• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Atmosfer

Berikut ini merupakan profil kondisi atmosfer yang diukur dengan radiosonde saat pelayaran INDOMIX di masing-masing wilayah perairan yang di lalui kapal riset. Selain deskripsi mengenai kondisi atmosfer dasar seperti suhu dan angin, profil yang ditampilkan juga akan membandingkan kondisi parameter kelembaban di setiap wilayah perairan. Pada setiap pelepasan, waktu, lokasi dan ketinggian maksimum yang dijangkau radiosonde berbeda-beda (Tabel 1). Dalam bab ini tidak semua profil ditampilkan, hanya salah satu profil yang mewakili kondisi pagi dan sore hari. Selebihnya dalam satu wilayah perairan dapat dikatakan variasinya relatif kecil. Seluruh hasil dari semua stasiun dapat dilihat pada Lampiran 3. Profil yang ditampilkan secara vertikal antara lain suhu udara (T), suhu titik embun (Td), suhu virtual (Tv), suhu potensial (Tpot), kelembaban spesifik (Specific Humid.), mixing ratio dan kecepatan angin (windspeed).

Di Sekitar Perairan Sorong

Gambar 4 Profil vertikal atmosfer Perairan Sorong (Pagi hari)

Profil vertikal atmosfer dari radiosonde yang dilepas di Perairan Sorong pada tanggal 9 dan 10 Juli 2010 dengan waktu pelepasan keduanya yaitu pagi hari menunjukkan dinamika profil yang sama (Lampiran 3). Di wilayah ini, radiosonde hanya membaca hingga ketinggian 400 hPa-550 hPa. Ketinggian akhir tersebut masih dalam lapisan troposfer. Nilai suhu udara maksimum ada di ketinggian 13 meter atau di tekanan 1007 hPa, suhu di bawah 0 derajat dimulai di ketinggian 4890 meter atau 565 hPa dan minimum di ketinggian 5059 meter atau 554.4 hPa. Suhu titik embun maksimum berada di permukaan yaitu ketinggian 13 meter dan minimum di ketinggin 5070 meter atau 553.6 hPa. Mixing ratio untuk perairan sorong berkisar dari 5-20.85 g/kg. Nilai maksimum mixing ratio berada di sekitar tekanan 1000 hPa atau di sekitar ketinggian 76 m. Di ketinggian yang sama, nilai kelembaban spesifik juga mencapai nilai maksimum. Pada tanggal 10 Juli ini, kecepatan angin maksimum berada setelah tekanan 560 hPa ke atas dan minimum di ketinggian 3467 meter atau 674.3 hPa.

8

Laut Halmahera

Gambar 5 Profil vertikal atmosfer pagi (atas) dan sore (bawah) di atas Laut Halmahera

Laut Halmahera merupakan pintu masuk sekunder Arlindo dari wilayah timur yang akan melewati wilayah perairan Indonesia. Pengamatan atmosfer di Laut Halmahera dilakukan dengan melepas radiosonde sebanyak 9 kali (Stasiun 3-Stasiun 11) dimulai tanggal 10 Juli sore hari hingga tanggal 14 Juli 2010 sore hari (Lampiran 3). Gambar 5 merupakan profil vertikal atmosfer yang diamati pada pukul 4 pagi dan 4 sore. Di perairan ini untuk parameter kelembaban bernilai nol saat berada di tekanan 158 hPa. Untuk sore hari, kondisi kelembaban spesifik dan mixing ratio di perairan ini menuju titik nol di sekitar tekanan 385.7 hPa atau 1 km lebih tinggi daripada pagi hari. Suhu maksimum pagi hari terdapat di ketinggian dibawah 1000 hPa dan suhu titik embun maksimum di ketinggian 1010 hPa. Sebaliknya untuk sore hari, kecepatan angin maksimum di mulai di ketinggian 44 hPa. Suhu dan suhu titik embun maksimum keduanya berada pada ketinggian 1011.3 hPa.

