DI DAERAH ARUS LINTAS INDONESIA
(
ARLINDO
)
MAXI ELIAS TIMOTIUS PARENGKUAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Distribusi dan Neraca CO2 Antropogenik Laut di Daerah Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2012
MAXI E.T. PARENGKUAN. Anthropogenic CO2 Contain in Indonesian Throughflow Region (ITF). Under direction of HARPASSIS S. SANUSI, TRI PRARTONO, and ALAN F. KOROPITAN.
This research uses TrOCA method in order to investigate anthropogenic CO2 distribution in the Indonesian Throughflow (ITF) regime as well as its relationship with water mass transport from Pasific Ocean to Indian Ocean, based on four parameters; TCO2 (dissolved inorganic carbon), TA (total alkalinity), O2 (oxygen), and (potential temperature). The calculated anthropogenic CO2 is generaly distributed in upper layer of thermocline from both oceans, with concentration of 20 50 µmol.kg-1. In the North Equatorial Current (NEC) station section (section P10N) of Pacific Ocean, the anthropogenic CO2 is mainly stratified in upper layer with maximum concentration of 50 µmol.kg-1 and founded near surface. The anthropogenic CO2content in NEC will be transported to Mindanao Current (MC) regime which is an inflow for ITF. Two stations in MC regime showed a similar stratification of anthropogenic CO2 in upper layer with maximum concentration of about 50 µmol.kg-1. In the outlet of ITF, particularly station section along eastern Indian Ocean (section H_I10), the stratification is still found in upper layer with maximum concentration of 50 µmol.kg-1. In section H_I10 on the eastern of Indian Ocean, concentration along latitude and longitude line are higher than the stations in western of Pasific Ocean. The estimation of anthropogenik CO2 budget in outlet ITF is 40.43 73.38 Tg C y-1, higher than those observed in inlet ITF is 13.88 33.72 Tg C y-1. It means that the ITF region is responsible for this different. In station of Banda and Ombai Strait, a high accumulation anthropogenic CO2 was found between 20-71 µmol.kg-1 in the depth ranging from 5 to 200 m. In Banda station, this accumulation was probably due to water mass transport from Java Sea, resident time and acccumulation of water, whereas in Ombai Strait station, it was because of water mass transport from Java Sea and Pacific Ocean, and terrestrial run off.
RINGKASAN
MAXI E.T. PARENGKUAN. Distribusi dan Neraca CO2 Antropogenik Laut di Daerah Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). Dibimbing oleh HARPASSIS S. SANUSI, TRI PRARTONO, dan ALAN F. KOROPITAN.
Era revolusi industri dimulai ketika manusia memulai kegiatan antropogeniknya yaitu memanfaatkan bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara sebagai sumber energi. Kegiatan ini dimulai dari dataran Eropa pada tahun 1750an dan kemudian mulai berkembang ke seluruh dunia sampai sekarang. Hasilnya, konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat tajam pada titik yang cukup untuk mengubah iklim bumi. Data terakhir yang dirilis global carbon project (GCP) menunjukkan, konsentrasi CO2 atmosfer hampir mencapai 390 ppm di akhir tahun 2010, bandingkan dengan awal era revolusi industri yang masih sekitar 280 ppm, selisihnya sekitar 110 ppm, yang kemudian disebut sebagai konsentrasi CO2 antropogenik. Dari semua CO2 yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik, hanya 50%-nya saja yang disetorkan ke level atmosfer, sementara sisanya harus diserap oleh tumbuhan daratan dan lautan (Sabine 2004).
Laut memainkan peranan penting dalam mereduksi CO2 atmosfer melalui mekanisme kesetimbangan yang berlangsung didalamnya. Bila laut tidak berperan dalam hal ini, konsentrasi CO2 di atmosfer mungkin akan berada pada kisaran 1000 ppm. Disini terlihat betapa pentingnya peran laut dalam menjaga keseimbangan sistem bumi. CO2 penting dalam menjamin berlangsungnya kehidupan di dalam laut, namun sebaliknya, semakin banyak CO2 yang diserap, dikawatirkan justru akan berdampak pada kehidupan didalamnya. Dari tahun ke tahun konsentrasi CO2 antropogenik terus menunjukkan peningkatan dan peningkatan ini dikawatirkan akan mengubah fungsi laut sebagai penyerap, karena laut juga memiliki kemampuan terbatas dalam menampung CO2 terlarut di dalamnya.
CO2 dipertukarkan di antara ketiga Samudera Dunia (Atlantik, Hindia, dan Pasifik), melalui sirkulasi termohalin massa air dunia (The Great Conveyor Belt). Penyerapan CO2antropogenik oleh laut, dimulai pada saat air hangat bergerak ke Atlantik Utara dan menjadi dingin. Pada kondisi ini, tekanan parsial CO2(pCO2) laut menjadi lebih rendah dari atmosfer, sehingga CO2 atmosfer dengan mudah diserap oleh lautan. Penyerapan CO2 antropogenik oleh laut terjadi juga di Samudera Selatan yang memiliki suhu permukaan air yang rendah. Perjalanan CO2antropogenik massa air Atlantik Utara di lapisan dalam, kemudian bergabung dengan massa air Samudera Selatan, selanjutnya CO2 antropogenik didistribusikan ke Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Karbon Anorganik dan Total Alkalinitas) yang dikembangkan oleh Touratier dan Goyet (2004a), untuk menghitung konsentrasi CO2antropogenik di daerah sumber ARLINDO (Samudera Pasifik bagian barat), di outlet ARLINDO (Samudera Hindia bagian timur), dan di daerah ARLINDO sendiri (stasiun Laut Banda dan Selat Ombai). Di Samudera Pasifik dan Hindia, kami menggunakan data section WOCE (World Ocean Circulation Experiment) dan JGOFS (Join Global Ocean Flux Study), yang di unduh dari http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/. Sementara di
ARLINDO, kami menggunakan data INDOMIX (Internal Tides and Mixing in The
Indonesian Throughflow), yang merupakan program kerja sama penelitian antara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor dengan LEGOS & LOCEAN UMPC Paris 6, Perancis, yang menggunakan R/V Marion Dufresne, dari tanggal 10 20 Juli 2010.
Untuk mengetahui distribusi dan neraca CO2antropogenik di wilayah studi, terlebih dahulu diidentifikasikan karakteristik massa air. Di Pasifik bagian barat (section P10N dan P08S), teridentifikasi massa air North Pasific Subtropical Water (NPSW) yang dicirikan dengan salinitas maksimum pada = 24 di
kisaran kedalaman 100-200 m, dan North Pasific Intermediate Water (NPIW) yang dicirikan dengan salinitas minimum pada = 26,50 di kisaran kedalaman
250-400 m. Di stasiun Laut Banda, teridentifikasi massa air NPIW pada =
26,50 di kisaran kedalaman 300-450 m yang diduga masuk dari Laut Maluku di lapisan bawah termoklin, sementara NPSW tidak teridentifikasi, diduga akibat adanya proses pengadukan (internal mixing) dan upwelling. Sebaliknya, di stasiun Selat Ombai, massa air NPSW terlihat pada = 24-25.50 di kisaran
kedalaman 100-200 m dan NPIW pada = 26-26,70 di kisaran kedalaman
200-350 m, sementara pada lapisan atas ditemukan massa air Laut Jawa dengan salinitas rendah (33,387-33,864 psu) pada = 21-22 (Suteja 2011). Di Samudera
Hindia bagian timur, massa air Pasifik tidak teridentifikasikan lagi, karena diduga telah mengalami perubahan karakteristik selama perjalanannya melalui ARLINDO, sehingga ketika mencapai Hindia, massa air Pasfik berubah menjadi massa air Indonesian Throughflow Water (ITW) yang digambarkan memiliki salinitas lebih rendah dari Hindia sendiri pada = 26-26,80 di kisaran kedalaman
300-400 m, dan massa air Intermediate Indonesian Water (IIW) pada =
27-27,50 di kisaran kedalaman 500-1200 m.
mempunyai massa tinggal air yang cukup lama (10-22 tahun). Di stasiun Selat Ombai, pada lapisan permukaan ditemukan nilai konsentrasi paling tinggi yaitu 71,4 µmol.kg-1 pada kedalaman 50 m. Tingginya konsentrasi pada lapisan ini, disinyalir selain berasal dari limpasan daratan sekitar, juga berasal dari massa air Laut Jawa yang mengandung CO2antropogenik yang tinggi.
