• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Gizi dan Non Gizi Tepung Tempe

Komposisi Proksimat

Hasil analisis komposisi proksimat tepung tempe kedelai grobogan, PRG, non PRG dan kasein terlihat pada Tabel 6 (Lampiran 1). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa secara umum terdapat beberapa perbedaan persentase kandungan gizi antara tepung tempe kedelai grobogan, PRG, dan non PRG. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara jenis kedelai yang digunakan pada tepung tempe terhadap kadar air. Uji beda lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar air tepung tempe kedelai grobogan (3.19%) tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai PRG (2.82%) dan non PRG (3.95%), tetapi kadar air tepung tempe kedelai non PRG nyata lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai PRG.

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (p<0.01) antara jenis kedelai yang digunakan pada tepung tempe terhadap kadar lemak dan protein. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan persentase kadar lemak tepung tempe kedelai grobogan (24.39%) sangat nyata (p<0.01) lebih rendah dibandingkan tepung tempe kedelai PRG (29.57%) dan non PRG (29.06%). Kadar protein tepung tempe kedelai grobogan (52.22%) tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai non PRG (49.88%) dan nyata lebih tinggi dibandingkan tepung tempe kedelai PRG (47.08%). Perbedaan ini kemungkinan lebih disebabkan perbedaan varietas kedelai yang digunakan, proses pemuliaan, dan kondisi pada saat pertumbuhannya (Kumar et al, 2006 ; Muchtadi 2010a). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa perbedaan jenis kedelai yang digunakan pada tepung tempe tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap persentase kadar abu, serat kasar, dan karbohidrat.

Tabel 6 Analisis proksimat kasein dan tepung tempe tiga jenis varietas kedelai (bk) Kandungan Gizi Kasein (%) Tepung tempe kedelai PRG (%) Tepung tempe kedelai Non PRG (%) Tepung tempe kedelai grobogan (%) Kadar air (bb)* 10.85 ± 1.51 2.82 ± 0.21a 3.95 ± 0.37b 3.19 ± 0.01ab Kadar abu 0.56 ± 0.50 0.43 ± 0.18 1.48 ± 0.24 0.53 ± 0.24 Kadar lemak** 0.59 ± 0.07 29.57 ± 0.21a 29.06 ± 0.30a 24.39 ± 0.27b Kadar protein** 90.11 ± 1.90 47.08 ± 0.47a 49.88 ± 0.46 b 52.22 ± 0.43b Serat kasar 0 4.69 ± 2.04 5.08 ± 0.43 5.38 ± 0.13 Karbohidrat by difference 8.73 ± 1.47 18.21 ± 1.52 14.49 ± 0.34 17.47 ± 0.17

Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama ditandai oleh (*) menunjukkan berbeda nyata (p<0.05) dan tanda (**) menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Komposisi Asam Amino

Hasil analisis komposisi asam amino tepung tempe kedelai grobogan, PRG, dan non PRG disajikan pada Tabel 7. Jenis asam amino penyusun tepung tempe terbagi atas asam amino esensial dan asam amino non-esensial. Hoffman dan Falvo (2004) menjelaskan bahwa asam amino esensial adalah jenis asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan. Asam amino non-esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sehingga tidak harus diperoleh dari makanan. Kandungan asam amino penyusun ketiga jenis tepung tempe tersebut cukup lengkap, baik kandungan asam amino esensial maupun asam amino non-esensial.

Tabel 7 Komposisi asam amino esensial tiga jenis tepung tempe

Jenis Asam Amino

Tepung Tempe PRG (mg/g protein)

Tepung Tempe non PRG (mg/g protein) Tepung Tempe grobogan (mg/g protein) Histidin 38.7 42.1 40.5 Isoleusin 55.5 66.9 67.6 Leusin 90.1 106.6 108.8 Lisin 75.3 109.9 104.3 Methionin + Sistein 16.2 17.3 18.4 Fenilalanin + Tirosin 115.8 134.3 145.6 Treonin 47.4 49.3 49.3 Valin 55.8 65.1 62.7 Arginin 84.2 91.4 92.6 Total 579 682.9 689.8

Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa secara umum kandungan total asam amino esensial tepung tempe kedelai grobogan adalah 698.8 mg/g protein, tepung tempe kedelai PRG adalah 579 mg/g protein, dan tepung tempe kedelai non PRG adalah 682.9 mg/g protein. Dibandingkan kandungan asam amino esensial yang terdapat pada bahan hewani, kandungan asam amino esensial yang terdapat pada sumber pangan nabati terlihat lebih rendah. Kudlackova et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan asam amino esensial yang terdapat pada sumber pangan nabati (legum, kacang-kacangan dan padi-padian) mengandung sekitar 62-81% asam amino esensial dibandingkan sumber pangan hewani seperti telur.

Berdasarkan kandungan asam amino esensial tersebut, dapat pula diketahui nilai skor kimia. Almatsier (2004) menyatakan bahwa skor kimia merupakan suatu cara yang digunakan untuk menetapkan nilai gizi protein dengan membandingkan kandungan asam amino esensial dalam bahan makanan dengan kandungan asam amino esensial yang sama dalam protein ideal/patokan. Muchtadi (2010b) menyatakan bahwa skor kimia dinyatakan oleh angka skor asam amino yang terendah. Dalam hal ini, bila sistein merupakan asam amino esensial yang paling defisien, maka kombinasi metionin dan sistein digunakan dalam perhitungan skor. Tetapi, bila metionin merupakan asam amino esensial yang paling defisien, maka hanya kadar metionin saja yang digunakan dalam perhitungan skor. Schaafsma (2000) menambahkan bahwa nilai skor kimia dihitung dengan angka kebutuhan asam amino pada anak usia sekolah. Secara umum, skor kimia pada ketiga jenis tepung tempe yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Skor kimia tiga jenis tepung tempe Jenis Asam Amino FAO/WHO (1990) Tepung tempe PRG

Tepung tempe non PRG Tepung tempe grobogan mg/g SA SK mg/g SA SK mg/g SA SK Histidin 19 38 100 42 100 40 100 Isoleusin 28 55 100 66 100 67 100 Leusin 66 90 100 106 100 108 100 Lisin 58 75 100 109 100 104 100 Met + Cys 25 16 64 64 17 69 69 18 73 73 Phe + Tyr 63 115 100 134 100 145 100 Treonin 34 47 100 49 100 49 100 Valin 35 55 100 65 100 62 100

Dari ketiga jenis tepung tempe yang digunakan, jenis asam amino pembatasnya adalah sama, yaitu Met+Cys. Akan tetapi, nilai skor kimia yang diperoleh berbeda satu sama lainnya. Asam amino pembatas Met+Cys pada tepung tempe kedelai grobogan (73%) merupakan asam amino pembatas yang paling tinggi dibandingkan Met+Cys yang terdapat pada tepung tempe kedelai non PRG (69%) dan PRG (64%). Kudlackova et al. (2005) menjelaskan bahwa jenis asam amino pembatas yang paling banyak ditemukan pada bahan pangan nabati adalah metionin, lisin dan triptopan. Nilai skor kimia yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe yang digunakan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kedelai (54%), kentang (54%), gandum (53%) dan biji wijen (50%) (Astawan 2008).

Selain kandungan asam amino esensial, ketiga jenis tepung tempe juga mengandung asam amino non-esensial. Kandungan total asam amino non esensial tepung tempe kedelai grobogan adalah 493.7 mg/g protein, tepung tempe kedelai PRG adalah 486.9 mg/g protein, dan tepung tempe kedelai non PRG adalah 521.2 mg/g protein. Hasil analisis komposisi asam amino non-esensial memperlihatkan bahwa kandungan asam glutamat merupakan jenis asam amino yang paling banyak yaitu sekitar 189 mg/g protein untuk tepung tempe grobogan, 166.5 mg/g protein untuk tepung tempe PRG, dan 204.6 mg/g protein untuk tepung tempe non PRG dan diikuti oleh asam amino aspartat yaitu sebesar 123.3 mg/g protein untuk tepung tempe kedelai grobogan, 130.6 mg/g protein untuk tepung tempe kedelai PRG, dan 130 mg/g protein untuk tepung tempe kedelai non PRG.Secara umum kandungan asam amino non-esensial dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Komposisi asam amino non-esensial tiga jenis tepung tempe

