. Tingginya retensi lemak dan rendahnya retensi protein ini disebabkan terlalu tingginya energi pakan sehingga membatasi konsumsi pakan ikan yang akibatnya terjadi deposit lemak tubuh benih ikan mas. Hal ini juga dapat dilihat

dari semakin rendahnya tingkat kecernaan protein pakan dan komposisi asam amino esensial pakan.

Tingginya kandungan lemak akan menyebabkan penurunan konsumsi pakan pada ikan (Lovell 1989). Menurut Alanara (1994), bahwa pakan yang berlemak tinggi akan menyebabkan konsumsi pakan ikan menjadi rendah. Tingginya lemak dalam pakan ini kemudian diendapkan dalam hati sehingga menyebabkan tingginya lemak pada hati. Hal ini juga seiring dengan hasil penelitian Adelina (1999), bahwa konsumsi pakan pada benih ikan bawal air tawar Colossoma macropomu) menurun dengan peningkatan energi pakan sebesar 37,13% dengan kadar lemak 21,79%.

Salah satu organ tubuh yang berfungsi menyimpan lemak adalah hati. Hasil pengukuran HSI menunjukkan penimbunan lemak dan glikogen pada hati pada tiap perlakuan. Nilai HSI beragam, dipengaruhi oleh kandungan protein, lemak dan karbohidrat pakan (Garling dan Wilson 1977). Peningkatan nilai HSI menunjukkan peningkatan jumlah nutrien yang diserap dan terakumulasi pada hati (Tacon 1992). Menurut Ali dan Al-Asgah (2001), bahwa nilai HSI pada ikan nila Oreochromis niloticus dipengaruhi oleh karbohidrat dan lemak pakan masing-masing pada kandungan 5,19% dan 16,84%.

Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh ikan akan dicerna hingga menjadi glukosa. Glukosa diserap oleh dinding usus kemudian masuk dalam darah. Glukosa yang dialirkan dalam darah akan diambil oleh sel-sel tubuh untuk menghasilkan energi melalui proses oksidasi. Sel juga menghasilkan glukosa dari bahan bukan karbohidrat melalui proses glukoneogenesis, yaitu pengubah senyawa non karbohidrat menjadi glukosa. Substrat utamanya adalah asam amino, gliserol, laktat dan piruvat (Subandiyono 2009).

Perlakuan P2 memiliki nilai glikogen hati tertinggi dibandingkan dengan pakan

perlakuan lainnya. Hal ini diduga diakibatkan adanya biokonversi karbohidrat dan lemak pakan yang tidak banyak dirombak menjadi energi. Biokonversi karbohidrat terjadi bila kadar glukosa darah berlebih yang kemudian diubah menjadi glikogen yang disimpan dalam hati dan otot. Karena kemampuan hati dan otot menyimpan glikogen sangat terbatas, bila glukosa darah masih tinggi maka akan terjadi proses

36

lipogenesis (pembentukan lemak) sebaliknya bila kandungan glukosa rendah dan biasanya terjadi bila ikan tidak atau kurang makan maka glikogen akan diubah menjadi glukosa dan selanjutnya akan menjadi sumber energi namun apabila masih terjadi kekurangan energi, tubuh akan mengambil nutrien dari non karbohidrat terutama protein tubuh sebagai sumber energi yang menyebabkan penurunan protein tubuh ikan (Kaushik 2001).

Glikogen itu sendiri merupakan substansi utama yang tersimpan dalam hati yang tersebar dalam sitoplasma dan dalam konsentrasi yang besar. Kondisi hati yang baik dengan fungsi yang maksimal senantiasa ditandai oleh bentuk sel normal dan kandungan glikogen yang melimpah. Ikan herbivora mampu memanfaatkan karbohidrat karena adanya aktifitas enzim amilase untuk hidrolisis karbohidrat. Pada saat kelaparan pun ikan cenderung merombak protein dan lemak menjadi energi terlebih dahulu melalui proses glukoneogenesis daripada memanfaatkan glikogen yang tersimpan dalam hati (Subandiyono 2009). Hal ini diperkuat dengan pernyatan Tacon (1990) serta Halver (1989) yang mengemukakan bahwa ikan cenderung menggunakan protein sebagai sumber energi dibandingkan lemak dan karbohidrat. Apabila penyimpanan glikogen berkurang maka hal ini diduga akibat penggunaan glikogen sebagai sumber energi untuk pemeliharaan tubuh ikan.

