• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Proksimat

Menurut Juliano (1979), proksimat beras adalah suatu cara yang dilakukan untuk mengetahui kadar komponen tertentu dalam beras secara estimasi. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat pada beras. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7 Hasil analisis proksimat enam varietas beras

Varietas Kadar Air (%)* Kadar Abu (%bk)* Kadar Protein (%bk)* Kadar Lemak (%bk)* Kadar Karbohidrat by difference Ciherang 11.84cd 0.54d 8.01b 0.74b 78.87a Inpara 3 11.77c 0.55e 8.09b 0.89a 78.70a Inpari 1 9.76b 0.50c 7.49a 0.67b 81.58c Inpari 2 12.00d 0.41a 7.75ab 0.73b 79.11ab Inpari 6 Jete 11.97d 0.45b 7.69ab 0.50c 79.39b IR 42 9.42a 0.50c 7.49a 0.91a 81.68c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)

*Hasil rata-rata dari 4 ulangan

Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu parameter yang sangat berpengaruh dalam proses penyimpanan beras. Kadar air dinyatakan dalam persen bobot basah pada seluruh tingkatan mutu beras. Kadar air beras yang diuji berada pada kisaran 9-12%. Badan Standarisasi Nasional (1999) menyaratkan kadar air beras untuk keadaan pangan dalam negeri maksimal 14% untuk semua kelas mutu. Berdasarkan hal tersebut, maka semua sampel yang dianalisis telah memenuhi standar yang ditetapkan.

Beras yang memiliki kadar air yang tinggi akan memicu terjadinya kerusakan akibat proses kimia, biokimia, maupun mikrobiologis. Hal ini dapat menyebabkan mutu beras menjadi turun. Kadar air >14% merupakan titik kritis bagi pertumbuhan kapang. Kapang merupakan salah satu mikroorganisme yang paling sering menyebabkan kerusakan pada serealia, termasuk beras (Hoseney 1998).

Kadar Abu

Abu merupakan residu anorganik yang diperoleh dengan pengabuan (pemanasan suhu tinggi, >450oC) atau dengan destruksi komponen organik

(C2H2O) dengan asam kuat. Residu anorganik ini terdiri dari bermacam-macam mineral yang komposisi dan jumlahnya bergantung pada jenis bahan pangan dan metode analisis yang digunakan (Indrasari et al. 2008).

Hasil analisis terhadap enam varietas beras menunjukkan kadar abu dari seluruh sampel berada pada kisaran 0.4-0.5%. Menurut Haryadi (2008), kisaran kadar abu beras sosoh adalah 0.3-0.9 %bk.

Kadar abu pada beras dipengaruhi oleh derajat penyosohan dan kandungan unsur hara dalam tanah. Menurut Juliano (1972), distribusi mineral yang terkandung pada beras yang sudah disosoh adalah sekitar 28% dari total mineral yang terkandung pada beras pecah kulit. Kandungan mineral terbesar ditemukan pada bagian dedak yaitu 51% dari total mineral yang terkandung dalam beras pecah kulit. Proses penyosohan adalah proses yang paling mempengaruhi kandungan mineral pada beras giling yang dikonsumsi sehari-hari. Kandungan mineral pada beras sebagian besar ditemukan pada bagian dedak dan embrio yang hilang pada saat proses penyosohan.

Kadar Protein

Protein adalah salah satu gizi makro yang berperan dalam proses pembentukan biomolekul. Protein adalah suatu senyawa yang sebagian besar terdiri atas unsur nitrogen. Jumlah unsur ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan kadar protein dalam beras. Unsur nitrogen yang terikat dalam bentuk matriks dilepaskan melalui proses destruksi dan diukur jumlahnya.

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 7) dapat diketahui bahwa protein varietas beras yang dianalisis berada pada kisaran 7-8%. Menurut Daftar Komposisi Bahan Makanan, kadar protein beras per 100 gram adalah 7.3%. Sedangkan menurut Haryadi et al. (1990), kadar protein beras adalah 7.3 – 10.2% dan maksimal mencapai 14% (Juliano 1972).