9 Laut Seram

Gambar 6 Profil vertikal atmosfer di atas Laut Seram

Pelepasan radiosonde di wilayah ini hanya dilakukan sebanyak 1 kali sehingga tidak bisa dibandingkan antara kondisi pagi dan sore harinya. Karakteristik atmosfer di wilayah Laut Seram dicirikan oleh suhu maksimum berada pada ketinggian 13 meter dan minimum di ketinggian 16.5 km atau di tekanan 101.6 hPa. Suhu titik embun yang juga maksimum di ketinggian 13 meter, penurunannya lebih stabil dibandingkan dengan suhu titik embun pagi hari di Laut Halmahera. Suhu virtual dan suhu potensial maksimal di ketinggian 40 meter. Kedua parameter tersebut minimum berturut-turut di tekanan 101.8 hPa dan 40 hPa, Nilai mixing ratio dan kelembaban spesifik memiliki nilai minimum yaitu nol mulai pada tekanan 141 hPa. Ketinggian tersebut lebih rendah daripada kondisi pagi di Laut Halmahera. Untuk kecepatan angin, nilai minimum ada di ketinggian 980 hPa dan maksimum di ketinggian 47 hPa (21 km).

10

Gambar 7 Profil vertikal atmosfer di atas Laut Banda

Kondisi atmosfer di Laut Banda menunjukkan profil suhu dengan fluktuasi secara vertikl yang tidak berbeda dengan Laut Seram dan titik embun yang lebih fluktuatif khususnya pada ketinggian 800 hPa hingga 100 hPa. Suhu maksimum pagi hari di atas perairan ini berada di ketinggian 1004 hPa (32 m) dan minimum di ketinggian 101.3 hPa (16.5 km). Ketinggian tersebut juga merupakan titik maksimum dan minimum dari suhu virtual. Suhu potensial juga maksimum di ketinggian 1004 hPa, namun minimum di ketinggian 14.6 hPa. Sedangkan untuk titik embun, maksimum di 13 hPa dan minimum di 54.9 hPa. Pada ketinggian 48 hPa(20 km) angin memiliki kecepatan hingga 60.6 knot. Kecepatan angin terendah berada di ketinggian 24 hPa (25 km).

Kondisi sore hari, suhu udara dan suhu virtual, nilai maksimum dan minimumnya juga berada di ketinggian yang sama yaitu 1007 hPa (13 meter) dan 93.5 hPa (16.9 km). Kondisi suhu tersebut hanya 400 meter lebih tinggi dari pagi hari. Suhu potensial dan suhu titik embun juga maksimum di ketinggian 1007 hPa. Namun, Td minimum di 48.4 hPa (26.8 km) dan Tpot di 6.3 hPa. Dalam hal kelembaban, mixing ratio dan kelembabab spesifik juga maksimum di permukaan (1007 hPa) dan mendekati 0 di 356.3 hPa. Kondisi kecepatan angin di sore hari fluktuasinya lebih stabil dibandingkan pagi hari dengan kecepatan maksimum sebesar 68 knot di tekanan 14 hPa ke atas dan minimum 1.7 knot di 27 hPa.

11 Selat Ombai

Gambar 8 Profil vertikal atmosfer di atas Selat Ombai pagi (atas) dan sore (bawah).

Profil parameter T, Td, dan Tv pada Gambar 8 menunjukkan bahwa pagi hari, secara vertikal suhu maksimum di Selat Ombai adalah T, Tv dan Tpot maksimum berada di ketinggian 26 m (1007 hPa) sedangkan Td di 13 m (1008 hPa). Nilai minimum untuk T dan Tv berada di titik yang sama yaitu 85.7 hPa, Tpot di 17 hPa, dan Td di 53.6 hPa. Kondisi kelembaban, bernilai nol di ketinggian 140 hPa walaupun telah memiliki nilai yang rendah di sekitar 400 hPa. Kecepatan angin di atas perairan ini, nilai maksimum dan minimumnya berada di atas 100 hPa.

