• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengambilan Sampel dan Identifikasi

Pengambilan akar bahar di perairan Pulau Raijua, Kabupaten Sabu-Raijua Nusa Tenggara Timur pada bulan April 2014. Akar bahar diambil pada kedalaman 2 sampai 5 meter, pada titik kordinaat 1060’09’’ LS dan 12160’24’’ BT. Suhu perairan 29.6 C; salinitas 27‰; pH perairan 8.5; kecepatan arus 0.25 m/detik serta kecerahan 5 meter.

Hasil identifikasi berdasarkan pengamatan polip dengan mikroskop ditemukan bentuk sklerit berupa tonjolan-tonjolan menyerupai gada dan spindle. Hasil tersebut dibandingkan dengan bentuk polip pada buku identifikasi soft coral and sea fans menurut Fabricius dan Alderslade (2001). Hasil identifikasi bentuk sklerit dan wujud jenis akar bahar disajikan pada Gambar 3.

Identifikasi pada buku identifikasi soft coral and sea fans menurut Fabricius dan Alderslade (2001) menunjukan sklerit Rumphella sp. berbentuk gada dengan tonjolan-tonjolan kecil, sedangkan sklerit Hicksonella sp. berbentuk spindle.

Berdasarkan bentuk sklerit tersebut klasifikasi/determinasi akar bahar berdasarkan hasil penelitian bersama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai berikut:

Dunia : Hewan Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Subkelas : Octocorallia Ordo : Gorgonacea Famili : Gorgoniidae

1. Genus : Rumphella Spesies : Rumphella sp 2. Genus : Hicksonella

Spesies : Hicksonella sp

Gambar 3 Bentuk sklerit akar bahar; (a) sklerit Rumphella sp.; (b) Rumphella sp.; (c) sklerit Hicksonella sp.; (d) Hicksonella sp

Akar bahar yang terdapat di Pulau Raijua, oleh masyarakat setempat menyebut dengan nama lokal na’i dahi. Pemberian nama lokal terhadap akar bahar juga biasanya berdasarkan warna kulit luar dan aksial pada akar bahar. Misalnya akar bahar merah kulitnya berwarna merah, aksialnya juga berwarna merah disebut na’i dahi mea; kulit berwarna cokelat, aksial berwarna putih disebut na’i dahi pudi; kulit berwarna cokelat, aksial berwarna hitam disebut na’i

dahi meddi. Ada juga kipas laut (sea fan) oleh masyarakat setempat menggolongkannya juga sebagai akar bahar dengan nama lokal wila wadu. Masyarakat menyangka akar bahar Rumphella sp. dan Hicksonella sp serta beberapa jenis akar bahar yang lain seperti Isis spp. adalah tumbuhan karena bentuknya seperti semak, tetapi sebenarnya jenis-jenis akar bahar termasuk dalam kelompok hewan.

Masyarakat pesisir sulit untuk membedakan kedua jenis tersebut bila berada dalam air, karena mempunyai kemiripan dalam bentuk fisik dan sifatnya yang lentur bila diterpa arus air laut. Umumnya ukuran dan bentuk-bentuk cabang Rumphella sp. bentuknya lebih panjang, permukaan kulit halus dan bagian

a b

ujungnya lebih bulat sedangkan Hicksonella sp. permukaan kulit kasar dan ujungnya sedikit tajam; bentuk dan ukuran cabang-cabangnya nya lebih pendek; dibandingkan dengan ukuran dan bentuk cabangnya; Isis spp masih lebih pendek ukuran dan bentuk cabang-cabangnya dari kedua jenis akar bahar tersebut. Menurut Tuti (2014) untuk membedakan kedua jenis ini sangat sulit. Identifikasi bentuk sklerit digunakan untuk memastikan jenisnya.

Status perlindungan terhadap akar bahar jenis Rumphella sp. dan Hicksonella sp. sampai saat ini belum ada regulasi hukum yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai status perlindungan dari kedua jenis akar bahar tersebut. Status perlindungan terbatas hanya pada akar bahar jenis bambu laut (Isis spp) berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.46/KEPMEN-KP/2014 menetapkan status perlindungan terbatas bambu laut (Isis spp) untuk menjaga dan menjamin ketersediaan bambu laut yang telah mengalami penurunan populasi akibat eksploitasi yang berlebihan.

