• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Ailanthus altissima terhadap Perubahan Histopatologi Hati Mencit

Dari hasil pengamatan histopatologi pada hati mencit ditemukan adanya beberapa lesio yang terjadi di area sekitar vena sentralis dan vena porta. Lesio- lesio tersebut terjadi pada kelompok perlakuan maupun kontrol berupa nekrosa, degenerasi hidropis, dan degenerasi lemak (Gambar 7). Di samping itu, terdapat perluasan sinusoid di sekitar vena sentralis (Gambar 8). Akan tetapi, perluasan sinusoid ini tidak dijadikan parameter dalam perubahan mikroskopis akibat pemberian ekstrak A. altissima.

Gambar 7 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak A. altissima dosis 1 mg/kg BB. Lesio hepatosit di sekitar vena sentralis berupa: degenerasi lemak (panah A) dan nekrosa dengan inti piknotis (panah B), dilatasi sinusoid (panah C), dan degenerasi hidropis (panah D). Pewarnaan HE; Bar: 2 µm.

Gambar 8 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak A. altissima dosis 1 mg/kg BB. Lesio hepatosit di sekitar vena porta berupa: degenerasi lemak (panah A) dan nekrosa (panah B). Pewarnaan HE; Bar: 2 µm.

Perbandingan lesio antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat diketahui melalui penghitungan persentase jumlah sel yang mengalami lesio pada 10 lapang pandang luas 13x15,5 m2. Hasil penghitungan kemudian dianalisa dengan metode statistika menggunakan uji ANOVA sebagai cara untuk mengetahui tingkat perbedaan dari masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol. Apabila dari hasil uji ANOVA ditemukan adanya tingkat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penghitungan persentase jumlah hepatosit yang mengalami lesio-lesio tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak A. altissima. Persentase Lesio Hepatosit

Dosis (mg/kg Normal Degenerasi Hidropis Degenerasi Lemak Nekrosa Kontrol 37.38±9.38ab 25.51±16.12a 2.81±1.17a 34.30±7.60a 1 32.11±3.79a 40.19± 5.75b 1.12±0.40a 26.58±3.74ab 10 45.30±3.40b 17.38± 6.53a 3.02±1.48a 34.30±4.51a 100 40.98±8.96b 27.53±12.64a 2.27±0.61a 29.22±4.64ab 1000 44.13±3.78b 22.39± 6.60a 2.75±0.87a 30.74±3.45ab

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05

Persentase lesio degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan dosis 1 dan 100 mg/kg BB lebih tinggi daripada kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 10 dan 1000 mg/kg BB mempunyai persentase lebih rendah daripada kontrol. Hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara dosis 1 mg/kg BB dibandingkan dengan kontrol (p<0,05). Lesio yang terjadi pada kelompok perlakuan dosis 1 mg/kg BB kemungkinan karena kondisi patofisiologis mencit yang berbeda-beda selama penelitian. Selain itu, lesio degenerasi hidropis bisa berlanjut ke nekrosa. Pada dosis lebih tinggi proses akan lebih akut dan langsung menyebabkan lesio nekrosa.

Lesio degenerasi lemak pada kelompok perlakuan 1, 100, dan 1000 mg/kg BB memiliki persentase yang lebih rendah daripada kontrol, sedangkan pada kelompok perlakuan dosis 10 mg/kg BB memiliki persentase yang lebih tinggi daripada kontrol. Akan tetapi hasil uji statistik memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata diantara kelompok perlakuan dengan kontrol (p>0,05). Persentase hepatosit yang mengalami nekrosa pada kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Sementara dari hasil uji statistik memperlihatkan kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak A. altissima tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada mencit kelompok perlakuan.

Persentase lesio hepatosit yang terjadi pada masing-masing perlakuan ditunjukkan dalam diagram batang berikut:

Persentase Lesio Hepatosit 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Kontrol 1 10 100 1000 Dosis (mg/kg) L e s io ( % )

Gambar 9 Diagram persentase lesio hepatosit mencit berupa degenerasi lemak (hijau), degenerasi hidropis (kuning), nekrosa (merah), dan normal (biru).