Dengan menggunakan diagram Temperatur Salinitas CO2 antropogenik (T-S-CAnt), kami kemudian memperediksi besaran konsentrasi CO2 antropogenik pada lapisan massa air yang teridentifikasi di masing-masing lokasi studi, sehingga dapat diprediksi besaran CO2antropogenik yang terbawa dalam transpor massa air tersebut. Di Samudera Pasifik bagian timur (sumber ARLINDO), di section P10N, pada lapisan permukaan sekitar 10-50 m, konsentrasi CO2 antropogenik berkisar antara 32,57-49,72 µmol.kg-1. Pada kedalaman 150-200 m, terdapat massa air NPSW yang mengandung konsentrasi sebesar 61-55,40 µmol.kg-1, sementara NPIW yang terdeteksi pada kedalaman 300-400 m, membawa sekitar 3,42-7,77 µmol.kg-1. Di section P08S, massa air NPSW mengandung konsentrasi sekitar 41 µmol.kg-1 pada kedalaman 100 m, sementara pada kedalaman 250-350 terdeteksi massa air NPSW yang mengandung sekitar 2,74-7,19 µmol.kg-1, dan pada lapisan tercampur (10-50 m), konsentrasi berkisar antara 25,64-62 µmol.kg-1. Di stasiun Laut Banda, konsentrasi terakumulasi cukup tinggi pada lapisan permukaan (5-75 m), yaitu pada kisaran 59,72-62,54 µmol.kg-1. Pada kedalaman 300-450 m, terlacak massa air NPIW dengan kandungan antara 12,42-31 µmol.kg-1. Di Selat Ombai, konsentrasi berkisar antara 41,54-71,44 µmol.kg-1 pada lapisan permukaan di atas 50 m. Pada kedalaman massa air NPSW (100-200 m), konsentrasi berkisar antara 55,85-62,24 µmol.kg-1, sementara pada kedalaman NPIW (200-350 m), konsentrasi berada pada kisaran 24,14-18,48 µmol.kg-1. Di daerahoutlet ARLINDO (Hindia bagian timur), ditemukan massa air Indonesian Throughflow Water (ITW) pada kedalaman sekitar 300-400 m, yang mengandung konsentrasi sekitar 4,79-10,54 µmol.kg-1, sementara pada lapisan yang lebih dalam (500-1200 m), ditemukan massa air Intermediate Indonesian Water (IIW), yang mengandung besaran konsentrasi CO2 antropogenik sekitar 3,21-11,84 µmol.kg-1, dan pada lapisan permukaan konsentrasi sekitar 27,46-28,44 µmol.kg-1.
Besaran kandungan CO2 antropogenik yang masuk dari wilayah sumber ARLINDO sebesar 13,88-33,72 TgC/tahun, dan yang ditransporkan ke Samudera Hindia bagian timur dari daerah ARLINDO sebesar 40,43 73,38 TgC/tahun. Ini menunjukkan bahwa budget yang keluar di outlet ARLINDO lebih besar dari yang masuk dari sumber ARLINDO. Perbedaan ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi CO2antropogenik telah mengalami penambahan di daerah ARLINDO sebelum mencapai Samudera Hindia bagian timur, dengan melihat tingginya konsentrasi yang ditemukan di stasiun Laut Banda dan Selat Ombai, demikian juga diduga adanya masukan karbon organik terlarut dari daratan melalui sungai.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
DISTRIBUSI DAN NERACA
CO
2ANTROPOGENIK LAUT
DI DAERAH ARUS LINTAS INDONESIA
(
ARLINDO
)
MAXI ELIAS TIMOTIUS PARENGKUAN
C561070101S
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
(Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan dan Perikanan, FPIK IPB)
Penguji pada Ujian Terbuka :
Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr.
(Kepala Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan Perikanan)
Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatNya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul: Distribusi
dan Neraca CO2 Antropogenik Laut di Daerah Arus Lintas Indonesia
(ARLINDO) dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk melangkah pada tahap selanjutnya pada Program Doktor di Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penyusunan karya ilmiah ini telah melibatkan banyak pihak terkait, dan tanpa bantuan mereka penyusunannya mengalami banyak hambatan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Harpassis Selamet Sanusi, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing sekaligus Bapak yang berperan aktif membimbing penulis dalam rangka penyelesaian tugas akhir, sekaligus memberikan wawasan dan pendidikan tentang oseanografi kimia yang sangat membantu dalam proses pembelajaran.
2. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc dan Dr. Alan Frendy Koropitan, S.Pi, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan masukan, kritikan, dan arahan dalam upaya penyelesaian penulisan Disertasi ini.
3. Dr. Arianne KOCH-LARROUY selaku chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 yang telah memberikan kesempatan dan arahan dalam penentuan dan pengambilan sampel.
4. Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku co-chief scientist pelayaran INDOMIX 2010 atas kerjasamanya selama pelayaran berlangsung dan sudah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian Disertasi ini.
5. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah banyak memberikan koreksi penulisan dan motivasi dalam penyelesaian penulisan Disertasi.
6. Dr. Ir. Agus Supangat, M.Sc dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup yang banyak memberikan saran dalam penyempurnaan hasil penelitian.
7. Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas, M.Agr dan Dr. Ir. Agus Saleh Atmadipoera, DESS selaku penguji luar komisi pada Ujian Terbuka yang telah memberikan masukan dan kritikan dalam penyempurnaan Disertasi ini. 8. Tim Pelayaran INDOMIX 2010 yang terdiri atas Peneliti Perancis dan
Peneliti Indonesia atas kerjasamanya selama proses pengambilan data lapangan dan motivasinya selama pelayaran berlangsung.
9. Dr. Helene LEAU selaku Manager Operasional, Captain dan semua Crew R/V Marion Dufresne yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik selama pelayaran berlangsung.
10. Ayahanda Daniel Alexander yang tidak berhenti memberikan semangat dan motivasi serta mendoakan penulis untuk terus belajar dan berusaha.
11. Istri dan anak tercinta atas segala doa, dukungan dan kesabaran dalam menunggu selama proses penyelesaian Program Doktor ini.
12. Staf dosen dan teman-teman Program Studi Ilmu Kelautan IPB Bogor.
Sebagai suatu hasil dari proses belajar, penulis menyadari karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama terhadap penelitian karbon laut di Indonesia.
Penulis dilahirkan di Tomohon-Minahasa pada tanggal 17 Maret 1976, dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Marthen Luther Parengkuan dan Julien Undap (Almh).
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Perpignan Perancis, mention Environnements Mediterraneens et Developpement Durable, specialite Environnement et Developpement Durable. Dalam penyelesaian studi Magister Science, penulis menyusun karya ilmiah yang berjudul Assessments of anthropogenic CO2 distribution in ocean: comparison two method estimates throughout 5 sections in Indian Ocean . Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Karya ilmiah yang terkait dengan disertasi ini dengan judul: Distribusi CO2 Antropogenik Laut di Samudera Pasifik bagian Barat dan Samudera Hindia bagian Timur , akan diterbitkan pada Jurnal Segara Balitbang Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada bulan Desember 2012. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 CO2 Antropogenik di Laut 7
2.2 Dampak Perairan Pesisir terhadap Siklus CO2 10
2.3 Oseanografi Wilayah Studi 13
2.3.1 ARLINDO 13
2.3.2 Laut Banda 16
2.3.3 Selat Ombai 17
2.4 Diagram Temperatur-Salinitas dan Suhu-Salinitas-CAnt 18
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 21
3.2 Bahan dan Alat 22
3.3 Pengambilan Data 22
3.3.1 Tipe Data 22
3.3.1.1 Data Primer 22
3.3.1.2 Data Sekunder 23
3.3.2 Penentuan dan Disain Lokasi Pengamatan 25
3.3.3 Manajemen Sampel 26
3.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel Air 26
3.3.3.2 Teknik Penanganan Sampel (handling) 27
3.4 Analisa Laboratorium 28
3.4.1 Penentuan TCO2 / DIC 28
3.4.2 Penentuan Total Alkalinitas 29
3.4.3 Penentuan Oksigen Terlarut (DO) 30
3.5 Analisis dan Evaluasi Data 32
3.5.1 Analisis CO2 Antropogenik di Laut 32
3.5.2 Grafik Temperatur-Salinitas dan Temperatur-Salinitas-CAnt 35
3.6 Aplikasi Metode TrOCA 35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Distribusi Massa Air di Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) 37
4.1.2 Sebaran Salinitas 48
4.1.3 Sirkulasi Massa Air 60
4.2 Distribusi CO2 Antropogenik 75
4.2.1 Penampang melintang(Cross Section) 75
4.2.1.1 Samudera Pasifik Bagian Barat (Sumber ARLINDO) 75 4.2.1.2 Samudera Hindia Bagian Timur (Outlet ARLINDO) 79
4.2.1.3 Daerah ARLINDO 82
4.2.2 Diagram T-S-Cant 87
4.2.3 Neraca CO2 Antropogenik 92
4.2.4 Neraca CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (CAnt) dan
CO2 alamiah 96
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 101
5.2 Saran 101
DAFTAR PUSTAKA 103
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Karakteristik massa air Samudera Pasifik dan transformasinya di Samudera Hindia
(Wijffels et al. 2002 dan You 2003) 16
2 Karakteristik massa air di Pasifk Barat dan Hindia Timur dengan konsentrasi CO2
antropogenik. 93
3 Neraca CO2 antropogenik di wilayah studi 94
4 Konsentrasi CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (CAnt) dan CO2 alamiah di Pasifik
Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO 97
5 Neraca CO2 kontemporer, CO2 antropogenik (Cant) dan CO2 alamiah di Pasifik
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan alir pemikiran penelitian. 5
2 Siklus karbon global. Panah, menunjukkan aliran (dalam petagram karbon per tahun) antara atmosfer dan kedua sinc karbon utama lainnya, yaitu lautan dan daratan. Aliran antropogenik digambarkan dengan garis warna merah dan warna hitam mewakili aliran karbon alamiah (Sabine et al. 2004). 9
3 Dampak dari sejumlah proses terhadap DIC dan TA (panah). Garis dan garis putus-putus mengindikasikan level konstan CO2 terlarut (dalam µmol kg
