• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Atmosfer di atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Atmosfer di atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK ATMOSFER DI ATAS JALUR

PERLINTASAN ARUS LINTAS INDONESIA SELAMA

INDOMIX TAHUN 2010

DETI TRIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Atmosfer Di Atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

DETI TRIANI. Karakteristik Atmosfer di Atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan AGUS SALEH ATMADIPOERA.

Mempelajari karakteristik atmosfer di wilayah yang dilewati oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) merupakan langkah awal untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Arlindo terhadap kondisi atmosfer di atasnya. Pendekatan yang digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik atmosfer adalah melalui metode termodinamika dimana profil atmosfer dilihat secara vertikal, turbulensi permukaan, dan tinggi dasar awan. Parameter yang digunakan adalah mixing ratio, kelembaban spesifik, suhu potensial, suhu titik embun, dan suhu virtual dari radiosonde yang dilepas di 21 titik sepanjang wilayah perairan yang dilewati Kapal Riset Marion Dufresne. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji interaksi laut-atmosfer selama pelayaran INDOMIX. Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan bulk parameterization untuk menghitung fluks panas terasa dan fluks panas laten. Fluks panas terasa bernilai maksimum 4.12 W/m2 , minimum 0 W/m2 dan rata-rata 1.1 W/m2. Fluks panas laten minimum bernilai 0 W/m2, maksimum 2.97 W/m2, dan rata-rata 1.08 W/m2. Hasil analisis mengenai interaksi laut-atmosfer dapat disimpulkan bahwa pada perairan dengan nilai suhu permukaan dan panas laten yang lebih tinggi seperti di Perairan Sorong, Laut Halmahera dan Laut Seram, memiliki nilai suhu udara permukaan dan kelembaban menjadi lebih tinggi, sehingga ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) lebih rendah. Khusus Laut Banda, walaupun suhunya lebih rendah, namun memiliki konvektivitas harian yang tinggi sehingga memiliki ketinggian LCL terendah (312.5 m). Sebaliknya di Selat Ombai hingga Selatan Nusa Tenggara, nilai suhu permukaan laut yang lebih dingin, menjadikan kelembaban atmosfer yang lebih kering dan LCL di wilayah ini juga lebih tinggi.

(6)

ABSTRACT

DETI TRIANI. Atmospheric Characteristic Above The Pathways of Indonesian Throughflow During INDOMIX 2010. Supervised by RAHMAT HIDAYAT and AGUS SALEH ATMADIPOERA.

.

Study about atmospheric characteristic along the pathways of Indonesian Throughflow (ITF) is the first step to know how ITF affect the atmospheric condition above. Thermodynamics parameters which are like mixing ratio, spesific humidity, potential temperature, dew point temperature and virtual temperature, were used to describe the atmospheric condition vertically, to calculate the cloud base or Lifting Condensation Level (LCL), and also to know about turbulence on the surface layer. Those parameters were recorded from radiosonde that released from R.V Marion Dufresne in 21 stations along INDOMIX cruise’s track. Beside, this research was conducted also to analyze about air-sea interaction along the pathways. Bulk parameterization were used to estimate sensible and latent heat flux using near-surface parameter such as sea temperature became warmer, so the LCL was lower. For Banda Sea, altough had lower SST, the LCL was the lowest (312.5 m) because of diurnal high convectivity. Then in Ombai Strait until southern Nusa Tenggara where the SST was colder, made the condition of the atmosphere above become drier and higher LCL.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S. Si pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

KARAKTERISTIK ATMOSFER PADA JALUR

PERLINTASAN ARUS LINTAS INDONESIA SELAMA

INDOMIX 2010

DETI TRIANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Karakteristik Atmosfer di atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia Selama INDOMIX 2010

Nama : Deti Triani NIM : G24100026

Disetujui oleh

Dr Rahmat Hidayat S.Si M.Sc

Pembimbing I Dr Agus S Atmadipoera, DESS Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Karakteristik Atmosfer Di Atas Jalur Perlintasan Arus Lintas Indonesia. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr Rahmat Hidayat, selaku pembimbing I dan Dr Agus S. Atmadipoera selaku pembimbing II atas kesabaran dalam memberikan arahan, saran, dan nasihat kepada penulis hingga terselesaikannya tugas akhir ini

2. Ibu Dr. Ir Tania June, selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan saran di setiap semester yang sudah sangat membantu kelancaran studi penulis

3. Kedua orangtua tercinta, Bapak Sarli dan Ibu Tasmini yang selalu mendoakan dan memberikan semangat serta kepercayaan tanpa henti kepada penulis. Serta Aa tedi dan Teh Era dan segenap keluarga besar atas dukungannya

4. Seluruh staff pengajar Geofisika dan Meteorologi atas ilmu yang telah diberikan selama mengemban pendidikan di Departemen Meteorologi dan Geofisika

5. Teman-teman GFM47 : Ghalib, Desul, Dede ebol, “Forum Jeng-Jeng” (Fiki, Nungce, Aulia, Linda), “Geng Naik Gunung” (Thaisir, Ryco, Ryan, Sapei, Jun, Wanto, Indro, Haykal, Arisal), Jeny, Hima, Mani, Alan, Pipito,

6. Warga ITK : Bang Holand dan Mba Mega atas semuanya, Mba Tyas atas labnya. Galang, Dimi, “GRUP SEBELAH” dan semua ITK47. Terima kasih telah menjadi teman yang baik bagi penyusup satu ini 7. Team in crime : Thony, Riana, Cornel, Fikri, Alfi

8. Teman-teman di Uni Konservasi Fauna, Angkatan 8 (yunita, umil, chella, hesti, asfi, angga, putra, kucing, bibah, dan semuanya)

9. Jeng #280-281 Al-Hikmah dan Aisyah : Novia, Sucia, Indah, Windita, Zeta, Intan, Icha, Chika, Hayu, Mbok, Nana. Terima kasih untuk keceriaannya setiap hari.