Pada gambar 9 ditemukan adanya perubahan hepatosit berupa degenerasi maupun nekrosa yang terjadi di seluruh kelompok perlakuan maupun kontrol. Lesio degenerasi hidropis dan degenerasi lemak bersifat reversible, artinya sel yang telah rusak dapat kembali normal jika penyebab kerusakan sudah tidak ada. Degenerasi hidropis yang terjadi pada kelompok kontrol dianggap terjadi karena mencit yang digunakan bukan mencit Spesific Pathogen Free (SPF) sehingga wajar jika ditemukan gangguan metabolisme yang bersifat tidak spesifik. Apabila tidak ditemukan perbedaan yang signifikan secara statistik pada kelompok perlakuan dan kontrol maka perubahan tersebut dianggap terjadi karena gangguan yang tidak spesifik. Pada diagram di atas, persentase nekrosa pada dosis 1, 10, 100 dan 1000 mg/kg BB tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Pada hasil uji statistik juga memperlihatkan perbedaan yang tidak nyata antara kelompok perlakuan dengan kontrol.

Kerusakan sel dimulai dari membran sel, karena membran sel merupakan organel sel yang pertama kali berkontak dengan lingkungan ekstraselular. Selain itu, membran sel merupakan tempat lewatnya ion-ion (sodium-potasium) dan molekul kompleks. Kerusakan membran sel akibat toksin dapat menyebabkan ion sodium banyak disimpan di dalam sel, sehingga terjadi penarikan cairan

ekstraseluler ke dalam sel dan menyebabkan kebengkakan sel (Cheville 1999). Sel yang membengkak dihasilkan dari pemasukkan air yang berlebih akibat peningkatan muatan osmotik intraselular. Peningkatan muatan osmotik ini dihasilkan dari aktivitas molekul-molekul yang bekerja dalam metabolisme seluler. Selain itu, kebengkakan sel dapat terjadi akibat hilangnya kemampuan sel normal dalam mengatur pergerakan ion-ion dan air yang melewati membran sel. Kondisi ini diikuti dengan hancurnya produk-produk ATP dan kreatin fosfat seperti laktase. Sel membutuhkan ATP-ase untuk mengaktifkan pompa sodium- potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Pada keadaan normal tiga molekul sodium dipompa keluar sel untuk setiap dua molekul potasium yang dipompa ke dalam sel (Cooper dan Slauson 2002). Kebengkakan sel tersebut dinamakan degenerasi hidropis, yang merupakan kerusakan sel bersifat sementara (reversible), sehingga sel dapat kembali normal bila intoksikasi dihentikan (Cooper dan Slauson 2002).

Kerusakan lain yang terjadi adalah degenerasi lemak. Lesio hepatosit ini terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk kontrol. Akumulasi lemak terjadi karena ketidakmampuan jaringan bukan lemak untuk memetabolik sejumlah lipid yang ada karena penurunan aktivitas enzim seluler (Macfarlane et al. 2000). Pelepasan asam lemak bebas secara berlebihan dari jaringan adiposa mengakibatkan peningkatan jumlah asam lemak di hati. Asam-asam lemak terakumulasi dan disimpan sebagai trigliserida di retikulum endoplasmik halus. Defisiensi metionin atau kolin menyebabkan lemak diubah menjadi digliserida dan trigliserida. Trigliserida dibawa dalam vakuola-vakuola globula lemak dan bergabung dengan apoprotein yang disintesa di retikulum endoplasmik kasar membentuk lipoprotein. Lipoprotein dan Low Density Lipoprotein (LDL) mengalami hidrolisa menjadi kolesterol, fosfolipid, kemudian dikeluarkan dalam bentuk Very Low Density Lipoprotein (VLDL). Akumulasi trigliserida oleh hepatosit menyebabkan gangguan sekresi lipoprotein dari hati. Gangguan sintesis apoprotein berkaitan dengan kemampuan hepatosit untuk mensintesa lipoprotein yaitu bentukan trigliserida ketika diekskresikan di hati. Mekanisme ini terlibat dalam perubahan lemak pada waktu lapar atau diet kalori yang tinggi, dimana asam lemak bebas dimobilisasikan dari tempat penyimpanan lemak tubuh dan