Jenis Asam Amino

Tepung Tempe PRG (mg/g protein)

Tepung Tempe non PRG (mg/g protein) Tepung Tempe grobogan (mg/g protein) Asam aspartat 130.6 130 123.3 Serin 66.4 57.5 57.1 Asam glutamat 166.5 204.6 189 Glisin 47.2 47.9 47.4 Alanin 44.9 52.5 49.8 Prolin 31.3 28.7 27.1 Total 486.9 521.2 493.7

Lindemann et al. (2002) ; Kurihara (2009) ; Kusnandar (2010) menyatakan bahwa asam amino aspartat dan glutamat berperan sebagai pemberi rasa gurih pada bahan pangan. Tingginya kandungan dua jenis asam amino non-esensial tersebut yang menyebabkan rasa tempe menjadi lebih gurih. Kandungan asam amino prolin merupakan jenis asam amino non-esensial yang paling sedikit dibandingkan asam amino non-esensial yang lainnya. Kandungan asam amino non-esensial pada sumber pangan nabati lebih tinggi dibandingkan sumber pangan hewani. Kudlackova et al. (2005) menyebutkan bahwa kandungan protein nabati 111-129 % lebih banyak dibandingkan telur.

Komposisi Asam Lemak

Hasil analisis komposisi asam lemak yang tersaji pada Tabel 10 memperlihatkan bahwa kandungan asam lemak yang terdapat pada tepung tempe cukup lengkap. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa kandungan asam lemak yang dominan untuk tepung tempe kedelai grobogan adalah asam lemak oleat/ω9 (C18:1), asam lemak palmitat (C16:0) dan asam lemak stearat (C18:0), kandungan yang hampir sama juga terdapat pada tepung tempe kedelai non PRG dimana kandungan asam lemak oleat/ ω9 (C18:1) merupakan asam lemak yang dominan yang diikuti oleh asam lemak palmitat (C16:0) dan asam lemak stearat (C18:0). Kandungan asam lemak yang dominan pada tepung tempe kedelai PRG adalah asam lemak palmitat (C16:0), diikuti oleh asam lemak oleat/ ω9 (C18:1) dan asam lemak stearat (C18:0). Kumar et al. (2006) menyatakan bahwa perbedaan lokasi tanam akan dapat mempengaruhi komposisi asam lemak kedelai sehingga kadar yang diperoleh akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Tabel 10 Komposisi asam lemak tiga jenis tepung tempe (% lemak dalam

sampel)

Jenis asam lemak

Tepung tempe PRG Tepung tempe Non PRG Tepung tempe grobogan C 6:0 (as.kaproat) 0.38 0.23 0.22 C 8:0 (as.kaprilat) 0.51 0.36 0.33 C 16:0 (as.palmitat) 11.01 7.90 9.61 C 18:0 (as.stearat) 5.25 5.23 1.94 C 18:1 (as.oleat/ω9) 10.61 8.21 11.89 C 18:2 (as.linoleat/ω6) 1.88 0.55 1.62 C 18:3 (as.linolenat/ω3) 0.03 0.11 0.16 C 20:0 (as.arahidat) 0.37 0.40 0.20 C 20:3 ω6 (as.eikosatrienoat) 0.18 0.66 0.25 C 21:0 (as.heneikosanoat) 0.51 0.42 0.53

Asam lemak oleat, linoleat dan linolenat merupakan jenis asam lemak esensial yang penting bagi tubuh. Asam lemak esensial merupakan jenis asam lemak yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan. Asam lemak esensial dibutuhkan untuk pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan. Berdasarkan hasil analisis komposisi asam lemak pada Tabel 10, terlihat bahwa kandungan asam lemak tak jenuh seperti asam lemak linoleat dan

asam lemak linolenat dari ketiga jenis tepung tempe terlihat sangat rendah. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utari (2010) yang melakukan pengamatan asam lemak tak jenuh pada tempe kukus. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa kandungan asam lemak oleat (14.74%), linoleat (50.12%) dan linolenat (9.32%) merupakan jenis asam lemak yang dominan ditemukan pada tempe kukus. Hasil analisis komposisi asam lemak yang dilakukan pada tiga jenis tepung tempe memperlihatkan kandungan asam lemak tak jenuh tersebut sangat rendah dibandingkan tempe.