Komposisi Kimia Akar Bahar

Pengujian komposisi kimia dilakukan pada bagian kulit dan aksial akar bahar dengan tujuan untuk membandingkan kandungan yang terdapat didalam kulit dan aksial akar bahar. Hasil pengujian proksimat pada kulit akar bahar dan aksial menunjukkan komposisi yang relatif sama; tetapi pada komposisi tertentu seperti kadar air, protein dan lemak menunjukkan kandungan yang berbeda. Hasil pengujian proksimat merupakan gabungan (campuran) dua sampel akar bahar genus Rumphella dan Hicksonella. Kandungan proksimat terhadap kulit dan aksial akar bahar dari kedua genus tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia gabungan sampel akar bahar (genus Rumphella dan Hicksonella).

Komposisi akar bahar

Bagian akar bahar (genus Rumphella dan Hicksonella) Kulit (%) Aksial (%) Kadar air 2.28±0.16 6.53±0.08 Protein 19.14±0.11 22.23±0.14 Lemak 3.11±0.01 0.56±0.00 Karbohidrat 4.54±0.01 5.47±0.06 Kadar abu 14.06±0.34 13.80±0.52

Kadar abu larut asam 11.45±0.03 12.51±0.02

Kadar abu tak larut asam 2.58±0.07 1.27±0.02

Kadar air

Tabel 1 menunjukkan kadar air pada kulit akar bahar sebesar 2.28%; kandungan airnya sangat rendah dibandingkan kadar air pada aksial akar bahar sebesar 6.53%. Kadar air pada kulit akar bahar yang relatif rendah diduga akibat saat pengeringan yang dilakukan dengan sinar matahari dan pengeringan mengggunakan oven. Kulit akar bahar langsung kontak dengan sumber panas yaitu sinar matahari dan sumber panas dari oven pengeringan. Akibatnya air pada kulit akar bahar yang merupakan kumpulan polip (hewan karang) pada tubuhnya

mengandung air ikut menguap sedangkan bagian aksial terlindungi oleh kulit yang membungkusnya, sehingga air yang diuapkan terhalang oleh lapisan kulit.

Katno (2008) menyatakan pengeringan simplisia bertujuan untuk mencegah aktivitas enzim perusak kandungan kimia pada bahan. Bahan setelah dipanen segera dikeringkan sehingga kadar airnya rendah (kurang dari 10%). Kadar air yang rendah ini mencegah bahan dari kerusakan oleh jamur dan mikroba pembusuk lainnya.

Menurut Winarno (1989) air yang terdapat dalam suatu bahan terdapat dalam tiga bentuk yaitu: 1) air bebas, terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan intergranular dan pori-pori yang terdapat pada bahan; 2) air yang terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan koloid makro molekuler seperti protein, pektin pati, selulosa. Air juga terdispersi di antara koloid tersebut dan merupakan pelarut zat-zat yang ada di dalam sel. Air yang ada dalam bentuk ini masih tetap mempunyai sifat air bebas dan dapat dikristalkan pada proses pembekuan. Ikatan antara air dengan koloid tersebut merupakan ikatan hidrogen; dan 3) air yang dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat. Ikatannya berifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air ini tidak membeku meskipun pada suhu -18 oC.

Kadar protein

Persentase kandungan protein akar bahar termasuk dalam kategori kandungan protein yang cukup besar. Pada kulit akar bahar kandungan protein dengan metode Kjeldahl sebesar 19.14% dan aksial akar bahar sebesar 22.23%.

Kandungan protein tersebut berbeda dengan penelitian Mistri (1996) pada aksial gorgonian Paramuricea clavata 82.56% dan Lophogorgia ceratophyta 48.19%. Kandungan protein tersebut dihitung berdasarkan metode analisis Leco CHN-600 (penentun karbon-hidrogen-nitrogen). Protein yang dihitung termasuk nitrat dengan asumsi bahwa semua nitrogen termasuk matriks protein.

Penelitian Goldberg (1978) dengan metode bovin serum albumin (BSA) melaporkan kandungan protein berkisar 70.4-93.6% pada tiga skeleton (aksial) gorgonian Muricea muricata, Swiftia exserta, Gorgonia ventalina, dan dua Anthiparia yaitu Cirrhipathes lutkeni dan Antipathes rhipidion.