-1
) dan pH masing-masing, sebagai suatu fungsi dari DIC dan TA (Zeebe &
Wolf-Gladrow, 2001). 11
4 Proses-proses yang mempengaruhi siklus karbon di kolom perairan (Liu et al.
2001). 12
5 Jalur Arlindo (dimodifikasi dari Gordon 2005; Gordon et al. 2008 & Sprintall et al. 2009). Panah biru mewakili massa air utara Pasifik yang mengalir pada lapisan termoklin; panah oranye mewakili massa air dari selatan Pasifik masuk melalui Laut Halmahera di bawah termoklin; panah merah mewakili aliran massa air Pasifik yang melewati ambang (sill) pada kedalaman 2000 m di lintasan
Lifamatola menuju lapisan dalam Laut Banda. 15
6 Wilayah pengambilan sampel (dimodifikasi dari Gordon 2005 dan Christian et al.
2004). 21
7 Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P10N.
Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/ 23
8 Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P08S.
Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/. 24
9 Data outlet ARLINDO, Samudera Hindia bagian Timur, Data WOCE section I10.
Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/. 24
10 Jalur pelayaran program INDOMIX 2010. Pelayaran bermula dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010 (Gambar dimodifikasi dari Suteja
2011). 26
11 Hubungan antara TrOCA dan temperatur potensial (θ) dari stasiun P10N, P08S_1, P08S_2, dan H_I10, stasiun Laut Banda dan Selat Ombai. 36 12 Profil vertikal temperatur section P10N, Samudera Pasifik bagian barat. 38 13 Profil vertikal temperatur section P10N yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. 14 Profil vertikal temperatur stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian
barat. (A) sampai tekanan 3000 dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
15 Profil vertikal temperatur stasiun Laut Banda (A) sampai tekanan 3000
dbar, (B) diperbesar sampai tekanan 500 dbar. 41
39
16 Profil vertikal temperatur stasiun Selat Ombai. (A) sampai tekanan 1500 dbar, (B)
diperbesar sampai tekanan 500 dbar. 42
17 Profil vertikal temperatur Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja
2011). 43
18 Profil vertikal temperatur Samudera Hindia bagian timur. (A) section H_I10, (B) berdasarkan garis bujur, dan (C) Berdasarkan garis lintang. 45
19 Profil vertikal temperatur section H_I10 (berdasarkan garis bujur ) yang
diperbesar sampai tekanan 500 dbar. 46
20 Profil vertikal temperatur section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) yang
diperbesar sampai tekanan 500 dbar. 47
21 Profil vertikal salinitas Samudera Pasifik bagian barat, (A) section P10N, (B) sampai tekanan 3000 dbar, dan (C) diperbesar sampai tekanan 500 dbar, dan (D)
cross section P10N. 49
22 Profil vertikal salinitas stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian
barat. 51
23 Profil vertikal salinitas stasiun Laut Banda Juli 2010. 52
24 Profil vertikal pengukuran salinitas sepanjang kolom air di Laut Banda yang
mewakili 4 musim (Levitus & Boyer 1994). 52
25 Profil vertikal salinitas Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja
2011). 53
26 Salinitas diatas dan bawah lapisan termoklin Laut Banda berdasarkan model
TIDES (Koch-Larrouy et al. 2007). 55
27 Profil vertikal salinitas Samudera Hindia bagian Timur, (A). section HI10 menurut garis bujur, (B) sampai tekanan 3000 dbar, dan (C) diperbesar sampai
tekanan 500 dbar. 56
28 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) sampai tekanan
1000 dbar. 57
29 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. (A) 11-15oLS, (B) 15-20 oLS, dan (C) 20-25 oLS. 58 30 Profil salinitas crosssection H_I10 Samudera Hindia bagian timur. 59 31 Diagram T-S section P10N, Samudera Pasifik bagian barat. 61 32 Diagram T-S section P08S, Samudera Pasifik bagian barat. 62 33 Profil diagram T-S yang di hitung berdasarkan observasi. World Ocean Data
Base 2001 (Levitus 1998 (warna hitam), TIDES-Gordon 2005 (warna oranye), NOTIDES (warna biru) dalam Koch Larroy et al. 2007). 63
34 Diagram T-S stasiun Laut Banda. 66
35 Diagram T-S dan DO (Dissolved Oxygen) di Halmahera, Banda and Ombai. Kotak di sebelah kanan adalah lokasi CTD, INDOMIX 2010 (Purba et al. In
press). 66
vii
37 Diagram T-S section H_I10 (berdasarkan garis bujur), Samudera Pasifik bagian
barat. 70
38 Diagram T-S section H_I10 (berdasarkan garis lintang). (A) 11-15oLS, (B) 15-20
o
LS, dan (C) 20-25 oLS. 72
39 Tiga massa air termoklin di Samudera Pasifik bagian timur. North Indian Water (NIW), South Indian Subtropical Water (STW) and Indonesian Throughflow
Water (ITW) (Wijffels et al. 2002). 73
40 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik bagian barat. Sebaran stasiun
menurut garis lintang di section P10N dengan metode TrOCA 76 41 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Pasifik menggunakan metode ∆C*
dengan data-data WOCE/JGOFS (Sabine et al. 2002). 76 42 Distribusi vertikal konsentrasi CO2 antropogenik di stasiun P08S_1 dan P08S_2
(WOCE/JGOFS section). 78
43 Section H_I10 Samudera Hindia bagian timur; menurut jalur longitud (garis
bujur) dan menurut jalur latitud (garis lintang). 79
44 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur. Sebaran stasiun
menurut jalur longitud di section H_I10. 80
45 Distribusi CO2 antropogenik di Samudera Hindia bagian timur. Sebaran stasiun,
menurut jalur latitud di section H_I10. 81
46 Distribusi CO2 antropogenik di stasiun Laut Banda. 83
47 Distribusi CO2 antropogenik di stasiun stasiun Selat Ombai. 86
48 Diagram T-S-Cant section P10N, Samudera Pasifik bagian barat. 88
49 Diagram T-S-Cant section P08S, Samudera Pasifik bagian barat. 88
50 Diagram T-S-Cant,Stasiun Laut Banda. 89
51 Diagram T-S-Cant,stasiun Selat Ombai. 90
52 Diagram T-S-Cant, section H_I10 Samudera Hindia bagian timur. Skala warna
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Teknik sampling air untuk parameter-parameter dalam sistem karbon dioksida
(CO2) laut. 113
2 Penentuan total Dissolved Inorganic Carbon (DIC) dalam air laut 119
3 Total Karbon Dioksida (TCO2/DIC) pada stasiun pengamatan 135
4 Penentuan Total Alkalintas (TA) dalam air laut 138
5 Total Alkalinitas (TA) pada stasiun pengamatan 146
6 Oksigen Terlarut (DO) pada stasiun pengamatan 149
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak manusia mulai memasuki era revolusi industri pada tahun 1750an,
konsentrasi karbon dioksida (CO2) antropogenik di atmosfer mulai menunjukkan
peningkatan (Sabine 2004). Peningkatan ini telah diikuti dengan meningkatnya
karbon anorganik terlarut (TCO2/DIC) di lautan. Keseluruhan aktifitas manusia
yang menghasilkan emisi CO2 adalah yang bertanggung-jawab terhadap fenomena
ini. Sabine (2004) telah membandingkan data CO2 di atmosfer sejak era revolusi
industri dengan data CO2 sebelum revolusi industri, hasilnya menunjukkan bahwa
konsentrasi CO2 telah meningkat cukup signifikan di atmosfer. Selisih nilai
antara total konsentrasi CO2 setelah dan sebelum revolusi industri diperoleh
sekitar 110 Pg C (1 Peta gram – Pg =1015 g), yang kemudian disebut sebagai emisi antropogenik.