Setelah dicerna, nutrien akan diserap dan masuk ke dalam tubuh ikan. Semua proses dalam jaringan tubuh ikan memerlukan asupan nutrisi termasuk oksigen agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Darah merupakan medium dalam sistem sirkulasi yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh, hormon serta membawa sisa-sisa hasil metabolisme dan bahan-bahan patogen. Faktor yang dapat menyebabkan penurunan hemoglobin diduga berkaitan dengan penurunan hematokrit. Perubahan jumlah sel darah akan merubah persentase sel darah dibandingkan dengan plasma (Moyle dan Cech 2004).

Kadar hemoglobin menentukan tingkat ketahanan tubuh ikan karena hubungannya yang sangat erat dengan daya ikat oksigen oleh darah (Siakpere et al. 2005). Tingginya hemoglobin menunjukkan ikan dalam keadaan stres sedangkan rendahnya hemoglobin menunjukkan ikan mengalami anemia (Blaxhall 1972).

Menurut Affandi et al. (1992), bahwa stres dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk dan tidak nyaman lagi bagi kehidupan ikan, misalnya kondisi oksigen perairan yang kurang, kelebihan CO2 dalam air atau pH ekstrim sedangkan anemia

menunjukkan konsentrasi hemoglobin dalam darah rendah, yang disebabkan oleh penurunan jumlah SDM atau tidak cukupnya jumlah hemoglobin dalam sel darah (Heath 1987).

Sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih membantu membersihkan tubuh dari benda asing termasuk invasi patogen melalui sistem tanggap kebal dan respon lainnya. Ikan yang sakit akan menghasilkan banyak sel darah putih untuk memfagosit bakteri dan mensintesa antibodi (Moyle dan Cech 2004). Kondisi stres mengakibatkan ketahanan tubuh ikan akan berkurang. Penurunan nilai hematokrit dapat dijadikan petunjuk mengenai rendahnya kandungan protein, defisiensi vitamin atau ikan yang terkena infeksi sedangkan meningkatnya Ht menunjukkan ikan dalam keadaan stres (Wedemeyer dan Yasutake 1977; Anderson dan Siwicki 1983).

Pada umumnya konsentrasi sianida di dalam darah atau jaringan dan organ tubuh relatif rendah dibandingkan dengan jalur melalui mulut. Kadar sianida tertinggi dalam hati diperlihatkan pada pemberian sianida melalui mulut. Dalam darah, sianida dapat dijumpai antara lain pada sel darah merah dan hemoglobin. Distribusi sianida dan tiosianat hasil detoksifikasi sianida (endogenous) tersebar di dalam tubuh kira- kira 50% dari berat badan termasuk yang di dalam tubuh (Bahri 1987).

Dalam mekanisme peredaran darah, saluran yang masuk ke organ hati terdiri dari arteri yang berasal dari aorta dorsalis dan vena portal yang berasal dari saluran pencernaan. Saluran darah yang keluar dari hati adalah vena hepaticus yang kemudian menuju jantung. Secara umum hati berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein serta tempat memproduksi cairan empedu. Pigmen empedu (bilirubin) merupakan hasil sintesis hati yang berasal dari hemoglobin. Pada usus, bilirubin akan diserap kembali kemudian kembali ke hati. Sebagian dari bilirubin pada usus akan dibuang melalui feses. Cairan empedu ini berfungsi sebagai emulsifikator lemak sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus (Affandi dan

38

Tang 2002). Apabila HCN mengikat Hb maka yang terjadi adalah hasil metabolisme yang terjadi di hati tidak dapat disuplai dengan baik ke seluruh jaringan-jaringan tubuh yang membutuhkan dan mengakibatkan terjadinya keracunan sianida (Anonim 2011).

Keracunan sianida (HCN) akan menyebabkan terjadinya oksigenasi (level oksigen tinggi dalam darah) karena sianida bereaksi dengan ferric (trivalent) iron dari cytochrome oxidase dan membentuk cyanide cytochrome oxidase yang tinggi. Pada akhirnya hemoglobin tidak mampu membebaskan oksigen (sistem transportasi elektron) sehingga warna darah menjadi merah terang. Pada tingkat metabolisme oksidasi tinggi maka terjadi pembengkakan sel hati. Pembengkakan ini terjadi karena muatan elektolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak seimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na+ keluar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler ke dalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion Na+ yang cukup. Pembengkakan sel hati ditandai dengan adanya vakuola (ruang-ruang kosong) akibat sel hepatosit membengkak yang menyebabkan sinusoid menyempit dan sitoplasma tampak keruh. Sel yang membengkak akan kehilangan integritas membrannya dan mengeluarkan materi sel sehingga terjadi kematian sel (nekrosis). Pembengkakan sel atau degenerasi vakuola bersifat reversibel sehingga apabila paparan zat toksik tidak berlanjut maka sel dapat kembali normal namun jika pengaruh zat toksik berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik tersebut. Zat toksik yang terakumulasi dalam tubuh organisme yang tandai dengan pengerutan inti sel dan hilangnya kemampuan inti sel untuk diwarnai (pucat) atau tampak samar-samar berongga dan menghilang. Kematian sel yang terus berlanjut akan menyebabkan sel kehilangan kemampuan dalam regenerasi (degenerasi sel epitel hati) sehingga memicu terjadinya daerah nekrosis dikelilingi oleh zona hemoraghi yang ditandai dengan adanya bintik pendarahan (Setyowati et al. 2010). Pada dosis rendah, sianida tidak menimbulkan kematian tetapi ikan yang terus menerus teracuni misalnya karena mengkonsumsi pakan yang mengandung sianida maka pertumbuhan ikan akan terhambat dan terjadi diare (Eisler 1991).