10. Teman-teman Alumni Marine Science and Technology 2014 : Vidlia, Mba tiela, Andini, Monae, Pre, Bang Iman, Bung Kus, Bang Faridz, Bang Kelvin, Bang Dika, Eko. Terima kasih semangatnya. Good Job! 11. Arie Suci Hamdani

12. Semua pihak yang telah membantu yang tidak disebutkan satu per satu di halaman ini

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat meskipun masih jauh dari sempurna. Mohon maaf atas kekurangan yang ada dan sangat diharapkan kritik dan saran terhadap karya ilmiah ini.

Bogor, November 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Data 2

Alat 3

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kondisi Atmosfer 7

Karakteristik Atmosfer 13

Interaksi Laut-Atmosfer 17

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23

(14)

DAFTAR TABEL

1 Lokasi, waktu, dan profil pelepasan radiosonde di sepanjang lintasan

kapal selama INDOMIX 2010 3

2 Kategori Turbulensi menurut Panofsky (1983) 16

3 Kategori turbulensi di permukaan sepanjang lintasan Arlindo selama

INDOMIX 16

DAFTAR GAMBAR

1 Peta jalur perlintasan Arlindo (Gordon 2005) 1

2 Lokasi pelepasan radiosonde selama INDOMIX 3

3 Indeks KI 6

4 Profil vertikal atmosfer Perairan Sorong (Pagi hari) 7 5 Profil vertikal atmosfer pagi (atas) dan sore (bawah) di atas Laut

Halmahera 8

6 Profil vertikal atmosfer di atas Laut Seram 9

7 Profil vertikal atmosfer di atas Laut Banda 10

8 Profil vertikal atmosfer di atas Selat Ombai pagi (atas) dan sore

(bawah). 11

9 Profil vertikal atmosfer di selatan Nusa Tenggara Pagi (atas) dan sore

(bawah) 12

10 Ketinggian dasar awan dan mixing ratio di atas permukaan laut 14

11 Nilai K-Index di atas permukaan laut 15

12 Trayektori kecepatan angin permukaan di sepanjang perlintasan

INDOMIX 16

13 Trajektori salinitas dan suhu dekat permukaan di sepanjang lintasan

INDOMIX 18

14 Trajektori fluks panas terasa dan fluks panas laten di sepanjang lintasan

INDOMIX 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Script Matlab Perhitungan Termodinamika 23

2 Script Matlab Pembuatan Sebaran Fluks 24

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Arus Lintas Indonesia (Arlindo) merupakan arus yang menjadi bagian dari sirkulasi termohalin atau Global Conveyor Belt yang melewati perairan Indonesia. Arus tersebut mengalir akibat adanya perbedaan tinggi muka laut sehingga mendorong pergerakan massa air ~15 juta m3/s yang bersifat hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia (Sprintall & Liu 2005;Oppo and Rosenthal 2010). Arlindo memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat massa air dari Samudera Pasifik akan mengalir menuju Laut Sulawesi melalui Selat Mindanao lalu mengalir di sepanjang Selat Makassar menuju Laut Flores hingga Laut Banda atau keluar melalui Selat Lombok. Di jalur timur, massa air masuk melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera, mengalir menuju Laut Banda melalui Laut Seram dan keluar melalui Selat Ombai atau Pintasan Timor (Gambar 1).

Gambar 1 Peta jalur perlintasan Arlindo (Gordon 2005)

(16)

2

hujan yang akan dibawa turun dari permukaan hingga lapisan termoklin (Ffield & Gordon 1992).

Kajian mengenai interaksi laut dan atmosfer di sepanjang jalur perlintasan Arlindo belum banyak dilakukan khususnya melalui observasi secara langsung. Pelayaran INDOMIX di tahun 2010, sebuah kegiatan penelitian kerjasama antara Depertemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB (ITK-IPB) dengan LOCEAN Universite Pierre et Marie Curie dan LEGOS salah satunya menghasilkan data atmosfer yang diolah dalam penelitian ini meliputi perairan perairan sekitar Sorong hingga selatan Nusa Tenggara yang dilalui oleh kapal riset Marion Dufresne. Kajian ini penting untuk mengetahui interaksi yang terjadi antara kondisi permukaan dengan kondisi atmosfer di sepanjang jalur perlintasan Arlindo yang dilalui selama pelayaran.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik atmosfer di atas jalur perlintasan Arlindo dan mengkaji interaksi laut dan atmosfer pada waktu ekspedisi INDOMIX 2010.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret 2014 hingga September 2014 bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB dan Laboratorium Oseanografi Fisik, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK IPB.

Data

(17)

3 Tabel 1 Lokasi, waktu, dan profil pelepasan radiosonde di sepanjang lintasan kapal selama INDOMIX 2010

Gambar 2 Lokasi pelepasan radiosonde selama INDOMIX Alat

(18)

4

Prosedur Analisis Data

1. Menghitung parameter atmosfer menggunakan metode termodinamika a. Menghitung tekanan uap jenuh

Tekanan uap jenuh adalah tekanan uap jenuh yang dihitung menggunakan rumus yang disebut formula of Magnus, dimana nilai numerik dari tekanan uap jenuh di atas bahan air dan es telah dipublikasikan di Smithsonian Meteorological Tables tahun 1958.

b. Menghitung Kelembaban spesifik jenuh

Kelembaban spesifik adalah rasio masa uap air terhadap total massa udara. Parameter ini memiliki unit satuan milibar (mb).

c. Menghitung Kelembaban spesifik

Kelembaban spesifik merupakan rasio antara massa uap air terhadap udara basah.

d. Menghitung suhu potensial

Suhu potensial adalah suhu dari udara kering jika dibawa secara adiabatik ke tekanan referensi (1000 mb) (Riegel 1992).

