A. Hasil
Parameter Fisika Kimia Perairan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perairan Pantai Cermin didapatkan nilai parameter fisika kimia perairan yang dicantumkan pada Tabel 7. Tabel 7. Kisaran Nilai Parameter Fisika Kimia Perairan
No. Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Baku
mutu Fisika 1. Suhu oC 26,3 – 30,4 28,4 – 29,5 30,6 – 31,8 24-32 2. Kekeruhan NTU 1,16 – 8 0,47 – 23 0,5 – 6 <5 3. Padatan tersuspensi mg/l 1 -28 12 – 190 3 – 40 <25 Kimia 4. pH - 7,7 – 8,4 7,5 – 8,3 7,1 – 8,5 6,5-8,5 5. Salinitas ‰ 26,3 – 29 20 – 28 24 -27 34-35 6. DO mg/l 7,4 – 8,9 7,5 – 8,9 7,2 – 8,7 >6 7. BOD5 mg/l 0,5 – 2 0,7 -2,8 0,6 – 1,7 <25 8 COD mg/l 11,6 – 14,2 11,8 – 18,36 10,6 – 17,24 <40 9 NO2 mg/l 0,1439 – 0,3326 0,1236 – 0,2398 0,1272 – 0,3451 0.003 10 NH3 mg/l 0,0001 – 0,0021 0,0001 – 0,0066 0,0008 – 0,0154 <0.3 Keterangan :
Stasiun 1 : Daerah wisata
Stasiun 2 : Daerah sekitar mangrove Stasiun 3 : Daerah muara
Baku mutu air laut untuk kehidupan biota air laut (KepMen/LH/No.51 Thn.2004)
Berdasarkan data pengamatan parameter fisika pada Tabel 7 didapatkan kisaran nilai suhu 26,3 − 31,8oC. Nilai kekeruhan berkisar antara 0,47 − 23 NTU dan nilai padatan tersuspensi (TSS) berkisar antara 1 − 190 mg/l.
Nilai parameter kimia yang diperoleh selama penelitian diantaranya adalah nilai pH berkisar antara 7,1 − 8,5. Nilai salinitas berkisar antara 20 − 29‰. Nilai oksigen terlarut (DO) berkisar antara 7,2 – 8,9 mg/l. Nilai BOD berkisar antara 0,5 − 2,8 mg/l. Nilai COD berkisar antara 10,6 − 18,36 mg/l. Nitrit yang berkisar antara 0,1236 − 0,3451 mg/l. Serta nilai ammonia berkisar antara 0,0001 − 0,0153 mg/l.
Analisis Substrat
Substrat yang diamati pada saat pengamatan meliputi fraksi substrat. Berdasarkan segitiga Millar (Brower dan Zar, 1977) didapatkan tekstur substrat berdasarkan fraksi pasir, debu dan liat di perairan Pantai Cermin.
Tabel 8. Persentase Tekstur Substrat Stasiun Plot Tekstur Fraksi Tipe Substrat Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Stasiun 1 plot 1 93.84 0 6.16 Pasir plot 2 93.84 0 6.16 Pasir plot 3 93.84 0 6.16 Pasir Stasiun 2
plot 1 63.84 22 14.16 Lempung berpasir
plot 2 91.84 2 6.16 Pasir
plot 3 91.84 2 6.16 Pasir
Stasiun 3
plot 1 81.84 10 8.16 Pasir berlempung plot 2 87.84 6 6.16 Pasir berlempung plot 3 83.84 8 8.16 Pasir berlempung
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan tipe substrat pada stasiun 1 yaitu substrat pasir, pada stasiun 2 yaitu substrat lempung berpasir dan pasir. Lempung berpasir ditemukan di pinggiran pantai. Pada stasiun 3 ditemukan substrat pasir berlempung (Lampiran 1).
Pada model Indeks Pencemaran kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai Ci/Lix sebagai tolok-ukur pencemaran, tetapi nilai ini tidak akan bermakna jika salah satu nilai Ci/Lix lebih besar dari 1. Beberapa parameter yang dijadikan perhitungan dalam indeks pencemaran perairan Pantai Cermin adalah suhu, kekeruhan, padatan tersuspensi, pH, salinitas, DO, BOD5
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan untuk setiap parameter kualitas air maka dilakukan analisis dengan Indeks Pencemaran (IP) untuk mengetahui status pencemaran di Perairan Pantai Cermin yang dapat dilihat pada Tabel 9.
