• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Logam Berat pada Air LautKandungan Logam Berat pada Air Laut

Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan densitas lebih besar dari 5 g/cm3, terletak di sudut kanan bawah pada sistem periodik unsur, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92, dari periode empat sampai tujuh (Setiawan 2013). Logam berat dapat mencemari air laut. Air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan, dimana buangan limbah dari daratan akan bermuara ke laut (Ika et al. 2012).

Biomassa dan EPS P. cruentum pada penelitian ini akan digunakan ke arah

farmasi sehingga harus aman dari logam berat. Media kultivasi mikroalga

P. cruentum menggunakan air laut sehingga perlu diketahui kadar kandungan logam beratnya. Kandungan logam berat pada media air laut P. cruentum dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan logam berat pada air laut

No. Parameter Satuan DL Sampel BM Metode

1 Raksa (Hg) µg/L 0.020 <0.020 10 APHA, 2012 3112-B

2 Arsen (As) µg/L 0.044 <0.044 12 APHA, 2012 3114-B

3 Kadmium (Cd) mg/L 0.001 <0.001 0.001 APHA, 2012,3111-C

4 Tembaga (Cu) mg/L 0.003 0.007 0.008 APHA, 2012,3111-C

5 Timbal (Pb) mg/L 0.006 <0.006 0.008 APHA, 2012,3111-C

6 Seng (Zn) mg/L 0.004 0.018 0.05 APHA, 2012,3111-C

7 Nikel (Ni) mg/L 0.003 <0.003 0.05 APHA, 2012,3111-C

Ket : DL = Deteksi Limit

BM = Baku Mutu berdasarkan Kepmen-LH 51 Tahun 2004 Lampiran III

(untuk biota laut)

Kandungan logam berat Hg, As, Cd, Cu, Pb, Zn, dan Ni pada air laut memenuhi standar baku mutu air laut untuk biota air laut berdasarkan Kepmen-LH 51 tahun 2004 sehingga dapat digunakan sebagai media kultivasi P. cruentum. Air laut diambil dari laut lepas Jakarta sehingga jauh dari kontaminasi limbah industri dan manusia. Penelitian Rochyatun dan Rozak (2007) menunjukkan bahwa kadar logam berat dipengaruhi oleh letak pengambilan sampel. Kadar logam berat dalam air laut semakin tinggi jika letaknya dekat dengan daerah industri, pemukiman penduduk, dan pantai. Kadar logam berat dalam air laut semakin rendah jika jauh ke arah laut. Rochyatun et al. (2006) menjelaskan rendahnya kadar logam berat dalam air laut karena kemampuan perairan tersebut cukup tinggi untuk mengencerkan logam berat dengan pengaruh pola arus pasang surut.

13

Karakteristik P. cruentum

Mikroalga P. cruentum pada media Guillard yang dipanen umur 40 hari memiliki sel berwarna merah dengan ukuran diameter sel 4.86-9.93 µm (Gambar 4) dan nilai OD P. cruentum sebesar 0.83 ± 0.00. Diameter sel pada penelitian ini sesuai standar diameter sel P. cruentum. Prasetyo et al. (2015) menyatakan diameter sel P. cruentum umur 12 hari sebesar 5.11 µm dan OD umur 40 hari sebesar 0.88.

Gambar 4 Sel P. cruentum perbesaran 40 kali

Medium kultivasi pada umur 40 hari memiliki viskositas 7.97 ± 0.25 cp, pH 7.64 ± 0.00, dan salinitas 47.23 ± 0.05‰. Viskositas pada penelitian ini rendah karena berkaitan dengan jumlah EPS yang dilepaskan ke medium. Jumlah EPS dipengaruhi media yang digunakan dan waktu pemanenan. Nilai pH pada penelitian ini sesuai dengan pH standar media untuk pertumbuhan P. cruentum. Salinitas medium kultivasi pada penelitian ini tinggi karena menggunakan air laut dengan penambahan mineral-mineral tertentu.