Kondisi sore hari, kelembaban perairan ini juga mulai kering di sekitar 400 hPa dan bernilai nol di ketinggian yang lebih rendah daripada pagi hari yaitu 129 hPa. nilai maksimum terdapat di permukaan (13 m atau 1009 hPa), sedangkan Tpot ada di tekanan 1007 (25 m). Berturut-turut nilai minimumnya berada di ketinggian 105.1 hPa untuk T dan Tv, 48 hPa untuk Td, dan 75.2 hPa untuk Tpot. Kelembaban atmosfer perairan ini pada pagi hari mulai kering di sekitar tekanan 400 hPa. Sedangkan kecepatan angin vertikal, maksimum di ketinggian 41 hPa

12

dan minimum di 467 hPa. Kondisi kecepatan angin minimum juga terdapat di ketinggian di atas 100 hPa.

Perairan Selatan Nusa Tenggara

Gambar 9 Profil vertikal atmosfer di selatan Nusa Tenggara Pagi (atas) dan sore (bawah)

Perairan ini meliputi Laut Sawu hingga Selat Sumba. Gambar 9 menunjukkan T, Td, Tv, Tpot maksimum pagi hari berturut-turut ada di ketinggian 1009 hPa (29m), 1010 hPa (13 m), 1007 hPa (40 m) dan minimum di 95.3 hPa, 60.9 hPa, 95.3 hPa, 13.9 hPa. Ketinggian kelembaban minimum di pagi hari lebih rendah daripada sore hari. Secara vertikal, fluktuasi kecepatan anginnya juga lebih besar daripada perairan lainnya. Pagi hari, kecepatan angin maksimum ada di tekanan 6.7 hPa dan minimum 20.4 hPa dan di ketinggian antara 600-700 hPa. Sore hari, kecuali Tpot yang maksimum di 1006 hPa, nilai T, Tv, dan Td maksimum di 1010 hPa (13m). Parameter T dan Tv minimum di 96.5 hPa, Td di 50.8 hPa dan Tpot di 21.1 hPa. Kecepatan angin vertikal maksimum di 85.7 hPa dan minimum di 22.23 hPa.

13 Karakteristik Atmosfer

Di sepanjang lintasan INDOMIX 2010, semua parameter suhu (T,Td,Tv,Tpot) menunjukkan nilai maksimum yang berada di permukaan perairan (<50 meter). Sebaliknya nilai suhu minimum berada pada di ketinggian antara 0-150 hPa. Merujuk pada Highwood dan Hoskins (1998), ketinggian lapisan tropopause ditentukan dengan melihat titik balik minimum profil vertikal suhu sebelum memasuki lapisan inversi dimana suhu kembali naik. Dari semua hasil, titik balik tersebut berada di sekitar ketinggian 100 hPa. Sehingga, nilai minimum dari suhu udara dan suhu virtual berada di lapisan tropopause. Lapisan ini adalah lapisan yang memisahkan antara stratosfer dan troposfer, sedangkan suhu potensial dan suhu titik embun minimum saat telah memasuki lapisan stratosfer bawah.

Di ketinggian tersebut juga terlihat bahwa kecepatan anginnya mengalami fluktuasi yang tinggi. Nilai maksimum dan minimumnya juga berada di lapisan stratosfer bawah. Di lapisan ini, khususnya di wilayah tropis, perambatan angin didominasi oleh fenomena yang disebut dengan Quasi-Biennal Oscillation (QBO). Osilasi ini dapat dilihat dari perambatan angin baratan dan timuran yang merambat ke bawah. Periode rata-rata QBO adalah 28 bulan (Baldwin et.al 2001). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai apakah fase baratan atau timuran yang sedang berlangsung selama pelayaran INDOMIX, dibutuhkan plotting angin zonal ataupun suhu di ketinggian stratosphere bawah sepanjang tahun 2010.

