• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Distribusi Massa Air di Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO)

4.1.2 Sebaran Salinitas

ARLINDO mentranspor air dengan salinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Hindia. Salinitas merupakan salah satu indikator untuk mengetahui karakteristik massa air dalam suatu perairan.

Kondisi salinitas di Samudera Pasifik bagian barat terlihat lebih rendah dibandingkan dengan nilai temperatur yang ditemukan cukup hangat di wilayah ini, sebagaimana yang dibahas dalam sub bab sebelumnya. Pada section P10N, terlihat ada dua kelompok salinitas berdasarkan garis lintang (Gambar 21). Untuk stasiun-stasiun yang mendekati wilayah subtropis (stasiun 56-61) ditemukan salinitas di lapisan tercampur lebih tinggi pada kisaran 34,81-35,06 psu. Sebaliknya pada stasiun-stasiun yang mendekati wilayah tropis (stasiun 54-42) ditemukan kisaran salinitas lebih rendah pada lapisan tercampur, yaitu pada kisaran 33,90-34,53 psu. Perbedaan nilai salinitas ini diduga karena adanya sumber origin massa air dengan kisaran salintas yang berbeda. Salinitas yang tinggi diduga berasal dari wilayah subtropis Pasifik Timur yang di bawah oleh SEC, sementara massa air dengan salinitas rendah di bawah oleh NPSW yang berasal dari wilayah lintang tinggi Pasifik Utara (You 2003). Salinitas perairan di wilayah lintang tinggi cenderung lebih rendah akibat tingginya intervensi air tawar, baik dari limpasan daratan maupun dari proses pencairan es akibat dampak dari perubahan iklim global. Sementara itu, air dengan salinitas yang lebih tinggi lebih dipengaruhi oleh proses evaporasi yang lebih tinggi dari presipitasi pada wilayah dekat subtropis Pasifik Utara.

Salinitas pada lapisan termoklin menunjukkan profil yang berlawanan dengan profil temperatur, dimana pada lapisan ini salinitas perairan meningkat dengan tajam terhadap tekanan (Gambar 21C). Kisaran salinitas di lapisan termoklin pada stasiun 54-42 adalah 34,37-35,14 psu, sementara untuk stasiun yang mendekati wilayah subtropis adalah 34-75-35,15 psu. Dari perbedaan nilai ini, diduga adanya percampuran dua massa air yang berbeda origin pada lapisan termoklin. Sementara itu, pada lapisan dingin dibawahnya, salinitas terlihat mulai mengalami penurunan terhadap kedalaman (Gambar 21B). Namun pada tekanan sekitar 500 dbar, salinitas dari stasiun 54-42 terlihat sedikit mengalami peningkatan dari kisaran 34,51 psu menjadi 34,55 psu, dan selanjutnya terus

49

meningkat perlahan seiring bertambahnya kedalaman mencapai 34,67 psu pada tekanan 2999,6 dbar dbar. Sebaliknya pada stasiun 56-61, salinitas terlihat turun di titik minimum dari 34,12 psu ke 34,15 psu pada tekanan sekitar 601 dbar, kemudian terlihat meningkat kembali terhadap kedalaman sampai mencapai 34,65 psu pada tekanan 2999,6 dbar. Secara garis besar terlihat salinitas lebih rendah pada wilayah lintang rendah (Gambar 21D).

Gambar 21 Profil vertikal salinitas Samudera Pasifik bagian barat, (A) section P10N, (B) sampai tekanan 3000 dbar, (C) diperbesar sampai tekanan 500 dbar, dan (D) cross

section P10N.