Sobzcuk et al. (2006) menyatakan nilai pH media pertumbuhan P. cruentum

7.7. Bhatnagar et al. (2014) menjelaskan mikroalga Nostoc calcicola yang dikultivasi pada media BG11 dengan penambahan NaCl (0-1 M) dan kondisi fosfor terbatas (0.023 mM), penyinaran 12:12 dipanen umur 45 hari pada fase stasioner memiliki viskositas 55-65 cp. Mishra dan Jha (2009) meneliti pengaruh perbedaan konsentrasi NaCl (0.5-5 M) terhadap EPS Dunaliella. Eksopolisakarida tertinggi didapatkan pada Media Walne dengan penambahan NaCl 5 M.

Karakteristik Membran UF 0.05 dan 0.01 µm

Fluks dan permeabilitas UF 0.05 dan 0.01 µm pada berbagai tekanan dapat dilihat pada Gambar 5. Permeabilitas UF 0.05 µm lebih besar dibandingkan UF 0.01 µm. Hal ini disebabkan perbedaan ukuran pori yang digunakan. Semakin kecil ukuran pori membran UF maka energi yang digunakan untuk mendorong permeat semakin besar sehingga pada tekanan yang sama fluks dan permeabilitas yang dihasilkan semakin kecil. Sun et al. (2014) menyatakan permeabilitas dipengaruhi ukuran pori dan jenis bahan membran yang digunakan. Permeabilitas membran

14

fluoropolymer 100 kDa, polysulfone 100 kDa, dan regenerated cellulose acetate

10 kDa sebesar 270.9 L/m2jam bar, 177.4 L/m2jam bar, dan 52.1 L/m2jam bar.

Gambar 5 Karakteristik membran UF (■ = 0.05 µm dan ● = 0.01 µm) pada berbagai tekanan transmembran

Fluks pada membran UF 0.05 µm dan 0.01 µm semakin meningkat dengan meningkatnya tekanan sampai mencapai titik optimal. Li et al. (2011) menyatakan pada hukum Darcy, permeat fluks akan berhubungan dengan tekanan, viskositas umpan, ketahanan hidrolik membran, ketahanan lapisan terhadap konsentrasi polarisasi, ketahanan pori dalam menahan, ketahanan lapisan dalam penyerapan, dan ketahanan lapisan terhadap gel. Tekanan menyebabkan perbedaan tekanan hidrolik antara umpan dan permeat membran. Fluks permeat akan meningkat secara linear seiring dengan peningkatan tekanan. Peningkatan fluks permeat pada tekanan tinggi menyebabkan naiknya total ketahanan membran sehingga titik kritis fluks permeat dapat diamati pada ambang tekanan. Proses UF pada tekanan dengan kondisi sub kritis penting untuk dihindari karena menyebabkan degenerasi membran.

Karakteristik Permeat pada Pemanenan P. cruentum

Nilai fluks P. cruentum yang dipanen menggunakan UF 0.05 µm dapat dilihat pada Gambar 6. Penurunan nilai fluks diduga karena tertahannya biomassa, EPS, dan bahan lainnya pada permukaan membran atau masuk ke dalam pori membran membentuk fouling. Sun et al. (2013) melaporkan bahwa penurunan fluks pada proses membran karena sel mikroalgamelapisi permukaan membran sehingga terjadi fouling. Keberadaan EPS pada medium kultivasi juga menyebabkan terjadinya peningkatan lapisan sehingga menurunkan nilai fluks. Penurunan fluks pada menit pertama sangat besar dan mulai melambat pada menit-menit selanjutnya. y = 137,32x + 40,833 R² = 0,9686 y = 62,375x + 0,1297 R² = 0,9971 0 50 100 150 200 250 0 0,25 0,5 0,75 1 1,25 1,5 Fluk s (L /m 2jam ) Tekanan (bar) UF 0.05 µm UF 0.01 µm