Kandungan protein yang terdapat pada bagian aksial menunjukkan jumlahnya lebih banyak pada hasil penelitian dan beberapa penelitian yang dilaporkan dibandingkan dengan bagian kulit; dan kandungannya berbeda untuk setiap gorgonian.

Tingginya kandungan protein pada aksial diduga dari hasil penimbunan sisa-sisa makanan selama proses metabolisme yang makin lama makin tebal dan keras. Aziz (1978) menyatakan sisa-sisa makanan akan disimpan di dalam vakuola oleh sel-sel mesoglea dan kelak akan ditimbun ke arah sumbu (axial) dari koloni. Lapisan sebelah dalam ini makin lama makin tebal karena aktivitas dari mesoglea. Zat-zat yang ditimbun oleh mesoglea berupa zat tanduk atau keratin. Hal ini didukung oleh Manuputty (2008) bahwa kerangka dalam (axial) terdiri dari gorgonian yang keras dan padat, sama dengan zat tanduk yang mengandung substansi kolagen dan senyawa protein.

Penelitian ini hanya mengetahui kadar protein dalam akar bahar. Protein yang terdapat dalam akar bahar menurut Aziz (1978) dan Manuputty (2008) berupa protein keratin, kolagen dan senyawa protein lainnya. Protein keratin, dan

kolagen, berfungsi memperkuat penutup pelindung tubuh dan memperkuat jaringan ikat. Kandungan protein yang tinggi tersebut perlu dilakukan analisis lanjutan mengenai jenis-jenis asam amino yang terdapat di dalamnya. Asam-asam amino tersebut perlu dianalisis dan diuji aktivitas biologisnya karena termasuk dalam senyawa bioaktif. Asam-asam amino tersebut, diduga berperan sebagai antioksidan dan aktivitas biologis lainnya.

Kadar lemak

Persentase kadar lemak untuk kulit akar bahar sebesar 3.11% dan persentase kadar lemak untuk aksial akar bahar sebesar 0.56%. Kandungan lemak yang terdapat pada kulit akar bahar diduga berasal dari tubuh hewan karang (polip) yang melakukan proses metabolisme; lemak pada bagian kulit juga diduga berperan sebagai cadangan energi dan pelindung dari perubahan suhu.

Kandungan lemak yang terdapat pada aksial diduga sebagai hasil penimbunan selama metabolisme. Kandungan lemak yang terdapat pada akar bahar tergolong rendah dibandingkan penelitian Goldberg (1978) pada tiga skeleton (aksial) gorgonian Muricea muricata, Swiftia exserta, Gorgonia ventalina, dan dua Anthiparia yaitu Cirrhipathes lutkeni dan Antipathes rhipidion dengan kandungan lemak 0-8.4%.

Kandungan lemak yang terdapat dalam kulit akar bahar berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan antibiotik. Potensi tersebut didukung dengan hasil uji toksisitas yang menunjukkan ekstrak akar bahar pada kulit bersifat toksik. Trianto et al. (2004) melaporkan asam lemak pada ekstrak gorgonian Isis hippuris pada fraksi KKT 7; 9 dan 10 diduga bersifat toksik dan dipakai sebagai antibiotik.

Karbohidrat

Kandungan karbohidrat menggunakan metode Luff Schrool pada pada kulit akar bahar 4.54% dan pada bagian aksial 5.47%. Kandungan karbohidrat pada akar bahar relatif tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Goldberg (1978) dengan metode asam fenol sulfat melaporkan kandungan karbohidrat sebesar 1.24-3.94% pada tiga skeleton (aksial) gorgonian Muricea muricata, Swiftia exserta, Gorgonia ventalina, dan dua Anthiparia yaitu Cirrhipathes lutkeni dan Antipathes rhipidion. Metode pengujian total karbohidrat yang berbeda menghasilkan hasil uji yang berbeda.

Kandungan karbohidrat yang relatif sama antara kulit dan aksial akar bahar diduga berasal dari hubungan simbiosis antara polip dan alga uniseluler zooxanthela. Zooxanthela menyediakan makanan bagi polip karena dapat melakukan proses fotosintesa. Makanan tersebut digunakan akar bahar untuk kelangsungan hidupnya dan disimpan dalam bentuk glikogen. Menurut Winarno (2008) karbohidrat yang terhitung berupa glikogen dan serat kasar. Hal ini dikarenakan karbohidrat yang terdapat pada hewan umumnya berbentuk glikogen.