Meskipun jumlah protein dalam beras tergolong kecil atau relatif rendah yaitu kurang lebih 8% pada beras pecah kulit dan 7% pada beras giling, mutu dari protein ini tergolong tinggi karena kandungan lisin yang relatif tinggi yaitu ±4% dan protein dapat menghasilkan kalori sebesar 40-80% kalori. Nilai cerna protein beras sekitar 96.5% untuk biji gabah dan 98% untuk beras giling. Protein beras juga cukup lengkap susunan asam aminonya, kecuali tryptophane. Beras mengandung protein sekitar 7% lebih rendah daripada gandum, tetapi lebih tinggi dari jagung, mudah dicerna dan memiliki rasa yang enak (Erwidodo et al. 1996).

31

Menurut Burks & Helm (1994) protein beras bersifat antialergi sehingga dapat digunakan sebagai bahan makanan untuk bayi yang mengalami obesitas dan alergi terhadap makanan. Menurut Wang et al. (1999) protein beras dapat menggantikan protein yang berasal dari daging atau susu dan kedelai. Asam amino protein beras lebih baik dibandingkan asam amino protein kedelai untuk anak berusia 2-5 tahun.

Kadar protein pada beras giling sangat dipengaruhi oleh derajat sosoh dan kondisi tanah tempat beras ditanam. Beras yang tumbuh pada tanah yang kaya akan unsur nitrogen cenderung memiliki kadar protein yang tinggi (Juliano 1972). Di Indonesia, beras menyumbang 38% terhadap total kecukupan protein (Indrasari et al. 1997).

Kadar Lemak

Menurut Sudarmadji et al. (1997), lemak adalah suatu golongan senyawa yang bersifat tidak larut air tapi larut dalam pelarut organik. Pelarut yang umum digunakan untuk mengukur kadar lemak adalah heksana, dietil eter, dan petroleum eter. Metode pengukuran lemak yang digunakan pada analisis ini adalah metode Soxhlet.

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 7), dapat diketahui bahwa sampel yang dianalisis memiliki kadar lemak pada kisaran 0.5-0.9%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widowati et al. (2008) dimana kadar lemak beras <1%.

Menurut Juliano (1979), kadar lemak beras pecah kulit berkisar antara 2.4-3.9%, sedangkan pada beras giling berkisar antara 0.3-0.6%. Dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (Direktorat Gizi 1995), kadar lemak beras rata-rata 0.7%. Penelitian yang dilakukan oleh Resureccion et al. (1979) pada beras pecah kulit IR 32 menemukan bahwa kadar lemak beras yang sudah mengalami penyosohan dan penggilingan hanyalah sekitar 17% dari total keseluruhan yang terdapat pada beras pecah kulit tersebut. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kandungan lemak terbesar pada beras pecah kulit terdapat pada bagian dedak (51%).

Kandungan lemak beras dipengaruhi oleh varietas, derajat kematangan biji, kondisi penanaman, dan metode ekstraksi lemak. Menurut Juliano (1972) asam lemak penyusun beras terutama adalah palmitat (16:0), oleat (18:1), dan linoleat (18:2). Perbedaan varietas memberikan perbedaan komponen asam lemak.

Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan zat gizi utama yang terdapat pada beras. Karbohidrat dalam serealia termasuk beras sebagian besar terdapat dalam bentuk pati. Penentuan kadar karbohidrat dalam analisis proksimat dilakukan secara by difference. Total jumlah kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat beras adalah 100%.

Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 7) dapat diketahui bahwa kadar karbohidrat sampel beras yang dianalisis berada pada kisaran 78-82%. Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan, kadar karbohidrat beras berada pada kisaran 78%.