15

Gambar 6 Fluks terhadap waktu pada proses pemanenan

Penurunan fluks pada awal proses disebabkan terjadinya lapisan gel pada permukaan sehingga menyebabkan terjadinya fouling. Penurunan fluks selanjutnya disebabkan terjadinya densifikasi lambat pada lapisan gel. Penyebab utama terjadi

fouling pada membran karena konsentrasi polarisasi. Konsentrasi polarisasi menyebabkan terjadinya pengendapan pada permukaan membran. Pelarut dan zat terlarut pada proses UF melewati membran. Molekul zat pelarut dapat menembus membran sedangkan zat terlarut dengan molekul lebih besar sebagian menumpuk di permukaan membran dan sebagian lagi ditolak dan berdifusi kembali ke umpan. Zat terlarut yang terkonsentrasi pada permukaan membran umumnya 20-50 kali lebih tinggi dari konsentrasi larutan umpan dan membentuk lapisan gel pada permukaan membran sehingga menjadi penghalang sekunder aliran yang melewati membran (Baker 2012).

Nilai OD fraksi R1 sebesar 0.88 dan mengalami peningkatan 6% dibandingkan sebelum pemanenan. Peningkatan OD kecil pada R1 disebabkan sel P. cruentum lebih banyak terperangkap di dalam pori membran dan menyebabkan fouling sehingga biomassa dikeluarkan melalui proses backwash. Zhang et al. (2013) melakukan pemanenan Chlorella sp. menggunakan membran UF. Biomassa yang didapatkan melalui proses backwash. Konsentrasi awal

biomassa Chlorella sp 29 g/L menjadi 248.6 g/L. Nilai rejeksi biomassa

P. cruentum tinggi (Gambar 7). Membran UF 0.05 µm efektif menahan biomassa

P. cruentum. Perubahan OD dapat dilihat dari penurunan fluks lebih cepat pada saat VCF 0-1.67 dan mulai stabil pada VCF 2.7-5 (Gambar 8). Volume concentration factor semakin besar menunjukkan konsentrasi umpan semakin lama semakin kental sehingga memengaruhi laju aliran pada proses pemanenan

Mikroalga yang dipanen menggunakan UF memiliki rejeksi tinggi. Huang

et al. (2012) menyatakan Chlorella sp. dipanen menggunakan UF 0.02 µm. Rejeksi biomassa sebesar 87.2-95.5%. Chaiklahan et al. (2014) menyatakan Spirulina

dipanen menggunakan UF 10-100 kDa. Rejeksi biomassasebesar 90-95%. 0 20 40 60 80 100 120 140 0 1 2 3 4 5 Fl u k s (L/m 2jam ) Waktu (menit)

16

Gambar 7 Rejeksi biomassa pada proses pemanenan

Gambar 8 VCF terhadap fluks pada proses pemanenan

Karakteristik P1 pada proses pemanenan dapat dilihat pada Tabel 3. Viskositas permeat menurun 69.9% jika dibandingkan dengan umpan karena biomassa tidak lolos melewati membran. Biomassa berkontribusi terhadap viskositas pada medium mikroalga. Salinitas permeat mengalami penurunan 10.3% jika dibandingkan dengan umpan. Membran UF 0.05 µm mampu menahan garam berukuran besar sehingga tidak lolos pada permeat.

Tabel 3 Karakteristik P1 Jenis Nilai OD 0.03 ± 0.00 Viskositas 2.40 ± 0.17 cp pH 8.00 ± 0.00 Salinitas 42.37 ± 0.11‰ 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1 2 3 4 5 Re je k si (% ) Waktu (menit) 0 20 40 60 80 100 120 140 0 1 2 3 4 5 Fl u k s (L/m 2jam ) VCF (-)

17

Karakteristik Permeat pada Pemisahan Eksopolisakarida

Parameter fluks dan VCF dilakukan pada proses pemisahan EPS dengan tekanan 0.5, 1, dan 1.5 bar (Gambar 9). Nilai fluks pada tekanan 1 bar meningkat tiga kali lipat dibandingkan 0.5 bar. Fluks tidak mengalami peningkatan yang nyata ketika tekanan dinaikkan menjadi 1.5 bar karena telah mencapai tekanan optimal. Tekanan terpilih pada pemisahan EPS menggunakan UF 0.01 µm adalah 1 bar.