Kadar abu

Kadar abu pada akar bahar tergolong tinggi antara kulit dan aksial. Pada bagian kulit kadar abu 14.05% lebih tinggi dari kadar abu pada bagian aksial 13.80%. Kadar abu tersebut mengindikasi banyaknya komponen organik dan anorganik yang terdapat dalam akar bahar. Komponen organik kalsium karbonat

(CaCO3) diduga banyak terkandung dalam akar bahar; serta beberapa komponen organik lainnya seperti magnesium, pospor, natrium, sulfur, besi, dan mineral organik lainnya. Aziz (1977) melaporkan gorgonian Corralium spp. mengandung kapur (CaCO3) 40-50%, asam karbonik 40% sisanya berupa magnesia, besi oksida, asam sulfat dan silika. Sudarmadji et al. (2007) menyatakan kadar abu dalam suatu bahan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan.

Kandungan abu larut asam akar bahar pada bagian kulit 11.45% dan pada bagian aksial kadar abu larut asam 12.51%. Kadar abu larut asam pada bagian kulit dan aksial relatif sama kandungannya pada akar bahar. Kadar abu tak larut asam 2.58% pada bagian kulit akar bahar cukup tinggi dan bagian aksial akar bahar 1.27%.

Kadar abu larut asam pada bagian kulit dan aksial yang relatif sama diduga berasal dari pasir dan partikel-partikel tempat akar bahar hidup. Pasir dan partikel-partikel tersebut berupa komponen garam dan mineral-mineral, yang terbawa arus, diserap dan terakumulasi dalam tubuh akar bahar. Bai et al. (2011) melaporkan pada black coral Antipathes mengandung 13 komponen organik; kandungan fosfor dan kalsium merupakan komponen organik yang paling besar. Menurut Konishi (1991) karang lunak (Alcyonaria) merupakan hewan pemasok terbesar senyawa karbonat yang berguna bagi pembentukan terumbu karang. Hal ini terbukti sejak ditemukannya sejumlah besar spikula berkapur di dalam jaringan tubuhnya, yang tidak ditemukan pada hewan lain yang hidup di terumbu karang yang sama.

Kadar abu tak larut asam pada kulit akar bahar tergolong tinggi kandungannya, dibandingkan dengan bagian aksialnya. Tingginya kadar abu tak larut asam pada kulit diduga berasal dari dasar perairan tempat hidup akar bahar berupa silika, pasir, dan sedimen lainnya yang menempel pada karang. Kadar abu yang tak larut asam tersebut terakumulasi dalam tubuh akar bahar dan tidak dapat disekresikan pada saat proses metabolisme. Aziz (1977) melaporkan komposisi kimia gorgonian Corralium spp. mengandung 0.5% silikat. Isnawati et al. (2006) menyatakan kadar abu total dan abu tidak larut asam hendaknya menghasilkan nilai rendah karena uji ini merupakan indikator adanya cemaran logam yang tidak mudah hilang pada suhu tinggi.

Pengujian komposisi kimia pada akar bahar penting dilakukan sebagai data penelitian mengenai komponen kimia penyusun akar bahar. Komposisi kimia tersebut berguna sebagai dasar pertimbangan pemilihan metode ekstraksi dan jenis pelarut untuk penelitian pada tahapan selanjutnya terhadap komponen metabolit sekunder. Penelitan-penelitian sebelumnya jarang yang melaporkan informasi mengenai komposisi proksimat; penelitian difokuskan pada senyawa metabolit sekunder dan pengujian aktivitas biologi senyawa tersebut.

Logam Berat

Pengujian logam berat terhadap akar bahar bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa bahan alami yang digunakan sebagai bahan obat atau ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu seperti merkuri, timbal, kadmium, arsen, tembaga atau cemaran logam berat lainnya. Nilai cemaran logam diharapkan tidak melebihi nilai standar yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan.

Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Hasil pengujian logam berat pada akar bahar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan hasil pengujian logam berat merkuri, arsen, kadmium dan tembaga pada kulit dan aksial akar bahar masih berada dalam batas standar keamanan kandungan logam berat yang dipersyaratatkan dalam produk perikanan dan cemaran kimia dalam makanan. Logam berat timbal melebihi dari standar yang ditetapkan berdasarkan Badan Standar Nasional Indonesia (BSN) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Tabel 2 Kandungan logam berat gabungan sampel akar bahar (genus Rumphella dan Hicksonella).