Tindall (2003) menyatakan bahwa kelembaban di lapisan stratosfer bawah akan lebih kering daripada lapisan di bawahnya dan menyebutnya sebagai dehidrasi stratosferik. Hasil perhitungan kelembaban dalam penelitian ini menunjukkan bahwa di seluruh stasiun yang memiliki data hingga ketinggian >100 hPa, nilai parameter kelembaban mulai kering saat masih berada di lapisan troposfer. Hal ini karena massa udara akan membeku di lapisan tropopause yang memiliki suhu terdingin sebelum suhu tersebut naik kembali saat memasuki lapisan stratosfer sehingga massa udara yang terangkat akan sangat kering.

Kandungan uap air pada troposfer di masing-masing wilayah dapat menentukan seberapa rendah atau tingginya awan yang terbentuk. Ketika udara yang belum jenuh uap airnya terangkat, udara tersebut akan mendingin secara adiabatik. Saat sudah mencapai ketinggian yang cukup, suhu akan menurun ke suhu titik embun, dan awan akan mulai terbentuk. Ketinggian dimana awan mulai terbentuk adalah level dimana udara telah jenuh dengan uap air atau dapat juga disebut dengan Lifting Condensation Level (LCL). Dasar awan untuk awan konvektif juga terjadi pada titik LCL. Pada perhitungan tinggi dasar awan pada penelitian ini, rumus yang digunakan tidak dapat menduga awan-awan berjenis stratiform yang dihasilkan dari proses adveksi sehingga hanya bisa menduga keberadaan awan konvektif (Stull 2000).

14

Gambar 10 Ketinggian dasar awan dan mixing ratio di atas permukaan laut Dari Gambar 10 terlihat di pagi hari, Selat Ombai awan baru mulai terbentuk di ketinggian 900 meter, tetapi di Laut Banda, awan sudah bisa terbentuk di ketinggian 312.5 meter. Kondisi sore hari, Selat Ombai dan Selatan Nusa Tenggara sebagai pintu keluar Arlindo, memiliki tinggi dasar awan yang lebih tinggi daripada wilayah lain. Awan-awan yang dapat terbentuk di ketinggian dasar ini merupakan awan-awan cumuliform seperti cumulus (Cu) dan cumulonimbus (Cb). Kondisi yang menyebabkan ketinggian dasar awan berbeda adalah kondisi kelembaban atmosfer. Kondisi troposfer yang memiliki kandungan udara kering yang lebih besar seperti di pintu keluar Arlindo, akan membutuhkan energi yang lebih besar untuk terangkat dan mengalami fase jenuh untuk selanjutnya terbentuk menjadi awan (Stull 2000). Pembentukan awan pada ketinggian yang lebih rendah akibat kelembaban yang juga lebih tinggi, berada pada wilayah perairan yang dekat dengan ekuator.

Pada umumnya dalam skala yang lebih luas, pembentukan awan di wilayah ekuator dipengaruhi oleh adanya zona konvergensi di sepanjang pita ekuator yang disebut Inter-Tropical Convergence Zone (ITCZ). Menurut Threwartha dan Horn (1995), ITCZ adalah garis atau zona yang berkaitan dengan pusat sirkulasi siklonik yang memiliki tekanan udara yang sangat rendah dari daerah sekitarnya dan berada di antara dua cekungan ekuatorial. Wilayah ini juga merupakan fenomena yang disebabkan oleh sirkulasi Hadley saat dua sel Hadley (bumi

15 bagian utara dan selatan) membentuk sabuk bertekanan rendah. Pergerakan ITCZ yang dipengaruhi oleh revolusi bumi terhadap matahari membuat ITCZ berada di belahan bumi bagian utara pada bulan Juli dan berada di belahan bumi bagian selatan pada bulan Januari. Wilayah Indonesia dilalui oleh ITCZ pada bulan Januari dan mempengaruhi wilayah yang memiliki tipe curah hujan ekuatorial.