Gambar 9 Parameter fluks dengan (a) Waktu (b) VCF pada berbagai tekanan transmembran (● = 0.5 bar, ▲ = 1 bar, dan ■ = 1.5 bar)

Wang et al. (2011) menyatakan persamaan pada Hukum Heagen-Poiseuille yaitu fluks berbanding lurus dengan permukaan porositas, radius pori, tekanan dan berbanding terbalik dengan viskositas fluida, pori tortuositas, serta ketebalan membran. Semakin tinggi tekanan sebagai kekuatan pendorong maka fluks yang dihasilkan akan semakin besar. Sun et al. (2013) menyatakan fluks meningkat pada tekanan 1.3 dan 1.8 bar namun tidak pada 2.3 bar karena telah mencapai tekanan optimal. 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50 F lu k s (L/ m 2jam ) Waktu (menit) 0 10 20 30 40 50 60 70 0 1 2 3 4 5 6 7 Fl u k s (L/m 2jam ) VCF (-) a) b)

18

Pola yang sama juga terjadi pada VCF. Semakin tinggi nilai fluks yang dihasilkan maka VCF semakin besar pada waktu yang sama. Hal ini menunjukkan konsentrasi umpan pada tekanan 0.5 bar lebih encer dibandingkan pada tekanan 1 dan 1.5 bar pada waktu yang sama.

Tabel 4 Karakteristik P2

Jenis Nilai

Viskositas 2.2 ± 0.3 cp

pH 7.8 ± 0.01

Salinitas 38.73 ± 0.05‰

Karakteristik P2 pada proses pemisahan EPS dapat dilihat pada Tabel 4. Viskositas semakin menurun karena EPS ukuran >0.01 µm tertahan pada membran dan hanya EPS berukuran <0.01 µm yang ada di P2. Salinitas P2 pada tahap pemisahan EPS mengalami penurunan 18%. Penurunan salinitas kecil karena ion garam memiliki ukuran yang lebih kecil dari UF 0.01 µm. Izadpanah dan Javidan (2012) menyatakan rejeksi salinitas 77-83% menggunakan membran nanofiltrasi yang memiliki ukuran lebih kecil.

Karakteristik Biomassa P. cruentum

Teknik pemanenan memengaruhi karakteristik biomassa yang dihasilkan. Karakteristik biomassa P. cruentum yang dipisahkan menggunakan UF 0.05 µm dapat dilihat pada Tabel 5. Berat kering dan kadar air biomassa pada penelitian ini mendekati hasil beberapa penelitian P. cruentum lainnya. Berat kering mikroalga dipengaruhi kondisi dan lama kultivasi serta waktu pemanenan. Kadar air dipengaruhi metode dan lama pengeringan. Kadar abu P. cruentum pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan penelitian lainnya. Hal ini diduga biomassa tanpa pencucian menyebabkan mineral pada air laut ikut tercampur. Fuentes et al. (2000) menjelaskan biomassa kering P. cruentum dengan pencucian mengandung mineral Ca, K, Na, Mg, Zn, Fe, Cu, Cr, dan S.

Tabel 5 Karakteristik biomassa P. cruentum

P. cruentum Berat kering (g/L) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar garam (%) Biomassa 2.59 ± 0.2 4.39 ± 1.71 72.94 ± 2.08 55.93 ± 2.55 Biomassa* 0.5-3.07 4.87 20 Biomassa** 11.67 38.34

Ket : * (Fuentes et al. 2000) ** (Setyaningsih et al. 2013)

Kadar abu yang berbeda juga diduga karena kondisi lingkungan yang berbeda. Mikroalga yang dikultivasi pada media air laut memiliki kadar abu lebih tinggi dibandingkan air tawar. Bardi (2010) menyatakan bahwa air laut mengandung mineral Na, Mg, Ca, K, Zn, Fe, Cu, Cr, Mn, dan V. Richmond dan Hu (2013) menjelaskan faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, salinitas, dan nutrien akan memengaruhi komposisi sel mikroalga. Misurcova et al. (2010)

19

melaporkan bahwa kadar abu alga air tawar 8-11% sedangkan alga air laut 9-33%. Marrez et al. (2014) melaporkan media kultivasi yang berbeda memengaruhi kadar abu dan komposisi serta jumlah mineral pada biomassa S. platensis. Michelon et al.