= . × / + (Riegel 1992) (1)

(19)

5 e. Menghitung suhu virtual

Suhu virtual merupakan suhu fiktif atau khayal yang harus dimiliki oleh udara kering agar memiliki kerapatan seperti udara lembab pada tekanan yang sama.

f. Menghitung Stabilitas Dinamis

Sebuah aliran dapat mengalami turbulensi pada kondisi udara yang stabil jika kecepatan angin cukup kuat. Stabilitas dinamis dihitung dengan menggunakan Bulk Richardson Number (Ri). Dari nilai Ri ini dapat di analisis apakah terjadi turbulensi atau tidak di suatu wilayah. Jika nilai Ri<RiC dimana RiC merupakan nilai kritis Richardson yaitu 0.25, maka suatu wilayah dapat dikatakan tidak stabil dan memiliki turbulensi (Stull 2000).

2. Menghitung Fluks Turbulen dengan menggunakan Bulk Parameterization. a. Fluks Panas Terasa

Panas terasa merupakan panas yang bisa dirasakan oleh makhluk hidup khusunya manusia. Panas terasa adalah porsi dari total panas yang diasosiasikan dengan perubahan suhu (Stull 2000).

(20)

6

b. Fluks Panas Laten

Panas laten adalah energi yang berasosiasi dengan perubahan fase dari air. Saat evaporasi, fase cair dari bentuk air mendinginkan udara dengan cara melepaskan panas terasa sehingga panas yang tersimpan tersebut merupakan panes laten (Stull 2000).

3. Menghitung parameter karakteristik awan a. Lifting Condensation Level (LCL)

Ketika udara yang belum jenuh terangkat, udara tersebut akan mendingin secara adiabatik. Saat sudah mencapai ketinggian yang cukup, suhu akan menurun ke suhu titik embun, dan awan akan mulai terbentuk. Udara kering (udara dengan kelembaban relatif yang rendah) akan terangkat lebih tinggi daripada udara yang lembab, sedangkan udara jenuh tidak membutuhkan pengangkatan sama sekali. Ketinggian dimana udara mulai jenuh dan membentuk awan inilah yang disebut LCL (Stull 2000).

b. K-Index

Parameter K-Index merupakan parameter yang dapat mengidentifikasi proses konvektif dari awan dan menduga stabilitas dari suhu dan kelembaban. Semakin tinggi kelembaban dan semakin besar perbedaan suhu antara lapisan 850 - 500 mb, maka semakin besar KI dan potensi Sumber : (Geerts & Wang 2011)

= � � − (8)

Keterangan : Ce = Konstanta panas laten (uap air) Ce ≈ Ch (Arya 2000)

Le = Latent heat of Vaporation (2.5x106) qs = mixing ratio permukaan

qr = mixing ratio dekat permukaan

ℎ � = . / � × � − � (Stull 2000) (9)

(21)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Atmosfer

Berikut ini merupakan profil kondisi atmosfer yang diukur dengan radiosonde saat pelayaran INDOMIX di masing-masing wilayah perairan yang di lalui kapal riset. Selain deskripsi mengenai kondisi atmosfer dasar seperti suhu dan angin, profil yang ditampilkan juga akan membandingkan kondisi parameter kelembaban di setiap wilayah perairan. Pada setiap pelepasan, waktu, lokasi dan ketinggian maksimum yang dijangkau radiosonde berbeda-beda (Tabel 1). Dalam bab ini tidak semua profil ditampilkan, hanya salah satu profil yang mewakili kondisi pagi dan sore hari. Selebihnya dalam satu wilayah perairan dapat dikatakan variasinya relatif kecil. Seluruh hasil dari semua stasiun dapat dilihat pada Lampiran 3. Profil yang ditampilkan secara vertikal antara lain suhu udara (T), suhu titik embun (Td), suhu virtual (Tv), suhu potensial (Tpot), kelembaban spesifik (Specific Humid.), mixing ratio dan kecepatan angin (windspeed).

Di Sekitar Perairan Sorong

Gambar 4 Profil vertikal atmosfer Perairan Sorong (Pagi hari)

Profil vertikal atmosfer dari radiosonde yang dilepas di Perairan Sorong pada tanggal 9 dan 10 Juli 2010 dengan waktu pelepasan keduanya yaitu pagi hari menunjukkan dinamika profil yang sama (Lampiran 3). Di wilayah ini, radiosonde hanya membaca hingga ketinggian 400 hPa-550 hPa. Ketinggian akhir tersebut masih dalam lapisan troposfer. Nilai suhu udara maksimum ada di ketinggian 13 meter atau di tekanan 1007 hPa, suhu di bawah 0 derajat dimulai di ketinggian 4890 meter atau 565 hPa dan minimum di ketinggian 5059 meter atau 554.4 hPa. Suhu titik embun maksimum berada di permukaan yaitu ketinggian 13 meter dan minimum di ketinggin 5070 meter atau 553.6 hPa. Mixing ratio untuk perairan sorong berkisar dari 5-20.85 g/kg. Nilai maksimum mixing ratio berada di sekitar tekanan 1000 hPa atau di sekitar ketinggian 76 m. Di ketinggian yang sama, nilai kelembaban spesifik juga mencapai nilai maksimum. Pada tanggal 10 Juli ini, kecepatan angin maksimum berada setelah tekanan 560 hPa ke atas dan minimum di ketinggian 3467 meter atau 674.3 hPa.