Logam berat

Bagian akar bahar (genus

Rumphella dan Hicksonella) BSN (2009)

(ppm) BPOM (2009) (ppm) Kulit (ppm) Aksial (ppm) Merkuri (Hg) <0.002 <0.002 1.0 1.0 Arsen (As) <0.002 <0.002 1.0 1.0 Kadmium (Cd) 0.41±0.12 0.15±0.04 1.0 1.0 Tembaga (Cu) 44.79±1.84 6.42±0.20 - - Timbal (Pb) 4.49±0.58 3.06±1.15 1.5 1.5

Keterangan: nilai < 0.002 ppm merupakan limit deteksi AAS karena kandungan logam berat dalam sampel sangat kecil sehingga tidak terdeteksi.

Keberadaan logam berat di perairan laut dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain dari kegiatan pertambangan, rumah tangga, limbah pertanian dan buangan industri (Rochyatun et al. 2006). Pencemaran logam berat dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, tingkah laku, efek fisiologi, genetik dan resistensi. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek khusus pada makhluk hidup. Logam berat dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup (Palar 2008).

Merkuri (Hg)

Kandungan logam berat merkuri pada kulit dan aksial akar bahar terdeteksi < 0.002 ppm; berada dalam kisaraan yang dipersyaratan oleh BSN dan BPOM yaitu 1 ppm. Kandungan logam berat merkuri yang sangat kecil ini menunjukkan lingkungan perairan disekitar tempat hidup akar bahar jauh dari lokasi industri ataupun pabrik yang menggunakan merkuri dalam aktivitasnya seperti penambangan emas.

Merkuri (Hg) merupakan salah satu logam berat yang berbahaya dan dapat terjadi secara alamiah di lingkungan sebagai hasil perombakan mineral di alam melalui proses cuaca/iklim dari angin dan air. Umumnya merkuri ditemukan di alam dalam bentuk merkuri metalik, merkuri sulfida, merkuri klorida dan metal merkuri (BSN 2009).

Merkuri disebut juga air raksa, merkuri merupakan logam yang secara alami ada dan merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam murninya berwarna keperakan, cairan tak berbau, dan mengkilap. Bila dipanaskan sampai suhu 357 °C, merkuri akan menguap (Widaningrum et al. 2007). Merkuri organik dalam bentuk metil merkuri, mempunyai daya racun yang tinggi dan susah diurai dibandingkan Hg murni. Jika metil merkuri terakumulasi dalam tubuh, maka akan mengakibatkan keracunan yang bersifat

akut (mual, muntah-muntah, diare, kerusakan ginjal dan kematian) (Darmono 2001).

Arsen (As)

Logam berat arsen pada kulit dan aksial akar bahar terdeteksi <0.002 ppm. Nilai tersebut lebih kecil dari 1 ppm dari nilai yang dipersyaratan oleh BSN dan BPOM. Hasil penelitian menunjukkan kandungan logam berat arsen dalam akar bahar masuk dalam kategori aman.

Arsenik diakui sebagai komponen esensial bagi sebagian hewan dan tumbuh-tumbuhan, namun demikian arsenik lebih populer dikenal sabagai raja racun dibandingkan kapasitasnya sebagai komponen esensial. Arsen anorganik seperti arsen pentaoksida memiliki sifat mudah larut dalam air, sedangkan arsen trioksida sukar larut di air, tetapi lebih mudah larut dalam lemak. Penyerapan melalui saluran pencernaan dipengaruhi oleh tingkat kelarutan dalam air, sehingga arsen pentaoksida lebih mudah diserap dibanding arsen trioksida (Widaningrum et al. 2007).

Kadmium (Cd)

Logam berat kadmium terdeteksi pada akar bahar. Kandungan logam berat kadmium pada kulit akar bahar 0.41 ppm dan aksial akar bahar 0.15 ppm. kandungan cadmium tersebut lebih kecil 1 dan berada dalam kisaran persyaratan logam berat yang ditetapkan oleh BSN dan BPOM.

Kadar Cd pada akar bahar masih berada pada ambang batas dan standar yang ditetapkan. Kandungan Cd tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan kadar Cd yang dilaporkan Chan et al. (2012) dalam karang gorgonian subergorgia suberosa pada kondisi terkontrol yang diambil dari perairan laut Taiwan, bekas penambangan dengan kandungan Cd sebesar 12.72 mg/L. Hal ini menunjukkan lingkungan yang berbeda kandungan logam berat juga berbeda.

