• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia – Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia – Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TERHADAP SOSIALISASI NOTA KESEPAHAMAN INDONESIA

- MALAYSIA TENTANG PENANGKAPAN IKAN OLEH NELAYAN DI

WILAYAH TUMPANG TINDIH SELAT MALAKA, SUMATERA UTARA

MARDIAH

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia - Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Mardiah

(4)
(5)

ABSTRAK

MARDIAH. Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia - Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara. Dibimbing oleh DARMAWAN dan AKHMAD SOLIHIN.

Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Malaysia menandatangani dokumen kesepahaman (Memorandum of Understanding

MoU) pada tanggal 27 Januari 2012 sebagai solusi sementara untuk menjamin keselamatan dan penanganan nelayan kedua negara yang melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih, Selat Malaka. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji efektivitas sosialisasi dokumen tersebut, tingkat pemahaman lembaga koordinator, lembaga pendukung, dan nelayan Indonesia; serta memberikan rekomendasi penanganan permasalahan perbatasan lebih lanjut kepada Pemerintah Indonesia. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2014, di Jakarta dan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Sumatera Utara. Metode yang digunakan dalam menentukan responden yaitu metode purposive sampling. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dengan alat analisis yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sosialisasi kepada nelayan kurang maksimal, karena hanya disampaikan kepada perwakilan nelayan dalam bentuk seminar sehingga masih banyak nelayan yang belum menerima sosialisasi. Hal ini disebabkan karena terbatasnya anggaran sosialisasi yang dimiliki oleh Bakorkamla, TNI AL, PSDKP dan Polisi Perairan. Akibatnya pelaksanaan MoU dilapangan kurang maksimal. Efektivitas pengetahuan nelayan mengenai MoU dengan persentase sebesar 12,5% dari skala 100%. Sedangkan Bakorkamla, PSDKP, Polisi Perairan persentase pengetahuan terhadap MoU sebesar 100%. Persentase pengetahuan TNI Angkatan Laut-1 Belawan mengenai MoU yaitu sebesar 80%. Tingkat pemahaman nelayan terhadap isi MoU yaitu 0% dari skala 100%, sedangkan tingkat pemahaman Bakorkamla, PSDKP, dan Polisi Perairan yaitu 100%. Persentase tingkat pemahaman TNI Angkatan Laut-1 Belawan mengenai isi MoU yaitu sebesar 80%.

Kata kunci: MoU RI - Malaysia, Sosialisasi

ABSTRACT

MARDIAH. Socialization Study Memorandum of Understanding Indonesia – Malaysia about Fishermen Fishing on Overlapping Claim Area Malacca Strait, North Sumatera. Supervised by DARMAWAN and AKHMAD SOLIHIN.

(6)

the Indonesian fishermen; describing the recommendations for solutions of the border issue to the Indonesian Government and Indonesian fishermen. The research was conducted in March to April 2014, in Jakarta and Belawan Ocean Fishing Port, North Sumatra. The method that used to determination the respondents is purposive sampling method. This research used descriptive analysis with the juridical normative and juridical empirical as analysis tools. Socialization of MoU RI – Malaysia to the fishermen is less than maximal, due to the spread of information only on the representatives of fishermen and it held in the seminars events, so there are many fishermen who have not received socialization. This occurrence is due to the limited budget of socialization that owned by Bakorkamla, Navy, PSDKP and Indonesian National Police. As a result of this condition, the implementation of the MoU in the field is less than the maximum. The effectiveness of fishermen knowledge about the MoU is about 12.5% of the scale 100%. While Bakorkamla, PSDKP, and Indonesian National Police knowledge of the MoU is 100%. Percentage of the Indonesian Navy-1 Belawan knowledge about the MoU is 80%. The fishermen level of understanding of the content of the MoU were 0% of the scale of 100%. While the level of understanding from Bakorkamla, PSDKP, and Indonesian National Police of MoU is 100% and the Indonesian Navy-1 Belawan is 80%.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

MARDIAH

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(8)
(9)

Judul Skripsi : Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia – Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara

Nama : Mardiah NIM : C44100047

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Dr Ir Darmawan, MAMA Pembimbing I

Akhmad Solihin, SPi, MH Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Budy Wiryawan, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Penulis sangat bersyukur pada Allah SWT, atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2014, dengan judul “Kajian terhadap Sosialisasi Nota Kesepahaman Indonesia - Malaysia tentang Penangkapan Ikan oleh Nelayan di Wilayah Tumpang Tindih Selat Malaka, Sumatera Utara”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Darmawan, MAMA dan Akhmad Solihin, SPi, MH selaku pembimbing yang memberikan dorongan agar tulisan ini segera selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada dosen penguji yaitu Ir Mochammad Dahri Iskandar, MSi, dosen Komisi Pendidikan Departemen PSP yaitu Dr Iin Solihin, SPi, MSi. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Basri, APi, MSi sebagai Kepala Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Bapak Asep Supriadi sebagai Kepala Seksi Operasional Wilayah Barat PSDKP Pusat, Bapak Rahman Arif sebagai Kasubdit Logistik Wilayah Barat, Mayor Laut

Farid Ma‟ruf Kepala Dinas Hukum TNI AL-1 Belawan, Mayor Laut Dwi Afiandi sebagai Kepala Satuan Keamanan Laut TNI AL-1 Belawan, Mayor Laut Sugeng Ashary sebagai Kepala Dinas Potensi dan Maritim TNI AL-1 Belawan, Bripka Watirin Wahyu sebagai Kepala Bagian Penegakkan Hukum Polisi Air Laut Belawan, Ir Revolkhair sebagai Kepala Bagian Operasional Polisi Air Laut Belawan, Bapak Hudiansyah Is Nursal sebagai Kasubdit Advokasi Hukum Badan Koordinasi Keamanan Laut serta Nelayan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, yang telah memberikan informasi dan mengizinkan penggunaan data yang dibutuhkan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu dan saudara-saudara atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada pengawas perikanan PSDKP Belawan dan Pusat, PSP angkatan 47, teman asrama putri A3 Kamar 306 – 307, Kammi Daerah Bogor, Rumah Ceria, Nurul Fitri, dan teman-teman semua atas segala doa dan bantuannya.

Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan dan keputusan tentang batas maritim di Selat Malaka.

Bogor, Desember 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

METODE PENELITIAN 8

Waktu dan Tempat 8

Alat Penelitian 8

Alur Penelitian 9

Metode Pengumpulan Data 10

Metode Pengumpulan Data Kuisioner 10

Metode Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 14

Penjelasan Pasal-pasal MoU RI - Malaysia 14

Sosialisasi Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) oleh

Indonesia kepada Nelayan Indonesia 17

Efektivitas Sosialisasi Nota Kesepahaman dan Tingkat Pemahaman Lembaga Koordinator (Bakorkamla), Lembaga Pendukung (TNI Angkatan Laut, Polisi

Perairan, PSDKP), dan Nelayan Indonesia 20

Rekomendasi untuk Penanganan di Wilayah Perbatasan kepada Pemerintah

Indonesia dan Nelayan Indonesia 27

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 32

LAMPIRAN 34

(14)

DAFTAR TABEL

1 Titik Koordinat overlapping claim area 1

2 Wawancara Nelayan Kapal Ikan Indonesia yang Menangkap Ikan di

Selat Malaka 12

3 Informasi Penelitian 13

4 Data Sekunder Penelitian 14

5 Sosialisasi MoU RI - Malaysia 18

6 Pengetahuan, Pemahaman dan Pelaksanaan MoU RI - Malaysia oleh

Lembaga pendukung dan Nelayan 22

7 Rekapitulasi penangkapan Kapal Ikan Indonesia dan Kapal Ikan

Malaysia di Overlapping Claim Area 25

8 Kekuatan Armada Patroli dan Pengawasan Polisi Perairan, PSDKP,

TNI Angkatan Laut Belawan dan Bakorkamla 30

DAFTAR GAMBAR

1 Titik Koordinat Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka (overlapping

claim area) 2

2 Alur Proses Komunikasi 6

3 Peta Lokasi Penelitian 8

4 Alur Proses Sosialisasi MoU oleh Pihak Indonesia kepada Nelayan

Sumatera Utara 19

5 Peta Sebaran Kapal Ikan Indonesia yang melakukan aktivitas Penangkapan di Selat Malaka, Sumatera Utara 26

DAFTAR LAMPIRAN

1

Memorandum of Understanding RI – Malaysia tentang Penanganan terhadap Nelayan yang Melakukan Aktivitas Penangkapan Ikan di

Overlapping Claim Area 34

2 Peta Sebaran Kapal Ikan Indonesia yang melakukan Penangkapan

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penetapan batas laut di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak tanggal 27 Oktober 1969 yang menetapkan batas landas kontinen. Kedua negara belum menyepakati batas Zona Ekonomi Eksklusif di Selat Malaka. Indonesia dan Malaysia saling mengklaim garis batas Zona Ekonomi Eksklusif di Selat Malaka sehingga terbentuk kawasan tumpang tindih atau overlapping claim maritime area (Arsana dan Yuniar 2012). Indonesia dan Malaysia saling mengklaim pada titik-titik koordinat (Tabel 1).