Kadar Amilosa

Kadar amilosa merupakan parameter utama yang sangat menentukan cooking and eating quality dari beras/nasi (Dipti et al. 2002). Pengukuran kadar amilosa pada beras dilakukan berdasarkan prinsip iodine-binding (pengikatan iodine) dimana amilosa akan berikatan dengan iodine pada pH rendah (4.5-4.8) menghasilkan kompleks berbentuk heliks yang berwarna biru. Intensitas warna biru ini kemudian diukur menggunakan spektrofotometer. Semakin tingi intensitas warna terukur, maka kadar amilosa akan semakin tinggi (Juliano 1979).

Pengukuran kadar amilosa pada penelitian ini menggunakan metode Juliano (1971). Metode ini terdiri dari dua tahap yakni tahap pembuatan kurva standar dan tahap penetapan sampel. Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan amilosa murni. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah # 0.250(  0.004 (R=0.999) Kurva standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kurva standar amilosa

0.106 0.206 0.305 0.403 0.509 y = 0.250x + 0.004 R² = 0.999 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500 0.600 0 0.5 1 1.5 2 2.5 A b so rb an si Konsentrasi (mg)

33

Kurva standar tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung kadar amilosa sampel. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil pengukuran kadar amilosa terhadap enam sampel beras.

Tabel 8 Hasil analisis kadar amilosa enam varietas beras Varietas Kadar Amilosa (%)

Ciherang 22.74d Inpara 3 28.60f Inpari 1 22.18c Inpari 2 19.03b Inpari 6 Jete 18.87a IR 42 26.92e

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)

*

Hasil rata-rata dari 4 ulangan

Berdasarkan hasil uji pada Tabel 8, dapat diketahui bahwa kadar amilosa yang diteliti berkisar antara 18.87% (Inpari 6 Jete) sampai 28.60% (Inpara 3). Berdasarkan hasil analisis variansi (ANOVA), diketahui bahwa perbedaan kadar amilosa dari 6 varietas beras berbeda nyata. Hasil uji lanjut Duncan menujukkan semua varietas berbeda nyata pada taraf 5% dengan varietas lainnya. Menurut Juliano (1994), perbedaan kadar amilosa beras dipengaruhi oleh varietas, suhu udara lokasi penanaman, dan kadar N dalam tanah.

Berdasarkan kadar amilosanya (Khush & Cruz 2000) beras dapat dikelompokkan menjadi: beras beramilosa rendah (18.87-19.03%), yaitu varietas Inpari 6 Jete dan Inpari 2; amilosa sedang (22.18-22.74%), yaitu varietas Inpari 1 dan Ciherang; dan amilosa tinggi (26.92-28.20%), yaitu varietas IR42 dan Inpara3.

Daya Cerna Pati in vitro

Karbohidrat dari pati yang akan diserap oleh tubuh harus diubah terlebih dahulu menjadi komponen-komponen penyusunnya yaitu glukosa. Enzim yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tersebut adalah α-amilase yang dihasilkan oleh kelenjar saliva dan pankreas. Namun, enzim α-amilase yang berasal dari kelenjar saliva akan diinaktivasi oleh pH rendah dalam lambung sehingga tidak terlalu berperan dalam proses pencernaan pati. Enzim α-amilase yang berasal dari pankreas akan berperan memecah pati pada usus halus dengan bantuan dari enzim glukoamilase dan α-dextrinase. Selain itu, pada bagian ini juga akan

terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida oleh enzim disakaridase (Bernard 2005).

Daya cerna pati merupakan kemampuan pati yang dapat dicerna dan diserap di dalam tubuh. Daya cerna pati pada penelitian ini dianalisis menggunakan spektrofotometer. Daya cerna pati (in vitro) ditentukan dengan menghitung jumlah maltosa yang terbentuk akibat hidrolisa pati oleh enzim α -amilase. Hasil analisis daya cerna pati in vitro dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Hasil analisis daya cerna pati enam varietas beras Varietas Daya Cerna Pati (%)*

Ciherang 82.92b Inpara 3 83.20b Inpari 1 83.61b Inpari 2 85.07c Inpari 6 Jete 86.36d IR 42 75.92a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)