, COD, nitrit dan ammonia. Nilai dari kesepuluh parameter tersebut ditransformasikan dalam suatu nilai tunggal yakni indeks pencemaran (Lampiran 3).
Tabel 9. Nilai Indeks Pencemaran pada Setiap Stasiun Pengamatan
Lokasi Indeks Pencemaran (IP) Kategori
Stasiun 1 3,35 Tercemar ringan
Stasiun 2 3,26 Tercemar ringan
Stasiun 3 3,3 Tercemar ringan
Klasifikasi dan Struktur Komunitas Moluska
Hasil pengamatan moluska khususnya kelas Bivalvia dan Gastropoda yang telah dilakukan pada 3 stasiun di Perairan Pantai Cermin, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara dengan 3 kali pengambilan sampel ditemukan 28 genus yang termasuk dalam 2 kelas, 9 ordo dan 20 famili. Moluska yang termasuk kedalam kelas bivalvia ditemukan sebanyak 16 genus dan kelas gastropoda 12 genus seperti terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Klasifikasi Moluska yang Didapatkan di Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Pantai Cermin
No Filum Kelas Ordo Famili Genus
1 Mollusca Bivalvia Arcoida Arcidae Anadara
2 Veneroida Veneridae Anomalocardia
3 Gafrarium 4 Sunetta 5 Tellinidae Tellina 6 Mactra 7 Mactrellona 8 Lucinidae Anodontia 9 Donacidae Donax 10 Corbiculidae Geloina 11 Psammobiidae Heterodonax 12 Cardiidae Serripes 13 Myidae Hiatula
14 Euheterodonta Pharidae Ensis
15 Solenidae Solen
16 Thracioidae Periplomatidae Periploma
17 Gastropoda Vetigastropoda Trochidae Austrocochlea
18 Fissurellidae Macroschisma
19 Archaegastropoda Turbinidae Turbo
20 Caenogastropoda Potamididae Cerithidea
21 Terebralia
22 Neogastropoda Pseudomelatimidae Composidrillia
23 Buccinidae Cantharus
24 Engina
25 Gussonea
26 Murucidae Murex
27 Littorinimorpha Naticidae Natica
28 Neverita
Kelas Gastropoda dan Bivalvia merupakan dua kelas terbesar dari filum moluska. Kelas Gastropoda disebut juga binatang berkaki perut, kebanyakan
anggota terbanyak, yaitu kira-kira separuh dari jumlah binatang moluska. Kelas Bivalvia dikenal juga dengan nama kerang yang bercangkang ganda, ada yang hidup di laut dan ada juga yang hidup di air tawar. Anggota kelas Bivalvia adalah yang kedua terbanyak setelah Gastropoda, yaitu kira-kira sepertiga dari anggota moluska (Dharma, 1988).
Kelimpahan Moluska (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Moluska pada Setiap Stasiun di Pantai Cermin
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh data jumlah moluska yang ditemukan pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pantai Cermin, diperoleh nilai Kelimpahan Moluska (ind/m3
Tabel 11. Nilai Kelimpahan Moluska (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Moluska pada Setiap Stasiun Penelitian di Pantai Cermin
), Kelimpahan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) dari setiap genus moluska yang dicantumkan dalam Tabel 11.