Tabel 1 Titik koordinat overlapping claim area

Titik 1 05º27‟00”U 98º17‟05”T

Sumber Data : Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut

Permasalahan yang sering muncul dengan adanya tumpang tindih batas kedua negara adalah adanya aktivitas nelayan Indonesia di kawasan tersebut yang dianggap sebagai pelanggaran batas maritim oleh aparat Malaysia dan aktivitas nelayan Malaysia yang dianggap sebagai pelanggaran batas maritim oleh aparat Indonesia. Insiden yang terjadi pada tanggal 7 April 2011 melibatkan kapal berbendera Malaysia, Petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, dan Helikopter Malaysia. Petugas patroli Indonesia menganggap kapal Malaysia sudah secara ilegal memasuki perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pada saat kapal Malaysia ditangkap dan hendak dibawa ke wilayah Indonesia, Helikopter Malaysia muncul dan meminta kapal dilepaskan. Namun petugas patroli Indonesia menolak dan akhirnya kapal dibawa ke Pelabuhan Belawan (Arsana dan Yuniar 2012).

(16)

2

Sumber : Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut

Sering terjadinya insiden pada tahun 2011 antara Indonesia dan Malaysia tentang nelayan kedua negara yang menangkap ikan di overlapping claim area, disikapi oleh Indonesia dan Malaysia dengan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) guna menjamin kesejahteraan bagi nelayan yang beroperasi di kawasan perbatasan yang masih belum jelas batas maritimnya. Dua instansi dari masing-masing negara, yaitu Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) mewakili Indonesia dan Majelis Keselamatan Negara (MKN) mewakili Malaysia menandatangani MoU terkait pedoman umum penanganan masalah laut perbatasan Republik Indonesia - Malaysia (Arsana dan Yuniar 2012). Penandatanganan MoU tersebut dilakukan oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut, Laksamana Madya TNI Y. Didik Heru Purnomo sebagai wakil dari pihak Indonesia serta Sekretaris Majelis Keselamatan Negara Dato Mohamed Thajudeen Abdul Wahab sebagai wakil dari pihak Malaysia. Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga koordinator yang sekaligus menjadi

focal point dari MoU tersebut. Focal point merupakan instansi pelaksana utama yang menjadi pusat pelaporan dan penanganan aktivitas nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area, Selat Malaka.

Tujuan utama ditandatanganinya MoU tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua, Bali, adalah untuk menjamin kesejahteraan nelayan kedua negara dalam beroperasi di wilayah tumpang tindih. Selain itu, penandatanganan MoU tersebut dalam rangka meningkatkan kerjasama antar otoritas koordinator keamanan laut terutama upaya meminimalisir terjadinya penangkapan nelayan kedua negara (Arsana dan Yuniar 2012).

(17)

3 Walaupun sudah ada kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia dalam bentuk MoU, ternyata masih terjadi penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia. Pada tanggal 22 September 2013 Polisi Maritim Malaysia menangkap nelayan Indonesia dari Kabupaten Langkat yang menangkap ikan di overlapping claim area, Selat Malaka. Oknum Polisi Diraja Malaysia meminta sejumlah uang tebusan kepada nelayan yang ditangkap tersebut, karena tidak memiliki uang, maka perahu nelayan dibawa ke Pulau Penang, Malaysia. Selain 6 nelayan tersebut, satu rombongan nelayan lain asal Desa Kelantan, Kecamatan Brandan Barat, juga tertangkap namun belum berhasil diidentifikasi (Mukhtar 2013).

Menurut Abdul Halim, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Polisi Maritim Malaysia telah melanggar nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang pedoman umum penanganan terhadap nelayan oleh lembaga penegak hukum di laut Republik Indonesia dan Malaysia, karena aparat Malaysia telah menangkap enam nelayan Indonesia yang menangkap ikan di overlapping claim area, kemudian melakukan pemerasan dengan meminta sejumlah uang tebusan serta kapal nelayan dibawa ke Malaysia (Mukhtar 2013). Pasal 3 dalam MoU tersebut disebutkan bahwa, apabila nelayan kedua negara melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih tersebut, maka hanya diminta meninggalkan daerah itu dan dilakukan pemeriksaan yang kemudian dilaporkan kepada focal point dengan segera.

Upaya ini harus dikoordinasikan dengan Bakorkamla mewakili Pemerintah Indonesia. Namun, komunikasi secara langsung dan terbuka diantara lembaga penegak hukum maritim dengan segera dan secepatnya dalam melakukan upaya hukum tidak dilakukan oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM). Sebaliknya, nahkoda kapal yang menginformasikan kepada keluarga bahwa mereka ditangkap APMM (Mukhtar 2013).

(18)

4

negara yang melakukan operasi penangkapan ikan di overlapping claim area.

Jaminan kesejahteraan bagi nelayan dalam dokumen kesepahaman tersebut artinya tidak terjadi lagi penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia maupun sebaliknya

.

Perumusan Masalah

Menghadapi berbagai permasalahan yang sering terjadi di wilayah tumpang tindih ini, Indonesia dan Malaysia menandatangani MoU guna memberikan perlindungan dan menjamin kesejahteraan nelayan kedua negara. Setelah MoU tersebut disepakati oleh kedua belah pihak maka kedua negara berkewajiban melakukan sosialisasi kepada pihak masing-masing negara dan nelayan kedua negara serta melaksanakan sesuai dengan pasal-pasalnya. Nota Kesepahaman ini merupakan payung pengaturan dalam melindungi nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area. Isi MoU yang perlu dipahami oleh nelayan dan stakeholder lainnya yaitu mengenai batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka; alat tangkap ilegal yang dilarang penggunaannya serta penanganan/tindakan terhadap nelayan yang melakukan operasi penangkapan ikan di wilayah tumpang tindih tersebut. Namun, masih terjadinya penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia menandakan bahwa masih lemahnya pengawasan dan perlindungan yang dilakukan oleh aparat Indonesia terhadap nelayan Indonesia, serta belum pahamnya nelayan Indonesia mengenai MoU yang telah disosialisasikan oleh Pemerintah Indonesia. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukanlah penelitian ini dalam rangka untuk melihat apakah sosialisasi dan pembekalan telah diberikan oleh pihak Indonesia kepada nelayan Indonesia sehingga pelaksanaan MoU dilapangan sesuai dengan tujuan dibuatnya MoU tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu: (1) mengkaji apakah isi nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia tentang penanganan terhadap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area sudah disosialisasikan oleh Indonesia kepada nelayan Indonesia; (2) mengkaji efektivitas sosialisasi nota kesepahaman dan tingkat pemahaman dari pihak yang terkait, seperti lembaga koordinator (Bakorkamla), lembaga pendukung (TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan, PSDKP), dan nelayan Indonesia; dan (3) memberikan saran untuk penanganan di wilayah perbatasan kepada pemerintah Indonesia dan nelayan Indonesia.

Manfaat Penelitian

(19)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 sebuah negara pantai berhak untuk melakukan klaim untuk laut territorial sampai 12 mil laut, zona tambahan sampai 24 mil laut, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sampai 200 mil laut, landas kontinen sampai 200 mil laut atau lebih (350 mil laut) dengan syarat sesuai UNCLOS 1982 tergantung geologi dan geomorfologi dasar laut. Namun jika ternyata jarak dengan negara tetangga kurang dari dua kali jarak klaim maritim yang diperbolehkan, maka perlu menentukan dengan tepat batas-batas antara kedua negara tersebut (Arsana dan Yuniar 2012).

Penetapan batas ZEE antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan di atur dalam Pasal 74 UNCLOS 1982 ayat (1), (2) dan (3) yaitu : (1) penetapan batas ZEE antara Negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil; (2) apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, Negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV (tentang penyelesaian sengketa/Settlement of Disputes); (3) sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.

Kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Malaysia pada tanggal 27 Januari 2012 yang ditandatangani antara Bakorkamla dengan MKN merupakan solusi sementara untuk menjamin kesejahteraan nelayan yang melakukan operasi penangkapan ikan di kawasan tumpang tindih tersebut. Nota kesepahaman yang ditandatangani tersebut adalah bentuk kerjasama setelah pelaksanaan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC) antara Malaysia dan Republik Indonesia yang dilaksanakan di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 10 - 11 Oktober 2011, serta diperkuat oleh pernyataan bersama (Joint Statement) antara Republik Indonesia dan Malaysia pada Konsultasi Tahunan antara Presiden

Dr H Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Dato „Sri Mohd. Najib

bin Tun Abdul Razak, dilaksanakan di Lombok, Indonesia, pada tanggal 20 Oktober 2011. MoU yang ditandatangani merupakan kesungguhan kedua negara dalam menangani isu perikanan kedua negara serta insiden yang sering terjadi di kawasan tumpang tindih tersebut. Delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka harus segera dituntaskan untuk memberikan solusi permanen dan perlindungan lebih baik kepada para nelayan yang menangkap ikan di sekitar perairan perbatasan Indonesia – Malaysia di Selat Malaka. Sampai dengan tahun 2013 Indonesia dan Malaysia tercatat sudah bertemu 23 kali dalam rangka perundingan batas maritim (Arsana dan Yuniar 2012).

(20)

6

penangkapan nelayan Indonesia oleh aparat Malaysia. Pemahaman nelayan tentang MoU sangat mempengaruhi pelaksanaan MoU di lapangan, sehingga lembaga koordinator dan lembaga pendukung dalam MoU berkewajiban melakukan penyebaran informasi/sosialisasi MoU dan memberikan perlindungan kepada nelayan Indonesia ketika melakukan penangkapan ikan di kawasan tumpang tindih, Selat Malaka.

Gambar 2 Alur proses komunikasi Sumber : Widjaja, 2010

Menurut Rousydiy (1985) komunikasi efektif adalah komunikasi yang berhasil mencapai tujuan dengan feedback yang positif, komunikator berhasil secara efektif memberikan pengertian kepada komunikan, dan komunikan mempunyai pengertian yang sama mengenai pesan yang diterima, serta komunikator berhasil merubah tingkah laku komunikan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Tujuan komunikasi menurut Rudy (2005) ada tiga, yaitu: (1) untuk mengetahui sesuatu, (2) untuk memberi sesuatu, dan (3) untuk memengaruhi atau mengarahkan orang lain agar berbuat sesuatu. Fungi komunikasi menurut Widjaja (2010) salah satunya adalah fungsi sosialisasi yaitu penyampaian informasi/sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif, kemudian ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat.

Berdasarkan diagram diatas, komponen atau unsur yang menjadi syarat terjadinya komunikasi yaitu: : (1) source (sumber); (2) communicator (penyampai pesan); (3) message (pesan); (4) channel (saluran); (5) communican (penerima pesan); dan (6) effect (hasil) (Widjaja 2010). Selain 6 unsur tersebut, yang terpenting dalam komunikasi adalah aktivitas sumber informasi dalam memberikan makna informasi yang akan disampaikan dan aktivitas communican

dalam memaknai informasi yang diterima (Bungin 2008).

Pemaknaan informasi bersifat subjektif dan kontekstual. Subjektif artinya sumber dan communican memiliki kapasitas untuk memaknai informasi yang disebarkan atau yang diterimanya berdasarkan pada apa yang ia rasakan, ia yakini,

Sumber

Komunikator

Pesan

Saluran (Media)

Komuunikan

(21)

7 dan ia mengerti serta berdasarkan tingkat pengetahuan kedua pihak. Sedangkan kontekstual adalah pemaknaan berkaitan erat dengan kondisi waktu dan tempat dimana informasi itu ada dan dimana kedua belah pihak itu berada. Konteks sosial-budaya ikut mewarnai kedua pihak dalam memaknai informasi yang disebarkan dan yang diterima. Oleh karena itu, sebuah proses komunikasi memiliki dimensi yang sangat luas dalam pemaknaannya, karena dilakukan oleh subjek-objek yang beragam dan konteks sosial yang majemuk (Bungin 2008).

Berdasarkan diagram alur komunikasi diatas, penelitian ini ingin melihat alur proses sosialisasi MoU yang terjadi di lapangan. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh lembaga koordinator dan lembaga pendukung sebagai komunikator kepada nelayan sebagai komunikan. Serta media sosialisasi apa yang digunakan, pesan yang disampaikan dan apa effect yang dihasilkan dari sosialisasi yang telah dilakukan.

Hasil dari komunikasi yang kita lakukan (mencapai tujuan atau tidak) dapat kita lihat (nilai/evaluasi) dari efek (umpan balik) yang ditunjukkan oleh komunikan. Efek komunikasi merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari proses komunikasi, yakni sikap dan tingkah laku dari komunikan, baik yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Apabila sikap dan tingkah laku komunikan sesuai, dapat diartikan bahwa pesan yang disampaikan oleh komunikator telah berhasil. Sebaliknya, apabila sikap dan tingkah laku komunikan tidak sesuai, berarti pesan yang disampaikan belum memperoleh hasil yang diharapkan. Efek komunikasi dapat dilihat, dinilai, ditinjau dari: (1) personal opinion (pendapat pribadi) yaitu sikap dan/atau pendapat seseorang secara pribadi terhadap suatu masalah dan terhadap hal yang disampaikan; (2) public opinion (pendapat umum) yaitu pendapat atau penilaian dari masyarakat umum mengenai suatu hal yang penting atas dasar berlangsungnya pertukaran pikiran yang dilakukan individu-individu secara sadar dan rasional; dan (3) majority opinion yaitu pendapat sebagian besar dari publik. Komunikator dapat melihat serta mengukur keberhasilan pesan yang disampaikan dari berhasil atau tidaknya memperoleh kesepakatan atau dukungan dari sebagian besar (mayoritas) khalayak. (Rudy 2005).

Efek komunikasi terdiri dari efek yang bersifat kognitif, afektif dan konatif yang timbul pada diri seseorang atau sejumlah orang sebagai akibat dari komunikasi yang dilancarkan seseorang kepadanya. Efek kognitif berkaitan dengan daya pikir dan daya nalar, misalnya menjadi tahu dan paham karena informasi atau berita, menjadi cerdas karena banyak membaca dan sebagainya. Efek afektif berkaitan dengan perasaan, misalnya menjadi gembira, bangga, sedih, terharu, marah, puas, tidak puas disebabkan suatu pesan yang dikomunikasikan kepadanya. Efek konatif berkaitan dengan dorongan untuk bertindak, adanya upaya melaksanakan kegiatan (sesuai pesan yang diterima), yang berlanjut menjadi tindakan dan perilaku (Effendy 2002).

(22)

8

pendukung, apakah ada upaya untuk menjalankan kewajibannya sebagai pihak Indonesia dalam MoU tersebut yaitu memberikan sosialisasi, perlindungan dan pengawasan kepada nelayan Indonesia. Efek konatif bagi nelayan yaitu adanya upaya untuk tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area demi terjaminnya keselamatan dan kesejahteraan nelayan.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Kegiatan penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2014.

Alat Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Dokumen MoU RI - Malaysia

Pada penelitian ini dilakukan interpretasi MoU, memahami setiap pasal dalam MoU terkait dengan pelaksanaannya.

2. Kuisioner

Kuisioner digunakan sebagai panduan dalam wawancara Bakorkamla, Polisi Air, PSDKP, TNI Angkatan Laut, dan nelayan Indonesia.

3. Data sekunder

(23)

9

Menentukan: rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka

Pengumpalan Data dan Informasi: Data Sekunder:

1. Titik koordinat kapal nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area

tahun 2014 (PSDKP).

2. Data kapal penangkap ikan dan nelayan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia (PSDKP, Bakorkamla, TNI AL, Polisi Air).

3. Data kapal penangkap ikan dan nelayan Indonesia yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia (PSDKP dan Bakorkamla).

4. Data nelayan asing yang melakukan operasi penangkapan ikan di overlapping claim area. 5. Data kapal pengawas (Direktorat kapal pengawas PSDKP)

6. Titik koordinat overlapping claim area (PSDKP dan Dishidros TNI AL) 7. Profil nelayan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia (PSDKP)

8. Profil nelayan Indonesia yang dipulangkan oleh Pemerintah Malaysia (PSDKP)

9. Data banyaknya sosialisasi MoU untuk nelayan Indonesia (Bakorkamla, TNI AL-1 Belawan) Informasi:

1. Sosialisasi MoU kepada nelayan dan lembaga pendukung oleh Bakorkamla sebagai koordinator dalam MoU.

2. Pelaksanaan pasal-pasal dalam MoU di lapangan.

MoU tersosialisasikan dengan baik

Pasal-pasal dalam MoU tidak terlaksana Pasal-pasal dalam MoU terlaksana

1. Penanganan lembaga koordinator dan lembaga pendukung Indonesia (Bakorkamla, TNI AL, Polri, PSDKP) terhadap nelayan kapal ikan Malaysia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di

overlapping claim area.