Rendahnya kandungan ketiga jenis asam lemak tersebut mungkin disebabkan terjadinya kerusakan akibat proses pemanasan pada saat pembuatan tempe menjadi tepung melalui proses pengukusan maupun ketika dioven. Edwar et al. (2011) menjelaskan bahwa asam lemak tidak jenuh akan mengalami kerusakan, baik fisik maupun kimia, akibat proses pemanasan. Pemanasan dengan suhu tinggi dan lama pemanasan dapat menyebabkan kerusakan asam lemak tidak jenuh. Proses pembuatan tepung tempe dengan dikukus selama 10 menit pada suhu 800C dan pengeringan dengan oven selama 6 jam pada suhu 600C diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kandungan lemak tidak jenuh tersebut.

Kadar Serat Pangan

Hasil analisis kadar serat pangan tepung tempe kedelai grobogan, PRG dan non PRG terlihat pada Gambar 1. Stoughton-Ens et al, (2010) menjelaskan bahwa perbedaan genotif, lingkungan pertumbuhan, serta lama masa tanam kedelai akan mempengaruhi kadar serat pangan pada bahan pangan. Santoso (2011) menjelaskan bahwa serat pangan, dikenal juga sebagai dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resisten terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar. Astawan (2008) menjelaskan bahwa serat pangan yang terdapat pada tempe berasal dari biji kedelai sebagai bahan baku dan miselium kapang yang menghubungkan satu butiran kedelai dengan butiran yang lain membentuk suatu massa padat berwarna putih, kompak dan utuh.

Gambar 1 Perbandingan kandungan serat pangan tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)

5.83 5.35 5.21 3 5 7 TT-GR TT-PRG TT-NPRG Kadar serat pangan (g 100-1)

Astawan (2008) menjelaskan bahwa serat pangan dalam tempe kedelai merupakan komponen karbohidrat yang sulit dicerna. Kandungan serat pangan pada tempe dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Kusharto (2006) menyatakan bahwa meskipun serat pangan tidak mengandung gizi, serat memiliki fungsi yang tidak tergantikan oleh zat lainnya dalam memicu terjadinya kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat memberikan perlindungan kesehatan saluran pencernaan, khususnya usus halus dan besar.

Astawan (2008) menambahkan tempe sebagai bahan pangan yang kaya akan serat pangan sangat berpotensi menjaga kesehatan seperti menurunkan kadar kolesterol plasma melalui ikatan intraluminal dalam usus antara serat dengan kolesterol dan asam empedu, yang akhirnya akan dikeluarkan melalui tinja. Keadaan ini akan mengurangi sirkulasi asam empedu dan meningkatkan perubahan kolesterol menjadi asam empedu, sehingga kolesterol plasma menurun. Disamping memberikan manfaat kesehatan, konsumsi serat pangan yang terlalu tinggi juga dapat memberikan efek buruk bagi kesehatan. Santoso (2011) menjelaskan bahwa dampak merugikan jika mengonsumsi serat terlalu tinggi, yaitu dapat menyebabkan ketidaktersediaan beberapa zat gizi seperti vitamin larut dalam lemak dan mempengaruhi aktivitas enzim protease. Selain itu pula, dapat mempengaruhi penyerapan mineral sehingga dapat menyebabkan defisiensi mineral.