Faktor lain yang mempengaruhi distribusi massa udara secara vertikal termasuk uap air yang akan menjadi inti kondensasi dari awan adalah faktor konveksi. Konveksi merupakan bentuk dari sebuah perpindahan panas. Konveksi yang dipengaruhi oleh gaya apung akibat adanya pemanasan akan memindahkan massa udara dan konten yang dibawanya (uap air, partikel kecil, dan gas lainnya) secara vertikal (Liu 1989). Setelah proses kondensasi awan dimulai, maka proses konveksi akan berhenti.

Gambar 11 Nilai K-Index di atas permukaan laut

Gambar 11 merupakan grafik nilai perhitungan konvektivitas menggunakan K-Indeks. Terlihat bahwa konvektivitas di wilayah perairan Sorong, Halmahera, Seram, Ombai, dan Selatan Nusa Tenggara di pagi hari masuk dalam kategori konvektivitas sedang, sedangkan Laut Banda dan Selatan Nusa Tenggara pada sore hari masuk dalam kategori konvektivitas tinggi. Khusus untuk Nusa Tenggara di pagi hari, nilai suhu titik embun pada nilai suhu yang hampir sama yaitu 16.1 oC, lebih kecil saat pagi hari dibandingkan dengan sore hari pada tekanan 850mb. Selain itu, nilai suhu pada tekanan 500mb juga lebih kecil sehingga konvektivitas pada pagi hari lebih kecil daripada sore hari.

Di atmosfer konveksi juga berperan sebagai pembangkit dari proses percampuran di atmosfer. Konveksi akan berasosiasi dengan turbulensi untuk membuat kondisi atmosfer di permukaan lebih homogen. Keadaan ini biasanya terdapat di permukaan. Wilayah dengan turbulensi dapat diketahui melalui perhitungan stabilitas dinamis atau Rhichardson Number (Ri). Bilangan Richardson diperoleh melalui rasio antara bouyancy dengan geser angin vertikal.

16

Tabel 2 Kategori Turbulensi menurut Panofsky (1983)

Nilai Kategori

Ri < 0.0 Turbulensi Konvektif

0.0 < Ri < 0.25 Turbulensi dengan Konvektif lemah Ri > 0.25 Tidak ada turbulensi

Tabel 3 Kategori turbulensi di permukaan sepanjang lintasan Arlindo selama INDOMIX

Lokasi Kategori

Pagi Sore

Sorong Turbulensi Konvektif

Halmahera Turbulensi Konvektif Turbulensi Konvektif

Seram Turbulensi Konvektif

Banda Tidak ada turbulensi Turbulensi Konvektif

Ombai Tidak ada turbulensi Turbulensi Konvektif

Selatan Nusa Tenggara Turbulensi Konvektif Tidak ada turbulensi Dalam pendekatan perhitungan turbulensi menggunakan Ri, tidak hanya faktor gaya apung yang diperhatikan dari konveksi akibat pemanasan di permukaan, namun juga shear angin. Kondisi atmosfer yang stabil statis akan menjadi turbulen ketika angin cukup kuat (Stull 2000). Pengukuran turbulensi ini merupakan keadaan turbulensi pada ketinggian awal radiosonde (13m) dengan ketinggian selanjutnya yang nilainya berbeda-beda pada masing-masing wilayah perairan. Hasilnya, sepanjang perlintasan INDOMIX turbulensi yang terjadi merupakan turbulensi konvektif. Hanya waktu tertentu angin tidak cukup membentuk turbulensi, yaitu saat pagi hari untuk perairan Banda dan Ombai, juga waktu sore hari untuk perairan Selatan Nusa Tenggara.

Gambar 12 Trayektori kecepatan angin permukaan di sepanjang perlintasan INDOMIX

Data pengukuran kecepatan angin pada Gambar 12 diperoleh dari pengukuran di atas kapal (onboard), bukan melalui radiosonde. Sehingga data di

17 atas hanya menggambarkan kondisi permukaan saja. Kecepatan angin di wilayah Sorong hingga Laut Seram terlihat lebih kecil nilai kecepatannya daripada di Laut Banda hingga Selatan Nusa Tenggara. Perairan dengan nilai kecepatan angin yang lebih tinggi merupakan wilayah perairan yang terkena pengaruh angin monsun tenggara dari Australia yang terjadi mulai bulan Juni. Secara klimatologis, dinamika atmosfer di atas benua maritim Indonesia dipengaruhi oleh Hadley dan Walker sel.