ditransportasikan ke hati untuk sintesis glukosa (glukoneogenesis) sebagai sumber energi. Berbagai macam bahan beracun tarmasuk etionin, karbon tetraklorida, uromisin, dan fosfor dapat merusak retikulum endoplasmik kasar dan berkaitan dengan sintesis protein (Cooper dan Slauson 2002). Dengan demikian, kemungkinan degenerasi lemak terjadi karena kerja enzim dalam metabolisme lemak dihambat oleh senyawa yang terkandung dalam ekstrak A. altissima. Akan tetapi senyawa tersebut menimbulkan kerusakan yang tidak signifikan jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dikarenakan degenerasi lemak bersifat reversible, artinya sel yang telah rusak dapat kembali normal jika paparan toksin dihentikan.

Perubahan mikroskopis pada jaringan yang mati akibat proses otolisis antemortem dinamakan nekrosa. Berbagai macam perubahan ringan yang mengindikasikan adanya nekrosa terlihat di inti sel yang mati. Perubahan tersebut berhubungan dengan keadaan yang mencirikan penampilan mikroskopis yang spesifik pada nukleus. Dari hasil pemeriksaan histopatologi ditemukan beberapa sel yang mengalami nekrosa, sedangkan pada hasil penghitungan dengan uji statistik menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Beberapa bentuk perubahan nekrosa yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi adalah piknotis dan karyolisis. Piknotis merupakan salah satu perubahan yang umum yang terjadi saat kematian sel, tetapi tidak semua sel-sel yang mengalami kematian terlihat piknotis. Nukleus yg mengalami piknotis ukurannya mengecil, bulat dan ketika diwarnai dengan Hematoksilin Eosin warnanya terlihat homogen biru kehitaman sampai hitam (hiperkromatik). Perubahan ini terjadi karena asam nukleat dari kromatin telah diurai secara enzimatis oleh nukleoprotein yang terdapat di dalamnya, sedangkan nukleus yang lebih asam akan menarik lebih banyak basa dari Hematoksilin. Pada inti yang mengalami piknotis terjadi pemendekan kromatin dan dibatasi oleh membran nukleus yang rusak. Selain itu, bahan pemisah antara eukromatin dan heterokromatin akan berkurang. Karyolisis adalah proses pecahnya atau lisisnya kromatin nukleus pada kematian sel oleh pelepasan nukleus akibat kebocoran lisosom. Kromatin yang telah pecah akan menyebar keluar melalui membran nukleus yang bocor menuju ke sitosol dan cairan

interstisial. Ketika proses karyolisis telah sempurna membran nukleus menghilang (Jones et al. 2006).

Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak A. altissima

Berdasarkan hasil pengamatan pada vena porta dan vena sentralis ditemukan kelainan hepatosit berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa pada setiap kelompok perlakuan. Kerusakan hepatosit umumnya dimulai dari vena porta yang kemudian meluas pada vena sentralis. Hal ini dikarenakan vaskularisasi dari saluran pencernaan menuju ke hati melalui vena porta. Apabila darah dari saluran pencernaan mengandung toksin maka lesio awal pada hepatosit akan ditemukan di sekitar vena porta. Setelah melewati vena porta toksin tersebut akan dimetabolisme oleh hati. Hasil metabolisme akan dibawa oleh aliran darah melewati sinusoid menuju vena sentralis. Metabolit toksin tersebut akan menyebabkan terjadinya kerusakan hepatosit di sekitar vena sentralis (Macfarlane et al. 2000). Untuk mengetahui perbandingan persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis maka jumlah hepatosit dihitung per lapang pandang pada daerah sekitar vena sentralis dan vena porta. Hasil penghitungan lesio hepatosit ini disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Persentase lesio hepatosit pada vena porta dan vena sentralis yang diberi ekstrak A. altissima.