Profil vertikal salinitas pada kedua stasiun di section P08S pada dasarnya terlihat hampir sama (Gambar 22), namun pada lapisan tercampur, nilai salinitas di stasiun P08S_1 sedikit lebih rendah dari P08S_2. Kisaran pada lapisan tercampur kedua stasiun masing-masing adalah 33,77-34,37 psu dan 33,57-34,23 psu. Selanjutnya pada lapisan termoklin, kedua stasiun memperlihatkan nilai salinitas yang cenderung hampir sama, yaitu masing-masing berada pada kisaran 34,37-34,50 psu dan 34,23-34,43 psu. Pada tekanan sekitar 96 dbar, kedua stasiun terlihat sedikit mengalami peningkatan, masing-masing 34,75 psu dan 34,85 psu. Demikian halnya pada lapisan dalam, salinitas pada stasiun P08S_1 dan P08S_2 terlihat juga meningkat dari 34,5 psu pada tekanan 250,9 dbar dan mencapai 34,66 psu di tekanan 3000,3 dbar.

Profil vertikal salinitas kedua stasiun pada section P08S, terlihat mirip dengan profil vertikal salinitas pada stasiun 54-42 di section P10N. Ini menunjukkan bahwa karakteristik massa air di section P08S sama dengan di

51

Secara garis besar, telihat nilai salinitas di kedua stasiun ini mencirikan kondisi salinitas pada umumnya yang ada di perairan Samudera Pasifik bagian barat, yang digambarkan memiliki salinitas yang lebih rendah dengan temperatur yang tinggi, dibandingkan dengan massa air dari Pasifik Selatan yang memiliki salinitas tinggi dan temperatur yang rendah (Ilahude & Gordon 1996; Wijffels et al. 1992).

Gambar 22 Profil vertikal salinitas stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian barat.

Di Laut Banda, salinitas pada lapisan tercampur, ditemukan rata-rata 33,98 psu (Gambar 23). Profil vertikal salinitas di Laut Banda mirip dengan yang ditemukan Levitus dan Boyer (1994) (Gambar 24). Salinitas di lapisan permukaan Laut Banda terlihat lebih rendah pada musim panas (summer

monsoon) yaitu berkisar antara 33,79-34,15 psu, dibandingkan dengan periode musim dingin (winter monsoon), yang berkisar antara 34,24-34,49 psu. Disini terlihat bahwa nilai salinitas permukaan stasiun Laut Banda berdasarkan data CTD bulan Juli 2010, masuk dalam kisaran 33,79-34,15 psu (Levitus & Boyer 1994). Rendahnya nilai salinitas yang ditemukan di Laut Banda pada musim timur

Gambar 23 Profil vertikal salinitas stasiun Laut Banda Juli 2010.

Gambar 24 Profil vertikal pengukuran salinitas sepanjang kolom air di Laut Banda yang mewakili 4 musim (Levitus & Boyer 1994).

53

diduga masih dipengaruhi oleh sisa-sisa massa air Laut Jawa yang bersalinitas rendah (Atmadipoera 2009).

Sementara itu di Selat Ombai, Suteja (2011) menemukan salinitas pada lapisan homogen mempunyai kisaran yang sangat berdekatan, yaitu antara 33,39- 33,48 psu (Gambar 25). Rendahnya salinitas di lapisan ini kemudian disimpulkan akibat adanya pengaruh sisa-sisa presipitasi yang mengencerkan salinitas permukaan dan adanya anomali iklim seperti La Nina. Atmadipoera et al. (2009) menemukan bahwa selama periode transisi muson (April-Juni), air laut Jawa dengan salinitas rendah (31,00-32,00 psu) masuk sampai ke lapisan termoklin di Selat Ombai. Namun demikian, sisa-sisa air Laut Jawa diduga masih mempengaruhi permukaan Selat Ombai pada bulan Juli ketika data CTD ini diambil.

Gambar 25 Profil vertikal salinitas Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 (Suteja 2011).

Salinitas Laut Banda pada lapisan termoklin, menunjukkan profil yang berlawanan dengan profil temperatur, yaitu salinitas meningkat seiring bertambahnya tekanan. Salinitas lapisan termoklin di laut Banda terlihat berada

pada kisaran 33,98-34,56 psu, sementara di Selat Ombai terlihat pada kisaran 33,40-34,55 psu (Suteja 2011). Perbandingan nilai salinitas pada kedua stasiun ini setidaknya sedikit menunjukkan kemiripan pada lapisan termoklin. Kemiripan ini dapat mengindikasikan, bahwa massa air termoklin di kedua stasiun adalah sama.