Sirkulasi Hadley berhubungan erat dengan angin pasat, angin yang mempengaruhi pola iklim musiman yang disebut monsun. Monsun terjadi akibat letak matahari yang mengakibatkan perbedaan tekanan antara dataran benua Asia dan Australia. Siklus musiman ini mempengaruhi tipe curah hujan di sebagian besar wilayah di Indonesia khususnya pada wilayah dengan konvektivitas tinggi seperti Laut Banda (Aldrian et al. 2003; Jochum & Potemra 2008). Monsun terjadi dua kali pembalikan arah angin dalam satu tahun dan terdapat periode peralihan diantaranya. Pada periode pelayaran ini (Juli), Indonesia sedang mengalami musim kering atau monsun tenggara dimana angin yang bersifat kering bertiup dari benua Australia menuju ke benua Asia. Periode musim kering ini berlangsung dari Mei hingga September.

Interaksi Laut-Atmosfer

Tahun pelayaran INDOMIX merupakan tahun yang juga bertepatan dengan kejadian anomali iklim antar-tahunan La Nina 2010, dimana akumulasi kolam air hangat yang berada di barat ekuator Samudera Pasifik semakin meningkat, serta semakin banyak massa air hangat yang diangkut kearah perairan interior Laut Indonesia. Kejadian La Nina merupakan salah satu fase dari pola sirkulasi walker yang terjadi akibat interaksi laut-atmosfer di Samudera Pasifik yang disebut ENSO (El Nino and Southern Oscillation) (Hobbs; & Wallace 2006). Fenomena ENSO juga berkontribusi terhadap pola curah hujan di Indonesia dan pengaruhnya saling berhubungan dengan monsun. Pada fase tahun La Nina ini curah hujan akan lebih besar daripada tahun non-ENSO (Aldrian et al. 2003). Saat variabilitas iklim dengan periode 4-7 tahun ini terjadi, anomalinya akan lebih dominan daripada periode yang bersifat musiman seperti monsoon (England & Huang 2005). Dampak dari ENSO selain mempengaruhi keadaan atmosfer hingga pola iklim, juga akan mempengaruhi kondisi perairan di benua maritim Indonesia salah satunya melalui Arlindo. Aliran Arlindo dan ENSO memiliki korelasi antara lain dalam bentuk transpor volume massa air dan bahang, dimana transport Arlindo mencapai maksimum dalam tahun La Nina dan sebaliknya dalam tahun El Nino (Potemra & Schneider 2007).

18

Gambar 13 Trajektori salinitas dan suhu dekat permukaan di sepanjang lintasan INDOMIX

Profil salinitas dari Gambar 13 menunjukkan bahwa pada pintu masuk Arlindo seperti Perairan Sorong dan Laut Halmahera hingga Laut Seram memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan salintas yang ada di pintu keluar perlintasan Arlindo. Salinitas permukaan di sepanjang lintasan bernilai minimum 31.84 psu, maksimum 33.62 psu, dan rata-rata 33.12 psu. Nilai salinitas permukaan yang tinggi dapat disebabkan karena suhu permukaan yang juga tinggi, sehingga penguapan lebih intensif. Suhu di Perairan Sorong hingga Laut Seram menunjukkan nilai yang lebih tinggi dan mengalami penurunan saat memasuki Laut Banda hingga ke Perairan Selatan Nusa Tenggara.