2. Penanganan lembaga koordinator dan lembaga pendukung Malaysia (MKN, APMM, TLDM, Polisi Maritim Diraja Malaysia, Departemen Perikanan) terhadap nelayan kapal ikan Indonesia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area.

Nelayan ditangkap oleh aparat Nelayan diusir oleh aparat

Pelanggaran terhadap MoU masih terjadi Tidak terjadi pelanggaran terhadap MoU

Analisis data menggunakan analisis deskriptif : yuridis empiris dan yuridis normatif.

Kesimpulan

(24)

10

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Cara pengumpulan data primer berupa informasi yaitu melalui observasi dilapangan dengan melakukan pengisian kuisioner dan wawancara langsung terhadap nelayan, Bakorkamla, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan PPS Belawan, TNI Angkatan Laut, Polisi Air, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari lembaga/instansi terkait, buku-buku, makalah, artikel, jurnal, atau karya pakar.

Aspek yang diteliti yaitu: (1) sosialisasi / penyebarluasan informasi tentang MoU apakah sudah dilakukan dengan maksimal oleh pemerintah. Peneliti mengumpulkan data jumlah sosialisasi MoU yang telah dilakukan oleh lembaga koordinator dan lembaga pendukung sejak tahun 2012 hingga 2014, selain itu peneliti juga mengumpulkan bahan/materi sosialisasi MoU dari instansi terkait serta melakukan pengisian kuisioner dan wawancara terbuka kepada responden terkait dengan pengetahuan tentang MoU; (2) pemahaman pihak dan nelayan Indonesia terkait semua pasal yang ada dalam MoU. Peneliti mengumpulkan data jumlah kapal ikan Indonesia dan Malaysia yang ditangkap dan / atau di usir oleh aparat penegak hukum laut kedua negara sebagai materi untuk menganalisis responden apakah memahami tujuan MoU dan mekanisme pelaksanaan dilapangan. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data mengenai sosialisasi MoU, perlindungan dan pengawasan terhadap nelayan Indonesia di overlapping claim area sebagai materi untuk menganalisis fungsi lembaga koordinator dan lembaga pendukung apakah telah memahami MoU tersebut, sehingga efektivitas sosialisasi dapat terukur dari implementasi pemahaman lembaga koordinator dan lembaga pendukung. Pengisian kuisioner dan wawancara terbuka dilakukan dalam pengumpulan data dan informasi terkait dengan pemahaman responden terhadap MoU; (3) Melihat apakah MoU sudah berhasil dalam menyelesaikan permasalahan persengketaan di wilayah tumpang tindih tersebut atau perlu menuntaskan perjanjian bilateral kedua negara. Peneliti mengumpulkan data jumlah kapal ikan Indonesia yang ditangkap oleh aparat Malaysia dan data jumlah kapal ikan Malaysia yang di usir oleh aparat Indonesia sebagai materi untuk menganalisis apakah MoU telah memberikan dampak yang positif dalam pencegahan terhadap persengketaan di overlapping claim area.

Metode Pengumpulan Data Kuisioner

Metode yang digunakan dalam menentukan responden pada penelitian ini adalah dengan metode purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik

nonprobability sampling yang memilih orang-orang yang terseleksi oleh peneliti, berdasarkan ciri-ciri khusus yang dimiliki sampel tersebut yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Narbuko & Abu 2013).

(25)

11 Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Polisi Air Republik Indonesia, Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, serta Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan, Sumatera Utara.

Responden dari Bakorkamla dengan ciri-ciri yaitu individu yang diberikan kewenangan oleh pimpinan instansi tersebut untuk terlibat dan berperan aktif dalam pelaksanaan MoU mulai dari sosialisasi MoU; patroli dan penanganan nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area; serta mewakili Bakorkamla dalam rapat koordinasi, rapat teknis dan review meeting pelaksanaan MoU; satu responden dari Bakorkamla yaitu Kepala Sub-direktorat Advokasi Hukum Bakorkamla. Responden dari PSDKP, TNI Angkatan Laut dan Polisi Perairan dengan ciri-ciri yaitu individu yang diberikan kewenangan oleh pimpinan instansi tersebut untuk terlibat dan berperan aktif dalam pelaksanaan MoU mulai dari melakukan pengawasan / patroli di wilayah barat Indonesia hingga ke overlapping claim area; yang berhak melakukan penanganan terhadap nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di

overlapping claim area; melakukan sosialisasi MoU (sebagai bagian dari kewajiban pihak Indonesia dan menjadi lembaga pendukung dalam MoU tersebut). Responden dari PSDKP berjumlah 6 orang yaitu: Kepala Stasiun PSDKP Belawan, Kepala Sub-direktorat Logistik Wilayah Barat PSDKP Pusat, Kepala Seksi Operasional Wilayah Barat PSDKP Pusat, Kepala Bagian Sub- Hukum PSDKP Pusat, Staff Bidang Penanganan Pelanggaran PSDKP Belawan, dan Staff Penanganan Barang Bukti dan Alat Kapal PSDKP Pusat. Responden TNI Angkatan Laut-1 Belawan berjumlah 5 orang yaitu: Kepala Dinas Hukum, Komandan Pos Radar, Komandan Satuan Keamanan Laut, Komandan Dinas Potensi Maritim, dan Kepala Sub-dinas Hukum Later (Laut dan Humaniter). Responden dari Polisi Perairan Sumatera Utara berjumlah 2 orang yaitu: Kabag Bin Gakkum (Penegakkan Hukum) dan Kabag Bin Opsnal. Responden dari nelayan memiliki ciri-ciri yaitu: nelayan kapal yang melakukan penangkapan ikan di atas 12 mil, nelayan kapal yang melakukan penangkapan ikan hingga ke

overlapping claim area berdasarkan data Vessel Monitoring System (VMS), dan nelayan dengan kapal ikan yang memiliki SLO (Sertifikat Laik Operasi). Responden dari nelayan berjumlah 8 orang.

Pemilihan responden nelayan oleh peneliti berdasarkan karakteristik kewenangan jalur penangkapan ikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.PER.30/MEN-KP/2013, yaitu: kabupaten/kota (0-4 mil) kapal ukuran 5-10 GT, provinsi (4-12 mil) kapal ukuran 10-30 GT, dan pusat (di atas 12 mil) ukuran kapal di atas 30 GT. Berdasarkan data jumlah kapal berbagai ukuran dengan jenis alat tangkap serta kewenangan jalur penangkapan ikan, maka sebanyak 265 kapal tonase diatas 30 GT yang memiliki kewenangan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan diatas 12 mil hingga ke ZEEI daerah penangkapan ikan, kapal yang daerah penangkapan ikannya di Selat Malaka yaitu sebanyak 243 kapal.

(26)

12

penangkapan ikan di overlapping claim area, Selat Malaka pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 sebanyak 9 kapal.

Karakteristik lain yang menunjukkan homogennya sub populasi yaitu dibuktikan dengan adanya kesamaan pemilik kapal dari 9 kapal tersebut. Tiga kapal diantaranya merupakan kapal dengan pemilik yang sama, 2 kapal lainnya dimiliki oleh pemilik yang sama. Selain itu, tingkat pendidikan nelayan yang masih rendah, rata-rata hanya sampai Sekolah Dasar. Hal ini semakin menguatkan peneliti untuk memilih responden nelayan berdasarkan karakteristik tersebut. Karena keterbatasan jumlah kapal dengan tonase diatas 30 GT yang bersandar di Pelabuhan Belawan serta keseragaman informasi yang didapatkan sehingga peneliti menilai bahwa 8 responden nelayan cukup mewakili populasi nelayan dengan karakteristik yang sudah disebutkan. Jumlah responden nelayan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Wawancara Nelayan Kapal Ikan Indonesia yang menangkap Ikan di Selat Malaka

Nama Kapal GT AT SKK Jumlah ABK

Sumber Karya 62 Purse Seine 30 mil 23

Sumber Jaya 54 Purse Seine 60 mil 28

Bintang Selamat 34 Purse Seine 60 mil 29 Sumber : Wawancara dan Data SLO PSDKP

Metode Analisis Data

Penelitian kajian terhadap sosialisasi nota kesepahaman lndonesia - Malaysia tentang penangkapan ikan oleh nelayan di wilayah tumpang tindih Selat Malaka ini menggunakan analisis deskriptif terhadap data-data yang diperoleh, dengan langkah-langkah atau alat analisis yaitu yuridis normatif dan yuridis empiris. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif yaitu menggunakan aspek-aspek normatif melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungkan satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus (Soekanto 1986).

Yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka (Soekanto dan Sri 1995). Penelitian ini dimulai dengan melakukan interpretasi terhadap pasal-pasal dalam MoU Indonesia - Malaysia, kemudian menentukan konsekuensi dari setiap pasal yang telah di interpretasi. Menganalisis hasil pengumpulan data dan informasi terkait dengan isi MoU tersebut mengenai sosialisasi MoU Indonesia - Malaysia serta penanganan terhadap nelayan yang melakukan penangkapan ikan di

overlapping claim area. Kemudian, dilakukan penarikan kesimpulan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara MoU Indonesia - Malaysia dengan peraturan lain dan penerapan dalam pelaksanaannya di lapangan.

(27)

13 pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir (Soekanto dan Sri 1995). Data primer berupa informasi hasil wawancara dan pengisian kuisioner di analisis untuk melihat efektivitas pelaksanaan MoU tersebut terhadap tingkat kepahaman pihak Indonesia dan nelayan Indonesia serta tindakan aparat terhadap penanganan nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area. Informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Informasi penelitian

Informasi Sumber informasi Cara

pengumpulan

Cara pengolahan Sosialisasi MoU (sumber, pesan

komunikator, saluran/ media, Pemahaman tentang makna dan

konsekuensi pasal-pasal dalam MoU yaitu: (1) memahami tujuan MoU (data jumlah kapal ikan Indonesia dan Malaysia yang ditangkap dan atau di usir oleh aparat penegak hukum laut kedua negara); (2) fungsi lembaga koordinator dan lembaga pendukung (sosialisasi, memberikan perlindungan dan pengawasan/patroli

di overlapping claim area); serta (3)

memahami mekanisme pelaksanaan MoU dilapangan (data kapal ikan Indonesia yang di usir dan di tangkap aparat Malaysia) dengan pasal-pasal dalam MoU tersebut (jumlah kasus penangkapan kapal ikan Indonesia yang di tangkap oleh aparat Malaysia)

(28)

14

Tabel 4 Data sekunder penelitian

Data Sumber data Cara

pengumpulan

Cara

pengolahan

Isi MoU RI - Malaysia pada tanggal 27 Januari 2012 di Nusa Dua, Bali

PSDKP,

Jumlah Kasus pelanggaran perbatasan oleh nelayan yang menangkap ikan

melakukan penangkapan ikan di

overlapping claim area

Data nelayan dan kapal ikan Indonesia yang ditangkap aparat Malaysia

Data kapal ikan dan nelayan Indonesia yang di pulangkan oleh Pemerintah

Data kapal pengawas dan patroli Direktorat Kapal Pengawas PSDKP,

Titik koordinat overlapping claim area Bakorkamla, TNI AL (Dishidros)

Referensi dokumen

Analisis deskriptif Profil nelayan Indonesia yang

ditangkap aparat Malaysia

Penjelasan Pasal-pasal MoU RI – Malaysia

Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia yang disepakati pada tanggal 27 Januari 2012 di Bali, merupakan solusi sementara dalam menangani permasalahan perbatasan kedua negara di Selat Malaka. Nota kesepahaman ini merupakan pedoman umum lembaga penegak hukum di laut dalam menangani nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di unresolved maritime boundary (semua batas maritim yang belum terselesaikan oleh kedua pihak).

Penandatanganan MoU pada tanggal 27 Januari 2012, dari Pemerintah Indonesia diwakili oleh Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dan Pemerintah Malaysia diwakili oleh Sekretaris Majelis Keselamatan Negara (MKN). Nota kesepahaman ini sesuai dengan hukum dan peraturan kedua negara, terdapat 11 pasal dalam nota kesepahaman ini.

(29)

15 Makna dari kesejahteraan nelayan yaitu tidak ditangkapnya nelayan Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area oleh aparat Malaysia, begitu juga sebaliknya. Nelayan hanya diusir dari wilayah tersebut oleh aparat penegak hukum maritim di laut. Apabila nelayan Indonesia ditangkap oleh aparat Malaysia ketika melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area, maka aktivitas nelayan dalam operasi penangkapan ikan menjadi terhenti, sehingga nelayan tidak mendapatkan pendapatan yang menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari keluarganya. Hal ini semakin memperburuk kondisi perekonomian nelayan dan keluarganya, sehingga tidak tercapainya jaminan kesejahteraan untuk nelayan.

Pasal 2 mengenai prinsip-prinsip pedoman umum MoU, yaitu kedua belah pihak harus menghindari dan meminimalisir konflik. Jika terjadi konflik maka harus ada rekonsiliasi (tindakan memulihkan hubungan baik antar pihak-pihak yang bersangkutan) atau penyelesaian sengketa secara damai. Jika ada kelalaian atau kesalahan berdasarkan nota kesepahaman tersebut maka tidak mengurangi perjanjian bilateral yang ada pada batas-batas maritim; negosiasi bilateral yang dilakukan terhadap delimitasi batas maritim; isu kedaulatan termasuk posisi yang diambil dalam melakukan penafsiran; penerapan hukum internasional, klaim maritim territorial, baik dalam bentuk tertulis atau sebaliknya; dan akhir dari delimitasi batas maritim serta keadilan bagi para nelayan terkait perlakuan aparat kedua belah pihak.

Pasal 3 mengenai lingkup kegiatan, yaitu acuan dalam melakukan tindakan penanganan terhadap nelayan kedua belah pihak. Pasal 3A mengenai penyebaran informasi/sosialisasi MoU harus dilakukan kepada para nelayan dan pengelola industri perikanan sebagai upaya tindakan pencegahan konflik serta melakukan patroli terkoordinasi. Pasal 3B mengenai tindakan yang akan dilakukan jika terjadi insiden pelanggaran yaitu: (1) melakukan pemeriksaan secara langsung dan meminta semua kapal nelayan untuk segera meninggalkan daerah itu, kecuali bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat tangkap dengan menggunakan aliran listrik dan bahan kimia. Jika nelayan yang menggunakan alat tangkap ilegal tersebut menangkap di overlapping claim area,

maka akan dihukum sesuai dengan hukum nasional aparat yang menangkap nelayan kapal tersebut; (2) pemberitahuan pemeriksaan dan permintaan meninggalkan daerah itu, harus dilaporkan dengan segera kepada focal point; dan (3) melakukan komunikasi secara langsung dan terbuka dengan segera diantara para lembaga penegak hukum maritim.

(30)

16

pelaksana utama yang menjadi pusat pelaporan dan penanganan aktivitas nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area, Selat Malaka.

Focal point dari Republik Indonesia yaitu Bakorkamla, dari Malaysia yaitu MKN. Pasal 5 mengenai area pelaksanaan MoU, yaitu daerah/wilayah geografis yang ditentukan sesuai dengan keputusan kedua belah pihak. Nota kesepahaman ini harus diterapkan di semua wilayah batas maritim yang belum terselesaikan oleh Para Pihak. Pasal 6 mengenai partisipasi pihak ketiga, merupakan keikutsertaan bangsa atau negara lain yang tidak berpihak/netral dalam persengketaan. Partisipasi pihak ketiga dalam kegiatan bersama dan/atau program-program yang dilakukan berdasarkan nota kesepahaman ini dapat diundang oleh salah satu pihak dan atas kesepakatan pihak lainnya. ketika dalam menjalankan kegiatan bersama atau program tersebut, maka para pihak harus menjamin bahwa pihak ketiga harus mematuhi ketetapan (yang telah ditentukan) dalam nota kesepahaman.

Pasal 7 mengenai kerahasiaan MoU, yaitu (1) setiap pihak bersedia untuk menjaga dokumen, informasi dan data lainnya yang bersifat rahasia, diterima atau diberikan kepada pihak lain selama waktu pelaksanaan nota kesepahaman ini, atau setiap perjanjian lain yang dibuat berdasarkan nota kesepahaman ini; (2) kedua belah pihak telah menyetujui bahwa ketentuan dalam pasal ini mengharuskan kedua belah pihak menepatinya dengan bersungguh-sungguh, meskipun masa berlangsungnya nota kesepahaman ini telah berakhir.

Pasal 8 mengenai penangguhan MoU, yaitu penundaan pelaksanaan nota kesepahaman berdasarkan kesepakatan bersama. Masing-masing pihak berhak untuk menunda sementara, seluruhnya atau sebagian pelaksanaan nota kesepahaman ini atas dasar keamanan nasional, kepentingan nasional, ketertiban umum atau kesehatan masyarakat, yang penundaannya harus dilakukan segera setelah pemberitahuan disampaikan kepada pihak lainnya melalui hubungan diplomasi.