(2015) menyatakan komposisi nitrogen (N) dan fosfor (P) memengaruhi kadar abu biomassa mikroalga. Mikroalga yang dikultivasi pada N dan P terbatas memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan P terbatas, N terbatas, dan kondisi normal. Elfeel dan Bakhashwain (2012) melaporkan salinitas air yang berbeda pada tanaman Acacia saligna dapat memengaruhi kadar abu dan kandungan mineral.

Teknik pemanenan diduga memengaruhi nilai kadar abu pada biomassa. Proses pemanenan menggunakan membran UF 0.05 µm dapat menurunkan salinitas pada P1. Hal ini menunjukkan bahwa garam pada media kultivasi tertahan pada retentat dan bercampur dengan biomassa. Biomassa basah yang didapatkan juga masih berupa cairan kental yang bercampur dengan air laut sehingga meningkatkan kadar abu pada biomassa kering. Michelon et al. (2015) menjelaskan bahwa teknik pemanenan berpengaruh terhadap komposisi biomassa sel mikroalga (protein, karbohidrat, lemak, dan kadar abu). Kadar abu yang dihasilkan dari pemanenan menggunakan koagulasi (7.7%) lebih rendah dibandingkan sentrifugasi (12.8%).

Karakteristik Eksopolisakarida P. cruentum

Komposisi Kimia

Karakteristik berat kering, kadar air, kadar abu, dan kadar garam dari EPS

P. cruentum dapat dilihat pada Tabel 6. Proses UF menyebabkan terjadinya penurunan berat kering, kadar abu, dan kadar garam dari P1 ke P2. Komposisi kimia

terbaik pada P2 yang didapatkan menggunakan UF 0.01 µm. Berat kering

P. cruentum pada penelitian ini berada pada kisaran berat kering Richmond dan Hu (2013) dan lebih besar dibandingkan penelitian Raposo et al. (2014). Berat kering EPS dipengaruhi oleh teknik pemisahan dan kondisi kultur. Penggunaan membran UF 0.01 µm menyebabkan berat kering EPS P2 lebih kecil dibandingkan P1. Richmond dan Hu (2013) menyatakan P. cruentum yang dikultivasi dengan diameter wadah berbeda memiliki berat kering EPS 0.5-2 g/L. Raposo et al. (2014) menyatakan EPS dipisahkan menggunakan sentrifugasi dilanjutkan dengan dialisis. Berat kering EPS pada media NTIP 0.2-0.4 g/L dan media Brody 0.9-1 g/L.

Kadar abu EPS P. cruentum lebih tinggi dibandingkan beberapa penelitian lain dari laut. Hal ini disebabkan perbedaan habitat lingkungan. Porphyridium cruentum dikultivasi menggunakan air laut dengan penambahan mineral tertentu sehingga menyebabkan salinitas menjadi tinggi. Settamongkol et al. (2015) menjelaskan bahwa Caulerpa lentifiliera yang ditumbuhkan pada media F/2 dan dipanen dengan pencucian air tawar memiliki kadar abu sebesar 47.80%. Benjama dan Masniyom (2011) menyatakan bahwa kadar abu rumput laut dari Teluk Pattani, Thailand Selatanyaitu Ulva pertusa (27.2%) dan Ulva intestinalis (27.6%). Rojano

et al. (2014) menyatakan amphipod dari Selat Gibraltar mempunyai kadar abu 29.3-39.7%.

Kadar abu EPS tinggi juga karena proses presipitasi dengan etanol diduga dapat mengendapkan mineral yang terdapat pada medium kultur. Benhura dan Chidewe (2011) menyatakan kadar abu polisakarida buah Cordia abyssinica yang dipresipitasi menggunakan etanol (17.4%) lebih tinggi dari asam (0.7%).

20

Penambahan etanol menyebabkan ion mineral dipresipitasi bersama dengan ion polisakarida. Polisakarida C. abyssinica yang dipresipitasi dengan etanol terdeteksi mineral sodium, kalsium, magnesium, dan potassium sedangkan dengan asam tidak terdeteksi. Kadar garam EPS kecil diduga karena penggunaan membran UF dan adanya penambahan akuades setelah proses presipitasi.