No TAKSA
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
K (ind/m3 KR (%) ) FK (%) K (ind/m3 KR (%) ) FK (%) K (ind/m3 KR (%) ) FK (%) I Bivalvia 1 Anadara 3255 9.2 100 4105 20.6 100 13588 12.3 100 2 Anomalocardia 0 0 0 142 0.7 33.3 991 0.9 66.7 3 Anodontia 1132 3.2 66.7 0 0 100 0 0 0 4 Donax 3680 10.4 100 849 4.3 66.7 1132 1.0 66.7 5 Ensis 0 0 0 0 0 0 283 0.3 33.3 6 Geloina 13022 36.8 100 425 2.1 33.3 10474 9.5 100 7 Gafrarium 708 2 66.7 425 2.1 33.3 8068 7.3 100 8 Heterodonax 1699 4.8 66.7 1982 9.9 66.7 3539 3.2 66.7 9 Hiatula 1274 3.6 33.3 0 0 5096 4.6 66.7 10 Mactra 3255 9.2 100 1840 9.2 66.7 10474 9.5 66.7 11 Mactrellona 849 2.4 33.3 0 0 0 0 0 0 12 Periploma 0 0 0 0 0 0 8209 7.4 100 13 Serripes 0 0 0 0 0 0 1415 1.3 33.3 14 Solen 0 0 0 283 1.4 33.3 2548 2.3 66.7 15 Sunetta 566 1.6 33.3 1699 8.5 33.3 9200 8.3 100
16 Tellina 4388 12.4 66.7 5520 27.7 66.7 26610 24.1 100 Jumlah 33.828 17.270 101.627 II Gastropoda 17 Austrocochlea 0 0 0 142 0.7 33.3 0 0 0 18 Cerithidea 991 2.4 66.7 849 4.3 100 1415 1.3 66.7 Tabel 11. Lanjutan No TAKSA
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
K (ind/m3 KR (%) ) FK (%) K (ind/m3 KR (%) ) FK (%) K (ind/m3 KR (%) ) FK (%) 19 Composodrillia 0 0 0 0 0 0 425 0.4 33.3 20 Cantharus 0 0 0 0 0 0 1415 1.3 33.3 21 Engina 0 0 0 283 1.4 66.7 1699 1.5 100 22 Gussonea 0 0 0 0 0 0 2972 2.7 100 23 Macroschisma 0 0 0 708 3.5 33.3 0 0 0 24 Murex 708 0 66.7 283 1.4 33.3 283 0.3 33.3 25 Natica 0 0 0 142 0.7 33.3 425 0.4 66.7 26 Neverita 0 0 0 142 0.7 33.3 0 0 0 27 Terebralia 0 0 0 0 0 0 283 0.3 33.3 28 Turbo 0 0 0 142 0.7 33.3 0 0 0 Jumlah 1.699 2.691 8.917 Total Kelimpahan 35.527 19.961 110.544
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa total kelimpahan (Lampiran 2) pada stasiun 1 terdiri atas kelas bivalvia sebanyak 33.828 ind/m3 dan kelas gastropoda sebanyak 1.699 ind/m3. Pada stasiun 2 nilai kelimpahan moluska yang ditemukan yaitu kelas bivalvia sebesar 17.270 ind/m3 dan kelas Gastropoda sebesar 2.691 ind/m3. Nilai kelimpahan pada stasiun 3 terdiri dari kelas bivalvia dan kelas Gastropoda dengan nilai kelimpahan masing-masing 101.627 ind/m3 dan 8.917 ind/m3. Nilai Kelimpahan Relatif pada stasiun 1 berkisar antara 1,6 – 36,8%, stasiun 2 antara 0,7 − 27,7% dan stasiun 3 antara 0,3 − 24,1%. Foto jenis moluska yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Foto Moluska a) Cerithidea; b) Geloina; c) Tellina; d)Anadara
Gambar 5 . Kelimpahan Moluska di Setiap Stasiun
Gambar 5 menunjukkan bahwa kelimpahan moluska yang paling tinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 110.544 ind/m3. Sedangkan pada stasiun 1 kelimpahan moluska yaitu 35.527 ind/m3 dan kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu 17.720 ind/m3. Dari semua stasiun ditemukan kelas Bivalvia memilki nilai kelimpahan tertinggi yaitu 152.725 individu.
0 20000 40000 60000 80000 100000 120000
minggu 1 minggu 2 minggu 3 Total
Kelimpahan ke li m pa ha n m a kr o z o o be nt o s i nd/ m Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 b a c d
Tabel 12. Nilai KR >10% dan FK >25% dari Moluska yang Ditemukan pada Setiap Stasiun.
No Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
KR (%) FK (%) KR (%) FK (%) KR (%) FK (%)
1 Anadara - - 20.6 100 12.3 100
2 Donax 10.4 100 - - - -
3 Geloina 36.8 100 - - - -
4 Tellina 12.4 66.7 27.7 100 24.1 100
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa pada stasiun 1 ditemukan genus Donax dengan KR 10,4% dan FK 100%, genus Geloina dengan nilai Kelimpahan Relatif (KR) 36,8% dan Frekuensi Kehadiran (FK) 100% serta dari genus Tellina dengan nilai Kelimpahan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) dengan masing-masing nilai 12,4% dan 66,7%. Stasiun 2 dan stasiun 3 masing-masing terdapat 2 genus moluska yang memiliki nilai KR >10% dan FK >25% yaitu genus Anadara dengan nilai KR 20,6% dan Tellina dengan nilai 27,7% pada stasiun 2. Pada stasiun 3 nilai KR untuk genus Anadara adalah 12,3% dan Tellina 24,1%. Nilai FK pada stasiun 2 dan stasiun 3 untuk kedua genus adalah 100%. Menurut Barus (2004), kepadatan relatif merupakan proporsi dari jumlah total individu suatu spesies yang terdapat pada seluruh sampling area. Sedangkan frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies dalam sampling plot yang ditentukan. Suatu habitat dikatakan sesuai dengan perkembangan suatu organisme apabila nilai KR >10% dan FK >25%.
Indeks Keanekaragaman Genus (H'), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (
λ
) Moluska di Pantai Cermin.Berdasarkan analisis data diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman genus, Indeks Keseragaman dan Indeks Dominansi moluska pada masing-masing stasiun seperti yang terlihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Indeks Keanekaragaman Genus (H'), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (
λ
) Moluska di Pantai CerminIndeks Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Keanekaragaman (H') 2,08 2,19 2,48
Keseragaman (E) 0,4 0,4 0,4
Dominansi (
λ
) 0,19 0,15 0,11Keterangan :
Stasiun 1 : Daerah wisata
Stasiun 2 : Daerah tanpa aktivitas Stasiun 3 : Daerah muara
Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh dari ketiga stasiun berkisar 2,08 −2,48. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 2,48 yang merupakan daerah muara sedangkan nilai indeks keanekaragaman terendah pada stasiun 1 yang merupakan daerah wisata yaitu 2,08 dan pada stasiun 2 didapatkan indeks keanekaragaman dengan nilai 2,19.
Indeks keseragaman pada ketiga stasiun diperoleh dengan nilai yang sama yaitu 0,4. Indeks dominansi pada setiap stasiun penelitian memiliki nilai yang tidak berbeda jauh. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 13, nilai indeks dominansi berkisar antara 0,11 − 0,19. Stasiun 3 memiliki nilai indeks dominansi terendah yaitu 0,11 sedangkan nilai indeks dominansi tertinggi pada stasiun 1 yaitu 0,19 dan stasiun 2 memiliki nilai indeks dominansi 0,15.
B. Pembahasan
Berdasarkan data pengamatan parameter fisika pada Tabel 7 didapatkan suhu pada stasiun 1 berkisar antara 26,3 − 30,4 oC, pada stasiun 2 antara 28,4 − 29,5oC dan pada stasiun 3 antara 30,6 − 31,8 oC, nilai ini masih berada dibawah nilai baku mutu yang telah ditetapkan dan masih mendukung untuk kehidupan moluska. Faisal (2001) menyatakan kebanyakan organisme laut termasuk bivalvia dan gastropoda telah mengalami adaptasi untuk hidup dan berkembangbiak pada kisarahn suhu yang lebih sempit dari kisaran suhu sampai 40o
Parameter kimia yang diperoleh selama penelitian diantaranya adalah nilai pH pada stasiun 1 yang berkisar antara 7,7 − 8,4 serta pada stasiun 2 dan stasiun 3 masing-masing 7,5 − 8,3 dan 7,1 − 8,5. Secara keseluruhan pH perairan Pantai Cermin berkisar antara 7,1 − 8,5. Odum (19 94) menyatakan bahwa air laut merupakan sistem penyangga (Buffer capacity) yang sangat luas dengan derajat
C. Nilai kekeruhan pada stasiun 1 (1,16 − 8 NTU), stasiun 2 (0,47 − 23 NTU), dan stasiun 3 (0,5 − 6 NTU). Sedangkan nilai padatan tersuspensi (TSS) pada stasiun 1 yaitu 1 − 28 mg/l, pada stasiun 2 yaitu 12 − 190 mg/l, dan stasiun 3 yaitu 3 − 40 mg/l. Nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi telah melewati baku mutu. Nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi tertinggi ditemukan pada stasiun 2, hal ini diduga akibat kondisi lingkungan yang berupa lempung liat berpasir. Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, maka nilai kekeruhan juga akan semakin tinggi. Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika berlebihan, terutama TSS, dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis perairan.