(22)

8

Laut Halmahera

Gambar 5 Profil vertikal atmosfer pagi (atas) dan sore (bawah) di atas Laut Halmahera

(23)

9 Laut Seram

Gambar 6 Profil vertikal atmosfer di atas Laut Seram

Pelepasan radiosonde di wilayah ini hanya dilakukan sebanyak 1 kali sehingga tidak bisa dibandingkan antara kondisi pagi dan sore harinya. Karakteristik atmosfer di wilayah Laut Seram dicirikan oleh suhu maksimum berada pada ketinggian 13 meter dan minimum di ketinggian 16.5 km atau di tekanan 101.6 hPa. Suhu titik embun yang juga maksimum di ketinggian 13 meter, penurunannya lebih stabil dibandingkan dengan suhu titik embun pagi hari di Laut Halmahera. Suhu virtual dan suhu potensial maksimal di ketinggian 40 meter. Kedua parameter tersebut minimum berturut-turut di tekanan 101.8 hPa dan 40 hPa, Nilai mixing ratio dan kelembaban spesifik memiliki nilai minimum yaitu nol mulai pada tekanan 141 hPa. Ketinggian tersebut lebih rendah daripada kondisi pagi di Laut Halmahera. Untuk kecepatan angin, nilai minimum ada di ketinggian 980 hPa dan maksimum di ketinggian 47 hPa (21 km).

(24)

10

Gambar 7 Profil vertikal atmosfer di atas Laut Banda

Kondisi atmosfer di Laut Banda menunjukkan profil suhu dengan fluktuasi secara vertikl yang tidak berbeda dengan Laut Seram dan titik embun yang lebih fluktuatif khususnya pada ketinggian 800 hPa hingga 100 hPa. Suhu maksimum pagi hari di atas perairan ini berada di ketinggian 1004 hPa (32 m) dan minimum di ketinggian 101.3 hPa (16.5 km). Ketinggian tersebut juga merupakan titik maksimum dan minimum dari suhu virtual. Suhu potensial juga maksimum di ketinggian 1004 hPa, namun minimum di ketinggian 14.6 hPa. Sedangkan untuk titik embun, maksimum di 13 hPa dan minimum di 54.9 hPa. Pada ketinggian 48 hPa(20 km) angin memiliki kecepatan hingga 60.6 knot. Kecepatan angin terendah berada di ketinggian 24 hPa (25 km).

(25)

11

Selat Ombai

Gambar 8 Profil vertikal atmosfer di atas Selat Ombai pagi (atas) dan sore (bawah).

Profil parameter T, Td, dan Tv pada Gambar 8 menunjukkan bahwa pagi hari, secara vertikal suhu maksimum di Selat Ombai adalah T, Tv dan Tpot maksimum berada di ketinggian 26 m (1007 hPa) sedangkan Td di 13 m (1008 hPa). Nilai minimum untuk T dan Tv berada di titik yang sama yaitu 85.7 hPa, Tpot di 17 hPa, dan Td di 53.6 hPa. Kondisi kelembaban, bernilai nol di ketinggian 140 hPa walaupun telah memiliki nilai yang rendah di sekitar 400 hPa. Kecepatan angin di atas perairan ini, nilai maksimum dan minimumnya berada di atas 100 hPa.

(26)

12

dan minimum di 467 hPa. Kondisi kecepatan angin minimum juga terdapat di ketinggian di atas 100 hPa.

Perairan Selatan Nusa Tenggara

Gambar 9 Profil vertikal atmosfer di selatan Nusa Tenggara Pagi (atas) dan sore (bawah)

(27)

13 Karakteristik Atmosfer

Di sepanjang lintasan INDOMIX 2010, semua parameter suhu (T,Td,Tv,Tpot) menunjukkan nilai maksimum yang berada di permukaan perairan (<50 meter). Sebaliknya nilai suhu minimum berada pada di ketinggian antara 0-150 hPa. Merujuk pada Highwood dan Hoskins (1998), ketinggian lapisan tropopause ditentukan dengan melihat titik balik minimum profil vertikal suhu sebelum memasuki lapisan inversi dimana suhu kembali naik. Dari semua hasil, titik balik tersebut berada di sekitar ketinggian 100 hPa. Sehingga, nilai minimum dari suhu udara dan suhu virtual berada di lapisan tropopause. Lapisan ini adalah lapisan yang memisahkan antara stratosfer dan troposfer, sedangkan suhu potensial dan suhu titik embun minimum saat telah memasuki lapisan stratosfer bawah.

Di ketinggian tersebut juga terlihat bahwa kecepatan anginnya mengalami fluktuasi yang tinggi. Nilai maksimum dan minimumnya juga berada di lapisan stratosfer bawah. Di lapisan ini, khususnya di wilayah tropis, perambatan angin didominasi oleh fenomena yang disebut dengan Quasi-Biennal Oscillation (QBO). Osilasi ini dapat dilihat dari perambatan angin baratan dan timuran yang merambat ke bawah. Periode rata-rata QBO adalah 28 bulan (Baldwin et.al 2001). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai apakah fase baratan atau timuran yang sedang berlangsung selama pelayaran INDOMIX, dibutuhkan plotting angin zonal ataupun suhu di ketinggian stratosphere bawah sepanjang tahun 2010.

Tindall (2003) menyatakan bahwa kelembaban di lapisan stratosfer bawah akan lebih kering daripada lapisan di bawahnya dan menyebutnya sebagai dehidrasi stratosferik. Hasil perhitungan kelembaban dalam penelitian ini menunjukkan bahwa di seluruh stasiun yang memiliki data hingga ketinggian >100 hPa, nilai parameter kelembaban mulai kering saat masih berada di lapisan troposfer. Hal ini karena massa udara akan membeku di lapisan tropopause yang memiliki suhu terdingin sebelum suhu tersebut naik kembali saat memasuki lapisan stratosfer sehingga massa udara yang terangkat akan sangat kering.