Tabel 6 Karakteristik komposisi kimia EPS P. cruentum

EPS Berat kering

(g/L) Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar garam (%) P1 1.32 ± 0.09 13.83 ± 0.59 85.06 ± 4.68 3.78 ± 0.41 R2 1.10 ± 0.03 14.68 ± 0.83 78.85 ± 1.00 3.72 ± 0.44 P2 1.01 ± 0.03 14.37 ± 0.35 77.86 ± 2.60 2.73 ± 0.64

Standar kadar abu untuk EPS P. cruentum belum ada tetapi The Joint FAO/WHO Expert Comittee on Food Additives (JECFA 2007) menyatakan standar kadar abu polisakarida karagenan komersil 15-40% dw. Kepmen (2009) menyatakan persyaratan ekstrak untuk herbal memiliki kadar air ≤ 10% dan kadar

abu ≤ 1%. Hal ini menunjukkan bahwa kadar abu dan kadar air EPS P.cruentum

belum memenuhi standar sehingga perlu dilakukan pemisahan mineral dan pengeringan lebih lama.

Garam dan mineral pada kadar abu EPS dapat memberikan efek negatif terhadap kesehatan. Kadar garam melebihi batas normal menyebabkan penyakit hipertensi. Kelebihan mineral menyebabkan terganggunya keseimbangan homeostatis dan toksik pada tubuh. Qin et al. (2014) menyatakan pasien yang mengkonsumsi garam lebih dari 6 g/d memiliki tekanan darah lebih tinggi dari normal sehingga dapat menyebabkan hipertensi. Soetan et al. (2010) menjelaskan kelebihan natrium menyebabkan tekanan darah tinggi. Kelebihan besi menyebabkan kerusakan hati.

Gugus Fungsi Eksopolisakarida

Fourier Transformed Infrared adalah alat yang digunakan untuk mencari getaran molekul dan ikatan polar antara atom yang berbeda berdasarkan bilangan gelombang pada ikatan. Penyerapan intensitas digunakan untuk menghitung konsentrasi relatif. Spektra FTIR menggambarkan karakteristiknya pada tiga bagian. Bagian pertama antara 4000-1800 cm-1 menunjukkan adanya ikatan hidroksil. Kedua, antara 1800-1500 cm-1 menunjukkan adanya ikatan karbonil dan ikatan ganda C=C. Ketiga, antara 1500-750 cm-1 menunjukkan adanya ikatan protein, lipid, dan karbohidrat. Penyerapan 1200-800 cm-1 menunjukkan adanya ikatan polisakarida dengan komposisi dan struktur yang berbeda (Sood et al. 2013). Gugus fungsi EPS P. cruentum dapat dilihat pada Gambar 10.

Proses UF 0.05 dan 0.01 µm menyebabkan terdeteksinya COO-asam uronik (874 cm-1), COO- dan C-O- dengan COOH (1443 cm-1) pada P1 dan P2 namun hilang pada R2. Hal ini menunjukkan bahwa EPS yang berikatan dengan asam uronik dan protein memiliki ukuran lebih kecil dari membran UF 0.01 µm. Protein yang berikatan dengan EPS diduga adalah triterpenoid. Baky et al. (2013) menyatakan spektrum 880-740 cm-1 menunjukkan COO-asam uronik sedangkan 1460-1440 cm-1 menunjukkan simetrik COO- dan C-O dengan COOH. Richmond dan Hu (2013) menjelaskan EPS P. cruentum mengandung ikatan glikoprotein

21

nonkovalen 66 kDa terdiri dari polipeptida 58 kDa dan gugus glikan 8 kDa. Ginzberg et al. (2008) melaporkan gugus fungsi EPS P. cruentum adalah –OH, -COOH, C=O, NH, CC, CN,-CH, -CH2, -COO, dan SO4. Yang et al. (2012) menyatakan standar asam ursolik terdapat pada spektrum 2350-2250 cm-1, 1700-1550 cm-1, 1550-1450 cm-1, dan 1450-1350 cm-1. Wozniak et al. (2015) menyatakan asam ursolik adalah triterpenoid pentasiklik yang merupakan metabolit sekunder pada tanaman dan banyak diaplikasikan pada bidang farmasi.