keasaman (pH) yang relatif stabil sebesar 7,0 − 8,5. Nilai salinitas yang ditemukan pada stasiun 1 antara 26,3 − 29 ‰, stasiun 2 antara 20 − 28 ‰ dan pada stasiun 3 antara 24 − 27 ‰. Menurut Nybakken (1992), kisaran salinitas pada tiap daerah berbeda berdasarkan kondisi masing-masinh perairan. Zona intertidal dengan kondisi daerah yang terbuka, pada saat air laut surut dan tergenang pada saat pasang atau alran air aibat hujan lebat mengakibatkan kisaran salinitas menurun dan akan meningkat pada saat siang disebabkan adanya penguapan. Tinggi rendahnya nilai salinitas pada daerah pesisir sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai dan masukan air laut dari laut. Pada daerah pesisir salinitas berfluktuasi, secara definisi suatu gradient salinitas akan tampak pada saat tertentu, tetapi pola gradient bervariasi bergantung pada musim, topografi estuaria, pasang surut, dan jumlah masukan air tawar. Setyobudiandi (1999) diacu oleh Faisal (2001) menyatakan kisaran salinitas optimal bagi gastropoda di perairan berkisar antara 26 − 32‰, sedangkan untuk bivalvia dapat hidup pada salinitas antara 20 − 36‰. Nilai DO yang didapatkan pada stasiun 1 berkisar antara 7,4 – 8,9 mg/l, pada stasiun 2 berkisar antara 7,5 – 8,9 mg/l dan pada stasiun 3 berkisar antara 7,2 − 8,7 mg/l. Menurut Effendi (2003), kadar oksigen berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, bergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulance) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Berdasarkan pengukuran nilai BOD5 didapatkan nilai yang berkisar antara 0,5 − 2,8 mg/l nilai BOD5 yang tertinggi diperoleh pada stasiun 2 dengan nilai 2,8 mg/l (Tabel 7). Hasil pengukuran COD pada stasiun pengamatan diperoleh kisaran nilai COD tertinggi antara 11,8 − 18,36 pada stasiun 2. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup No.51 Thn 2004 nilai baku mutu untuk kehidupan biota laut yang diperbolehkan adalah <40 mg/l, maka nilai yang diperoleh dari hasil pengamatan masih memenuhi standar baku mutu. Untuk Nitrit diperoleh kisaran nilai tertinggi 0,3451 mg/l yang berada di stasiun 3. Menurut Hutagalung (1997) diacu oleh Diansyah (2004), distribusi horizontal kadar nitrat semakin tinggi menuju ke arah pantai, dan kadar tertinggi biasanya ditemukan di perairan muara. Kandungan ammonia diperoleh kisaran nilai tertinggi antara 0,0008 − 0,0154 mg/l yang juga terdapat pada stasiun 3. Hal ini disebabkan stasiun 3 merupakan daerah muara yang mendapat masukan dari aliran sungai yang membawa limbah domestik. Effendi (2003) menyatakan tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan ammonia. Sumber ammonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan limbah domestik. Kisaran nilai parameter kimia yang diukur di perairan Pantai Cermin masih sesuai dengan nilai baku butu yang telah ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 kecuali nilai Nitrit yang sedikit melebihi baku mutu.
Penentuan Status Mutu Air
Tujuan perhitungan indeks adalah untuk menyederhanakan informasi sehingga dalam menyajikan kualitas suatu perairan cukup disajikan dalam suatu nilai tunggal, sehingga dapat dibandingkan antara kualitas suatu perairan dan juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan pantai. Jadi status lingkungan hidup dengan melihat indeks pencemaran yang ada akan memberikan informasi secara keseluruhan status ketercemaran lingkungan perairan dengan lebih sederhana dan cepat. Namun bila mengukur secara akurat status lingkungan
tersebut dapat dilakukan dengan melihat kondisi perairan dengan standar baku mutu yang diperuntukkan, baik untuk kegiatan budidaya, wisata atupun peruntukkan lainnya (Samawi, 2007).