Wilayah perairan Indonesia berada dalam jalur sirkulasi massa air dua
Samudera Dunia yaitu Pasifik dan Hindia. Sirkulasi perpindahan massa air dari
Pasifik ke Hindia melewati wilayah perairan ini, terjadi secara alamiah sebagai
bagian dari sirkulasi termohalin massa air dunia (the great conveyor belt).
Pergerakan massa air yang melewati wilayah Indonesia ini, kemudian dikenal
sebagai Arus Lintas Indonesia (ARLINDO). ARLINDO membawa bahang(heat)
dan air tawar (freshwater) dari Pasifik menuju Hindia yang akan berpengaruh
pada dinamika lautan dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya
(Sprintall et al. 2001; Gordon 2001). Namun demikian, sirkulasi perpindahan
massa air juga membawa sejumlah konsentrasi CO2 antropogenik yang
terakumulasi di Samudera Pasifik (Touratier & Goyet 2004a; Sabine et al. 2004).
Dengan kata lain, CO2 antropogenik ditransporkan ke Samudera Hindia oleh
ARLINDO melewati wilayah perairan Indonesia.
Berapa banyak CO2 yang terakumulasi di laut dikontrol oleh seberapa
banyak konsentrasi CO2 di atmosfer (IPCC 2001). Peningkatan CO2 di atmosfer
dari tahun ke tahun telah diikuti oleh meningkatnya DIC yang terakumulasi di
lautan dalam beberapa dekade (Feely et al. 2004). Meningkatnya DIC di lautan
di laut sebesar 2 kali lipat dibandingkan periode sebelum era revolusi industri.
Para ahli percaya bahwa skenario ini akan berdampak serius bagi organisme laut,
bila emisi antropogenik di atmosfer terus mengalami peningkatan (Prentice et al.
2001).
Wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai perairan yang dinamis. Selain
sebagai jalur ARLINDO, perairan ini juga dipengaruhi oleh sistem angin muson
yang berubah arah 2 kali dalam setahun (Wyrtki 1961), sehingga transpor nutrien,
material organik dan partikel karbon berlangsung secara dinamis dan
mempengaruhi mekanisme siklus biogeokimia di perairan ini. Sementara itu,
daerah ARLINDO diapit oleh pulau-pulau besar yang memungkinkan adanya
tekanan dari aktifitas manusia secara tidak langsung. Dengan demikian,
faktor-faktor tersebut mendeskripsikan proses-proses fisika dan biogeokimia yang
berlangsung dalam suatu wilayah perairan, yang akan sangat mempengaruhi
dinamika siklus CO2 di daerah ARLINDO.
Sistem angin muson dan bentuk topografi, sangat mempengaruhi terjadinya
fenomena upwelling/downwelling di perairan Indonesia. Upwelling/downwelling
akan menentukan seberapa banyak karbon anorganik terlarut yang terangkat dan
ditenggelamkan dalam suatu wilayah perairan (Wang et al. 2005). Sementara itu,
besaran nutrien dari lapisan dalam akan menentukan kelimpahan biomassa
produktivitas di permukaan perairan. Perairan Indonesia dikenal sebagai perairan
yang memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, dan juga memiliki produksi
biologi yang tinggi sepanjang tahun (Spalding et al. 2001). Penelitan terakhir
menunjukkan proses percampuran massa air ARLINDO dipengaruhi oleh
masukan air tawar permukaan dari laut jawa selama periode muson barat laut
(Atmadipoera et al. 2009) dan percampuran massa air akibat percampuran oleh
pasang surut di ambang (sill) Dewakang di Selat Makassar (Hatayama 2004).
Demikian juga, tingginya presipitasi akan meningkatkan debit air tawar yang
masuk ke perairan, sementara tingginya evaporasi akibat periode pemanasan yang
konstan sepanjang tahun, juga mempengaruhi kondisi pCO2 di permukaan laut.
Daerah ARLINDO di kelilingi oleh pulau-pulau besar yang mentranspor
sejumlah besar material organik dan anorganik melalui sungai. Berapa banyak
3
yang berlangsung di daratan seperti, deforestasi, pertambangan, limbah pabrik,
pemanfaatan lahan gambut, sampah domestik, sedimen dari gunung berapi,
pembangunan bendungan, dan lainnya (Aldrian et al. 2008). Fenomena ini akan
sangat memberi dampak pada sistem biogeokimia di perairan pesisir. Sementara
itu, pertumbuhan penduduk yang tinggal di sepanjang garis pantai juga memberi
dampak tersendiri bagi perairan pesisir. Bertambahnya populasi penduduk akan
menentukan jumlah nutrien yang masuk ke kolom air. Data terakhir menunjukkan
bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,5% per tahun, atau sekitar
241 juta tahun 2012 (BPS 2012). Ini menunjukkan bahwa siklus biogeokimia di
perairan pesisir akan mendapat pengaruh yang cukup signifikan.
Begitu banyaknya proses yang berlangsung di wilayah pesisir,
menggambarkan semakin kompleksnya sistem yang berlangsung di dalamnya
(Liu et al. 2000). Beberapa penelitian masih memperdebatkan siklus CO2 di
perairan pesisir dalam konteks penyerap (sink) dan pelepas (source) bagi CO2
atmosfer. Sebelum adanya isu antropogenik, perairan pesisir bersifat sebagai
source CO2 untuk atmosfer karena besarnya masukan dari sungai berupa bahan
karbon organik dan anorganik (Wang et al. 2005). Namun penelitian lain
menemukan bahwa perairan pesisir merupakan sink CO2 paling banyak untuk
atmosfer (Frankignoulle & Borges 2001a). Sementara, Wang et al. (2005)
menyimpulkan East China Sea, the North Atlantic European Shelves, dan the
Mid-Atlantic Bight sebagai source atau sink bagi CO2 di atmosfer. Secara fakta
menunjukkan bahwa perairan pesisir cukup rumit untuk menjelaskan siklus CO2
yang berlangsung di laut, dan tidak semua perairan pesisir memiliki siklus
biogeokima yang sama, kaitannya dengan fluks siklus CO2.
Selama ini belum ada kajian mengenai keberadaan CO2 antropogenik di
daerah ARLINDO sebagai dampak dari transfer massa air diantara kedua
Samudera. Demikian pula pengaruh daratan yang mengelilingi daerah
ARLINDO, yang mempengaruhi besaran secara kuantitatif terhadap nilai
konsentrasi CO2 antropogenik, baik di jalur lintasannya maupun di jalur
keluarnya. Bagaimana posisi perairan Indonesia terhadap siklus CO2 global
belum banyak di kaji, sehingga merupakah suatu subjek penelitian menarik yang
Penelitan ini akan memberikan kontribusi terhadap perdebatan yang masih
kontroversial, kondisi daerah ARLINDO terhadap isu ini, dan akan memperjelas
posisi daerah ARLINDO terhadap siklus karbon global.
1.2 Perumusan masalah
1. Berapa kandungan CO2 antropogenik di daerah ARLINDO (Laut Banda dan
Selat Ombai) ?
2. Bagaimana pola besaran kandungan CO2 antropogenik massa air, yang
bergerak dari Samudera Pasifik melewati Laut Banda dan Selat Ombai
sampai ke Samudera Hindia (Neraca)?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang serta alasan yang dikemukakan dalam
pendahuluan di atas, maka penelitian yang dilakukan di stasiun Laut Banda dan
Selat Ombai pada bulan Juli 2010 ini (periode muson tenggara), bertujuan untuk:
1. Menentukan neraca kandungan CO2 antropogenik terlarut di ARLINDO.
2. Menduga pengaruh gerakan ARLINDO terhadap kandungan konsentrasi CO2
antropogenik.
1.4 Manfaat penelitian
1. Memberikan informasi posisi perairan Indonesia khususnya sekitar stasiun
Laut Banda dan Selat Ombai terhadap neraca kandungan CO2 antropogenik.
2. Dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan terhadap isu-isu emisi
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 CO2 Antropogenik di Laut
Karbon organik tersimpan dalam sedimen dalam bentuk batu bara, gas alam
dan minyak bumi lebih dari seratus juta tahun dan telah dimanfaatkan oleh
manusia, kemudian dilepaskan kembali ke atmosfer sebagai karbon dioksida
(CO2), dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir ini. Energi yang dihasilkan
dari pemanfaatan bahan bakar fosil tersebut, telah dimanfaatkan oleh kita dalam
bentuk energi listrik, energi panas, untuk transportasi, dan untuk menggerakkan
sektor industri. Pembukaan hutan untuk lahan pertanian maupun penebangan
pohon secara tidak terkendali, telah memberikan andil yang cukup besar terhadap
penambahan konsentrasi CO2 di atmosfer. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa, keseluruhan aktifitas manusia yang menyebabkan bertambahnya
konsentrasi CO2 diatmosfer disebut sebagai proses pelepasan emisi antropogenik
(anthropogenic emissions) (Gruber & Sarmiento 2002).
Era revolusi industri yang dimulai pada tahun 1750an ditandai dengan
dimulainya pelepasan emisi antropogenik ke atmosfer (Sabine 2004). Selanjutnya
pelepasan emisi ini telah memicu peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer lebih
dari 30% dibandingkan sebelum masa revolusi industri (Barnola, 1999; Keeling &
Whorf, 2000). Pendapat ini telah dibuktikan melalui pengukuran secara geokimia
dengan melihat sedimen laut di waktu lampau yang menunjukkan level
konsentrasi CO2 di atmosfer pada 20 juta tahun yang lalu tidak setinggi seperti
sekarang ini (Houghton et al. 2001).
Kenaikan CO2 di atmosfer sangat dikaitkan dengan dampak yang
ditimbulkanya, yaitu menangkap radiasi gelombang panjang yang diemisikan dari
permukaan bumi membentuk gas rumah kaca (green house gasses), sebagai
indikasi terjadinya perubahan iklim global (Gruber & Sarmiento 2002). Selain
CO2, terdapat gas-gas lain sebagai pembentuk gas rumah kaca seperti methane, nitrous oxide, dan chlorofluorocarbon yang juga mengalami peningkatan
penggunannya sejak era revolusi industri. Berdasarkan konsensus tingkat tinggi,
terjadinya pemanasan global, yang telah meningkatkan temperatur permukaan
bumi rata-rata sekitar 0,6 ± 0,2 ºC (Houghton et al. 2001).
Jauh sebelum masa revolusi industri dimulai, yaitu pada sekitar 420.000
tahun yang lampau, konsentrasi CO2 di atmosfer ada pada kisaran 180-280 ppm
(Falkowski et al. 2000), dan pH air laut berada pada kisaran 8,3 ± 0,2 (Feely et al.
2004). Namun, sejak era revolusi industri pada beberapa dekade terakhir ini,
sekitar 5,4 ± 0,3 Pg C/thn CO2 dilepaskan ke level atmosfer akibat emisi
antropogenik (Gruber & Sarmiento 2002). Jumlah tersebut terbilang cukup
signifikan dibandingkan dengan akibat yang dapat ditimbulkannya. Namun,
karena alam memiliki mekanisme kesetimbanganya sendiri, maka tidak semua
emisi itu dilepaskan ke level atmosfer. Sebanyak 1,9 ± 0,6 Pg C/thn diserap oleh
lautan dan sekitar 0,2 ± 0,7 Pg C/thn diserap oleh biosfer daratan, sehingga total
yang dilepaskan ke atmosfer sekitar 3,3 ± 0,1 Pg C/thn (Gruber dan Sarmiento
2002). Sampai tahun 2000an, diperkirakan konsentrasi CO2 di atmosfer ada
sekitar 383 ppm (Whorf & Keeling 2005).
Selama periode emisi antropogenik, laut melepaskan (source) sekitar 20 Pg
C/thn dari permukaan lautan di seluruh dunia, sementara di bagian permukaan laut
lainnya, terjadi penyerapan (sink) CO2 antropogenik dari atmosfer sebesar 21,9 Pg
C/thn (Sabine et al. 2004). Sementara itu, akibat perusakan hutan di daerah
tropis, daratan melepaskan CO2 sekitar 1,7 Pg C/thn ke atmosfer, namun proses
tersebut diimbangi pula dengan proses penyerapan daratan terhadap CO2
antropogenik, diluar daerah yang disebabkan oleh perusakan hutan tadi, yaitu
sekitar 1,9 Pg C/thn (Gruber & Sarmiento 2002).
Di dalam air laut, DIC terakumulasi dalam jumlah ya
C C C C C
1800 sampai 1994 (Sabine et al. 2004), dengan estimasi rata-rata CO2 yang masuk
ke dalam lautan pertahunnya sekitar 2,2 Pg C, dimana 40% nya diekspor melalui
kontinental margin, yang 1/3 masuk melalui sungai dan sisanya melalui proses
9
Gambar 2 Siklus karbon global. Panah, menunjukkan aliran (dalam petagram karbon per tahun) antara atmosfer dan kedua sink karbon utama lainnya, yaitu lautan dan daratan. Aliran antropogenik digambarkan dengan garis warna merah dan warna hitam mewakili aliran karbon alamiah (Sabine et al. 2004).
CO2 antropogenik dipertukarkan diantara 3 samudera besar dunia dalam
sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt) (Gruber & Sarmiento 2002).
Perairan laut lepas di wilayah lintang tinggi diprediksi berperan sebagai sink bagi
CO2 antropogenik, karena dipengaruhi oleh kondisi temperatur yang rendah,
aktifitas biologi yang tinggi, dan besarnya volume air. Menurut Moore et al.
(2000) lautan bagian Selatan (southern ocean) adalah yang berperan sebagai sink
terbesar untuk CO2, kemudian diikuti oleh Samudera Atlantik yaitu sekitar 47 ± 9
Pg C (Gruber 1998), Samudera Pasifik sebesar 45 ± 5 Pg C (Sabine et al. 2002),
dan Samudera Hindia sebesar 20,3 ± 3 Pg C (Sabine et al. 1999).
Arah pertukaran gas CO2 antara laut dan atmosfer di kontrol oleh tekanan
parsial CO2 (pCO2). Semakin banyak karbon anorganik yang terlarut dipermukaan
laut, akan diikuti oleh peningkatan pCO2 sehingga terjadi pelepasan gas CO2 ke
[image:32.595.114.502.93.447.2]saat pCO2 permukaan laut lebih rendah dari atmosfer (Cicerone et al. 2004).
Aliran perpindahan CO2 antara atmosfer dan lautan dapat juga terjadi melalui
proses upwelling dan downwelling (Wang et al. 2005) .
Pada perairan dengan temperatur rendah, akan meningkatkan kelarutan CO2
dan menurunkan pCO2 perairan, sehingga terjadi aliran penyerapan CO2 dari
atmosfer ke laut. Temperatur homogen (tidak terstratifikasi secara vertikal)
mengakibatkan CO2 di permukaan dapat tertransfer dan tersimpan ke lapisan
dalam. Sementara itu, pada perairan tropis, CO2 cenderung dilepaskan ke
atmosfer karena proses pemanasan berlangsung konstan sepanjang tahun
(Koropitan & Ikeda 2008).
2.2 Dampak Perairan Pesisir terhadap Siklus CO2
CO2 yang terlarut di lautan, merupakan salah satu komponen yang
mempunyai siklus yang cukup kompleks. Siklus CO2 adalah siklus biogeokimia,
dimana CO2 dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer bumi.
Dalam siklus ini terdapat empat penampungan (reservoir) CO2 utama yang
dihubungkan oleh jalur pertukaran. Penampungan tersebut adalah atmosfer,
biosfer daratan (termasuk sistem air tawar dan material non-hayati organik seperti
karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk DIC dan biota laut hayati dan
non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pertukaran CO2 antar reservoir terjadi karena adanya proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi
(Sabine et al. 2004). Selanjutnya, pertukaran gas karbon dioksida antara atmosfer
dan lautan sangat berperan pada siklus karbon global dalam menentukan masa
depan sistem bumi (Chen 2004).
Dalam mekanisme sistem karbonat di laut, pCO2 dalam lapisan air yang
tercampur merupakan penentu terhadap aliran gas CO2 antara laut dan udara. pCO2 sendiri secara garis besar dipengaruhi oleh temperatur, TCO2 atau DIC, pH
dan total alkalinitas (TA). Sementara temperatur dipengaruhi oleh proses fisika
dan DIC, pH dan TA yang di kontrol oleh proses biogeokimia dan
proses-proses biologi yang berasal dari fotosintesis dan respirasi.