*

Hasil rata-rata dari 4 ulangan

Daya cerna pati in vitro beras yang diteliti berada pada kisaran 75-86%. Kandungan pati dan amilosa berpengaruh terhadap daya cerna pati. Masih terdapat perbedaan pendapat diantara ilmuwan mengenai kandungan pati dan amilosa kaitannya dengan kecepatan daya cerna pati. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan amilopektin (Powell et al. 2002). Hal ini dikarenakan amilosa merupakan polimer gula sederhana dengan rantai lurus tidak bercabang. Rantai lurus yang menyusun amilosa ini menyebabkan ikatan yang solid sehingga tidak mudah tergelatinisasi. Oleh karena itu, amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan amilopektin yang memiliki struktur bercabang dan terbuka.

Jika dilihat dari mekanisme kerja enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan saru enzim saja yaitu α-amilase sedangkan amilopektin memerlukan dua jenis enzm. yakni α-amilase dan α-(1-6) glukosidase karena mempunyai rantai cabang. Selain itu, berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan waktu yang lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger 1982).

35

Sifat Fisikokimia Beras Uji Amilografi

Uji amilografi digunakan untuk melihat sifat dari gelatinisasi pati beras yang diteliti (sifat pati). Beberapa parameter yang diamati antara lain suhu gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi (pada saat granula pati pecah), viskositas pada suhu 50oC, dan viskositas balik. Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai menaik. sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi. Hasil analisis amilografi enam varietas beras dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Data amilografi beberapa varietas beras

Sampel

Suhu Gelatinisasi Granula Pati Pecah Viskositas Waktu

(Menit) Suhu °C

Waktu

(menit) Suhu °C Visk. Cp 50°C cp Balik cp Ciherang 13 78.5 20 93.7 3456.00 6316.80 2860.80 Inpara 3 12 75.2 20 94.3 2675.20 4729.60 2054.40 Inpari 1 14 80.3 19 93.8 3244.80 5356.80 2112.00 Inpari 2 13 78.4 19 93.7 2982.40 4307.20 1324.80 Inpari 6 Jete 11 68.9 21 94.1 3366.40 5696.00 2329.60 IR42 12 74.8 - - - - -

Suhu gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai mengembang secara irreversible dalam air panas bersama dengan hilangnya bentuk kristal pati. Berdasarkan Tabel 10, suhu gelatinisasi beras yang diamati berkisar antara 68.9-80.3OC.

Berdasarkan suhu gelatinisasinya, beras dapat digolongkan menjadi tiga jenis yaitu beras dengan suhu gelatinisasi rendah (55-69oC), suhu gelatinisasi sedang (70-74OC), dan suhu gelatinisasi tinggi (>74OC) (Khush & Cruz 2000). Oleh karena itu, berdasarkan suhu gelatinisasinya, sampel beras yang dianalisis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1) suhu gelatinisasi rendah: Inpari 6 Jete; dan 2) suhu gelatinisasi tinggi: IR 42, Inpara 3, Inpari 1, Ciherang, dan Inpari 2.

Menurut Juliano (1972), suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang memiliki suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama daripada beras dengan suhu gelatinisasi rendah.

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa Inpari 6 Jete memiliki waktu pemasakan yang paling singkat dibandingkan dengan lima varietas lainnya.

Berdasarkan hasil analisis (Tabel 10), viskositas maksimum beras yang dianalisis berkisar antara 2675.20 - 3366.40 cP. Viskositas yang tinggi menunjukkan kemampuan granula pati dalam menyerap air juga tinggi.

Tabel 10 juga menunjukkan bahwa viskositas maksimum IR42 tidak terukur. Suhu viskositas maksimum yang tidak terukur diduga karena suhu maksimum viskositas beras tersebut lebih besar dari 93OC. Karena setelah suhu 93OC tercapai maka amilograf akan mempertahankan suhu ini selama 20 menit. Akibatnya, varietas beras yang memiliki suhu viskositas maksimum lebih dari 93OC tidak akan memiliki puncak pada kurva dan suhunya tidak dapat terukur (Agrasasmita 2008).