Pasal 9 mengenai revisi, modifikasi, dan amandemen, yaitu peninjauan kembali, perubahan dan amandemen untuk perbaikan nota kesepahaman. Revisi, modifikasi atau amandemen seluruh atau sebagian dari nota kesepahaman ini dapat diminta secara tertulis oleh salah satu pihak. Setiap revisi, modifikasi atau amandemen yang disetujui oleh para pihak sebaiknya dibuat secara tertulis, dan wajib menjadi bagian dari nota kesepahaman. Revisi, modifikasi atau amandemen mulai berlaku pada tanggal yang akan ditentukan oleh para pihak. Setiap revisi, modifikasi atau perubahan tidak mengurangi hak dan kewajiban yang ada berdasarkan nota kesepahaman ini. Sebelum sampai pada tanggal revisi, modifikasi atau amandemen.

Pasal 10 mengenai penyelesaian sengketa, yaitu proses menyelesaikan perselisihan. Perbedaan antara para pihak tentang penafsiran dan / atau pelaksanaan dan / atau penerapan setiap ketentuan dari nota kesepahaman ini yang menyebabkan perselisihan, akan diselesaikan secara damai melalui tukar pikiran bersama dan / atau melalui perundingan antara para pihak melalui jalur diplomatik tanpa rujukan ke pihak ketiga atau pengadilan internasional.

(31)

17 maritim di masa depan tentang area pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 nota kesepahaman ini. Tanpa mengabaikan hal dalam pasal ini, para pihak dapat mengakhiri nota kesepahaman ini dengan memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai keinginannya untuk mengakhiri nota kesepahaman ini dengan pemberitahuan secara tertulis melalui jalur diplomatik, setidaknya tiga bulan sebelum niatnya untuk melakukan hal tersebut.

Sosialisasi Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) oleh Indonesia kepada Nelayan Indonesia

Point penting MoU yang perlu disampaikan dalam sosialisasi kepada nelayan dan stakeholder lainnya, yaitu mengenai batas wilayah Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka, alat tangkap ilegal yang dilarang penggunaannya berdasarkan MoU, serta tindakan yang dilakukan oleh aparat Indonesia dan Malaysia ketika ada nelayan kedua negara yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area. Berdasarkan Pasal 5 dalam MoU, nota kesepahaman harus diterapkan di semua batas maritim yang belum terselesaikan oleh Para Pihak. Nelayan dan aparat kedua negara harus memahami batas wilayah yang masih tumpang tindih karena saling klaim antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara harus mengakui adanya wilayah tumpang tindih berdasarkan kesepakatan bersama dalam MoU tersebut. Sehingga, nelayan kedua negara perlu memahami bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah sengketa yang tidak disarankan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan di wilayah tersebut.

Berdasarkan Pasal 3B dalam MoU tentang tindakan yang akan diambil atas insiden yang terjadi, yaitu : (1) pemeriksaan dan permintaan untuk meninggalkan daerah itu harus segera dilakukan terhadap semua kapal nelayan kecuali bagi mereka yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat penangkapan ikan listrik dan kimia; (2) pemberitahuan pemeriksaan dan permintaan untuk meninggalkan daerah itu harus dilaporkan segera kepada Focal Point, dan; (3) melakukan komunikasi secara langsung dan terbuka diantara para lembaga penegak hukum maritim dengan segera dan secepatnya. Apabila nelayan kedua negara menggunakan alat tangkap ilegal, maka nelayan tersebut mendapatkan hukuman sesuai dengan Hukum dan Peraturan Undang-Undangan yang berlaku di negara asal aparat yang menangkap. Jika nelayan menggunakan alat tangkap yang tidak dilarang berdasarkan MoU, maka nelayan hanya diusir dari kawasan tersebut serta dilaporkan kepada Focal Point.

Pihak Indonesia berkewajiban melakukan sosialisasi MoU berdasarkan Pasal 3A dalam MoU tersebut, yaitu tentang lingkup kegiatan yang menyatakan bahwa penyebaran informasi atau sosialisasi kepada nelayan dan stakeholder

(32)

18

kesepahaman tersebut. Memorandum of Understanding di sosialisasikan kepada lembaga pendukung yaitu TNI AL-1 Belawan, PSDKP, Polisi Perairan Sumatera Utara serta kepada nelayan atau kelompok nelayan di Sumatera Utara. Sosialisasi yang dilakukan oleh Bakorkamla yaitu pemaparan point penting MoU dan perbatasan maritim antara Indonesia dengan Malaysia dalam bentuk seminar. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Potensi Maritim TNI AL-1 Belawan kepada nelayan Sumatera Utara di desa binaan dalam bentuk penyuluhan. Bakorkamla dan Dispotmar TNI AL-1 Belawan melakukan sosialisasi secara lisan kepada perwakilan nelayan Sumatera Utara.

Tabel 5 Sosialisasi MoU RI - Malaysia Instansi/individu penerima Sosialisasi Instansi yang

memberikan Sosialisasi

Bulan dan Tahun

Frekuensi Sosialisasi PSDKP Pelabuhan Belawan Bakorkamla Maret 2012 1 kali Polisi Perairan Sumatera Utara Bakorkamla Maret 2012 1 kali TNI Angkatan Laut-1 Belawan Bakorkamla Maret 2012 1 kali Nelayan Sumatera Utara (Perwakilan) Bakorkamla Maret 2012 1 kali Nelayan Sumatera Utara (Perwakilan) Dispotmar TNI AL-1

Belawan

Maret 2012 1 kali

Nelayan Sumatera Utara (Perwakilan) Dispotmar TNI AL-1 Belawan

Februari dan Maret 2013

2 kali

Nelayan Sumatera Utara (Desa Binaan) Dispotmar TNI AL -1 Belawan

Februari dan Maret 2014

2 kali

Sumber : Wawancara dan Data Arsip Bahan Sosialisasi

Berdasarkan hasil wawancara dengan TNI AL-1 Belawan, Polisi Perairan Sumatera Utara, PSDKP Belawan dan nelayan Sumatera Utara rata-rata pernah menerima sosialisasi dari Bakorkamla sebanyak satu kali sejak tahun 2012 sampai dengan 2014. Sosialisasi dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Sosialisasi yang di laksanakan oleh Bakorkamla dihadiri oleh seluruh instansi terkait, sebagai lembaga pendukung dalam MoU RI - Malaysia. Berdasarkan data yang diterima dari Kepala Dinas Potensi Maritim (Dispotmar) TNI AL-1 Belawan, bahwa TNI AL-1 Belawan telah melakukan sosialisasi kepada nelayan Sumatera Utara pada tahun 2012 sebanyak 1 kali, tahun 2013 sebanyak 2 kali dan tahun 2014 sebanyak 2 kali. Dispotmar TNI AL-1 Belawan juga melakukan pendampingan di desa binaan dengan memberikan pencerdasan melalui penyuluhan tentang batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia kepada para nelayan Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan instansi terkait proses penyebaran informasi MoU RI - Malaysia maka, didapatkanlah alur sosialisasi dibawah ini. Proses penyebaran informasi MoU RI - Malaysia bersumber dari Bakorkamla sebagai lembaga koordinator dan Badan pemerintah yang mewakili Indonesia dalam penandatanganan nota kesepahaman tersebut. Bakorkamla dan

(33)

19 Sosialisasi MoU tersebut melalui saluran formal yaitu mengikuti garis wewenang dari suatu lembaga atau instansi yang berasal dari tingkat paling tinggi sampai ke tingkat yang paling bawah (Widjaja 2010). Sosialisasi dilakukan atas dasar wewenang Bakorkamla sebagai lembaga koordinator dalam MoU tersebut, serta kerjasama dengan lembaga pendukung lainnya. Menurut Kepala Dinas Potensi Maritim TNI AL-1 Belawan, karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Bakorkamla dan stakeholder untuk melakukan sosialisasi, mengakibatkan penyebaran informasi MoU hanya dilakukan kepada perwakilan nelayan. Sehingga, masih banyak nelayan yang belum menerima sosialisasi mengenai MoU tersebut. Akibatnya, banyak nelayan yang belum mengetahui tentang MoU tersebut berdasarkan temuan dilapangan. Sehingga, hal ini berdampak pada hasil (effect) dari sosialisasi tersebut. Ketika ada aparat Malaysia yang akan menangkap nelayan kapal ikan Indonesia karena melakukan aktivitas penangkapan ikan di

overlapping claim area, nelayan Indonesia tidak bisa membela diri karena tidak mengetahui tentang adanya overlapping claim area di Selat Malaka. Tindakan bela diri nelayan Indonesia apabila mengetahui dan memahami MoU dengan baik maka nelayan Indonesia dapat beragumentasi dan menolak ditangkap oleh aparat Malaysia jika melakukan operasi penangkapan ikan di overlapping claim area, serta melaporkan praktik pelanggaran MoU tersebut kepada lembaga koordinator atau lembaga pendukung.