Pengukuruan dua variabel yaitu DIC dan TA (disamping temperatur dan
11
karbonat yang berlangsung di lautan (DIC, TA, pH, dan pCO2). DIC dan TA
merupakan parameter yang sering digunakan untuk menjelaskan sejumlah proses
yang mempengaruhi siklus karbon (proses fisika, kimia dan biologi) (Feely et al.
2004).
Gambar 3 menjelaskan keterkaitan sejumlah variabel dalam proses yang
berlangsung. Sebagai contoh, pada saat pembentukan CaCO3, terjadi penurunan
DIC dan TA namun dalam rasio 1:2. Proses fotosintesis akan mengurangi DIC,
sementara TA mengalami sedikit penurunan karena nutrien (spt. fosfat, silikat)
yang terserap. Masuknya CO2 antropogenik (penetrasi) mendorong meningkatnya
DIC namun tidak mengubah posisi TA. Proses biologi mulai terpengaruh sejak
pH mengalami penurunan. Meningkatnya CO2 di permukaan air laut sejak masa
revolusi industri telah berdampak pada menurunnya pH permukaan air laut sekitar
0,12 unit. pH lautan akan terus mengalami penurunan bila konsentrasi CO2 di
atmosfer terus mengalami peningkatan (Feely et al. 2004).
Gambar 3 Dampak dari sejumlah proses terhadap DIC dan TA (digambarkan dengan panah). Garis dan garis putus-putus mengindikasikan level konstan CO2 terlarut (dalam µmol
Perairan pesisir banyak menerima masukan karbon organik dan anorganik
dari daratan melalui sungai seperti halnya total alkalinitas. Hal ini menyebabkan
interaksi di perairan pesisir, kaitannya dengan sistem karbonat, menjadi semakin
kompleks. Adanya fenomena upwelling/downwelling di perairan pesisir, juga
mempengaruhi proses biologi karena adanya pertukaran nutrien diantara
permukaan dan lapisan dalam. Demikian halnya dengan aktifitas manusia, akan
mempengaruhi level CO2 di atmosfer, yang kemudian didistribusikan ke seluruh
wilayah perairan pesisir. Dengan demikian terlihat, bagaimana wilayah perairan
pesisir memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon global (Gambar 4).
Gambar 4 Proses-proses yang mempengaruhi siklus karbon di kolom perairan (Liu et al. 2010).
Pengukuran secara kontinyu terhadap kandungan CO2 lautan di beberapa
lokasi, telah dilakukan lebih dari satu dekade. Pada pengukuran tersebut telah
menunjukkan peningkatan DIC seiring dengan meningkatnya konsentrasi karbon
[image:35.595.109.511.84.798.2]13
ahli sepakat, bahwa penurunan pH lautan akan berdampak serius bagi organisme
laut (Feely et al. 2004).
Meningkatnya konsentrasi CO2 di permukaan laut akibat masuknya CO2
antropogenik dari atmosfer akan mempengaruhi dua hal, yaitu menurunnya
ketersediaan konsentrasi ion karbonat di permukaan laut (CO32) dan menurunya
tingkat kejenuhan dari kalsium karbonat (Kleypas et al. 1999). Peristiwa ini akan
mengancam sejumlah pelagik laut diantaranya coccolithophorida dan
foraminifera, dalam menghasilkan CaCO3 (Iglesias-Rodriguez et al. 2001).
Perubahan terhadap sejumlah variabel lingkungan lainnya dalam suatu
perairan akan berdampak terhadap perubahan pCO2 dan pH didalamnya.
Meningkatnya pCO2 di permukaan laut dipengaruhi oleh meningkatnya
temperatur permukaan laut, perubahan pada ketersediaan nutrien (yang
dipengaruhi oleh perubahan pada proses percampuran, pola presipitasi, dan
meningkatnya stratifikasi), penurunan CO2 dalam air yang hangat, perubahan
salinitas yang disebabkan oleh energi panas dan efek presipitasi, perubahan pada
percampuran di lautan, sirkulasi dan angin. Perubahan-perubahan interaksi ini
yang akan mempengaruhi proses biogeokimia yang berlangsung di lautan (Feely
et al. 2004).
2.3 Oseanografi Wilayah Studi
2.3.1 ARLINDO
Arus Lintas Indonesia sangat mempengaruhi budget bahang dan air tawar
dari kedua samudera yang mengapitnya dan diindikasikan sangat berhubungan
dengan El NiÑo Southern Oscillation (ENSO) dan fenomena iklim muson
(Webster et al. 1998). Sirkulasi ARLINDO terjadi karena adanya gradien paras
laut Samudera Pasifik yang lebih tinggi dari pada Samudera Hindia (Gordon &
Fine 1996).
Menurut Gordon dan Fine (1996) ARLINDO berasal dari air Pasifik Utara
dan Pasifik Selatan (Gambar 4B). Air Pasifik Utara masuk lewat Selat Makassar
(North Pasific Subtropical Water, NPSW) di kedalaman sekitar 200 m, dan
salinitas minimun di lapisan bawah termoklin (North Pasific Intermediate Water,
NPIW) di kedalaman sekitar 300 m. Air Pasifik Selatan digambarkan memiliki
komponen minor, dimana karekteristik ini muncul pada lapisan bawah termoklin
(South Pasific Subtropical Lower Thermocline Water, SPSLTW) sepanjang
wilayah timur lewat Laut Halmahera dan Laut Maluku menuju Laut Seram, dan
kemudian masuk ke Laut Banda (Ilahude & Gordon 1996). Sebagian massa air
yang melintasi Selat Makassar langsung keluar menuju Samudera Hindia lewat
Selat Lombok, namun sebagian besar menuju timur melintasi Laut Flores sampai
ke Laut Banda. Selanjutnya massa air ini mengalami modifikasi oleh
percampuran, upwelling dan pertukaran gas laut–udara, sebelum mengalir menuju
Samudera Hindia lewat Selat Ombai dan Pintasan Timor (Ffield & Gordon 1992;
Hautala et al. 1996).
Transpor massa air ARLINDO dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia
ada pada kisaran 2–24 Sv (1 Svedrup = 106 m3 s-1) (Godfrey 1996; Gordon 2005). Data terbaru transpor ARLINDO (Gordon et al. 2008; Sprintall et al. 2009),
menunjukkan bahwa massa air Pasifik Utara yang masuk lewat Selat Makassar
diperkirakan sebesar 11,6 Sv. Sekitar 20% massa air tersebut (2,6 Sv) langsung
keluar ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok, sedangkan sebagian besar
berbelok ke arah timur menuju Laut Flores kemudian ke Laut Banda dan keluar
menuju Samudera Hindia melalui Selat Ombai sebesar 4,9 Sv dan sebesar 7,5 Sv
keluar melalui Laut Timur (Gambar 5).
Beberapa model penelitian mendapatkan hasil yang bervariasi terhadap
rata-rata transpor massa air ARLINDO (perbedaannya sekitar ± 5 Sv) yang dikaitkan
dengan fase ENSO. Ditunjukkan bahwa, transpor terbanyak selama periode La
NiÑa dan transpor terendah selama periode El NiÑo (Gordon & Fine 1996).
Gordon dan McClean (1999), menggunakan model POP dengan resolusi tinggi
dan mendapatkan 12 Sv rata-rata tahunan selama La NiÑa dan 4 Sv rata-rata
selama El NiÑo. Sementara itu, berdasarkan data mooring ARLINDO di Selat
Makassar, pada periode El NiÑo tahun 1997/1998, ditemukan korelasi yang kuat
(r = 0,73) antara transpor Makassar dengan ENSO. Selama El NiÑo bulan
15
sementara selama periode La NiÑa Desember 1996 sampai Februari 1997,
rata-rata transpor 12,5 Sv (Gordon et al. 1999).
Gambar 5 Jalur ARLINDO (dimodifikasi dari Gordon 2005; Gordon et al. 2008 & Sprintall et al. 2009). Panah biru mewakili massa air utara Pasifik yang mengalir pada lapisan termoklin; panah oranye mewakili massa air dari selatan Pasifik masuk melalui Laut Halmahera di bawah termoklin; panah merah mewakili aliran massa air Pasifik yang melewati ambang (sill) pada kedalaman 2000 m di lintasan Lifamatola menuju lapisan dalam Laut Banda.
Menurut Gordon dan Fine (1996) & Ffield dan Gordon (1992), di perairan
Indonesia bagian timur pada kedalaman di atas 300 meter diisi oleh massa air
NPSW dan NPIW. Sementara, massa air Samudera Pasifik bagian selatan
mengisi sebagian lapisan bawah termoklinnya, yaitu SPSLTW. Baik massa air
Pasifik Utara dan Pasifik Selatan, kemudian mengalami perubahan karakteristik
selama bersirkulasi melalui ARLINDO, dan digantikan dengan karakteristik
massa air yang baru ketika mencapai Samudera Hindia bagian timur (Tabel 1).