Gambar 10 Gugus fungsi EPS P. cruentum

Jenis dan Jumlah Gula Sederhana Eksopolisakarida

Jenis gula pada EPS P. cruentum adalah maltoheptosa, jumlahnya semakin meningkat ketika ukuran membran UF yang digunakan semakin kecil (Gambar 11). Maltoheptosa merupakan tujuh disakarida maltosa yang tersusun dari komponen glukosa. Jenis gula pada EPS diduga hanya terdapat glukosa. Min et al. (2010) menyatakan bahwa maltoheptosa adalah oligomer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1,4) dan tersusun atas 7 glukosa. Maltoheptosa banyak digunakan sebagai bahan untuk analisis dan substrat pada aktivitas α-amilase. Tsai et al.

(2013) menyatakan bahwa maltoheptosa (derajat polimerisasi 7) mempunyai kecenderungan membentuk struktur heliks bersama sama dengan dua ujung terdekat dari rantai glukan. Konformasi ini dapat menyebabkan dua residu glukosa untuk berinteraksi dengan reseptor efektif pada waktu yang sama. Maltoheptosa mempunyai kemampuan mengikat toll like receptor (TLR-2) di monosit dan signifikan merespon imun dengan merangsang ekspresi sitokin. Maltoheptosa bisa berinteraksi dengan TLR 2 dengan afinitas tinggi melalui ikatan hidrogen antara residu glukosa dari dua ujung siklik maltoheptosa dan sisi aktif protein TLR 2.

400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000 T ra ns m it a n (%) Bilangan gelombang (cm-1) P1 R2 P2 874 1443

22

Gambar 11 Jumlah EPS P. cruentum

Jenis EPS pada penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian lain. Patel et al. (2013) menyatakan EPS P. cruentum terdiri dari galaktosa, glukosa, xylosa, dan asam glukuronik. Raposo et al. (2014) menyatakan monosakarida dari EPS P. cruentum terdiri dari galaktosa 36.5%, glukosa 24%, arabinosa 16%, mannosa 11%, fukosa 9%, xilosa 7%,dan rhamnosa 4%. Ontman et al. (2011) menyatakan monosakarida dari EPS P. cruentum terdiri dari asam glukuronik, mannosa, 6-O-metil mannosa, dan xylosa. Semua struktur intinya mempunyai karakteristik struktur [Man]4[O-MeMan]3[Xyl]1[GlcNAc]2 yang mengandung residu metil mannosa.

Perbedaan jenis EPS yang dihasilkan diduga karena kondisi hidrolisis belum optimum. Waktu yang digunakan untuk proses hidrolisis belum dapat memecah ikatan EPS P. cruentum. Beberapa faktor yang memengaruhi proses hidrolisis adalah jenis dan konsentrasi sampel, waktu hidrolisis, suhu hidrolisis, jenis dan konsentrasi asam kuat yang digunakan. Jang et al. (2012) menjelaskan bahwa jumlah glukosa, rhamnosa, dan galaktosa mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu hidrolisis. Emega et al. (2012) menyatakan semakin tinggi konsentrasi asam kuat yang digunakan maka proses hidrolisis semakin cepat dan asam galakturonik yang dihasilkan semakin besar. Asam galakturonik yang dihidrolisis menggunakan H2SO4 pada konsentrasi 0.2, 1, dan 2 M selama 24 jam menunjukkan hasil hidrolisis yang diperoleh 6% (16 jam), 10% (8 jam), dan 10% (2 jam) w/w.

Semakin tinggi suhu maka waktu hidrolisis yang diperlukan semakin cepat. Emega et al. (2012) melaporkan bahwa jumlah asam galakturonik yang dihidrolisis menggunakan H2SO4 0.2 M suhu 80 °C dan 100 °C adalah 2.5% (28 jam) dan 6% (16 jam) (w/w). Gula netral yang dihidrolisis menggunakan H2SO4, HCl, dan TFA 2 M 100 °C menunjukkan bahwa hasil terbaik H2SO4.