Kadar Vitamin E

Hasil analisis kadar vitamin E tepung tempe kedelai grobogan, PRG dan non PRG terlihat pada Gambar 2. Kandungan vitamin E yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe tersebut lebih tinggi dibandingkan kandungan vitamin E pada sumber hewani, hal ini disebabkan hewan tidak dapat mensintesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus diperoleh dari tanaman (Almatsier 2004). Aktivitas biologik vitamin E dinyatakan dalam Satuan Internasional (SI) dimana 1 mg d-alfa-tokoferol alami setara dengan 1.49 SI. Dengan demikian, kandungan vitamin E yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe tersebut jika dikonversi menjadi Satuan Internasional (SI) untuk tepung tempe kedelai grobogan, PRG, dan non PRG adalah 3.65, 4.29, dan 3.03 SI.

Gambar 2 Perbandingan kandungan vitamin E tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG) 2.45 2.88 2.04 0 1 2 3 4 TT-GR TT-PRG TT-NPRG Kadar vitamin E (mg 100-1)

Meskipun kandungan vitamin E pada ketiga jenis tepung tempe tersebut cukup tinggi, proses pengolahan kedelai menjadi tempe diketahui dapat menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan vitamin dan provitamin larut lemak seperti vitamin E. Denter et al. (1998) melaporkan bahwa proses pembuatan tempe seperti perebusan dan pengupasan kulit kedelai, dapat menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan vitamin dan provitamin larut lemak sekitar 15 %, dan vitamin larut air sekitar 50 %. Lebih lanjut Denter et al. (1998) menjelaskan bahwa selama proses fermentasi, kandungan vitamin E bebas mengalami penurunan, akan tetapi kandungan total vitamin E secara umum tetap stabil.

Vitamin E merupakan salah satu jenis vitamin larut lemak yang memiliki fungsi sebagai antioksidan. Almatsier (2004) menjelaskan bahwa fungsi vitamin E sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan atom hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas. Keberadaan vitamin E di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan memegang peranan biologik utama dalam melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas.

Kadar Isoflavon Total

Hasil analisis kadar isoflavon total tepung tempe kedelai grobogan, PRG dan non PRG terlihat pada Gambar 3. Hasil analisis kadar isoflavon total yang terdapat pada ketiga jenis tepung tempe terlihat lebih rendah dibandingkan kadar isoflavon total yang terdapat pada kedelai mentah dan tempe. Astawan (2008) menyatakan bahwa kadar isoflavon total yang terdapat pada kedelai mentah adalah sebesar 140 mg 100-1 gram bahan, sedangkan pada tempe adalah sebesar 50 mg 100-1 gram bahan.

Gambar 3 Perbandingan kandungan isoflavon total tepung tempe kedelai grobogan (TT-GR), tepung tempe kedelai PRG (TT-PRG), dan tepung tempe kedelai non PRG (TT-NPRG)

Muchtadi (2012) dan Nakajima et al. (2005) menjelaskan bahwa kadar isoflavon total produk olahan kedelai dapat bervariasi dan dipengaruhi bukan saja oleh jenis (kultivar) dan umur panen kedelai yang digunakan, tetapi juga metode perebusan pada saat pembuatan tempe dapat mempengaruhi kadar isoflavon total. Pedroso et al. (2010) menambahkan bahwa perbedaan kadar isoflavon total dapat pula dipengaruhi oleh perbedaan suhu lingkungan pertumbuhan. Semakin tinggi suhu lingkungan, kadar isoflavon yang terdapat pada kedelai tersebut semakin rendah. 27.85 29.67 28.92 20 25 30 TT-GR TT-PRG TT-NPRG Kadar isoflavon total (mg 100-1)

Kemungkinan selama proses pengolahan kedelai ada beberapa bagian isoflavon yang hilang (terbuang) atau rusak akibat proses pemanasan. Proses pembuatan tempe dengan dua kali perebusan diduga dapat menyebabkan kerusakan senyawa isoflavon. Tujuan dilakukannya dua kali perebuasan adalah pada perebusan pertama yang dilakukan pada air mendidih bersuhu 1000C selama 30 menit agar kedelai menjadi lebih lunak dan kulitnya menjadi lebih mudah dilepaskan. Perebusan kedua pada saat kedelai tanpa kulit selama 30-45 menit yang bertujuan untuk menghilangkan faktor antigizi pada kedelai, meningkatkan daya cerna dan membunuh mikroba yang tidak diinginkan.