Nilai salinitas termoklin pada kedua stasiun, terlihat lebih rendah dengan salinitas massa air Pasifik Utara yang ditemukan di Selat Makassar sekitar 34,70 psu, namun hampir sama dengan nilai salinitas yang ditemukan di Laut Flores yaitu sekitar 34,50 psu (Ilahude & Gordon 1996). Perbedaan ini, diduga karena telah terjadinya pengadukan di bagian dalam kolom air akibat bentuk topografi perairan ARLINDO, yang bertanggung jawab terhadap perubahan karakter nilai ini (Hatayama 2004).

Pada lapisan dalam dimana temperatur hampir homogen, terlihat kisaran salinitas di Laut Banda berkisar antara 34,56-34,62 psu (Gambar 23), demikian halnya di Selat Ombai berkisar antara 34,61-34,49 psu (Gambar 25). Nilai ini hampir sama dengan yang di dapat oleh Koch-Larrouy et al. (2007) yang memperlihatkan invasi salinitas Pasifik Selatan dengan menggunakan model TIDES. Terlihat massa air bersalinitas tinggi dari Pasik Selatan pada lapisan bawah termoklin di Laut Banda (Gambar 26). Pergerakan salinitas ini dapat menunjukkan bahwa penyebaran CO2 antropogenik massa air Pasifik Selatan juga

dapat mencapai wilayah Laut Banda.

Pada section H_I10, salinitas dikelompokkan menurut jalur garis bujur (longitud) dan jalur garis lintang (latitud). Stasiun-stasiun menurut longitud terletak di selatan Jawa, dimana salinitas permukaan terlihat meningkat dari barat ke timur, dari 33,14 sampai 34,63 psu. Sementara menurut latitud, salinitas mengalami peningkatan ketika mendekati perairan Australia dari stasiun-stasiun yang ditarik dari selatan Jawa (34,50 sampai 35,66 psu). Profil vertikal salinitas permukaan kedua jalur terlihat berbeda (Gambar 27B & 28), akibat sirkulasi arus yang membawa salinitas dari sumber origin yang berbeda.

55

Gambar 26 Salinitas di atas dan bawah lapisan termoklin Laut Banda berdasarkan model TIDES (Koch-Larrouy et al. 2007).

Salinitas pada lapisan tercampur di jalur longitud terlihat bervariasi dari 33,14-34,59 psu (Gambar 27C). Pada lapisan termoklin, terlihat salinitas meningkat terhadap tekanan yaitu dari 34,56 menjadi 34,69 psu. Demikian pula dengan lapisan dingin dibawahnya, terlihat salinitas berangsur-angsur meningkat tipis terhadap tekanan, dari 34,52-34,71 psu. Salinitas di bagian barat lapisan termoklin terlihat lebih rendah, hal ini disebabkan karena massa air tersebut telah mengalami pengenceran akibat masukan air tawar dari muara-muara sungai di daerah barat Sumatera dan massa air Laut Jawa yang bersalinitas rendah melalui Selat Sunda.

Data ini sekaligus memperkuat penelitian Natih (1998), yang menemukan variasi salinitas tahunan dekat Selat Sunda sekitar 33,3-33,5 psu. Tingginya presipitasi di wilayah Indonesia bagian barat, cukup berdampak pada salinitas massa air yang ditransporkan Laut Jawa ke Samudera Hindia melalui Selat Sunda. Sebaliknya salinitas rendah yang ditemukan pada stasiun-stasiun dekat Selat Lombok, berasal dari arus ITF yang bergerak dari timur.

Gambar 27 Profil vertikal salinitas Samudera Hindia bagian Timur, (A) section HI10 menurut garis bujur, (B) sampai tekanan 3000 dbar, dan (C) di perbesar sampai tekanan 500 dbar.