Keterangan : - Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05

- vc : vena sentralis ; vp : vena porta

Berdasarkan uji statistik persentase lesio hepatosit berupa degenerasi lemak di sekitar vena porta dan vena sentralis pada masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (p>0,05), sedangkan hasil uji statistik persentase lesio degenerasi hidropis terdapat perbedaan yang nyata antara dosis 1 mg/kg BB dengan kontrol. Begitu pula dengan persentase sel yang mengalami nekrosa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (p>0,05). Pada dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB persentase sel yang mengalami nekrosa lebih rendah dibandingkan kontrol, sedangkan persentase sel normal pada dosis tersebut lebih tinggi daripada kontrol. Perbedaan nilai ini terjadi akibat variasi respon hepatosit mencit setiap kelompok perlakuan terhadap paparan senyawa toksin. Dari Tabel 2 persentase lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis lebih banyak ditemukan di daerah sekitar vena porta dibandingkan daerah sekitar vena sentralis. Hal ini disebabkan toksin yang masuk ke hati melalui aliran darah dari usus langsung menuju vena porta, sehingga vena porta lebih dahulu terpapar toksin dibandingkan vena sentralis. Hal ini yang menyebabkan terjadi kerusakan sel berupa degenerasi, yaitu degenerasi hidropis. Akan tetapi lesio degenerasi lemak dan nekrosa memiliki persentase lebih tinggi di sekitar vena sentralis dibandingkan di sekitar

Persentase Lesio Hati Dosis

(mg/kg BB)

Lokasi Normal Degenerasi Hidropis Degenerasi Lemak Nekrosa Kontrol vc 38.07±10.38ab 24.87±16.75b 3.06±1.08ab 34.00±7.20a vp 36.69±8.62ab 26.14±15.72b 2.57±1.38a 34.60±8.21a 1 vc 34.01±3.88a 36.58±7.71a 1.26±0.69a 28.15±4.69a vp 30.21±4.78a 43.81±5.76a 0.97±0.37a 25.01±3.00a 10 vc 46.86±3.06b 14.01±5.36b 3.51±2.03ab 33.62±4.27a vp 43.74±3.97b 20.75±7.72b 2.53±0.98a 32.98±4.76a 100 vc 42.68±8.95b 24.94±12.59b 2.40±1.12a 29.98±4.52a vp 39.28±9.41b 30.12±13.12ab 2.15±0.66a 28.45±5.25a 1000 vc 46.16±3.84b 17.40±4.46b 3.27±1.21ab 33.17±3.31a vp 42.09±4.60b 27.38±9.25b 2.23±0.56a 28.30±4.49a

vena porta. Hal ini dikarenakan senyawa metabolit yang dimetabolisme oleh hati dibawa menuju vena sentralis, dan karena toksin yang masuk telah merusak vena porta, sehingga enzim-enzim di dalam hati tidak dapat mematabolisme lemak. Dengan demikian terjadi akumulasi di vena sentralis. Oleh karena itu, kerusakan degenerasi lemak lebih banyak terjadi di sekitar vena sentralis. Hepatosit pada mencit dewasa biasanya terdiri atas droplet lemak yang lebih banyak terdapat di sentrolobularis daripada di area periportal (Harada et al. 1999).

Perbandingan lesio hepatosit pada vena sentralis dan vena porta yang diberi ekstrak A. altissima ditunjukkan juga melalui diagram batang berikut ini (gambar 10).

Perbandingan Lesio Hepatosit pada Vena Sentralis dan Vena Porta

0% 20% 40% 60% 80% 100% VC VP VC VP VC VP VC VP VC VP Kontrol 1 10 100 1000 Dosis (mg/kg BB) L e s io ( % )

Gambar 10 Diagram lesio hepatosit pada vena sentralis (vc) dan vena porta (vp) berupa degenerasi lemak (hijau), degenerasi hidropis (kuning), nekrosa (merah) dan hepatosit normal (biru) pada hati mencit yang diberi ekstrak A. altissima.