(28)

14

Gambar 10 Ketinggian dasar awan dan mixing ratio di atas permukaan laut Dari Gambar 10 terlihat di pagi hari, Selat Ombai awan baru mulai terbentuk di ketinggian 900 meter, tetapi di Laut Banda, awan sudah bisa terbentuk di ketinggian 312.5 meter. Kondisi sore hari, Selat Ombai dan Selatan Nusa Tenggara sebagai pintu keluar Arlindo, memiliki tinggi dasar awan yang lebih tinggi daripada wilayah lain. Awan-awan yang dapat terbentuk di ketinggian dasar ini merupakan awan-awan cumuliform seperti cumulus (Cu) dan cumulonimbus (Cb). Kondisi yang menyebabkan ketinggian dasar awan berbeda adalah kondisi kelembaban atmosfer. Kondisi troposfer yang memiliki kandungan udara kering yang lebih besar seperti di pintu keluar Arlindo, akan membutuhkan energi yang lebih besar untuk terangkat dan mengalami fase jenuh untuk selanjutnya terbentuk menjadi awan (Stull 2000). Pembentukan awan pada ketinggian yang lebih rendah akibat kelembaban yang juga lebih tinggi, berada pada wilayah perairan yang dekat dengan ekuator.

(29)

15 bagian utara dan selatan) membentuk sabuk bertekanan rendah. Pergerakan ITCZ yang dipengaruhi oleh revolusi bumi terhadap matahari membuat ITCZ berada di belahan bumi bagian utara pada bulan Juli dan berada di belahan bumi bagian selatan pada bulan Januari. Wilayah Indonesia dilalui oleh ITCZ pada bulan Januari dan mempengaruhi wilayah yang memiliki tipe curah hujan ekuatorial.

Faktor lain yang mempengaruhi distribusi massa udara secara vertikal termasuk uap air yang akan menjadi inti kondensasi dari awan adalah faktor konveksi. Konveksi merupakan bentuk dari sebuah perpindahan panas. Konveksi yang dipengaruhi oleh gaya apung akibat adanya pemanasan akan memindahkan massa udara dan konten yang dibawanya (uap air, partikel kecil, dan gas lainnya) secara vertikal (Liu 1989). Setelah proses kondensasi awan dimulai, maka proses konveksi akan berhenti.

Gambar 11 Nilai K-Index di atas permukaan laut

Gambar 11 merupakan grafik nilai perhitungan konvektivitas menggunakan K-Indeks. Terlihat bahwa konvektivitas di wilayah perairan Sorong, Halmahera, Seram, Ombai, dan Selatan Nusa Tenggara di pagi hari masuk dalam kategori konvektivitas sedang, sedangkan Laut Banda dan Selatan Nusa Tenggara pada sore hari masuk dalam kategori konvektivitas tinggi. Khusus untuk Nusa Tenggara di pagi hari, nilai suhu titik embun pada nilai suhu yang hampir sama yaitu 16.1 oC, lebih kecil saat pagi hari dibandingkan dengan sore hari pada tekanan 850mb. Selain itu, nilai suhu pada tekanan 500mb juga lebih kecil sehingga konvektivitas pada pagi hari lebih kecil daripada sore hari.

(30)

16

Tabel 2 Kategori Turbulensi menurut Panofsky (1983)

Nilai Kategori

Ri < 0.0 Turbulensi Konvektif

0.0 < Ri < 0.25 Turbulensi dengan Konvektif lemah Ri > 0.25 Tidak ada turbulensi

Tabel 3 Kategori turbulensi di permukaan sepanjang lintasan Arlindo selama INDOMIX

Lokasi Kategori

Pagi Sore

Sorong Turbulensi Konvektif

Halmahera Turbulensi Konvektif Turbulensi Konvektif

Seram Turbulensi Konvektif

Banda Tidak ada turbulensi Turbulensi Konvektif

Ombai Tidak ada turbulensi Turbulensi Konvektif

Selatan Nusa Tenggara Turbulensi Konvektif Tidak ada turbulensi Dalam pendekatan perhitungan turbulensi menggunakan Ri, tidak hanya faktor gaya apung yang diperhatikan dari konveksi akibat pemanasan di permukaan, namun juga shear angin. Kondisi atmosfer yang stabil statis akan menjadi turbulen ketika angin cukup kuat (Stull 2000). Pengukuran turbulensi ini merupakan keadaan turbulensi pada ketinggian awal radiosonde (13m) dengan ketinggian selanjutnya yang nilainya berbeda-beda pada masing-masing wilayah perairan. Hasilnya, sepanjang perlintasan INDOMIX turbulensi yang terjadi merupakan turbulensi konvektif. Hanya waktu tertentu angin tidak cukup membentuk turbulensi, yaitu saat pagi hari untuk perairan Banda dan Ombai, juga waktu sore hari untuk perairan Selatan Nusa Tenggara.

Gambar 12 Trayektori kecepatan angin permukaan di sepanjang perlintasan INDOMIX

(31)

17 atas hanya menggambarkan kondisi permukaan saja. Kecepatan angin di wilayah Sorong hingga Laut Seram terlihat lebih kecil nilai kecepatannya daripada di Laut Banda hingga Selatan Nusa Tenggara. Perairan dengan nilai kecepatan angin yang lebih tinggi merupakan wilayah perairan yang terkena pengaruh angin monsun tenggara dari Australia yang terjadi mulai bulan Juni. Secara klimatologis, dinamika atmosfer di atas benua maritim Indonesia dipengaruhi oleh Hadley dan Walker sel.