Pada jalur latitud, terlihat salinitas mengalami peningkatan tajam pada kedalaman termoklin dan sangat berbeda dengan profil temperatur pada kedalaman termoklin yang sama. Pada lapisan ini mengindikasikan adanya percampuran beberapa massa air yang berbeda origin dan karakteristiknya. Wijffels et al. (2002), mengelompokkan setidaknya ada 3 jenis massa air yang mendominasi wilayah Hindia bagian timur yaitu, North Indian Water (NIW),

57

Indonesian Throughflow Water (ITW), dan South Indian Subtropical Water (STW). Ciri dan karakteristik dari massa air ini, akan di bahas pada sub bab berikutnya.

Gambar 28 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang ) sampai tekanan 1000 dbar.

Pada jalur latitud, kurang lebih terdapat sekitar 28 data CTD yang menyebar dari utara ke selatan, yang menampilkan profil sebaran salinitas yang sedikit berbeda. Untuk melihat sebaran salinitas pada lapisan homogen, lapisan termoklin dan di lapisan dalam, maka jalur ini dibagi dalam tiga bagian yaitu, (A) 11–15o LS, (B) 15–20o LS, dan (C) 20–25o LS (Gambar 29).

Salinitas pada lapisan homogen antara garis lintang 11–15o LS, terlihat bervariasi antara 34,50-34,65 psu. Pada lapisan termoklin, salinitas berada pada kisaran 34,81-35,44 psu. Nilai salinitas tertinggi pada lapisan ini terlihat pada tekanan 248,3 dbar yaitu 35,44 psu. Selanjutnya salinitas terlihat menurun di bawah termoklin mencapai 34,89 psu pada tekanan 558,2 dbar, dan kemudian sedikit meningkat terhadap tekanan mencapai 34,72 psu di lapisan dalam.

Gambar 29 Profil vertikal salinitas section H_I10 (berdasarkan garis lintang) yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. (A) 11–15o LS, (B) 15–20o LS, dan (C) 20–25o LS.

59

Pada latitud 15–20o LS (Gambar 29B), salinitas di lapisan homogen ada pada kisaran 34,68-35,36 psu, sementara di lapisan termoklin nilai salinitas berfluktuasi dari 34,61 psu sampai 35,89 psu, dan nilai tertinggi pada lapisan ini dicapai pada tekanan 245,10 dbar. Pada lapisan dalam, salinitas minimum terlihat pada tekanan 558,2 pada titik 34,59 dbar, kemudian terlihat meningkat secara konstan seiring bertambahnya tekanan mencapai 34,71 psu, pada tekanan sekitar 2997,2 dbar.

Gambar 30 Profil salinitas cross section H_I10 Samudera Hindia bagian timur.

Salinitas maksimum dan salinitas minimum ekstrim, terlihat sepanjang garis lintang 20–25o LS (Gambar 29C), masing-masing berada pada tekanan 230,7 dbar sebesar 35,99 psu, dan pada tekanan 619 dbar sebesar 34,48 psu. Sementara itu, salinitas pada lapisan tercampur bervariasi antara 35,08 psu sampai 35,66 psu. Pada lapisan termoklin, salinitas terlihat pada kisaran 35,21-35,99 psu. Pada lapisan dingin dibawahnya, salinitas terlihat menanjak naik terhadap tekanan sampai 35,71 psu pada kedalaman maksimum, setelah sebelumnya mencapai nilai minimum di tekanan 619 dbar .

Secara umum, sebaran salinitas dari selatan Jawa sampai dekat pantai Australia, terlihat meningkat dari 34,50 psu sampai 35,66 psu (Gambar 30). Pada lapisan termoklin jalur ini, ditemukan kisaran salinitas yang cukup tinggi, yaitu antara 34,61-35,99 psu. Salinitas yang tinggi ini, dipengaruhi oleh massa air

South Indian Subtropical Water (STW) yang berasal dari selatan Hindia menuju utara, digambarkan dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin (Wijffels

et al. 2002).

Dokumen terkait