Dari diagram batang pada gambar 10 menunjukkan adanya lesio hepatosit berupa degenerasi hidropis yang lebih banyak ditemukan di daerah sekitar vena porta. Walaupun persentase sel yang mengalami degenerasi lemak lebih banyak terjadi di sekitar vena sentralis, tetapi pada diagram di atas tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini dikarenakan lesio degenerasi hidropis dan degenerasi lemak merupakan lesio yang bersifat reversible, sehingga kemungkinan lesio degenerasi hidropis pada vena sentralis telah berkurang dan

beberapa sel telah kembali normal. Pada diagram di atas juga memperlihatkan persentase sel yang mengalami nekrosa di sekitar vena porta dan vena sentralis berbanding lurus dengan persentase sel normal di sekitar vena porta maupun vena sentralis. Hal ini menunjukkan bahwa lesio hepatosit kontrol dan lesio hepatosit kelompok perlakuan menunjukkan kecenderungan yang sama, sehingga metabolit yang berasal dari ekstrak A. altissima tidak berpotensi sebagai toksikan pada sel hati.

Pengaruh Pemberian Ekstrak A. altissima Terhadap Perubahan Histopatologi Organ Ginjal Mencit

Unit fungsional ginjal disebut sebagai nefron yang terdiri atas glomerulus dan sistem tubular yang bergabung menjadi suatu duktus. Glomerulus merupakan suatu kompleks kapiler yang saling berikatan membentuk mesangium yang mengandung matriks glikoprotein (MacLachlan dan Cullen 1995). Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh molekul protein berukuran besar. Akan tetapi apabila terjadi disfungsi glomerulus yang disebabkan oleh bahan-bahan toksik, maka bahan-bahan toksik tersebut dapat melewati glomerulus dengan mudah dan masuk ke dalam tubuli dengan jumlah yang tidak normal (Seely 1999).

Berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi ginjal mencit menunjukkan adanya kerusakan pada glomerulus dan tubulus. Kerusakan yang terjadi pada glomerulus berupa atrofi (Gambar 11) dan endapan protein dalam ruang Bowman (Gambar 12), sedangkan lesio yang terjadi pada tubulus meliputi nekrosa, degenerasi hidropis (Gambar 11), dan endapan protein (Gambar 12). Pada bagian interstisium terdapat kongesti (Gambar 12) yang kemungkinan terjadi karena hewan dimatikan dengan eter over dosis.

Gambar 11 Gambaran histopatologi jaringan ginjal mencit akibat pemberian ekstrak A. altissima dosis 1000 mg/kg BB. Lesio glomerulus berupa atrofi (panah A), nekrosa epitel tubuli (panah B) dan degenerasi hidropis sel epitel tubuli (panah C). Pewarnaan HE; Bar 2µm.

Gambar 12 Gambaran histopatologi jaringan ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima dosis 100 mg/kg BB. Endapan protein glomerulus (panah A), endapan protein pada tubuli (panah B), kongesti interstitium (panah C). Pewarnaan HE; Bar: 2µm.

Untuk mengetahui tingkat keparahan lesio pada glomerulus dan tubuli ginjal akibat pemberian ekstrak A. altissima maka dilakukan penghitungan persentase glomerulus yang mengalami atrofi dan endapan protein, persentase tubuli yang mengalami degenerasi hidropis dan nekrosa, serta persentase tubuli yang mengalami endapan protein. Hasil penghitungan persentase disajikan pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3 Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus mencit yang diberi ekstrak A. altissima.

Persentase Lesio Glomerulus

Dosis (mg/kg BB) Normal Endapan Protein Atrofi Kontrol 75±9.35a 16±4.18a 9±6.52a

1 77±5.70a 11±6.52a 12±4.47a

10 76±6.52a 14±7.42a 10±3.54a

100 69±10.84a 19±4.18a 12±8.37a 1000 63±8.37a 18±6.71a 19±4.18a

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai-p <0,05

Tabel 4 Hasil pemeriksaan histopatologi tubuli ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima.