Inhibisi α-glukosidase

Beberapa EPS dan biomassa mikroalga diketahui mampu menghambat enzim α-glukosidase. α-glukosidase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis pati menjadi glukosa sehingga dapat diserap di dalam tubuh kita menjadi energi.

12,42 14,19 16,11 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 P1 R2 P2 K o ns ent ra si ( g /L )

23

Inhibisi α-glukosidase biomassa dan EPS P. cruentum dapat dilihat pada Gambar 12. Perhitungan nilai IC50inhibisi α-glukosidase dapat dilihat pada Lampiran 2-6.

Gambar 12 Inhibisi α-glukosidase biomassa dan EPS P. cruentum

Nilai IC50 inhibisi α-glukosidase P2 lebih kecil dibandingkan P1. Ukuran EPS yang lebih kecil diduga memiliki berat molekul lebih rendah dan aktivitas biologisnya lebih tinggi. Ukuran partikel berpengaruh terhadap penetrasinya sehingga lebih efektif. Nilai IC50 inhibisi α-glukosidase P2 lebih kecil diduga karena memiliki jumlah maltoheptosa lebih banyak dibandingkan P1 dan R2 (Gambar 11), kadar abu dan kadar garam paling rendah (Tabel 4), dan gugus fungsi COO- dan C-O- dengan COOH serta COO-asam uronik (Gambar 10). Pal et al.

(2011) menjelaskan ukuran partikel lebih kecil menyebabkan area permukaan lebih luas sehingga komponen aktif lebih cepat larut. Komponen aktif yang lebih cepat larut menyebabkan penyerapan dan bioavailabilitas lebih besar. Ukuran EPS yang lebih kecil diduga memiliki antioksidan lebih besar. Sun et al. (2009) menyatakan berat molekul EPS P. cruentum yang lebih kecil menyebabkan nilai IC50 antioksidan lebih kecil.

Efektifitas penghambatan α-glukosidase dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran partikel (Zhu et al. 2012), berat molekul (Hu et al. 2013), dan komponen aktif (Kang et al. 2012; Deng et al. 2015). Zhu et al. (2012) melaporkan

bitter melon lyophilized superfine grinding powder (BLSP) ukuran 3-10 µm mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah lebih baik dibandingkan bitter melon hot air drying superfine grinding powder (BSP) ukuran 50-150 µm.

Adanya aktivitas inhibisi α-glukosidase pada EPS diduga karena gugus fungsi COO- dan C-O- dengan COOH serta COO-asam uronik. Gugus fungsi COO- dan C-O- dengan COOH diduga merupakan asam ursolik berdasarkan hasil FTIR. Ikena et al. (2009) menyatakan asam ursolik merupakan asam karboksilat triterpenoid pentasiklik natural yang umumnya terdapat pada tumbuhan dan memiliki aktivitas biologis sebagai antioksidan, antikanker, dan anti-inflamasi. Terpenoid merupakan metabolit sekunder yang berfungsi melindungi tanaman dari herbivora dan patogen. Hal ini didukung juga oleh Kang et al. (2012) yang

menyatakan asam ursolik dari Osmanthus fragrans memiliki IC50 inhibisi α-glukosidase 3.38 µg/mL. Deng et al. (2015) melaporkan bahwa polisakarida dari

puerh-tea berumur 5 tahun memiliki IC50 inhibisi α-glukosidase paling baik 0.44 µg/mL karena memiliki kandungan tertinggi untuk polifenol 14.33 w/w dan asam uronik 23.10 w/w. 419,06 425,48 502,25 178,67 0,015 0 100 200 300 400 500 600 P1 (EPS) R1 (Biomassa)

R2 (EPS) P2 (EPS) Akarbosa

IC 50 g /m L )

24

Gambar 13 Struktur EPS P. cruentum (Geresh et al. 2009)

Gugus karboksil adalah salah satu dari kelas senyawa organik, atom karbon

Dokumen terkait