Sirkulasi Hadley berhubungan erat dengan angin pasat, angin yang mempengaruhi pola iklim musiman yang disebut monsun. Monsun terjadi akibat letak matahari yang mengakibatkan perbedaan tekanan antara dataran benua Asia dan Australia. Siklus musiman ini mempengaruhi tipe curah hujan di sebagian besar wilayah di Indonesia khususnya pada wilayah dengan konvektivitas tinggi seperti Laut Banda (Aldrian et al. 2003; Jochum & Potemra 2008). Monsun terjadi dua kali pembalikan arah angin dalam satu tahun dan terdapat periode peralihan diantaranya. Pada periode pelayaran ini (Juli), Indonesia sedang mengalami musim kering atau monsun tenggara dimana angin yang bersifat kering bertiup dari benua Australia menuju ke benua Asia. Periode musim kering ini berlangsung dari Mei hingga September.

Interaksi Laut-Atmosfer

(32)

18

Gambar 13 Trajektori salinitas dan suhu dekat permukaan di sepanjang lintasan INDOMIX

Profil salinitas dari Gambar 13 menunjukkan bahwa pada pintu masuk Arlindo seperti Perairan Sorong dan Laut Halmahera hingga Laut Seram memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan salintas yang ada di pintu keluar perlintasan Arlindo. Salinitas permukaan di sepanjang lintasan bernilai minimum 31.84 psu, maksimum 33.62 psu, dan rata-rata 33.12 psu. Nilai salinitas permukaan yang tinggi dapat disebabkan karena suhu permukaan yang juga tinggi, sehingga penguapan lebih intensif. Suhu di Perairan Sorong hingga Laut Seram menunjukkan nilai yang lebih tinggi dan mengalami penurunan saat memasuki Laut Banda hingga ke Perairan Selatan Nusa Tenggara.

(33)

rata-19 rata suhu permukaan tahunan (Schneider 1998). Nilai suhu maksimum pada gambar di atas berada di wilayah perairan Halmahera pada waktu pagi hari dengan nilai 30.63 oC. Adanya suhu permukaan yang lebih tinggi merupakan sumber utama dari panas dan uap air yang akan dilepaskan ke atmosfer. Jika disandingkan dengan profil atmosfer, suhu permukaan di atas Laut Hamahera pada ketinggian pertama yang dibaca radiosonde (13 m), perairan ini memiliki suhu yang juga lebih tinggi daripada Laut Seram maupun Laut Banda. Pagi hari suhu permukaan di Laut Halmahera berkisar antara 27-30 oC. Selain itu perairan ini juga memiliki nilai tertinggi pada parameter kelembaban seperti mixing ratio dan RH. Mixing Ratio maksimum di perairan ini mencapai 20.8 g/kg dan kisaran 71%-86%. Berbanding terbalik dengan perairan selatan Nusa Tenggara yang memiliki suhu permukaan laut yang lebih rendah dan kondisi atmosfer yang lebih kering.

(34)

20

Gambar 14 Trajektori fluks panas terasa dan fluks panas laten di sepanjang lintasan INDOMIX

Fluks panas terasa merupakan proses dimana energi panas ditransfer dari permukaan bumi seperti lautan ke atmosfer. Energi ini dibutuhkan untuk mengubah suhu tanpa adanya perubahan fase. Perubahan suhu dapat terjadi ketika adanya absorbsi dari matahari oleh permukaan laut, atau dari kontak langsung dengan udara di atasnya. Fluks panas terasa yang bernilai positif menandakan bahwa panas terasa lebih banyak diserap oleh lautan lebih banyak daripada panas terasa yang dilepaskan. Penyerapan fluks panas terasa dapat melalui difusi sedangkan pelepasan dapat melalui pecahnya gelombang di permukaan laut (Veron et al. 2011). Sepanjang perlintasan, fluks panas terasa bernilai maksimum 4.12 W/m2 , minimum 0 W/m2 dan rata-rata 1.1 W/m2. Gambar 14 memperlihatkan bahwa pola fluks antara pintu masuk dan pintu keluar Arlindo cenderung sama, yaitu bernilai rendah atau < 2 W/m2. Fluks panas terasa terlihat paling tinggi berada di Laut Banda. Khusus untuk Laut Banda, penurunan suhu yang diakibatkan oleh percampuran massa air, akan meningkatkan penyerapan panas. Koch-Larroy et al. (2009) menyatakan bahwa lautan dapat menyerap tambahan panas hingga ~20 W/m2.

(35)

21 potensi presipitasi yang lebih tinggi pula di Laut Banda seperti yang juga sudah dimodelkan oleh Jochum & Potemra (2008).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pembacaan radiosonde menunjukkan semua parameter suhu (T,Td,Tv,Tpot) menunjukkan nilai maksimumnya berada di permukaan perairan (<50 meter) dan nilai minimumnya berada pada ketinnggian di antara 0-150 hPa. Nilai minimum dari suhu udara dan suhu virtual berada di lapisan tropopause, tetapi suhu potensial dan suhu titik embun menjadi minimum setelah memasuki lapisan stratosfer bawah. Ketinggian nilai minimum ini adalah untuk kondisi selain di perairan sekitar Sorong karena rekaman radiosonde di perairan ini tidak mencapai ketinggian 100 hPa.

Tinggi dasar awan terendah terjadi di Laut Banda sekitar 312.5 m, sedangkan tertinggi di Selat Ombai 900 m. Konvektivitas tertinggi harian juga berada di Laut Banda dengan nilai K-Index sebesar 40. Fluks panas terasa bernilai maksimum 4.12 W/m2 , minimum 0 W/m2 dan rata-rata 1.1 W/m2. Fluks panas laten minimum bernilai 0 W/m2, maksimum 2.97 W/m2, dan rata-rata 1.08 W/m2.