Kadar Cd dalam akar bahar diduga berasal dari sedimen pada dasar perairan yang banyak mengandung Cd. Sedimen yang mengandung Cd terakumulasi dalam tubuh akar bahar dalam jangka waktu lama. Cd merupakan logam berat yang sangat berbahaya karena tidak dapat dihancurkan (non degradable) oleh organisme hidup dan dapat terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorbsi dan kombinasi (Rochyatun dan Rozak 2007; Ayeni et al. 2010).

Kadmium merupakan logam yang ditemukan alami dalam kerak bumi. Kadmium murni berupa logam lunak berwarna putih perak. Dalam kondisi asam lemah, kadmium akan mudah terabsorpsi ke dalam tubuh. Sebanyak 5% kadmium diserap melalui saluran pencernaan, dan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Kadmium dan senyawanya bersifat karsinogen dan racun kumulatif (BSN 2009).

Tembaga (Cu)

Kandungan logam berat Cu pada akar bahar terdeteksi kandungannya tergolong tinggi. Kandungan Cu pada kulit akar bahar 44.79 ppm lebih tinggi kandungannya dari bagian aksial akar bahar 6.42 ppm. Kandungan Cu berdasarkan Badan Standarisasi Nasional dan Badan Pengawasan Obat dan

Makanan tidak mencantumkan Cu sebagai salah satu syarat logam dalam produk perikanan maupun cemaran kimia dalam makanan.

Hasil penelitian menunjukan kandungan Cu lebih tinggi dari semua kandungan logam berat pada akar bahar. Sampel diambil dari perairan yang bukan bekas daerah penambangan dan jauh dari daerah industri. Hal ini berbeda dengan penelitian Chan et al .(2012) pada karang gorgonian subergorgia suberosa pada kondisi terkontrol yang diambil dari perairan laut Taiwan bekas penambangan, kandungan Cu sebesar 13.67 mg/L lebih rendah dari kandungannya Cu kulit akar bahar, tetapi kandungan Cu-nya lebih besar dari kandungan Cu pada aksial akar bahar.

Tingginya kandungan Cu dalam akar bahar diduga berasal dari kontaminasi alat grinder yang dipakai untuk menggiling akar bahar. Grinder yang dipakai diduga berbahan dasar logam Cu. Hal lain yang menyebabkan tingginya kandungan Cu diduga berasal dari pengikisan batuan alami yang mengandung mineral sangat tinggi. Rochyatun et al. (2006) menyatakan kemungkinan besar Cu yang dikandung di perairan berasal dari buangan sampah yang berasal dari kegiatan manusia di darat dan erosi batuan mineral yang terbawa arus pada saat hujan kemudian mengalir ke laut melalui sungai.

Jalur masuknya Cu dari aktivitas manusia disekitar pesisir pantai tempat pengambilan sampel kecil sekali karena jauh dari aktivitas pabrik atau industri seperti buangan dari industri, pengecetan kapal, dan aktivitas di pelabuhan. Palar (1994) menyatakan aktivitas manusia seperti buangan industri, pertambangan Cu, industri galangan kapal dan bermacam-macam aktivitas pelabuhan lainnya merupakan salah satu jalur yang mempercepat terjadinya peningkatan kelarutan Cu dalam badan-badan perairan.

Logam Cu dalam akar bahar diduga dibutuhkan dalam proses metabolisme karena logam Cu bersifat essensial, jika dibandingkan dengan logam yang lain. Hutagalung (1991) menyatakan karang lunak membutuhkan logam Cu yang ada di perairan untuk kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan hidupnya sebagai cofaktor kerja enzim dalam metabolisme hewan karang. Hasil logam berat Cu yang tinggi pada akar bahar yang hidup di perairan-NTT sudah melebihi ambang batas. Kandungan logam berat berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 terhadap biota laut sebesar 0.01 ppm.

Logam Cu bila dalam konsentrasi tinggi akan bersifat racun dalam tubuh. Widaningrum et al. 2007 menyatakan Cu bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan di atas 0.1 ppm. Konsentrasi yang aman bagi air minum manusia tidak lebih dari 1 ppm. Konsentrasi normal komponen ini di tanah berkisar 20 ppm dengan tingkat mobilitas sangat lambat karena ikatan yang sangat

Dokumen terkait