ARLINDO secara garis besar dipengaruhi oleh dua angin muson yang
berbeda (Wyrtki 1961): muson barat laut – NWM (Desember – Februari) dan
muson tenggara – SEM (Juni – Agustus). Periode lain (bulan) merupakan bulan
[image:38.595.114.499.153.399.2](2006) mengindikasikan bahwa periode transisi muson berlangsung singkat.
NWM terjadi selama bulan November sampai Maret, sementara SEM terjadi
selama bulan Mei, dan berlanjut sepanjang September, sehingga, bulan April dan
Oktober merupakan bulan transisi.
Tabel 1 Karakteristik massa air Samudera Pasifik dan transformasinya di Samudera Hindia (Wijffels et al. 2002 dan You 2003)
Massa Air Karakteristik Asal Daerah Pembentukan
Bertransformasi di Hindia dengan Asal dan Karakteristik yang baru
NPSW
S tinggi (34,65), T(15oC), O2(3,0 ml/l), rendah nutrien. Jalur: via Selat Makassar
Subtropis dangkal di Pasifik Utara
ITW
S rendah (34,6 psu), T(14oC) Silikat tinggi (35 µmol.kg-1)
SPSW
S tinggi (34,75), T(14 o
C), O2 (2,6 ml/l), rendah nutrien. Jalur: via Laut Halmahera
Subtropis dangkal di Pasifik Selatan
ITW
S rendah (34,6 psu), T(14 oC) Silikat tinggi (35 µmol.kg-1)
NPIW
S minimum (34,4) Jalur: via Makassar dan Laut Maluku
Laut Okhotsk dan Teluk Alaska
ITW
S rendah (34,6 psu), T(14 oC) Tinggi silikat (35 µmol.kg-1)
AAIW
S minimum (34,56) Rendah nutrien Jalur: via Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda ke Laut Timor.
Bagian tenggara Pasifik Selatan
IIW
Silikat maksimum (80 µmol.kg-1)
uCDW
S tinggi (32.62) Rendah nutrien. T(2,6oC) dan O2(2,6 ml/l)
Daerah cirkumpolar di Samudera Selatan
Tidak ada
2.3.2 Laut Banda
Kepulauan Indonesia dikarakteristikkan memiliki curah hujan yang tinggi.
Banyaknya presipitasi melebihi evaporasi di wilayah bagian barat mengakibatkan
terjadinya percampuran air di dalam kolom air. Fenomena ini ditemukan di
permukaan air pada kisaran 0–200 m, dengan adanya lapisan air tawar (S < 34.50)
(Hautala et al. 1996; Atmadipoera et al. 2009). Massa air di Laut Banda juga
17
muson. Selama periode NWM, temperatur permukaan laut (SST) adalah 29 oC, dan 26,8 oC selama periode SEM (Levitus & Boyer 1994).
Di sepanjang lintasan arus lintas, lapisan termoklin terlihat menyesuaikan
terhadap perubahan ketebalan salinitas yang rendah dilapisan permukaan,
mengikuti regim kedua sistem muson (Wijffels et al. 1996). Bray et al. (1996)
memperkirakan lapisan termoklin ada pada kedalaman ~110–120 m pada isoterm
21 oC di bagian timur pulau Timor. Sementara pengukuran yang dilakukan oleh van Iperen et al. (1993) menyimpulkan bahwa termoklin menyesuaikan dengan
musim, ini jelas terlihat dimana termoklin mengalami pengangkatan selama SEM,
dari 70 ke 90 m pada bulan Februari/Maret, dan 30 ke 40 m pada bulan Agustus.
Sementara itu, selama periode SEM (Mei–September), arus bergerak menuju Laut
B /A ‘upwelling’
kaya akan nutrien dibagian timur Laut Banda (Wyrtki 1961).
Wyrtki (1961) menunjukkan bahwa selama NWM (November – Maret),
terdapat arus yang cukup kuat menuju timur yang bergerak dari Laut Jawa dan
Laut Flores mengalir masuk ke Laut Banda. Namun demikian, kekuatan angin
tidak cukup memungkinkan untuk mendorong air dari Laut Banda menuju
Samudera Hindia. Akibatya terjadi akumulasi air dengan salinitas rendah di Laut
Banda yang menekan lapisan termoklin. Demikan juga tekanan gradien dari
Samudera Pasifik ke Samudera Hindia menjadi lemah, sehingga sirkulasi massa
air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia berkurang selama periode
NWM (Wyrtki 1961).
2.3.3 Selat Ombai
Selat ombai terletak antara Pulau Alor dan Pulau Timor. Perairan Selat
Ombai memiliki kedalaman maksimum sekitar 3250 m, dengan lebar 30 km.
Pasang surut yang terjadi di Selat ini relatif kuat dan dapat mengubah arus
permukaan (Molcard et al. 2001).
Profil menegak salinitas di perairan Selat Ombai seperti yang dilaporkan
Molcard et al. (2001) menunjukkan bahwa salinitas terendah (34,27–34,41 psu)
disebabkan adanya pasokan air tawar dari sungai-sungai sekitar pulau dan
pasokan air tawar permukaan dari Laut Jawa (Atmadipoera et al. 2009). Nilai
salinitas maksimum 34,56 psu pada kedalaman 200 m pada pertengahan lapisan
termoklin, dan salinitas minimum (34,51 psu) berada pada kisaran kedalaman
250–400 m, yang merupakan sisa massa air NPSW dan NPIW (Wyrtki 1961;
Ilahude & Gordon 1996; Suteja 2011). Di bawah 1400 m, di sekitar kedalaman
pada lintasan yang menuju Samudera Hindia massa airnya masih relatif homogen.
Dari profil temperatur menunjukkan adanya lapisan termoklin yang cukup tajam
antara permukaan (T = 29oC) dan kedalaman 300 m (T=10oC), tanpa lapisan tercampur (mixed layer). Pada beberapa kedalaman, temperatur perairan relatif
homogen, seperti pada kedalaman 15–30 m (Gordon & Fine 1996). Lapisan
homogen ini menunjukkan kuatnya proses percampuran (mixing).
Massa air yang masuk ke Selat Ombai, didominasi oleh massa air yang
berasal dari Pasifik Utara dibandingkan dari tenggara Laut Banda. Karakteristik
massa air Selat Ombai memiliki kesamaan dengan massa air Laut Sawu dan Basin
Wetar. Massa air dari timur masuk melalui Basin Wetar dan hanya sedikit yang
langsung melalui Laut Flores dan barat daya Banda antara Alor dan pulau Wetar.
Selat Ombai memiliki arus dalam lebih kuat dibagian timur. Arus ini terdapat
pada kedalaman antara 500 dan 1500 m (Wyrti 1961).
2.4 Diagram Temperatur-Salinitas dan Temperatur-Salinitas-CAnt
Jenis massa air dapat didefinisikan berdasarkan diagram temperatur-salinitas
(diagram T-S) yang terlihat. Beberapa masa air yang memiliki sifat yang berbeda
pada perairan terbuka dapat bercampur menjadi satu tapi ada beberapa bagian
tetap mempertahankan karakternya terutama untuk temperatur dan salinitas. Pond
dan Pickard (1983) memperkenalkan diagram T-S untuk menggolongkan tipe-tipe
massa air. Dalam suatu area, apabila temperatur dan salinitas di bawah lapisan
permukaan diplotkan satu sama lain, maka umumnya akan membentuk kurva
menurun, yang menggambarkan hubungan kedua parameter tersebut. Diagram
T-S dapat digunakan untuk mengetahui asal-usul, sebaran, dan pelapisan massa air
19
Menurut Pickard dan Emery (1990), diagram T-S adalah grafik yang
memperlihatkan hubungan antara temperatur-salinitas yang digambarkan secara
bersamaan. Diagram T-S diplotkan berdasarkan diagram kartesian dimana
variabel salinitas dinyatakan dengan sumbu x dan variabel temperatur dinyatakan
dengan sumbu y. Temperatur dan salinitas mencirikan tipe massa air dari suatu
wilayah tertentu. Jika suatu massa air yang dicirikan oleh diagram T-S berada di
suatu wilayah yang memiliki tipe massa air berbeda, maka dapat diketahui bahwa
massa air tersebut bergerak dari sumbernya ke wilayah perairan itu.
