• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjelasan Pasal-pasal MoU RI – Malaysia

Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia yang disepakati pada tanggal 27 Januari 2012 di Bali, merupakan solusi sementara dalam menangani permasalahan perbatasan kedua negara di Selat Malaka. Nota kesepahaman ini merupakan pedoman umum lembaga penegak hukum di laut dalam menangani nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di unresolved maritime boundary (semua batas maritim yang belum terselesaikan oleh kedua pihak).

Penandatanganan MoU pada tanggal 27 Januari 2012, dari Pemerintah Indonesia diwakili oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dan Pemerintah Malaysia diwakili oleh Sekretaris Majelis Keselamatan Negara (MKN). Nota kesepahaman ini sesuai dengan hukum dan peraturan kedua negara, terdapat 11 pasal dalam nota kesepahaman ini.

Pasal 1 mengenai tujuan MoU, yaitu sebagai petunjuk dan arahan umum untuk menetapkan kesepakatan kegiatan tentang isu perikanan kedua belah pihak dengan memperhatikan jaminan kesejahteraan terhadap nelayan kedua negara.

15 Makna dari kesejahteraan nelayan yaitu tidak ditangkapnya nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area oleh aparat Malaysia, begitu juga sebaliknya. Nelayan hanya diusir dari wilayah tersebut oleh aparat penegak hukum maritim di laut. Apabila nelayan Indonesia ditangkap oleh aparat Malaysia ketika melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area, maka aktivitas nelayan dalam operasi penangkapan ikan menjadi terhenti, sehingga nelayan tidak mendapatkan pendapatan yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarganya. Hal ini semakin memperburuk kondisi perekonomian nelayan dan keluarganya, sehingga tidak tercapainya jaminan kesejahteraan untuk nelayan.

Pasal 2 mengenai prinsip-prinsip pedoman umum MoU, yaitu kedua belah pihak harus menghindari dan meminimalisir konflik. Jika terjadi konflik maka harus ada rekonsiliasi (tindakan memulihkan hubungan baik antar pihak-pihak yang bersangkutan) atau penyelesaian sengketa secara damai. Jika ada kelalaian atau kesalahan berdasarkan nota kesepahaman tersebut maka tidak mengurangi perjanjian bilateral yang ada pada batas-batas maritim; negosiasi bilateral yang dilakukan terhadap delimitasi batas maritim; isu kedaulatan termasuk posisi yang diambil dalam melakukan penafsiran; penerapan hukum internasional, klaim maritim territorial, baik dalam bentuk tertulis atau sebaliknya; dan akhir dari delimitasi batas maritim serta keadilan bagi para nelayan terkait perlakuan aparat kedua belah pihak.

Pasal 3 mengenai lingkup kegiatan, yaitu acuan dalam melakukan tindakan penanganan terhadap nelayan kedua belah pihak. Pasal 3A mengenai penyebaran informasi/sosialisasi MoU harus dilakukan kepada para nelayan dan pengelola industri perikanan sebagai upaya tindakan pencegahan konflik serta melakukan patroli terkoordinasi. Pasal 3B mengenai tindakan yang akan dilakukan jika terjadi insiden pelanggaran yaitu: (1) melakukan pemeriksaan secara langsung dan meminta semua kapal nelayan untuk segera meninggalkan daerah itu, kecuali bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat tangkap dengan menggunakan aliran listrik dan bahan kimia. Jika nelayan yang menggunakan alat tangkap ilegal tersebut menangkap di overlapping claim area,

maka akan dihukum sesuai dengan hukum nasional aparat yang menangkap nelayan kapal tersebut; (2) pemberitahuan pemeriksaan dan permintaan meninggalkan daerah itu, harus dilaporkan dengan segera kepada focal point; dan (3) melakukan komunikasi secara langsung dan terbuka dengan segera diantara para lembaga penegak hukum maritim.