Hasil dari interaksi laut dan atmosfer di sepanjang jalur perlintasan Arlindo yang dilalui selama INDOMIX dapat disimpulkan bahwa pada perairan dengan nilai suhu permukaan dan panas laten yang lebih tinggi seperti perairan di sekitar pintu masuk Arlindo (Perairan Sorong, Laut Halmahera dan Laut Seram) memiliki nilai suhu udara permukaan dan kelembaban udara yang lebih tinggi, dan ketinggian LCL yang lebih rendah. Khusus Laut Banda, suhunya yang lebih rendah akan menyerap lebih banyak panas terasa dan melepaskan lebih banyak panas laten, sehingga perairan ini memiliki konvektivitas harian yang tinggi juga sehingga memiliki ketinggian LCL terendah. Sedangkan di Selat Ombai hingga selatan Nusa Tenggara, dengan nilai suhu permukaan laut yang lebih dingin, kelembaban atmosfer yang lebih kering dan LCL di wilayah ini juga lebih tinggi.

Saran

Penelitian ini sangat disarankan untuk diketahui lebih lanjut bagaimana kaitannya dengan tipe iklim di wilayah yang dilalui dengan melihat pola curah hujan di sekitarnya melalui satelit atau permodelan. Dapat pula dikaji terfokus hanya turbulensi di wilayah permukaan yang dapat dikaitkan dengan gelombang atau lebih spesifik mengenai kajian marine-atmospheric boundary layer.

DAFTAR PUSTAKA

(36)

22

Aldrian, E., Gates, L.D. & Widodo, F.H., 2003. Report No. 346 : Variability of Indonesian Rainfall and the Influence of ENSO and Resolution in ECHAM4 Simulations and in the Reanalyses, Hamburg, Germany.

Atmadipoera, A. et al., 2009. Characteristics and variability of the Indonesian throughflow water at the outflow straits. Deep Sea Research Part I: Oceanographic Research Papers, 56(11), pp.1942–1954. Available at: http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0967063709001332 [Accessed May 2, 2014].

Baldwin MP et al. 2001. The Quasi-biennial Oscillation, Rev. Geophys. 39. 179 – 229.

England, M.H. & Huang, F., 2005. On the interannual variability of the Indonesian throughflow and its linkage with ENSO. Journal of Climate, 18, pp.1435–1444.

Ffield, A. & Gordon, A.L., 1992. Vertical Mixing in the Indonesian Thermocline. Journal of Physical Oceanography, 22, pp.184–195.

Gordon, A.L., 2005. Oceanography of the indonesian seas and their throughflow. Oceanography, 18(4), pp.14–27.

Geerts, B. & Wang, Y., 2011. The skew T diagram, and atmospheric stability. In ATSC 3032 - Weather Analysis and FOrecasting : Skew T diagrams and stability.

Highwood EJ dan Hoskins BJ. 1998. The tropical tropopause. Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society. 124:1579–1604.

Hobbs;, P. V. & Wallace, J.M., 2006. Atmospheric Science . An Introductory Survey Second., London: Elsevier Inc.

Jochum, M. & Potemra, J., 2008. Sensitivity of tropical rainfall to Banda Sea diffusivity in the Community Climate System Model. Journal of Climate, 21, pp.6445–6454.

Kida, S. & Wijffels, S., 2012. The impact of the Indonesian Throughflow and tidal mixing on the summertime sea surface temperature in the western Indonesian Seas. Journal of Geophysical Research: Oceans, 117.

Koch-Larrouy, A. et al., 2009. Tidal mixing in the Indonesian Seas and its effect on the tropical climate system. Climate Dynamics.

Liu, T., 1989. An Overview of Bulk Parametrization and Remote Sensing of Latent Heat Flux in the Tropical Ocean. In Proc. Western Pacific International Meeting, J. Picaut, R. Lukas and T. Delcoix (eds.). Noumea, New Caledonia: OSTROM press, pp. 513–522.

Oppo, D.W. & Rosenthal, Y., 2010. Oceans. The great Indo-Pacific communicator. Science (New York, N.Y.), 328(5985), pp.1492–4. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20558696 [Accessed May 2, 2014]. Potemra, J.T. & Schneider, N., 2007. Interannual variations of the Indonesian

throughflow. Journal of Geophysical Research: Oceans, 112.

Schneider, N., 1998. The Indonesian Throughflow and the global cliamte system. Journal of Climate, 11, pp.676–689.

Sprintall, J. et al., 2003. Temperature and salinity variability in the exit passages of the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Research Part II: Topical Studies in Oceanography, 50, pp.2183–2204.

(37)

23 Stull R. 2000. Meteorology for Scientist and Engineers Second Edition. United

States of America: Brooks/Cole Thomson Learning

Riegel, CA. 1992. Fundamental of Atmospheric Dynamics and Thermodynamics. Singapore. New Jersey. London. Hong-Kong: World Scientific

Tindall, JC. 2003. Dynamics of the tropical tropopauseand lower stratosphere. Thesis. Department of Meteorology . The University of Reading

Trewartha, G.T. dan L.H.Horn. 1995. Pengantar Iklim. Edisi ke-5. Penerjemah: Sri Andani dan Bambang Srigandono. Gadjah Mada University

Press.Yogyakarta.

Veron, F., Melville, W.K. & Lenain, L., 2011. The Effects of Small-Scale Turbulence on Air–Sea Heat Flux. Journal of Physical Oceanography, 41, pp.205–220.

Vranes, K., Gordon, A.L. & Ffield, A., 2002. The heat transport of the Indonesian Throughflow and implications for the Indian Ocean heat budget. Deep Sea Research II, 49, pp.1391–1410.