Pada penelitian ini akan mengaitkan diagram T-S dengan CO2 antropogenik
(T-S-CAnt), yang dimaksudkan untuk melacak sinyal perjalanan CO2 antropogenik
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di daerah Arus Lintas Indonesia, yang
difokuskan pada 2 lokasi titik pengambilan sampel, yaitu stasiun Laut Banda dan
stasiun Selat Ombai (Gambar 6).
Keterangan :
[image:44.595.103.511.168.736.2]: Titik pengambilan data primer (stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai)
....
:Data sekunderWOCE/JGOFS section (P10N, P08S_1, P08S_2, H_I10)Pengambilan sampel pada kedua stasiun ini dilakukan pada tanggal 16 Juli
2010, yang meliputi batas-batas area dengan koordinat 6˚ 7’ L ˚ ’ BT
untuk stasium laut Banda, dan 8˚ 4’ L ˚ ’ BT
Ombai.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan adalah HCl (untuk membersihkan botol duran),
HgCl2 (untuk menghambat aktifitas biologis dalam sampel air), dan bahan untuk
pengukuran DO dengan metode titrasi (Aquades, MnSO4, NaOH+Kl, Na-tiosulfat,
Amylum, H2SO4). Sementara itu, peralatan yang dipergunakan adalah, botol
borosilikat – duran 500 ml (untuk sampel DIC dan TA), mikropipet 100 µl, cool
box, botol BOD 125 ml (untuk sampel DO), salinometer (untuk pengukuran
salinitas) dan peralatan CTD (conductivity temperature depth) Sea-Bird
Electronics (SBE) 911 Plus (untuk pengukuran temperatur, tekanan, salinitas, dan
oksigen). Peralatan CTD sudah terinstal di atas kapal termasuk peralatan
pengukuran DO dan salinometer yang berada di laboratorium kapal.
3.3 Pengambilan Data
3.3.1 Tipe Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder untuk
memprediksi perjalanan dan kandungan CO2 antropogenik di Samudera Pasifik
bagian barat maupun di Samudera Hindia bagian timur yang terbawa oleh
sirkulasi massa air melalui ARLINDO.
3.3.1.1 Data Primer
Data primer dikumpulkan selama penelitian melalui program INDOMIX, di
stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai (Gambar 10), yang meliputi data DIC
atau TCO2, TA, DO, pH, dan data CTD (Temperatur, Salinitas, pH dan DO).
Salinitas dan DO, selain berasal dari CTD, juga dilakukan pengukuran
langsung di laboratorium kapal sebagai data pembanding dengan data yang
23
3.3.1.2 Data Sekunder
3.3.1.2.1 Di Laut
Data sekunder diambil dari WOCE (World Ocean Circulation Experiment)
/JGOFS (Join Global Ocean Flux Study) section, yang meliputi data DIC, TA,
DO, θ http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
Lokasi pertama: Pasifik Barat, P10N. Data di jalur ini hanya diseleksi pada
lintang antara 8,833o LU – 20,493o LU, berdasarkan daerah pergerakan North
Equatorial Current (NEC). Survei ini dilakukan dengan R/V Mirai pada tanggal
25 Mei 2005 – 2 Juli 2005 (Gambar 7) .
Lokasi kedua: Pasifik Barat. P08S. Data ini diambil dengan R/V Kaiyo, tanggal
17 Juni 1996 – 2 Juli 1996, pad º ’ BT – º ’ BT dan
º 4’ LU –4 ’ LU (Gambar 8).
Lokasi ketiga: Samudera Hindia bagian Timur (Gambar 9). H_I10. Data ini
diambil dengan R/V Knorr, 29 Agustus 1995 – 16 Oktober 1995. Data tersebut
dianalisis di Laboratorium Pacific Marine Environmental oleh Chris Sabine dan
Kenneth Johnson.
Gambar 7 Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P10N. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
Gambar 8 Data sumber ARLINDO, Samudera Pasifik bagian Barat, WOCE section P08S. Sumber: http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
Gambar 9 Data outlet ARLINDO, Samudera Hindia bagian Timur,WOCE section I10. Sumber:
http://cdiac.ornl.gov/ftp/oceans/.
Section P08S
[image:47.595.165.458.99.316.2]25
Deskripsi pengukuran WOCE/JGOFS dan keakuratan data dilakukan seperti
yang digambarkan dalam Johnson et al. (1998) untuk TCO2 dan Millero et al.
(1998) untuk TA. Sampel standar Certified Reference Material (CRM) dengan
nilai konsentrasi TCO2 dan TA yang telah diketahui (A. G. Dickson, kualitas
kontrol karbon dioksida di laut dapat dilihat dalam
http://www-mpl.ucsd.edu/people/adickson/CO2_QC, 2000) digunakan setiap 12 jam untuk
mengkalibrasi sistem yang digunakan di atas kapal. Akurasi pengukuran TCO2
dan TA diprediksi masing-masing mencapai ± 2 dan ± 4 µmol.kg-1 (Johnson et al. 1998; Millero et al. 1998). Data hidrografi dari CTD (conductivity temperature
depth)/Rosette dikumpulkan dan dianalisis mengikuti prosedur standar (Millard
1982). Sampel air untuk pengukuran salinitas, setiap botolnya diukur dengan
menggunakan salinometer berdasarkan teknik standar (UNESCO, 1981). Sampel
air untuk oksigen dianalisa dengan menggunakan sistem otomatis yang telah
dimodifikasi dari metode Winkler (Culberson et al. 1991).
3.3.2 Penentuan dan Disain Lokasi Pengamatan
Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari jalur pelayaran program
‘IN MIX’ Internal Tides and Mixing in The Indonesian Throughflow) pada tanggal 9-22 Juli 2010 (Gambar 10), dengan menggunakan R/V Marion Dufresne,
yang merupakan kegiatan kerjasama penelitian antara Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor dengan LEGOS & LOCEAN
UMPC Paris 6, Perancis, sehingga penentuan dan disain lokasi pengamatan dalam
penelitian ini mengikuti jalur pelayaran program INDOMIX, sebagaimana yang
telah direncanakan sebelum pelayaran ini berlangsung.
Pelayaran INDOMIX berlangsung dari tangal 9-22 Juli 2010 yang bertolak
dari Sorong Papua, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut
Sawu, Selat Sumba, Selat Lombok dan berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya (Gambar 9). Beberapa parameter yang diukur selama pelayaran
berlangsung diantaranya; parameter oseanografi fisika dengan menggunakan
Conductivity Temperature Depth (CTD), Expendable Conductivity Temperature
Depth (xCTD), Lowered Acoustic Doppler Current Profiler (LADCP), Mooring
Gambar 10 Jalur pelayaran program INDOMIX 2010. Pelayaran bermula dari pelabuhan Sorong di Papua tanggal 9 Juli 2010, kemudian ke Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, Laut Sawu, Selat Lombok dan berakhir di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tanggal 22 Juli 2010 (Gambar dimodifikasi dari Suteja 2011).
Pengukuran transpor ARLINDO dilakukan dengan penurunan mooring
ADCP di Laut Halmahera dan akan dilakukan pengangkatan kembali dalam dua
tahun kemudian. Pada program ini pula dilakukan perekaman data melalui
Shipboard Acoustic Doppler Current Profiler (SADCP), pengambilan sampel air
untuk analisa nutrien, klorofil-a, dan tracer (radio isotop) di beberapa lapisan
kedalaman, demikian pula pengamatan nekton, mamalia dan burung laut juga
dilakukan selama pelayaran berlangsung.
3.3.3 Manajemen Sampel
3.3.3.1 Teknik Pengambilan Sampel Air
Sampel air untuk pengukuran parameter DIC dan TA diambil dari botol
rossette dengan menggunakan pipa tygon yang panjangnya sekitar 30 cm. Air
27
botol, kemudian sampel air dimasukkan. Sampel air dibiarkan meluber sampai
kira-kira 2/3 volume botol dengan menghindari gelembung menempel pada
dinding botol (hal yang sama dilakukan untuk pengambilan sampel air dengan
botol BOD untuk analisa DO). Selanjutnya air dalam botol duran dikeluarkan
10% nya untuk menyediakan ruang terhadap ekspansi air nantinya. Setelah
ditambahkan 100 µl HgCl2, sampel air di tutup dan dikocok sampai terjadi
percampuran sempurna kemudian disimpan dalam cool box pada temperatur
ruang. Teknik pengambilan sampel ini mengacuh pada SOP DOE Carbon
Dioxide System in Sea Water (DOE 1994) (Lampiran 1).
Sampel air laut di stasiun Laut Banda diambil pada kisaran tekanan 5–4300
dbar sebany