Pasal 4 mengenai lembaga-lembaga koordinator dan lembaga pendukung kedua belah pihak yaitu: (1) lembaga koordinator yaitu lembaga yang mengkoordinasikan pelaksanaan MoU dari kedua negara. Lembaga koordinator dari Republik Indonesia yaitu Bakorkamla dan dari Malaysia yaitu MKN; (2) lembaga dari masing-masing pihak dapat bertemu setiap tahun dan setiap kali dianggap penting, untuk mengontrol, menilai dan melihat (memeriksa) kembali pelaksanaan pedoman umum ini; (3) lembaga pendukung yaitu lembaga-lembaga penunjang dalam pelaksanaan MoU dilapangan. Lembaga pendukung dari Republik Indonesia yaitu Bakorkamla dan stakeholdernya (TNI AL, PSDKP dan Polisi Perairan); dan dari Malaysia yaitu Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM), Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM), Polisi Maritim Malaysia dan Departemen Perikanan); (4) focal point merupakan instansi

16

pelaksana utama yang menjadi pusat pelaporan dan penanganan aktivitas nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area, Selat Malaka.

Focal point dari Republik Indonesia yaitu Bakorkamla, dari Malaysia yaitu MKN. Pasal 5 mengenai area pelaksanaan MoU, yaitu daerah/wilayah geografis yang ditentukan sesuai dengan keputusan kedua belah pihak. Nota kesepahaman ini harus diterapkan di semua wilayah batas maritim yang belum terselesaikan oleh Para Pihak. Pasal 6 mengenai partisipasi pihak ketiga, merupakan keikutsertaan bangsa atau negara lain yang tidak berpihak/netral dalam persengketaan. Partisipasi pihak ketiga dalam kegiatan bersama dan/atau program-program yang dilakukan berdasarkan nota kesepahaman ini dapat diundang oleh salah satu pihak dan atas kesepakatan pihak lainnya. ketika dalam menjalankan kegiatan bersama atau program tersebut, maka para pihak harus menjamin bahwa pihak ketiga harus mematuhi ketetapan (yang telah ditentukan) dalam nota kesepahaman.

Pasal 7 mengenai kerahasiaan MoU, yaitu (1) setiap pihak bersedia untuk menjaga dokumen, informasi dan data lainnya yang bersifat rahasia, diterima atau diberikan kepada pihak lain selama waktu pelaksanaan nota kesepahaman ini, atau setiap perjanjian lain yang dibuat berdasarkan nota kesepahaman ini; (2) kedua belah pihak telah menyetujui bahwa ketentuan dalam pasal ini mengharuskan kedua belah pihak menepatinya dengan bersungguh-sungguh, meskipun masa berlangsungnya nota kesepahaman ini telah berakhir.

Pasal 8 mengenai penangguhan MoU, yaitu penundaan pelaksanaan nota kesepahaman berdasarkan kesepakatan bersama. Masing-masing pihak berhak untuk menunda sementara, seluruhnya atau sebagian pelaksanaan nota kesepahaman ini atas dasar keamanan nasional, kepentingan nasional, ketertiban umum atau kesehatan masyarakat, yang penundaannya harus dilakukan segera setelah pemberitahuan disampaikan kepada pihak lainnya melalui hubungan diplomasi.

Pasal 9 mengenai revisi, modifikasi, dan amandemen, yaitu peninjauan kembali, perubahan dan amandemen untuk perbaikan nota kesepahaman. Revisi, modifikasi atau amandemen seluruh atau sebagian dari nota kesepahaman ini dapat diminta secara tertulis oleh salah satu pihak. Setiap revisi, modifikasi atau amandemen yang disetujui oleh para pihak sebaiknya dibuat secara tertulis, dan wajib menjadi bagian dari nota kesepahaman. Revisi, modifikasi atau amandemen mulai berlaku pada tanggal yang akan ditentukan oleh para pihak. Setiap revisi, modifikasi atau perubahan tidak mengurangi hak dan kewajiban yang ada berdasarkan nota kesepahaman ini. Sebelum sampai pada tanggal revisi, modifikasi atau amandemen.

Pasal 10 mengenai penyelesaian sengketa, yaitu proses menyelesaikan perselisihan. Perbedaan antara para pihak tentang penafsiran dan / atau pelaksanaan dan / atau penerapan setiap ketentuan dari nota kesepahaman ini yang menyebabkan perselisihan, akan diselesaikan secara damai melalui tukar pikiran bersama dan / atau melalui perundingan antara para pihak melalui jalur diplomatik tanpa rujukan ke pihak ketiga atau pengadilan internasional.