Pada organ ginjal terdapat glomerulus yang berfungsi untuk menyaring dan mengubah cairan menjadi urin. Proses pertahanan tubuh dari zat anti nutrisi dapat menyebabkan kerusakan gramerulus sehingga terjadi peradangan akibat penumpukan sel epitel yang disebabkan oleh defisiensi fosfor yang menyebabkan ketidaknormalan fungsi tubuli ginjal yang mengakibatkan penurunan reabsorpsi fosfat. Kegagalan ginjal pada tingkat akut dapat menghambat ekskresi fosfat (Widodo 2000). Hal ini ditandai dengan pendarahan (hemoraghi) akibat kurangnya vitamin yang larut dalam air (A, D, E, K) terutama vitamin K, yang menyebabkan endapan komplek imun yang terdiri dari imunoglobulin, komplemen dan protein yang disebut dengan protein cast. Pada tingkat akut dapat mengakibatkan kerusakan podosit (disfungsi podosit) sehingga terjadi perubahan fungsi dan struktur gromelurus yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah sel glomerulus yaitu pada keadaan ini podosit akan terangkat dari dasarnya dan terjadi kematian sel (nekrosis). Proliferasi podosit ringan menyebabkan interstitialis pada tubulus sedangkan proliferasi berat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear (Rasyid dan Wahyuni 2009). Jalur terpenting dari pengeluaran asam sianida ini adalah dari pembentukan tiosianat (SCN-) yang diekresikan melalui urin. Tiosianat ini dibentuk secara langsung sebagai hasil katalisis dari enzim rhodanese dan sebagai reaksi spontan antara asam sianida dan sulfur persulfida (Anonim 2008).

Selain itu keberadaan zat anti nutrisi, meningkatkan tekanan intralumen pada usus yang mengakibatkan turunnya aliran air. Pengaruh berkurangnya aliran air ini menyebabkan penyempitan ruang cairan ekstrasel dan berakhir pada peregangan usus. Peregangan usus yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan menurunnya absorpsi cairan dan peningkatan sekresi cairan ke dalam usus yang disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik dan menyebabkan toksisitas. Pada kondisi akut, absorpsi membran mukosa menyebabkan desquamasi epitel villi dan penurunan dinding usus. Apabila terjadi secara terus menerus akan menghambat fungsi sekresi mukosa sehingga terjadi kematian sel yang disebut dengan nekrosis (Anonim 2010b) sedangkan peradangan (hyperemia) pada otot terjadi karena mediator melepaskan respon jaringan akibat trauma fisik atau zat

40

kimia pada otot akibat ketidakseimbangan gerakan berenang (Ismail 2008). Akibatnya terjadi penyumbatan darah yang teroksigenasi karena adanya peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler yang menyebabkan jaringan yang terkena akan berwarna lebih merah (Corwin 2010).

Pada sebagian besar spesies hewan, dosis letal minimum untuk sianida yang diberikan melalui mulut berkisar antara 2,0-2,3 mg/kg. Kandungan 1,4 µg/g sianida pada hati dapat dilihat sebagai indikasi keracunan sianida dan level di atas 10 µg/g pada rumen (saluran pencernaan vital pada ternak ruminansia) (Anonim 2008). HCN menghabiskan persediaan iodium tubuh dan menekan fungsi normal akibatnya terjadi pembesaran gondok pada tikus. Konsentrasi sianida pada lingkungan perairan sebesar 343 µg/l mengurangi aktivitas berenang, hilangnya keseimbangan, pernapasan cepat dan gangguan pada sistem osmoregulasi sedangkan pada konsentrasi 350 µg/l menyebabkan kematian ikan (Shwetha dan Hosetti 2009).

Dokumen terkait