Viskositas balik mencerminkan tingkat kemampuan assosiasi atau retrogradasi molekul pati (amilosa beras) pada proses pendinginan. Sifat ini penting untuk mengetahui apakah nasi/produk pada suhu kamar atau setelah dingin akan mengembang (mekar) atau menyusut volumenya. Viskositas balik pasta pati diukur berdasarkan selisih antara viskositas dingin (pada 500C) dengan viskositas puncak pasta.

Berdasakan hasil analisis (Tabel 10), dapat diketahui viskositas balik dari sampel yang dianalisis berkisar antara 1324.80 – 2860.80 cP. Viskositas balik tertinggi dimiliki oleh Ciherang. Sedangkan terendah dimiliki oleh Inpari 2. Viskositas balik IR42 tidak dapat terdeteksi karena viskositas puncak IR42 tidak terbaca.

Uji Konsistensi Gel

Pati di dalam butiran beras yang dimasak akan mengembang dan membentuk gel yang kental. Konsistensi gel berkorelasi positif dengan kekerasan (tekstur) nasi (Tabel 11).

Tabel 11 menunjukkan bahwa konsistensi gel bervariasi tiap varietas. Konsistensi gel enam varietas yang diuji berkisar antara 32.25 – 86.25 mm. Panjang lelehan gel tertinggi dimiliki oleh varietas Ciherang, yaitu sebesar 86.25 mm (tipe konsistensi gel lunak). Hal ini menunjukkan bahwa Ciherang memiliki tekstur nasi empuk sedangkan panjang lelehan terendah dimiliki oleh varietas IR42 mm (tipe konsistensi gel keras).sehingga IR 42 memiliki tekstur nasi sangat remah.

37

Hasil uji ANOVA pada konsistensi gel menunjukkan bahwa IR 42 tidak berbeda nyata dengan Inpara 3 (keras), serupa dengan Inpari 1 dengan Inpari Jete yang tidak berbeda nyata (sedang). Ciherang dan Inpari 2 berbeda dengan semua varietas lainnya.

Tabel 11 Uji konsistensi gel enam varietas beras

Varietas Panjang Gel (mm)* Tipe Konsistensi Gel Tekstur Nasi Ciherang 86.25d Lunak Empuk Inpara 3 38.25a Keras Sangat Remah Inpari 1 50.50b Sedang Remah Inpari 2 70.50c Lunak Empuk Inpari 6 Jete 52.00b Sedang Remah IR42 32.25a Keras Sangat Remah Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)

*

Hasil rata-rata dari 4 ulangan

Berdasarkan penelitian Suismono et al. (2003) sebagian besar beras Indonesia mempunyai nilai konsistensi gel 40 sampai 60 mm (nasi bertekstur sedang) dan sebagian lagi memiliki konsistensi gel lebih dari 60 mm (bertekstur lunak). Berdasarkan konsistensi gelnya. maka sampel beras yang dianalisis sebagian bertekstur lunak sampai sedang dan sebagian bertekstur keras.

Faktor yang mempengaruhi konsistensi gel selain sifat genetik varietas adalah penyimpanan. Penyimpanan pada beras akan menunjukkan perubahan konsistensi gel dari pasta tepung. Rentang nilai gelnya diindikasikan menurun dan terjadi pengerasan gel bilamana beras disimpan beberapa bulan (Haryadi 2008). Selain itu, menurut Perez (1979), tingkat penggilingan berpengaruh terhadap konsistensi gel. Oleh sebab itu, sampel yang akan diukur tingkat konsistensi gelnya harus digiling pada tingkat penggilingan yang sama.