Pasal 11 mengenai masa mulai berlaku, jangka waktu dan penghentian yaitu waktu mulai berlakunya nota kesepahaman, periode berlakunya serta waktu berakhirnya nota kesepahaman tersebut. Nota kesepahaman mulai berlaku saat ditandatangani oleh para pihak, tanpa mengurangi perjanjian delimitasi batas

17 maritim di masa depan tentang area pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 nota kesepahaman ini. Tanpa mengabaikan hal dalam pasal ini, para pihak dapat mengakhiri nota kesepahaman ini dengan memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai keinginannya untuk mengakhiri nota kesepahaman ini dengan pemberitahuan secara tertulis melalui jalur diplomatik, setidaknya tiga bulan sebelum niatnya untuk melakukan hal tersebut.

Sosialisasi Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) oleh Indonesia kepada Nelayan Indonesia

Point penting MoU yang perlu disampaikan dalam sosialisasi kepada nelayan dan stakeholder lainnya, yaitu mengenai batas wilayah Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka, alat tangkap ilegal yang dilarang penggunaannya berdasarkan MoU, serta tindakan yang dilakukan oleh aparat Indonesia dan Malaysia ketika ada nelayan kedua negara yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area. Berdasarkan Pasal 5 dalam MoU, nota kesepahaman harus diterapkan di semua batas maritim yang belum terselesaikan oleh Para Pihak. Nelayan dan aparat kedua negara harus memahami batas wilayah yang masih tumpang tindih karena saling klaim antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara harus mengakui adanya wilayah tumpang tindih berdasarkan kesepakatan bersama dalam MoU tersebut. Sehingga, nelayan kedua negara perlu memahami bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah sengketa yang tidak disarankan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah tersebut.

Berdasarkan Pasal 3B dalam MoU tentang tindakan yang akan diambil atas insiden yang terjadi, yaitu : (1) pemeriksaan dan permintaan untuk meninggalkan daerah itu harus segera dilakukan terhadap semua kapal nelayan kecuali bagi mereka yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat penangkapan ikan listrik dan kimia; (2) pemberitahuan pemeriksaan dan permintaan untuk meninggalkan daerah itu harus dilaporkan segera kepada Focal Point, dan; (3) melakukan komunikasi secara langsung dan terbuka diantara para lembaga penegak hukum maritim dengan segera dan secepatnya. Apabila nelayan kedua negara menggunakan alat tangkap ilegal, maka nelayan tersebut mendapatkan hukuman sesuai dengan Hukum dan Peraturan Undang-Undangan yang berlaku di negara asal aparat yang menangkap. Jika nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak dilarang berdasarkan MoU, maka nelayan hanya diusir dari kawasan tersebut serta dilaporkan kepada Focal Point.

Pihak Indonesia berkewajiban melakukan sosialisasi MoU berdasarkan Pasal 3A dalam MoU tersebut, yaitu tentang lingkup kegiatan yang menyatakan bahwa penyebaran informasi atau sosialisasi kepada nelayan dan stakeholder

industri perikanan harus dilakukan sebagai salah satu tindakan pencegahan terhadap kasus penangkapan nelayan Indonesia maupun Malaysia di wilayah tumpang tindih Selat Malaka. Pihak Indonesia yaitu lembaga koordinator dan lembaga pendukung dalam MoU tersebut. Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Malaysia mengenai pedoman umum tentang penanganan terhadap nelayan oleh lembaga penegak hukum di laut Republik Indonesia dan Malaysia yang telah disepakati pada 27 Januari 2012, telah disosialisasikan oleh Bakorkamla sebagai lembaga koordinator dalam nota

18

kesepahaman tersebut. Memorandum of Understanding di sosialisasikan kepada lembaga pendukung yaitu TNI AL-1 Belawan, PSDKP, Polisi Perairan Sumatera Utara serta kepada nelayan atau kelompok nelayan di Sumatera Utara. Sosialisasi yang dilakukan oleh Bakorkamla yaitu pemaparan point penting MoU dan perbatasan maritim antara Indonesia dengan Malaysia dalam bentuk seminar. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Potensi Maritim TNI AL-1 Belawan kepada nelayan Sumatera Utara di desa binaan dalam bentuk penyuluhan. Bakorkamla dan Dispotmar TNI AL-1 Belawan melakukan sosialisasi secara lisan kepada perwakilan nelayan Sumatera Utara.