Sumber : Berdasarkan hasil wawancara dengan Bakorkamla, TNI AL-1 Belawan, Polisi Perairan Sumatera Utara, PSDKP Belawan dan nelayan Sumatera Utara

Lembaga pendukung yang hadir dalam sosialisasi MoU hanya kalangan terbatas yaitu tingkat pimpinan atau perwakilan yang ditunjuk langsung oleh pimpinan instansi tersebut. Nelayan yang hadir dalam sosialisasi MoU hanya

Lembaga koordinator dan lembaga pendukung

Bakorkamla dan stakeholder

lainnya

Point penting MoU

Formal (Seminar dan penyuluhan)

Nelayan dan Lembaga pendukung

Masih ada nelayan yang melakukan penangkapan ikan di

overlapping claim area.

(34)

20

perwakilan dari sejumlah nelayan yang ada di Sumatera Utara. Bentuk sosialisasinya adalah pemaparan dari Bakorkamla, tentang batas-batas maritim Indonesia di Selat Malaka, overlapping claim area beserta penjelasan tujuan MoU dan pasal-pasal yang berhubungan dengan pelaksanaan dilapangan serta point penting MoU tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla, sosialisasi yang telah dilakukan oleh Bakorkamla sejauh ini memang belum maksimal. Hal ini disebabkan karena terbatasnya anggaran yang dialokasikan untuk sosialisasi MoU tersebut, maka penyebaran informasi belum merata kepada semua nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan hingga ke overlapping claim area Selat Malaka. Namun, selain sosialisasi yang telah dilakukan, Bakorkamla membuat Forum Group Discussion sebagai usaha untuk memberikan pemahaman secara langsung kepada lembaga pendukung dan para nelayan dengan cara membahas masalah di tingkat stakeholder dan pengguna laut, yang hasilnya akan direkomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh instansi terkait sebagai solusi bersama demi terciptanya pemerintahan di laut yang kuat dan berwibawa.

Berdasarkan Pasal 3A tentang penyebaran informasi MoU Indonesia - Malaysia menjadi tugas kedua belah pihak. Semua instansi tersebut mempunyai tugas untuk turut menyebarkan informasi tentang MoU kepada nelayan yang melakukan penangkapan ikan di overlapping claim area dalam rangka untuk memberikan pencerdasan mengenai point penting dibuatnya MoU tersebut. Menurut Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla, sosialisasi MoU kepada lembaga pendukung dan nelayan saat ini dilakukan oleh Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla atau bidang yang ditunjuk oleh pimpinan, belum adanya bidang khusus yang menangani penyebaran informasi/sosialisasi kepada nelayan sehingga hal ini menjadi kendala bagi kelancaran proses penyebaran informasi.

Efektivitas Sosialisasi Nota Kesepahaman dan Tingkat Pemahaman Lembaga Koordinator (Bakorkamla), Lembaga Pendukung (TNI Angkatan

Laut, Polisi Perairan, PSDKP), dan Nelayan Indonesia

Sosialisasi MoU oleh Pihak Indonesia yaitu menyampaikan point penting MoU kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut. Point penting dalam MoU yang harus disampaikan kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut yaitu mengenai batas wilayah Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka, alat tangkap ilegal yang dilarang penggunaannya berdasarkan MoU, serta tindakan yang dilakukan oleh aparat Indonesia dan Malaysia ketika ada nelayan kedua negara yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area.

Sosialisasi MoU ini harus dilakukan kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut. Sehingga nelayan dan aparat penegak hukum di laut mengetahui point penting MoU, kemudian memahami maksud dari setiap point penting tersebut, serta dilaksanakan sesuai dengan pemahaman yang sama antara Pihak Indonesia dan nelayan Indonesia.

Jika nelayan Indonesia melakukan aktivitas penangkapan ikan di

(35)

21 mereka sendiri, karena sudah mengetahui dan memahami MoU tersebut. Selain itu, jika aparat Indonesia mengetahui dan memahami MoU maka tidak terjadi kesalahpahaman mengenai tindakan yang harus dilakukan oleh aparat dilapangan yaitu pengusiran, pelaporan maupun penangkapan nelayan.

Menurut Widjaja (2010), jika mengadakan kegiatan dengan menggunakan media massa maka pelaksanaannya lebih sukar dibandingkan dengan komunikasi tatap muka. Komunikator harus dapat menyajikan pesan bagi publiknya yang beraneka ragam dengan jumlah yang besar. Selain itu feedback (umpan balik) yang terjadi adalah feedback tertunda. Keuntungan menggunakan komunikasi massa yaitu dapat menjangkau audience yang sangat luas, namun kekurangannya yaitu lebih menitikberatkan pada penyebaran informasi. Sebab, jika ingin lebih dari sekedar menginformasikan sesuatu, komunikasi massa tersebut harus diikuti lagi dengan komunikasi tatap muka, agar tujuan komunikasi dapat berhasil.

Sosialisasi MoU kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut perlu dilakukan dengan jenis komunikasi massa dan komunikasi interpersonal agar tujuan komunikasi dapat berhasil. Menurut Rudy (2005), Media yang digunakan dalam komunikasi massa yaitu media cetak, media elektronik dan media seni. Media cetak berupa surat kabar atau koran, majalah, tabloid, jurnal, buku, papan reklame, poster, dan brosur. Media elektronik seperti radio, televisi, film, internet (situs/Website). Media seni seperti patung, lukisan, grafiti, monumen, lagu, konser musik, teater rakyat, dan pertunjukkan wayang. Media yang digunakan dalam komunikasi interpersonal yaitu telephone, SMS (Short Message Service), gerak tubuh, tulisan, papan tulis, surat, memo, telegram, telex, internet (e-mail, chatting).

Menurut Widjaja (2010), pembangunan bukan hanya membutuhkan teknologi dan modal, melainkan lebih besar dari itu, ia membutuhkan pengertian, proses kesadaran dan dukungan masyarakat. Pembangunan itu jangan hanya dilihat sebagai tujuan akhir, sebab ia juga merupakan proses untuk memajukan kehidupan masyarakat. Sebagai proses, pembangunan menuntut adanya komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Pembangunan akan berhasil jika dimulai dengan suatu sistem komunikasi yang teratur, ditunjang oleh suatu sarana komunikasi yang efektif, dilaksanakan dengan cara-cara yang wajar dan sehat serta dilangsungkan secara pesat dan terus-menerus antara peserta pembangunan. Sosialisasi MoU kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut perlu dilakukan secara rutin, minimal 2 kali dalam satu tahun. Sosialisasi MoU pada awal dan akhir tahun. Pada awal tahun dilakukan sosialisasi MoU sebagai bentuk monitoring kepada nelayan dan aparat penegak hukum di laut. Pada akhir tahun dilakukan sosialisasi MoU sebagai bentuk pengingatan dan evaluasi pelaksanaan MoU.

(36)

22

MoU tersebut, bahwa informasi yang responden dapatkan tidak secara langsung dari sosialisasi Bakorkamla atau pun lembaga pendukung lainnya. Responden mendapatkan informasi dari televisi dan sesama nahkoda kapal yang pernah menjadi perwakilan dalam menghadiri sosialisasi MoU tersebut pada tahun 2012. Menurut Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla, Sosialisasi MoU dilakukan kepada beberapa perwakilan nelayan dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Sosialisasi MoU belum bisa dilakukan kepada semua nelayan yang ada di Sumatera Utara, hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh lembaga koordinator dan lembaga pendukung. Sehingga, penyebaran informasi tentang MoU ini kurang maksimal, yang menyebabkan masih banyak nelayan belum mengetahui tentang MoU ini.

Tabel 6 Pengetahuan, pemahaman serta pelaksanaan MoU RI - Malaysia oleh lembaga pendukung dan nelayan

Kewajiban pemerintah menyebarluaskan MoU kepada lembaga pendukung dan nelayan

Keterangan

Mengetahui MoU yang telah disepakati oleh Indonesia dan Malaysia pada tanggal 27 Januari 2012, Bakorkamla melakukan sosialisasi tentang MoU kepada :

Nelayan Dari 8 responden hanya 1 orang yang mengetahui tentang MoU ini. Bakorkamla Dari 1 responden yang

Dari 5 responden yang mengetahui 4 orang.