Nisbah Penyerapan Air (NPA)

Nisbah penyerapan air merupakan banyaknya air yang terserap pada saat penanakan. Penyerapan air berbeda-beda untuk setiap varietas beras dan menentukan kualitas dari nasi yang ditanak serta kepulenan nasinya. Nilai penyerapan air diperoleh dari perbandingan berat nasi dengan berat beras awal. Hasil analisis NPA dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12 menunjukkan bahwa nisbah penyerapan air sampel yang dianalisis berada pada kisaran ± 2. Nisbah penyerapan air tertinggi sama-sama dimiliki oleh varietas IR42 dan Inpara3 (2.38). Sedangkan terendah dimiliki oleh varietas Inpari 6 Jete (2.09). Menurut Suismono et al. (2003) rata-rata nisbah

penyerapan air dari beras di Indonesia adalah 2.5 kali. Tabel 11 juga menunjukkan bahwa varietas yang diteliti tidak berbeda nyata antara satu dan lainya.

Tabel 12 Nisbah penyerapan air dan pengembangan volume enam varietas beras Varietas NPA* NPV* Ciherang 2.22a 3.48a Inpara 3 2.38a 3.67a Inpari 1 2.34a 3.51a Inpari 2 2.10a 3.39a Inpari 6 Jete 2.09a 3.33a IR42 2.38a 3.65a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)

*

Hasil rata-rata dari 4 ulangan

Nisbah Pengembangan Volume (NPV)

Pengembangan volume nasi merupakan penambahan volume yang disebabkan penyerapan air oleh beras selama pemasakan dimana air membentuk hidrat yaitu air yang terikat yang sulit diuapkan setelah pemanasan berikatan dengan senyawa yang mengalami asosiasi. Jika suspensi pati dalam air dipanaskan, maka air akan menembus lapisan luar granula. Saat suhu meningkat, granula tersebut mulai menggelembung hingga volumenya menjadi lima kali lipat volume semula (Agrasasmita 2008).

Tabel 12 menunjukkan hasil nisbah pengembangan volume untuk enam varietas beras yang dianalisis. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa nisbah pengembangan volume dari sampel beras yang dianalisis berada pada kisaran ±3. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suismono et al. (2003), yang menyatakan bahwa rasio pengembangan volume dari beras yang ada di Indonesia rata-rata 3.5 kali dari volume berasnya. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa nisbah pengembangan volume terbesar dimiliki oleh varietas Inpara 3, yaitu sebesar 3.67 sedangkan varietas Inpari 6 Jete memiliki nisbah pengembangan volume terendah, yaitu 3.33.

Perbedaan nisbah pengembangan volume nasi disebabkan perbedaan kandungan amilosa beras. Selain itu, volume pengembangan nasi dapat disebabkan oleh perlakuan penggunaan alat masak dimana nasi yang dimasak dengan alat dandang volumenya lebih besar daripada nasi yang ditanak dengan rice cooker. Volume pengembangan yang lebih besar ini disebabkan karena

39

setelah diaron, nasi yang ditanak dengan dandang dapat mengembang lagi pada waktu dikukus, sedangkan pada rice cooker tidak.

Sifat Organoleptik Uji Skoring

Menurut Soekarto (1985), uji skoring merupakan salah satu pengujian yang termasuk kedalam uji skalar. Uji skoring disebut juga uji pemberian skor. Pemberian skor adalah memberikan angka nilai atau menetapkan nilai mutu sensorik terhadap bahan yang diuji pada jenjang mutu atau skala hedonik. Tingkat skala mutu ini dapat dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan skala mutu yang telah baku.

Parameter yang diamati pada uji skoring pada penelitian ini antara lain warna, kilap, aroma, dan tekstur/kepulenan beras setelah dimasak. Berikut adalah tabel yang menunjukkan frekuensi distribusi terhadap uji skoring pada paremeter warna.