Tabel 5 Sosialisasi MoU RI - Malaysia Instansi/individu penerima Sosialisasi Instansi yang

memberikan Sosialisasi

Bulan dan Tahun

Frekuensi Sosialisasi PSDKP Pelabuhan Belawan Bakorkamla Maret 2012 1 kali Polisi Perairan Sumatera Utara Bakorkamla Maret 2012 1 kali TNI Angkatan Laut-1 Belawan Bakorkamla Maret 2012 1 kali Nelayan Sumatera Utara (Perwakilan) Bakorkamla Maret 2012 1 kali Nelayan Sumatera Utara (Perwakilan) Dispotmar TNI AL-1

Belawan

Maret 2012 1 kali Nelayan Sumatera Utara (Perwakilan) Dispotmar TNI AL-1

Belawan

Februari dan Maret 2013

2 kali Nelayan Sumatera Utara (Desa Binaan) Dispotmar TNI AL -1

Belawan

Februari dan Maret 2014

2 kali Sumber : Wawancara dan Data Arsip Bahan Sosialisasi

Berdasarkan hasil wawancara dengan TNI AL-1 Belawan, Polisi Perairan Sumatera Utara, PSDKP Belawan dan nelayan Sumatera Utara rata-rata pernah menerima sosialisasi dari Bakorkamla sebanyak satu kali sejak tahun 2012 sampai dengan 2014. Sosialisasi dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Sosialisasi yang di laksanakan oleh Bakorkamla dihadiri oleh seluruh instansi terkait, sebagai lembaga pendukung dalam MoU RI - Malaysia. Berdasarkan data yang diterima dari Kepala Dinas Potensi Maritim (Dispotmar) TNI AL-1 Belawan, bahwa TNI AL-1 Belawan telah melakukan sosialisasi kepada nelayan Sumatera Utara pada tahun 2012 sebanyak 1 kali, tahun 2013 sebanyak 2 kali dan tahun 2014 sebanyak 2 kali. Dispotmar TNI AL-1 Belawan juga melakukan pendampingan di desa binaan dengan memberikan pencerdasan melalui penyuluhan tentang batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia kepada para nelayan Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan instansi terkait proses penyebaran informasi MoU RI - Malaysia maka, didapatkanlah alur sosialisasi dibawah ini. Proses penyebaran informasi MoU RI - Malaysia bersumber dari Bakorkamla sebagai lembaga koordinator dan Badan pemerintah yang mewakili Indonesia dalam penandatanganan nota kesepahaman tersebut. Bakorkamla dan

stakeholder bekerjasama melakukan sosialisasi MoU melalui seminar kepada perwakilan nelayan Sumatera Utara dan perwakilan instansi terkait yang diselenggarakan pada tanggal 5 Maret 2012. Point penting yang disampaikan dalam sosialisasi tersebut adalah penanganan terhadap nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih, Selat Malaka.

19 Sosialisasi MoU tersebut melalui saluran formal yaitu mengikuti garis wewenang dari suatu lembaga atau instansi yang berasal dari tingkat paling tinggi sampai ke tingkat yang paling bawah (Widjaja 2010). Sosialisasi dilakukan atas dasar wewenang Bakorkamla sebagai lembaga koordinator dalam MoU tersebut, serta kerjasama dengan lembaga pendukung lainnya. Menurut Kepala Dinas Potensi Maritim TNI AL-1 Belawan, karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Bakorkamla dan stakeholder untuk melakukan sosialisasi, mengakibatkan penyebaran informasi MoU hanya dilakukan kepada perwakilan nelayan. Sehingga, masih banyak nelayan yang belum menerima sosialisasi mengenai MoU tersebut. Akibatnya, banyak nelayan yang belum mengetahui tentang MoU tersebut berdasarkan temuan dilapangan. Sehingga, hal ini berdampak pada hasil (effect) dari sosialisasi tersebut. Ketika ada aparat Malaysia yang akan menangkap nelayan kapal ikan Indonesia karena melakukan aktivitas penangkapan ikan di

overlapping claim area, nelayan Indonesia tidak bisa membela diri karena tidak mengetahui tentang adanya overlapping claim area di Selat Malaka. Tindakan bela diri nelayan Indonesia apabila mengetahui dan memahami MoU dengan baik maka nelayan Indonesia dapat beragumentasi dan menolak ditangkap oleh aparat Malaysia jika melakukan operasi penangkapan ikan di overlapping claim area, serta melaporkan praktik pelanggaran MoU tersebut kepada lembaga koordinator atau lembaga pendukung.