Persentase Lesio Tubulus Dosis (mg/kg BB) Normal Degenerasi Hidropis Nekrosa Endapan Protein Kontrol 85.90±0.69a 1.96±0.52ab 10.93±0.41a 1.20±0.34a 1 85.72±2.09a 2.48±0.76a 10.87±2.12a 0.92±0.24a 10 76.42±5.24b 1.29±0.49b 21.28±5.36b 1.02±0.18a 100 58.94±5.68c 1.42±0.46b 38.70±5.55b 0.94±0.15a 1000 50.49±3.83d 2.11±0.59ab 46.04±3.97b 1.37±0.35a Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata dengan nilai-p <0,05

Berdasarkan hasil penghitungan lesio endapan protein pada glomerulus, persentase lesio kelompok perlakuan dosis 1 dan 10 mg/kg BB lebih rendah daripada kontrol, sedangkan kelompok perlakuan dosis 100 dan 1000 mg/kg BB memiliki persentase yang lebih tinggi daripada kontrol. Akan tetapi setelah dilakukan uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara kelompok perlakuan dosis 1, 10, 100, 1000 mg/kg BB jika dibandingkan dengan kontrol. Begitu pula dengan atrofi glomerulus yang menunjukkan perbedaan yang

tidak signifikan antara kelompok perlakuan dengan kontrol, sedangkan jumlah kerusakan yang terjadi pada kelompok perlakuan dosis 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB lebih banyak dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan pada setiap kelompok perlakuan cenderung terjadi kerusakan ringan dan memberikan respon patofisiologis mencit yang berbeda-beda.

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase lesio degenerasi hidropis tubuli di antara kelompok perlakuan dosis 10 dan 100 mg/kg BB lebih rendah dibandingkan kelompok perlakuan dosis 1 dan 1000 mg/kg BB. Akan tetapi, hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan kelompok kontrol. Perbedaan persentase terjadi akibat lesio degenerasi hidropis bersifat reversible, sehingga lesio dapat menurun atau meningkat tergantung pada tingkat keparahan lesio yang terjadi pada sel-sel epitel tubuli tersebut.

Kerusakan sel berupa nekrosa antara kelompok dosis 10, 100, dan 1000 mg/kg BB menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol, sedangkan kelompok dosis 1 mg/kg BB tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kelompok kontrol.Lesio nekrosa pada tubuli ginjal tersebut kemungkinan terjadi karena senyawa-senyawa yang bersifat nefrotoksik yang terkandung dalam ekstrak A. altissima. Efektivitas toksin sangat bergantung pada tiga faktor yaitu 1) jenis senyawa, 2) konsentrasi, dan 3) target organ, sehingga derajat keparahan terhadap lesio yang ditimbulkan bergantung pada ketiga faktor tersebut (Hatzios 2005).

Perubahan yang terjadi pada glomerulus dan tubuli ginjal akibat pemberian ekstrak A. altissima dapat dilihat melalui diagram batang berikut:

Persentase Lesio Glomerulus 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Kontrol 1 10 100 1000 Dosis (mg/kg BB) L e s io ( % )

Gambar 13 Diagram persentase lesio glomerulus berupa endapan protein (kuning), atrofi (merah) dan glomerulus normal (biru) pada ginjal mencit yang diberi ekstrak A. altissima.

Persentase Lesio Tubulus

0% 20% 40% 60% 80% 100% Kontrol 1 10 100 1000 Dosis (mg/kg) L e s io ( % )

Gambar 14 Diagram persentase lesio tubuli berupa degenerasi endapan protein (hijau), degenerasi hidropis (kuning), nekrosa (merah), dan tubuli normal (biru) pada ginjal mencit yang diberi ektrak Ailanthus altissima.

Dari diagram batang pada gambar 13 memperlihatkan persentase glomerulus yang mengalami endapan protein meningkat pada dosis 100 dan 1000 mg/kg BB, sedangkan persentase atrofi glomerulus telah mengalami peningkatan pada dosis 1 mg/kg BB. Akan tetapi peningkatan yang terjadi pada kedua lesio tidak signifikan jika dibandingkan dengan peningkatan lesio nekrosa yang terjadi pada tubulus. Pada gambar 13 juga memperlihatkan adanya persentase glomerulus normal pada setiap kelompok perlakuan maupun kontrol yang lebih tinggi jika dibandingkan persentase lesio glomerulus.