Fenomena La Nina, dimana kolam air hangat berada lebih dekat dekat Indonesia, akan membuat perairan di sekitarnya lebih hangat. Arlindo sendiri yang alirannya berasal dari Samudera Pasifik, memberikan efek pada nilai

rata-19 rata suhu permukaan tahunan (Schneider 1998). Nilai suhu maksimum pada gambar di atas berada di wilayah perairan Halmahera pada waktu pagi hari dengan nilai 30.63 oC. Adanya suhu permukaan yang lebih tinggi merupakan sumber utama dari panas dan uap air yang akan dilepaskan ke atmosfer. Jika disandingkan dengan profil atmosfer, suhu permukaan di atas Laut Hamahera pada ketinggian pertama yang dibaca radiosonde (13 m), perairan ini memiliki suhu yang juga lebih tinggi daripada Laut Seram maupun Laut Banda. Pagi hari suhu permukaan di Laut Halmahera berkisar antara 27-30 oC. Selain itu perairan ini juga memiliki nilai tertinggi pada parameter kelembaban seperti mixing ratio dan RH. Mixing Ratio maksimum di perairan ini mencapai 20.8 g/kg dan kisaran 71%-86%. Berbanding terbalik dengan perairan selatan Nusa Tenggara yang memiliki suhu permukaan laut yang lebih rendah dan kondisi atmosfer yang lebih kering.

Saat memasuki Laut Banda, suhu dan salinitas yang mulai turun salah satunya dapat disebabkan oleh adanya percampuran massa air dengan lapisan di bawahnya. Hal ini sama dengan hasil yang dipaparkan oleh Kida and Wijffels (2012) yang juga menemukan penurunan suhu di sepanjang Laut Banda hingga Laut Arafura karena percampuran massa air akibat pasang surut di bagian interior lautnya hingga mempengaruhi suhu permukaan. Akibat tidal mixing ini, salinitas maksimum akan mengalami penurunan hingga ~0.7 psu, dan suhu yang lebih rendah di lapisan termoklin akan di transfer ke permukaan dan menyebabkan suhu di permukaan mengalami penurunan hingga ~0.5oC (Koch-Larrouy et al. 2009). Berdasarkan Atmadipoera et al. (2009) percampuran akibat pasang-surut ini masih terjadi hingga pintu keluar lintasan Arlindo. Penurun suhu akibat tidal mixing juga merupakan salah satu faktor pendorong konveksi yang tinggi ke atmosfer. Khusus untuk perairan di selatan Nusa Tenggara, penurunan suhu juga dapat dikaitkan dengan upwelling, naiknya massa air dari kedalamannya yang lebih dalam ke permukaan (Sprintall et al. 2003).

20

Gambar 14 Trajektori fluks panas terasa dan fluks panas laten di sepanjang lintasan INDOMIX

Fluks panas terasa merupakan proses dimana energi panas ditransfer dari permukaan bumi seperti lautan ke atmosfer. Energi ini dibutuhkan untuk mengubah suhu tanpa adanya perubahan fase. Perubahan suhu dapat terjadi ketika adanya absorbsi dari matahari oleh permukaan laut, atau dari kontak langsung dengan udara di atasnya. Fluks panas terasa yang bernilai positif menandakan bahwa panas terasa lebih banyak diserap oleh lautan lebih banyak daripada panas terasa yang dilepaskan. Penyerapan fluks panas terasa dapat melalui difusi sedangkan pelepasan dapat melalui pecahnya gelombang di permukaan laut (Veron et al. 2011). Sepanjang perlintasan, fluks panas terasa bernilai maksimum 4.12 W/m2 , minimum 0 W/m2 dan rata-rata 1.1 W/m2. Gambar 14 memperlihatkan bahwa pola fluks antara pintu masuk dan pintu keluar Arlindo cenderung sama, yaitu bernilai rendah atau < 2 W/m2. Fluks panas terasa terlihat paling tinggi berada di Laut Banda. Khusus untuk Laut Banda, penurunan suhu yang diakibatkan oleh percampuran massa air, akan meningkatkan penyerapan panas. Koch-Larroy et al. (2009) menyatakan bahwa lautan dapat menyerap tambahan panas hingga ~20 W/m2.

Dokumen terkait