Sumber : Berdasarkan hasil wawancara dengan Bakorkamla, TNI AL-1 Belawan, Polisi Perairan Sumatera Utara, PSDKP Belawan dan nelayan Sumatera Utara

Lembaga pendukung yang hadir dalam sosialisasi MoU hanya kalangan terbatas yaitu tingkat pimpinan atau perwakilan yang ditunjuk langsung oleh pimpinan instansi tersebut. Nelayan yang hadir dalam sosialisasi MoU hanya

Lembaga koordinator dan lembaga pendukung

Bakorkamla dan stakeholder

lainnya

Point penting MoU

Formal (Seminar dan penyuluhan)

Nelayan dan Lembaga pendukung

Masih ada nelayan yang melakukan penangkapan ikan di

overlapping claim area.

Gambar 4 Alur proses sosialisasi MoU oleh pihak Indonesia kepada nelayan Sumatera Utara

20

perwakilan dari sejumlah nelayan yang ada di Sumatera Utara. Bentuk sosialisasinya adalah pemaparan dari Bakorkamla, tentang batas-batas maritim Indonesia di Selat Malaka, overlapping claim area beserta penjelasan tujuan MoU dan pasal-pasal yang berhubungan dengan pelaksanaan dilapangan serta point penting MoU tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla, sosialisasi yang telah dilakukan oleh Bakorkamla sejauh ini memang belum maksimal. Hal ini disebabkan karena terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk sosialisasi MoU tersebut, maka penyebaran informasi belum merata kepada semua nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan hingga ke overlapping claim area Selat Malaka. Namun, selain sosialisasi yang telah dilakukan, Bakorkamla membuat Forum Group Discussion sebagai usaha untuk memberikan pemahaman secara langsung kepada lembaga pendukung dan para nelayan dengan cara membahas masalah di tingkat stakeholder dan pengguna laut, yang hasilnya akan direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh instansi terkait sebagai solusi bersama demi terciptanya pemerintahan di laut yang kuat dan berwibawa.

Berdasarkan Pasal 3A tentang penyebaran informasi MoU Indonesia - Malaysia menjadi tugas kedua belah pihak. Semua instansi tersebut mempunyai tugas untuk turut menyebarkan informasi tentang MoU kepada nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area dalam rangka untuk memberikan pencerdasan mengenai point penting dibuatnya MoU tersebut. Menurut Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla, sosialisasi MoU kepada lembaga pendukung dan nelayan saat ini dilakukan oleh Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla atau bidang yang ditunjuk oleh pimpinan, belum adanya bidang khusus yang menangani penyebaran informasi/sosialisasi kepada nelayan sehingga hal ini menjadi kendala bagi kelancaran proses penyebaran informasi.

Efektivitas Sosialisasi Nota Kesepahaman dan Tingkat Pemahaman Lembaga Koordinator (Bakorkamla), Lembaga Pendukung (TNI Angkatan

Laut, Polisi Perairan, PSDKP), dan Nelayan Indonesia

Sosialisasi MoU oleh Pihak Indonesia yaitu menyampaikan point penting MoU kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut. Point penting dalam MoU yang harus disampaikan kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut yaitu mengenai batas wilayah Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka, alat tangkap ilegal yang dilarang penggunaannya berdasarkan MoU, serta tindakan yang dilakukan oleh aparat Indonesia dan Malaysia ketika ada nelayan kedua negara yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area.

Sosialisasi MoU ini harus dilakukan kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut. Sehingga nelayan dan aparat penegak hukum di laut mengetahui point penting MoU, kemudian memahami maksud dari setiap point penting tersebut, serta dilaksanakan sesuai dengan pemahaman yang sama antara Pihak Indonesia dan nelayan Indonesia.

Jika nelayan Indonesia melakukan aktivitas penangkapan ikan di

overlapping claim area, kemudian ada aparat Malaysia yang akan menangkap nelayan kapal ikan Indonesia, nelayan dapat melakukan pembelaan terhadap diri

21 mereka sendiri, karena sudah mengetahui dan memahami MoU tersebut. Selain itu, jika aparat Indonesia mengetahui dan memahami MoU maka tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh aparat dilapangan yaitu pengusiran, pelaporan maupun penangkapan nelayan.