Lembaga pendukung dan nelayan mengerti dan memahami isi dari MoU tentang penanganan nelayan yang menangkap ikan di overlapping

claim area?*

Polisi Air Mengerti dan memahami TNI AL-1

Belawan

Dari 5 responden, hanya 4 orang yang mengerti dan memahami. Menangkap ikan/ melakukan

pengawasan berlandaskan pada Nota kesepahaman ?

Nelayan Dari 8 responden tidak berpedoman pada MoU, karena belum tahu MoU. Bakorkamla Mengkoordinasikan patroli dan pengawasan di overlapping claim area.

(37)

23 membaca naskah MoU tersebut, Setidaknya responden pernah mendengar tentang MoU tersebut.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kasubdit Advokasi Hukum Bakorkamla bahwa semua lembaga pendukung memiliki peran yang sama dengan Bakorkamla dalam melakukan penyebaran informasi tentang MoU RI - Malaysia yang telah disepakati oleh kedua negara. Selama ini yang berperan aktif dalam melakukan penyebaran informasi atau sosialisasi secara formal tidak hanya Bakorkamla. Lembaga pendukung seperti TNI AL-1 Belawan juga turut berperan aktif dalam melakukan sosialisasi kepada nelayan Sumatera Utara tentang batas-batas wilayah, jalur penangkapan dan penanganan nelayan yang menangkap ikan di overlapping claim area. Hal ini merupakan bentuk kesadaran dan kepedulian lembaga pendukung dalam memberikan perlindungan kepada nelayan.

Selain itu, Polisi Air Sumatera Utara dan PSDKP Belawan biasanya menyebarkan informasi secara personal kepada nelayan atau pemilik usaha perikanan. Hal ini juga dilakukan karena kesadaran individu dari instansi tersebut. Penyebaran informasi secara personal merupakan bentuk kesadaran dan kepedulian lembaga pendukung dalam melindungi nelayan ketika melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area serta hal ini merupakan solusi dari minimnya anggaran untuk sosialisasi.

Pemahaman lembaga pendukung dan nelayan tentang MoU dan pasal-pasal yang ada didalamnya merupakan indikator selanjutnya setelah pengetahuan tentang disepakatinya MoU RI - Malaysia. Berdasarkan hasil wawancara dengan 8 orang nelayan, tidak ada yang memahami tentang isi MoU RI - Malaysia, Bahkan responden belum pernah melihat naskah MoU tersebut. Selain pengetahuan nelayan tentang MoU tersebut, pengalaman nelayan dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan hingga ke wilayah perbatasan Indonesia - Malaysia menjadi penting dan menambah informasi penelitian terkait dengan kebiasaan nelayan jika berhadapan dengan aparat Malaysia yang akan menangkap kapal ikan Indonesia. Selain itu dari 6 responden PSDKP, semuanya memahami MoU RI - Malaysia. Walaupun, ada beberapa Pengawas perikanan PSDKP Belawan yang belum pernah melihat dan membaca naskah MoU tersebut, pemahaman yang responden dapatkan hanya dari informasi yang sampai kepada responden melalui pimpinan instansi tersebut atau keikutsertaan responden dalam rapat koordinasi tentang MoU RI - Malaysia yang diadakan oleh Bakorkamla.

Pengetahuan atau penerimaan nelayan terhadap penyebaran informasi yang telah dilakukan oleh lembaga koordinator dan lembaga pendukung masih sangat rendah, hal ini dilihat dari banyaknya jumlah nelayan yang belum mengetahui tentang MoU serta belum pahamnya nelayan Indonesia terkait dengan isi MoU RI

– Malaysia. Sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan dilapangan. Ketidaktahuan dan ketidakpahaman nelayan Indonesia terhadap MoU RI - Malaysia menyebabkan pelaksanaan MoU Common Guideline di lapangan kurang maksimal. Ketika aparat Malaysia akan melakukan penangkapan terhadap nelayan kapal ikan Indonesia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area, nelayan Indonesia tidak bisa membela diri dan mempertahankan haknya untuk tidak ditangkap, karena nelayan Indonesia tidak tahu jika ada

(38)

24

penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang dilarang. Selain itu, para nelayan memang tidak mendapatkan pembekalan dari lembaga koordinator maupun lembaga pendukung terkait dengan cara-cara yang sebaiknya dilakukan nelayan serta bentuk pembelaan diri nelayan apabila berhadapan dengan Aparat Malaysia di overlapping claim area. Sehingga, cara pertama yang biasanya dilakukan oleh nelayan Indonesia ketika melihat aparat Malaysia adalah menjauhi kapal aparat Malaysia, sebisa mungkin menyelamatkan diri mereka sendiri. Sehingga, resiko untuk ditangkap semakin kecil jika nelayan menjauhi kapal aparat Malaysia.

Selain sosialisasi MoU, Lembaga koordinator dan lembaga pendukung perlu memberikan pelatihan mengenai penggunaan GPS (Global Positioning System) kepada nelayan. Sehingga nelayan dapat mengontrol dengan baik terkait dengan posisi penangkapan ikan dengan batas wilayah tumpang tindih tersebut. sehingga, tidak ada lagi alasan nelayan yang tertangkap oleh aparat Malaysia akibat terbawa arus karena tidak memiliki GPS.

Begitu juga dengan Polisi Air Sumatera Utara, memahami MoU tanpa pernah melihat dan membaca MoU tersebut. Pemahaman responden sebagai lembaga pendukung di implementasikan dalam pelaksanaan dilapangan berdasarkan UU RI No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU RI No. 31 tahun 2004 tentang perikanan dalam Pasal 73 ayat (1) yang berbunyi bahwa PPNS Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat Polri memiliki kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana dibidang perikanan. Sehingga Polisi Air Sumatera Utara melakukan patroli di wilayah Perairan pedalaman sampai dengan perairan territorial dalam rangka menjalankan kewajiban sebagai lembaga pendukung yang melindungi nelayan Indonesia jika melakukan aktivitas penangkapan ikan di

overlapping claim area berdasarkan MoU tersebut.

Pengawasan atau patroli yang dilakukan oleh Bakorkamla sebagai lembaga koordinator serta PSDKP Pusat dan Belawan, Polisi Perairan Sumatera Utara dan TNI AL-1 Belawan sebagai lembaga pendukung; merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban dalam melindungi nelayan Indonesia yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area agar tidak ditangkap oleh aparat Malaysia. Karena, nelayan Indonesia memiliki hak untuk tidak ditangkap oleh aparat Malaysia jika menangkap ikan di wilayah tumpang tindih tersebut maupun sebaliknya. Hal ini, berdasarkan Pasal 3B dalam MoU RI - Malaysia yaitu apabila nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan di overlapping claim area maka nelayan hanya diminta untuk meninggalkan daerah itu dan dilakukan pemeriksaan terhadap kapal nelayan tersebut, kecuali bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat penangkapan ikan listrik dan kimia. Kemudian, pemeriksaan dan pengusiran tersebut harus segera di laporkan kepada

focal point serta segera melakukan jalur diplomasi secara terbuka.

Berdasarkan data dari Bakorkamla dan PSDKP Pusat, pada tahun 2012 terjadi 7 kali kasus penangkapan kapal ikan Indonesia oleh aparat Malaysia di

Gambar

Gambar 1  Titik koordinat klaim Indonesia dan Malaysia di Selat
Gambar 3  Peta lokasi penelitian
Tabel 3  Informasi penelitian
Tabel 4  Data sekunder penelitian
+6

Referensi

Dokumen terkait

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa DFT merupakan metode transformasi matematis sinyal waktu diskrit, sementara FFT adalah algoritma yang digunakan untuk

Setelah peneliti bercerita anak diminta oleh peneliti untuk mengulang isi cerita dengan singkat dan apa saja pesan- pesan dari cerita yang diceritakan peneliti,

\DQJ PHQMDGL NRUEDQ WLQGDNDQ ³ passing RII´ Upaya pemberian perlindungan hukum terhadap pelaku usaha akibat tindakan persaingan curang berupa passing off terhadap hak

Untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan Agama Islam, seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang evaluasi hasil belajar, diantaranya adalah teknik dan

Persoalan nasab atau garis keturunan merupakanb hal yang penting bagi berbagai lapisan suku bangsa di dunia. Darei berbagai macam kasus yang terjadi pada manusia,

Biasanya data yang disimpan dalam Hard disk adalah data reguler, yang setiap kali melakukan transaksi dilakukan pula penyimpanan, sehingga data tersebut sangat

- Lebih banyak orang muda yang hanya memikirkan kepentingan dan kepuasan diri sendiri, dan amat sedikit orang muda rela mengorbankan kepentingan atau kepuasan

Berdasarkan rentetan fenomena di atas, secara sederhana mengindikasikan bahwa PAN walaupun sebagai partai terbesar di kabupaten Majene, namun kaderisasi internal yang