Penggunaan panas selain dilakukan pada saat pembuatan tempe, proses panas yang cukup tinggi juga dilakukan pada saat pembuatan tepung, yaitu proses pengukusan pada suhu 80oC selama 10 menit dan pengeringan dengan oven pada suhu 60oC selama 6 jam serta penggilingan dengan menggunakan pin disk mill, diduga dapat mengakibatkan penurunan kadar isoflavon total pada tepung tempe, sebagaimana yang dilaporkan oleh Pokorny et al. (2000). Azizah et al. (2009) dan Turkmen et al. (2005) menyatakan bahwa proses pengukusan selama 1 menit pada air mendidih dapat menyebabkan terjadinya penurunan (12-26%) komponen total phenol. Isoflavon merupakan bagian dari komponen phenol yang terdapat pada bahan pangan (Manach et al. 2004).

Shao et al. (2009) menambahkan bahwa selama proses perlakukan panas, kandungan isoflavon akan menurun. Selain terjadinya penurunan kandungan isoflavon, ketersediaan isoflavon juga akan berpengaruh akibat terjadinya proses degradasi selama pemanasan. Selain proses perlakuan panas, Muchtadi (2012) dan Pedroso et al. (2010) menjelaskan bahwa proses pengolahan kedelai yang melibatkan air akan menyebabkan terjadinya kehilangan sebagian besar isoflavon, hal ini disebabkan karena terjadinya pelarutan isoflavon. Proses pencucian dan perendaman kedelai dengan menggunakan air dapat menyebabkan terjadinya kehilangan beberapa kadar isoflavon total dan kehilangan tersebut akan semakin meningkat apabila diberi perlakuan panas dan waktu perlakuan yang lama. Terjadinya kehilangan kadar isoflavon total akan semakin meningkat apabila biji kedelai direndam tanpa kulit.

Isoflavon merupakan salah satu senyawa poliphenol yang banyak terdapat pada kacang-kacangan khususnya pada kedelai. Kemampuan isoflavon sebagai senyawa yang dapat berperan sebagai antioksidan mendapat perhatian khusus bagi peneliti. Wu (1999) melaporkan kemampuan isoflavon dalam menghambat oksidasi kolesterol dan kanker. Astawan (2008) menjelaskan bahwa kandungan isoflavon pada olahan kedelai non fermentasi umumnya berada dalam bentuk glikosida, yaitu 64 % genistin, 23 % daidzin dan 13 % glisetin. Akan tetapi pada produk fermentasi kedelai seperti tempe, isoflavon umumnya berada dalam bentuk bebas (aglikon), yaitu genistein, daidzein, dan glisitein. Nakajima et al. (2005) menambahkan bahwa isoflavon dalam bentuk aglikon lebih mudah diserap dibandingkan bentuk glikosida.

Evaluasi Nilai Gizi Protein Tepung Tempe Secara In Vivo

Tujuan dari evaluasi nilai gizi protein adalah untuk mengetahui kemampuan kandungan protein yang terdapat dalam bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan tubuh, seperti pertumbuhan dan fungsi tubuh lain (Milward et al.2008). Evaluasi

nilai gizi protein secara in vivo menggunakan tikus sebagai model percobaan yang ditempatkan dalam kandang metabolik untuk memperoleh urin dan feses (Gambar 4). Tikus diberikan ransum yang dihitung berdasarkan AOAC (1995) dengan persentase protein sebesar 10%. Tabel 11 menunjukkan komposisi ransum masing-masing perlakuan 100 gram.

Gambar 4 Kandang Metabolik

Tabel 11 Komposisi ransum masing-masing perlakuan

Bahan Ransum Jenis Ransum Non protein (g) Kasein (g) Tepung tempe kedelai grobogan (g) Tepung tempe kedelai PRG (g) Tepung tempe kedelai non PRG (g) Sampel tepung 0 12.5 19.8 21.9 20.8 Minyak jagung 8 7.9 3.3 1.7 2.2 Campurang mineral 5 4.5 4.9 4.9 4.7 Campuran vitamin 1 1.0 1.0 1.0 1.0 CMC 1 1.0 0.0 0.0 0.0 Air 5 3.7 4.4 4.4 4.2 Pati jagung 80 69.4 66.6 66.1 67 Total 100 100 100 100 100

Konsumsi Ransum Total dan Kenaikan Berat Badan.