Nilai indeks pencemaran yang diperoleh selama penelitian dibandingkan dengan nilai baku mutu untuk kehidupan biota laut berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 disajikan pada Tabel 9. Pada Tabel 9 terlihat bahwa kisaran nilai indeks pencemaran yang didapatkan disetiap stasiun pengamatan tidak berbeda jauh. Secara umum lingkungan perairan Pantai Cermin dalam kondisi tercemar ringan. Pada stasiun 1 didapatkan nilai Indeks Pencemaran sebesar 3,35, pada stasiun 2 sebesar 3,25 dan pada stasiun 3 sebesar 3,3. Dimana berdasarkan kriteria nilai 0 < IP < 5,0 termasuk kedalam kategori tercemar ringan.
Komposisi Genus dan Kelimpahan Moluska
Kelimpahan genus dan komposisi moluska yang ditemukan di perairan Pantai Cermin terdiri atas kelas Bivalvia dan Gastropoda. Moluska yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi secara keseluruhan di perairan Pantai Cermin adalah dari kelas Bivalvia yaitu seperti dari genus Tellina, Anadara, Donax dan Geloina. Irawan (2008) menyatakan nilai kelimpahan yang tinggi menunjukkan jumlah organisme yang banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa habitat tersebut dapat ditempati oleh organisme dalam jumlah yang banyak. Stasiun 3 dengan tipe substrat pasir berlempung memiliki nilai kelimpahan tertinggi dengan nilai total kelimpahan 110.544 ind/m3. Nybakken (1992) menyatakan umumnya makrozoobentos dapat dijumpai dalam jumlah yang lebih banyak pada substrat lumpur berpasir hingga lumpur dibandingkan pada substrat pasir. Nilai
kelimpahan stasiun 3 dari genus Tellina dari kelas Bivalvia merupakan genus yang paling banyak ditemukan dengan jumlah 26.610 individu. Tipe substrat dari stasiun 3 adalah pasir berlempung. Jenis substrat sangat menentukan kepadatan dan komposisi bentos. Substrat didefenisikan sebagai campuran dari fraksi lumpur, pasir dan liat dalam tanah (Brower dan Zar, 1977).
Genus Geloina dari kelas bivalvia pada stasiun 1 memiliki nilai Kelimpahan, Kelimpahan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi yaitu sebesar 13.022 ind/m3 (K), 0,34% (KR), dan 100% (FK). Sedangkan genus Cerithidea dari kelas gastropoda memiliki Kelimpahan sebesar 991 ind/m3. Pada stasiun 2 genus Heterodonax dari kelas bivalvia memiliki nilai Kelimpahan tertinggi yaitu 5.520 ind/m3, Kelimpahan Relatif 27,7% dan Frekuensi Kehadiran 66,7% dan dari kelas gastropoda juga diperoleh dari genus Cerithidea seperti pada stasiun 1 dengan masing-masing nilai 849 ind/m3
Genus Tellina dari kelas bivalvia merupakan genus yang memiliki nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran tertinggi di Stasiun 3 dengan nilai 26.610 ind/m
(K), 2,4% (KR) dan 100% (FK).
3
(K), 24,1% (KR) dan 100% (FK). Moluska yang paling banyak ditemukan pada setiap stasiun pengamatan di perairan Pantai Cermin adalah kelas Bivalvia. Hal ini disebabkan oleh kemampuan jenis ini untuk mentolerir kekeringan akibat pasang surut (Dewiyanti, 2004) . Menurut Tomascik, et al. (1997) Bivalvia memiliki kulit yang keras (cangkang berupa kapur) berfungsi sebagai pembatas dalam beradaptasi terhadap kekeringan (suhu tinggi) dengan cara menutup cangkangnya. Daya adaptasi yang tinggi terhadap faktor fisik (substrat, suhu dan salinitas) menyebabkan kelas bivalvia memiliki sebaran yang luas, bahkan pada lingkungan yang ekstrim. Jenis substrat pada stasiun 3
merupakan pasir berlempung. Menurut Budiman (1991), moluska dari kelas bivalvia banyak ditemukan pada substrat dengan kandungan liat rendah dan pasir yang sedang. Jenis substrat di ketiga stasiun adalah pasir, lempung berpasir dan pasir berlempung. Nybakken (1992) menyatakan bahwa hewan yang hidup di lingkungan pasir harus dilengkapi dengan cangkang yang kuat, atau memiliki kemampuan memendam dalam di bawah permukaan untuk menghindari penggerusan pada saat air pasang surut.