Tabel 13 Mutu sensori/organoleptik skoring nasi

Varietas Skor Uji Organoleptik *) Warna Kilap Aroma Kepulenan Ciherang 3.5 3.1 2.7 3.4 Inpara 3 4.0 3.0 2.4 2.3 Inpari 1 4.3 3.5 2.6 3.3 Inpari 2 3.6 3.7 2.4 3.9 Inpari 6 Jete 3.8 3.5 2.6 3.6 IR42 4.1 2.5 2.2 1.8

*) skor warna : 5= sangat putih, 4=putih, 3= agak putih, 2 = kusam, 1= sangat kusam

skor kilap : 5 = sangat berkilap, 4= berkilap, 3= agak berkilap, 2= kusam, 1= sangat kusam skor aroma : 5 = sangat wangi, 4= wangi, 3= agak wangi, 2 = netral, 1=bau tidak enak

skor kepulenan: 5= sangat pulen, 4=pulen, 3= sedang, 2 = pera, 1 = sangat pera

Berdasarkan hasil uji organoleptik dengan uji skoring atribut warna nasi terhadap 30 panelis, dapat diketahui seluruh sampel yang diuji memiliki warna putih. Skor tertinggi dimiliki oleh varietas Inpari1 (skor=4.3) sedangkan varietas Ciherang memiliki skor warna yang paling rendah (skor=3.5). Setengah dari jumlah panelis yang ada menilai varietas Ciherang memiliki warna agak putih.

Menurut Haryadi (2008), warna nasi dipengaruhi oleh derajat sosoh, kandungan amilosa dan perubahan-perubahan selama penyimpanan beras. Derajat sosoh yang tinggi mengakibatkan semakin banyak kulit ari yang terlepas sehingga warna beras menjadi lebih putih.

Sifat organoleptik berikutnya yang diamati adalah kilap beras. Berdasarkan hasil uji organoleptik atribut kilap nasi dengan uji skoring terhadap 30 panelis (Tabel 13), nasi yang paling berkilap adalah varietas Inpari2 (skor=3.4) dan yang paling kusam (skor terendah) adalah varietas IR42 (skor=2.5).

Menurut Haryadi (2008), nilai kilap berhubungan dengan kelekatan nasi yaitu kemampuan butir-butir nasi untuk saling melekat. Kelekatan nasi ditunjukkan oleh perbandingan kandungan amilopektin dengan amilosa beras. Beras yang mengandung amilosa rendah (<19%) nasinya lebih lengket dan kilapnya tinggi daripada beras yang memiliki kandungan amilosa tinggi.

Hasil uji organoleptik skoring terhadap enam varietas beras (Tabel 13) pada parameter aroma menunjukkan seluruh sampel memiliki aroma agak wangi sampai netral. Skor tertinggi dimiliki oleh varietas Ciherang (skor=2.7) sedangkan terendah dimiliki oleh IR 42 (skor 2.2).

Menurut Juliano (1994) aroma nasi dipengaruhi oleh varietas padinya. Selain dipengaruhi oleh varietas, aroma nasi juga dipengaruhi oleh lama penyimpanan. Beras yang tidak disosoh 100% akan berbau tidak enak (apek) setelah disimpan dalam waktu yang lama. Perubahan aroma selama penyimpanan lebih cepat daripada perubahan warnanya.

Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kemunduran aroma adalah proses pengemasan yang baik yaitu digunakan jenis pengemas yang tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi, suhu dan waktu penyimpanan, pemilihan jenis pelarut dalam proses ekstraksi, dan tingkat kepolaran. Aroma pada beras dapat bertahan dengan dilakukan coating (pelapisan) dengan menggunakan maltodekstrin (Haryadi 2008).

Parameter terakhir yang diuji adalah tekstur/kepulenan. Tekstur merupakan ciri sensori utama nasi yang menentukan tingkat penerimaan konsumen (Bergman et al. 2004). Hasil uji skoring terhadap enam sampel nasi dari 30 panelis (Tabel 13), menunjukkan bahwa varietas Inpari2 memiliki tingkat kepulenan yang paling tinggi dibandingkan dengan lima sampel lainnya

Dokumen terkait