LAMPIRAN

Lampiran 1 Script Matlab Perhitungan Termodinamika

%Script Program Matlab

a = 7.567; % Dari persamaan Clausius-Clapeyron, Over Water b = 239.7; % Dari persamaan Clausius-Clapeyron, Over Water e = 0.622; % Dari Rd/Rv

Pnol = 1000; %mb

Kd = 0.286; % Dari Rd/Cpd

%Menghitung saturation vapor pressure (Formula of Magnus) es = 6.11*(10.^((a*T)./(b+T)));

(38)

24

Lampiran 2 Script Matlab Pembuatan Sebaran Fluks

%Script Program Matlab

(39)

25

ylim ([-10.5 2.5]); hold on

scatter(lon,lat,5,Hs,'filled') hold off

ylabel( 'Latitude'); xlabel ('Longitude'); colormap HSV

colorbar

annotation('textbox',[0.7 0.93 0.16 0.05],'String','{Sensible Heat (W/m}^{2})')

Lampiran 3 Kondisi atmosfer sepanjang jalur perlintasan arlindo Stasiun 1

(40)

26

Stasiun 3

(41)

27

Stasiun 5

Stasiun 6

(42)

28 Stasiun 8

Stasiun 9

(43)

29 Stasiun 11

Stasiun 12

(44)

30

Stasiun 14

Stasiun 15

(45)

31 Stasiun 17

Satsiun 18

(46)

32

Stasiun 20

(47)

33

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang dilahirkan di Jakarta tanggal 14 Agustus 1992 dari pasangan Bapak Sarli dan Ibu Tasmini. Penulis mengenyam pendidikan di Escuela Republica de Mexico/SDN Gunung 06 Petang (2005), SMP Negeri 11 Jakarta (2007), dan SMA Negeri 82 Jakarta (2010). Pada tahun 2010, penulis diberikan kesempatan untuk menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) untuk mayor Meteorologi Terapan.

Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif berkegiatan di Uni Konservasi Fauna (UKF), sebuah lembaga kemahasiswaan yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, khususnya satwa. Penulis aktif melakukan pengamatan satwa khususnya untuk Divisi Konservasi Fauna Perairan hingga salah satu hasil pengamatannya diundang untuk dipresentasikan di kegiatan Student Conference on Conservation Science di University of Cambridge, Inggris pada tahun 2012. Pengamatan tersebut juga dilakukan saat penulis menjadi ketua Ekspedisi Global yang tujuan utamanya menginvetarisasi satwa di TN Ujung Kulon.

Penulis pernah menjadi relawan pengajar pada tahun 2011-2012 pada program Sekolah Bersama Yuk yang didirikan oleh Mojang-Jajaka Kota Bogor dan akhirnya memiliki program sendiri di Desa Ampel, Kab. Majalengka yang dilaksanakan setiap libur semester genap sejak tahun 2012. Penulis juga relawan di Indonesia Climate Student Forum (ICSF). Di Departemen Geofisika dan Meteorologi sendiri penulis aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) untuk divisi Sains dan Aplikasi (2011/2012 dan 2012/2013). Penulis ditunjuk menjadi panitia di berbagai acara yang pernah diadakan oleh HIMAGRETO seperti menjadi Koordinator Humas METRIK (2012), Atmosfair (2013), dan ketua HIMAGRETO Peduli Pendidikan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum untuk MK Oseanografi Umum (TA 2012/2013, 2013/2014) dan MK Analisis Meteorologi (2014). Tahun 2013, penulis melakukan magang mandiri di TN Way Kambas dan diberi tugas oleh kepala Pusat Konservasi Gajah mengaplikasikan ilmu biometeorologi untuk mengamati perilaku gajah sumatera yang dihubungkan dengan kondisi lingkungan seperti suhu. Di tahun 2014, penulis dipercaya menjadi Asisten Peneliti dalam mengumpulkan informasi parameter hidrometeorologi dan konservasi satwa untuk program PPRS dari LPPM IPB di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Penulis pernah berkesempatan menjadi delegasi pemuda di International Youth Climate Forum (2010), Indonesian-Korean Youth Solution for Environment Issues (2011), dan Future Leader Summit (2011). Penulis juga merupakan Alumni Marine Science and Technology 2014, sebuah pelatihan berstandar Internasional di bidang ilmu dan teknologi kelautan yang diadakan atas kerjasama Departemen Teknologi dan Ilmu Kelautan IPB dengan DAAD.

Gambar

Gambar 1 Peta jalur perlintasan Arlindo (Gordon 2005)
Gambar 2 Lokasi pelepasan radiosonde selama INDOMIX
Gambar 4 Profil vertikal atmosfer Perairan Sorong (Pagi hari)
Gambar 5 Profil vertikal atmosfer pagi (atas) dan sore (bawah) di atas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pola sirkulasi arus permukaan di perairan Indonesia (Gambar 5) pada Musim Barat memperlihatkan pola arus dari Laut Cina Selatan yang melewati Selat Karimata

Pada jalur Arlindo lainnya, yaitu yang melewati Selat Lifomatola/Laut Buru dan Lantasan Alor, proporsi TUPS (Tirta Upa-Ugahari Pasifik Selatan) yang bercampur dengan TSPS

Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan lemuru di Perairan Selat Bali selama tahun 2012 menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a lebih

Hasil ini menunjukan bahwa suhu di perairan pulau Obi terutama perairan Akegula, Kampung Baru dan Soligi sangat ideal untuk pengembangan budidaya rumput laut

Pada jalur Arlindo lainnya, yaitu yang melewati Selat Lifomatola/Laut Buru dan Lantasan Alor, proporsi TUPS (Tirta Upa-Ugahari Pasifik Selatan) yang bercampur dengan TSPS

Korelasi antara suhu permukaan laut dan klorofil-a terhadap hasil tangkapan lemuru di Perairan Selat Bali selama tahun 2012 menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a lebih

Pola sirkulasi arus permukaan di perairan Indonesia (Gambar 5) pada Musim Barat memperlihatkan pola arus dari Laut Cina Selatan yang melewati Selat Karimata

Berdasarkan kondisi perairan Selat Gaspar untuk pemanfaatan potensi energi alternatif dapat disimpulkan bahwa karakteristik arus laut bulan Juli, September, dan