Kerusakan pada sel tubuli ginjal dan sel epitel kapiler glomerulus juga bermula dari kerusakan organel-organel sel. Pada glomerulus dapat terjadi atrofi akibat masuknya senyawa-senyawa yang bersifat toksik ke dalam ginjal. Atrofi adalah proses penyusutan, pembuangan sebuah organ atau jaringan sehingga bentuk dan ukuran organ atau jaringan tersebut menjadi lebih kecil. Pada awalnya kerusakan glomerulus ini dikarenakan organel-organel sel epitel pada kapiler glomerulus tidak melakukan fungsinya dengan baik. Semakin banyak sel epitel yang rusak mengakibatkan hilangnya jumlah sel maupun komponen sel pada kapiler glomerulus, sehingga permeabilitas kapiler meningkat. Kerusakan seperti ini dinamakan atrofi glomerulus (Macfarlane et al. 2000). Atrofi glomerulus dicirikan dengan adanya glomerulus yang mengecil dalam ruang Bowman sehingga ruang di antara kapsula Bowman dan glomerulus semakin meluas (Jones et al. 2006). Glomerulus berfungsi dalam memfiltrasi darah dan menghasilkan filtrat yang bebas protein. Adanya akumulasi protein dalam ruang Bowman dan mesangium mengindikasikan adanya permeabilitas kapiler yang meningkat sehingga molekul protein yang besar menembus filter (Cotran dan Kumar 1989). Dalam keadaan normal hanya sedikit filtrat protein yang ditemukan pada glomerulus, dan filtrat tersebut akan di reabsorbsi oleh sel epitel dari tubulus proksimal. Ketika konsentrasi protein tinggi dalam filtrat, yaitu pada kejadian proteinuria, misalnya pada kerusakan glomerulus, protein tersebut akan diangkut oleh sel epitel dari tubulus proksimal ke dalam vesikel dimana pada pewarnaan HE (Hematoksilin Eosin) akan terlihat seperti butir-butir hialin dalam sitoplasma. Vesikel tersebut akan bergabung dengan lisosom untuk membentuk fagolisosom, dimana protein di metabolisme (McGavin dan James 2007).

Masuknya senyawa toksin yang terkandung di dalam ekstrak A. altissima sedikit berpengaruh terhadap laju filtrasi glomerulus, sehingga persentase kerusakan yang muncul lebih rendah dibandingkan dengan persentase glomerulus yang normal, hal ini dapat dilihat pada gambar 13.

Diagram batang pada gambar 14 memperlihatkan adanya lesio di tubuli proksimal ginjal berupa degenerasi hidropis, nekrosa, dan endapan protein. Persentase lesio degenerasi hidropis dan endapan protein di tubuli proksimalis menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (p>0,05). Sama halnya dengan degenerasi hidropis pada hepatosit, degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal dicirikan dengan adanya pembengkakan pada sitoplasma, bersifat sementara (reversible) dan sel dapat kembali normal apabila paparan toksikan dihentikan (Cooper dan Slauson 2002; Seely 1999). Pada kerusakan sel epitel tubuli terjadi akibat masuknya toksin yang menyebabkan kerusakan membran sel, yang ditandai dengan penurunan ATP untuk penyediaan energi. Dalam hal ini ATP dibutuhkan untuk proses reabsorpsi zat-zat dan cairan dalam tubulus. Kerusakan pada membran sel akan menurunkan produksi ATP yang dihasilkan di mitokondria dan pengurangan pompa sodium, sehingga keseimbangan pengaturan ion sodium- potasium intraselular terganggu (Cheville 2006). Kegagalan dalam mengatur keseimbangan ion sodium intraselular mengakibatkan masuknya sejumlah cairan secara berlebih ke dalam sel. Peningkatan cairan intraselular tersebut

Dokumen terkait