Hasil analisis konsumsi ransum total oleh tikus selama 28 hari percobaan (Lampiran 5) disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap konsumsi ransum total. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa konsumsi ransum total kelompok non protein sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok tepung tempe kedelai grobogan, PRG, non PRG dan kasein. Konsumsi ransum total kelompok tepung tempe grobogan tidak berbeda nyata dengan kelompok tepung tempe kedelai non PRG dan kasein, namun nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung tempe PRG.

Hasil pengamatan kenaikan berat badan tikus selama 28 hari perlakuan (Lampiran 5) disajikan pada Tabel 12. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kenaikan berat badan. Hasil uji beda lanjut Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan kelompok non protein sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok tepung tempe kedelai grobogan, PRG, non PRG dan kasein. Kenaikan berat badan kelompok tepung tempe kedelai grobogan tidak berbeda nyata dengan tepung tempe kedelai PRG dan non PRG, namun sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein.

Tabel 12 Konsumsi ransum total dan kenaikan berat badan berdasarkan kelompok perlakuan Perlakuan Konsumsi Ransum Total (g/28 hari) Berat Badan (g) Sebelum Percobaan Setelah Percobaan (28 hari) Perubahan Berat Badan Non protein 106.01 ± 12.68c 39 ± 1.41 26.8 ± 1.64c -12.2 ± 2.77a Kasein 305.18 ± 31.02ab 38.4 ± 2.88 113.6 ± 7.16a 75.2 ± 5.76b Tepung tempe PRG 277.05 ± 24.55 a 43 ± 2.55 105.2 ± 4.08ab 62.2 ± 5.84c Tepung tempe non PRG 302.69 ± 20.04 ab 43.8 ± 6.01 104.4 ± 7.86b 60.6 ± 2.88c Tepung tempe grobogan 331.90 ± 25.38 b 45.6 ± 4.76 111.2 ± 7.59ab 65.6 ± 3.43c Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p<0.01) dengan uji jarak Duncan.

Kenaikan berat badan tikus percobaan selama 28 hari masa perlakuan tersaji pada Gambar 5. Kenaikan berat badan kelompok kasein lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung tempe. Hal ini mungkin disebabkan komposisi asam amino esensial dan kandungan mineral kalsium dan fosfor yang terdapat pada kasein lebih tinggi dibandingkan tepung tempe (Hoffman dan Falvo 2004 ; Waelen et al 2009).

Gambar 5 Perubahan berat badan tikus percobaan selama 28 hari perlakuan Selain proporsi antara protein, lemak dan karbohidrat, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tubuh adalah kualitas protein yang terdapat pada bahan pangan tersebut. Kualitas protein merupakan gambaran bagaimana protein yang terkandung dalam bahan pangan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan, baik dilihat dari komposisi asam amino esensial, kemampuan tubuh untuk mencerna, serta bioavaibilitas asam amino yang dikandungnya (Schaafsma 2000; Hoffman dan Falvo 2004).

20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Non Protein Kasein GMO Non-GMO Grobogan Berat badan (g) Waktu (hari)

Nilai Gizi Protein Berdasarkan Metode Pertumbuhan

Evaluasi nilai gizi protein dengan metode pertumbuhan menghubungkan secara kualitatif antara laju pertumbuhan hewan percobaan dengan jumlah konsumsi protein. Nilai feed conversion efficiency (FCE) menggambarkan rasio kenaikan berat badan yang dipengaruhi oleh total konsumsi. Tabel 13 menampilkan nilai FCE dari masing-masing perlakuan (Lampiran 5). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perbedaan jenis ransum berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap nilai FCE. Hasil uji beda lanjut

Dokumen terkait