Indeks keanekaragaman (H'), keseragaman (E) dan dominansi (λ) merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan dan kestabilan komunitas berdasarkan komponen biologis. Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan baik atau stabil apabila diperoleh indeks keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi dan indeks dominansi yang rendah. Indeks keseragaman berkorelasi positif dengan indeks keanekaragaman, dimana indeks keseragaman menunjukkan besarnya keseimbangan komposisi dan jumlah individu yang dimilki oleh setiap genus atau spesies yang menggambarkan keanekaragaman jenis moluska di suatu kawasan, sedangkan indeks dominansi menggambarkan besarnya tingkat dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya dalam suatu kawasan yang menyebabkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman (Setiawan, 2008).
Berdasarkan perhitungan Indeks Keanekaragaman (H') Shannon-Weiner (Ludwig dan Reynold , 1988) nilai yang ditemukan pada setiap stasiun
pengamatan hampir sama . Nilai Indeks Keanekaragaman genus pada perairan Pantai Cermin berkisar antara 2,08 ̶ 2 ,76. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa kriteria keanekaragaman genus moluska yang ditemukan pada
perairan Pantai Cermin yaitu keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang dimana indeks keanekaragaman berkisar antara 1-3 (Odum, 1994). Nilai keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (2,48) yang merupakan daerah sekitar muara yang mengandung banyak unsur hara. Nilai keanekaragaman terendah ditemukan pada stasiun 1 (2,08) karena merupakan daerah wisata dan memiliki substrat pasir yang homogen. Menurut Irawan (2008), tinggi rendahnya nilai keanekaragaman jenis dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti jumlah atau jenis individu, dominansi jenis tertentu serta substrat yang homogen.
Indeks keseragaman yang ditemukan pada ketiga stasiun dengan nilai 0,4. Hasil pengamatan menujukkan bahwa nilai keseragaman pada ketiga stasiun tergolong kedalam keseragaman sedang. Menurut Odum (1994), indeks keseragaman adalah indeks yang menyatakan bagaimana penyebaran masing-
masing spesies yang menyusun suatu komunitas. Nilai 0 < E < 0,4 menunjukkan
keseragaman yang rendah, nilai 0,4 < E < 0,6 menunjukkan keseragaman sedang dan nilai E > 0,6 menunjukkan keseragaman tinggi yang artinya penyebaran individu mendekati merata atau bisa dikatakan tidak ada spesies yang mendominasi.
Nilai indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada atau tidak adanya jenis tertentu yang mendominasi pada suatu ekosistem. Nilai indeks dominansi paling tinggi yang diperoleh dari hasil pengamatan sebesar 0,19 pada stasiun 1. Indeks dominansi terendah ditemukan pada stasiun 3 dengan nilai 0,11. Nilai indeks dominansi yang mendekati 0 menunjukkan bahwa tidak terdapat jenis yang mendominasi jenis lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil
(Odum, 1994). Menurut Hutabarat (2007), nilai indeks dominansi memperlihatkan kekayaan jenis komunitas serta keseimbangan jumlah individu setiap jenis. Rendahnya dominansi jenis menandakan adanya keanekaragaman tinggi dan merata sebaliknya tingginya dominansi menunjukkan bahwa tempat tersebut memiliki keanekaragaman rendah dengan sebaran tidak merata.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, kualitas air di kawasan wisata, kawasan mangrove dan kawasan muara sungai pantai cermin tergolong kedalam tercemar ringan sehingga diperlukan manajemen pengelolaan kawasan wisata yang memperhatikan kesesuaian lingkungan. Pengelolaan kawasan wisata yang memperhatikan kesesuain lingkungan dapat membatasi aktivitas wisata sehingga dapat mengurangi beban pencemar. Selain itu juga perlu dilakukan pengelolaan lingkungan yang memperhatikan faktor keterkaitan ekologis dimana kawasan pesisir merupakan hilir dari segala aktivitas manusia. Maka dari itu pengelolaan kawasan pesisir tidak sebatas ekologi pesisirnya saja tetapi juga ekologi yang berada di atasnya (hulu).