Menurut Widjaja (2010), jika mengadakan kegiatan dengan menggunakan media massa maka pelaksanaannya lebih sukar dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Komunikator harus dapat menyajikan pesan bagi publiknya yang beraneka ragam dengan jumlah yang besar. Selain itu feedback (umpan balik) yang terjadi adalah feedback tertunda. Keuntungan menggunakan komunikasi massa yaitu dapat menjangkau audience yang sangat luas, namun kekurangannya yaitu lebih menitikberatkan pada penyebaran informasi. Sebab, jika ingin lebih dari sekedar menginformasikan sesuatu, komunikasi massa tersebut harus diikuti lagi dengan komunikasi tatap muka, agar tujuan komunikasi dapat berhasil.

Sosialisasi MoU kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut perlu dilakukan dengan jenis komunikasi massa dan komunikasi interpersonal agar tujuan komunikasi dapat berhasil. Menurut Rudy (2005), Media yang digunakan dalam komunikasi massa yaitu media cetak, media elektronik dan media seni. Media cetak berupa surat kabar atau koran, majalah, tabloid, jurnal, buku, papan reklame, poster, dan brosur. Media elektronik seperti radio, televisi, film, internet (situs/Website). Media seni seperti patung, lukisan, grafiti, monumen, lagu, konser musik, teater rakyat, dan pertunjukkan wayang. Media yang digunakan dalam komunikasi interpersonal yaitu telephone, SMS (Short Message Service), gerak tubuh, tulisan, papan tulis, surat, memo, telegram, telex, internet (e-mail, chatting).

Menurut Widjaja (2010), pembangunan bukan hanya membutuhkan teknologi dan modal, melainkan lebih besar dari itu, ia membutuhkan pengertian, proses kesadaran dan dukungan masyarakat. Pembangunan itu jangan hanya dilihat sebagai tujuan akhir, sebab ia juga merupakan proses untuk memajukan kehidupan masyarakat. Sebagai proses, pembangunan menuntut adanya komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pembangunan akan berhasil jika dimulai dengan suatu sistem komunikasi yang teratur, ditunjang oleh suatu sarana komunikasi yang efektif, dilaksanakan dengan cara-cara yang wajar dan sehat serta dilangsungkan secara pesat dan terus-menerus antara peserta pembangunan. Sosialisasi MoU kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut perlu dilakukan secara rutin, minimal 2 kali dalam satu tahun. Sosialisasi MoU pada awal dan akhir tahun. Pada awal tahun dilakukan sosialisasi MoU sebagai bentuk monitoring kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut. Pada akhir tahun dilakukan sosialisasi MoU sebagai bentuk pengingatan dan evaluasi pelaksanaan MoU.

Berdasarkan hasil wawancara dengan lembaga pendukung dan nelayan tentang pengetahuan, pemahaman dan pedoman dalam melakukan pengawasan dan penegakkan hukum di laut bagi PSDKP Pusat dan Belawan, TNI AL-1 Belawan, Polisi Perairan Sumatera Utara serta Bakorkamla dan bagi nelayan Sumatera Utara yang melakukan penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih Selat Malaka. Responden terbanyak yang belum mengetahui MoU tersebut berdasarkan sosialisasi yaitu nelayan. Hanya 1 orang dari 8 responden yang mengetahui tentang MoU RI - Malaysia, sedangkan nelayan yang lain belum pernah mendengar dan belum mendapatkan sosialisasi tentang MoU tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan nahkoda kapal yang mengetahui tentang

22

MoU tersebut, bahwa informasi yang responden dapatkan tidak secara langsung dari sosialisasi Bakorkamla atau pun lembaga pendukung lainnya. Responden mendapatkan informasi dari televisi dan sesama nahkoda kapal yang pernah menjadi perwakilan dalam menghadiri sosialisasi MoU tersebut pada tahun 2012. Menurut Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla, Sosialisasi MoU dilakukan kepada beberapa perwakilan nelayan dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Sosialisasi MoU belum bisa dilakukan kepada semua nelayan yang ada di Sumatera Utara, hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki

Dokumen terkait