• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurva Karakteristik Kelembaban Tanah

Pengaruh Jenis Contoh Tanah pada Pengukuran Kadar Air

Tabel 2 menyajikan perba ndingan hasil pengukuran Kadar Air (KA)

% volume antara jenis contoh tanah utuh dan jenis contoh tanah terbagi.

Berdasarkan Tabel 2, untuk ketiga jenis tanah tampak bahwa pada penggunaan jenis contoh tanah terbagi selalu menghasilkan nilai Kadar Air (% v) yang lebih kecil dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah utuh di tiap taraf nilai pF. Pada jenis contoh tanah terbagi terjadi kerusakan struktur tanah yang disebabkan oleh pemotongan contoh tanah yang digunakan. Hal ini mengakibatkan pori tanah menjadi rusak dan kontinyuitasnya tidak terjaga, sehingga kemampuan dalam meretensi air pada tiap taraf nilai pF menjadi berkurang. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hillel (1980) yaitu bahwa jumlah air yang diretensi pada nilai hisapan matriks relatif rendah (misal antara 0 dan 1 bar) sangat dipengaruhi oleh efek kapilaritas dan distribusi ukuran pori, dengan demikian sangat dipengaruhi oleh struktur tanah.

Perbedaan antara Kadar Air hasil contoh tanah utuh dengan contoh tanah terbagi semakin besar dengan makin tingginya hisapan matriks. Pada pF 4.2 terlihat bahwa nilai KA (% b) yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah utuh untuk Grumusol Cihea, Latosol Darmaga, dan Regosol Laladon adalah sebesar 40.05 %, 47.72 %, dan 31.23 %. Nilai ini ternyata terlalu besar bila dibandingkan dengan yang dikemukakan oleh Rowell (1937) yaitu bahwa pada Titik Layu Permanen (setara pF 4.2) untuk tanah yang bertekstur berat (liat) mempunyai nilai KA (% b) berkisar antara 24 – 34 % sedangkan untuk ta nah bertekstur sedang (lempung)

berkisar antara 12-15 % (Tabel Lampiran 7). Nilai KA (% b) pada pF 4.2 yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah terbagi untuk ketiga jenis tanah adalah 31.28

%, 37.43 %, 16.92%, nilai ini lebih mendekati nilai yang dikemukaka n oleh Rowell (1937). Penggunaan jenis contoh tanah utuh ternyata kurang sesuai untuk menetapkan nilai KA pada pF 4.2. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Richards (1965) dan SCS-USDA (1967) yaitu bahwa pada penetapan retensi air tanah pada kisaran tekanan rendah (1-2 bar) digunakan contoh tanah yang mewakili kondisi struktural tanah, sedangkan pada tekanan yang lebih tinggi khususnya 15 bar (setara pF 4.2) digunakan contoh tanah terganggu karena retensi air tanah pada 15 bar sangat dipengaruhi oleh luas permukaan spesifik tanah.

Retensi air tanah pada kisaran hisapan yang tinggi dipengaruhi oleh adsorpsi, tekstur tanah, serta permukaan spesifik dari materi tanah dan kurang dipengaruhi oleh struktur (Hillel, 1980)

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kadar Air (KA %v) pada Berbagai Taraf pF dengan Berbagai Pendekatan

Grumusol Cihea Latosol Darmaga Regosol Laladon

Contoh

Gambar 2 menunjukkan bahwa kurva karakteristik kelembaban yang diperoleh dengan kedua jenis contoh ternyata berbeda. Tampak bahwa kurva yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah terbagi lebih miring dibandingkan jenis contoh

tanah utuh. Hal ini menunjukkan bahwa pada jenis contoh tanah terbagi terjadi perubahan distribusi ukuran pori menjadi lebih seragam (Tabel Lampiran 5)

Gambar 2. Perbandingan Kurva pF Antara Contoh Tanah Terbagi dengan Contoh Tanah Utuh

0

Pengaruh Jenis Pengukuran Bobot Isi Terhadap Pengukuran Kadar Air di Tiap Taraf Nilai Tekanan (pF)

Bobot isi merupakan faktor yang penting dalam penetapan kurva karakteristik kelembaban karena bobot isi adalah faktor konversi dari kadar air (% berat) ke kadar air (% volume) yang selanjutnya dipasangkan dengan nilai tekanan (pF) untuk menentukan tiap titik pada kurva karakteristik kelembaban.

Menurut Hartge (1965; 1968) bobot isi bukan merupakan jumlah yang tetap dalam tanah. Bobot isi bervariasi sesuai dengan kondisi struktural dari tanah, sehingga sering digunakan sebagai ukuran perkembangan struktur tanah. Pada tanah mengembang-mengerut, bobot isi bervariasi sesuai dengan kadar air. Untuk tanah seperti itu, bobot isi yang diperoleh harus disertai dengan kadar air tanah pada saat pengambilan contoh tanah. Berdasarkan pendapat tersebut maka dilakukan pengamatan terhadap pengaruh pengukuran bobot isi. Hal ini dilakukan dengan 2 cara yaitu bobot isi yang seragam dan bobot isi tidak seragam pada tiap taraf nilai pF. Bobot isi seragam pada tiap taraf pF adalah bobot isi yang ditetapkan pada awal pengukuran dengan menggunakan metode Ring, sedangkan bobot isi tidak seragam pada tia p taraf nilai pF adalah bobot isi yang ditetapkan di tiap taraf nilai pF yang ditetapkan dengan menggunakan metode Clod. Nilai bobot isi tidak seragam di tiap taraf nilai nilai pF yang digunakan adalah Dbm (bobot isi lembab) yang tercantum pada Tabel Lampiran 2. Hasil Penetapan KA (% v) dengan menggunakan pendekatan berbagai bobot isi ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada Grumusol Cihea dan Latosol Darmaga, selisih antara KA (% v) yang dihasilkan dengan menggunakan bobot isi yang berbeda di tiap taraf nilai pF dengan yang menggunakan bobot isi seragam di tiap

taraf nilai pF adalah lebih besar bila dibandingkan pada Regosol Laladon. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan bobot isi pada tiap taraf nilai pF diperlukan pada tanah yang memiliki kandungan liat yang tinggi terutama yang memiliki kemampuan mengembang-mengerut seperti pada Latosol Darmaga dan Grumusol Cihea. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hartge (1965, 1968) bahwa pada tanah mengembang-mengerut, bobot isi bervariasi sesuai dengan kadar air.

Pada Regosol Laladon, perbedaan KA (%v) yang diperoleh dengan kedua cara penetapan bobot isi tidak berbeda jauh. Hal ini disebabkan karena Regosol Laladon memiliki kandungan liat yang rendah (19.73%) dengan kemampuan mengembang-menge rut rendah (Tabel Lampiran 2).

Tabel 3. Perbandingan Kadar Air (% v) dengan Pendekatan Penetapan Bobot Isi yang Seragam dan Bobot Isi yang Tidak Seragam di Tiap Taraf nilai pF

Bobot Isi Seragam di Tiap Taraf Nilai pF

Bobot Isi Tidak Seragam

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penetapan bobot isi diperlukan pada setiap penetapan KA (% v) pada tanah yang mengandung liat tinggi dan mempunyai kemampuan untuk mengembang-mengerut. Adapun untuk tanah yang mempunyai kandungan liat yang rendah, penetapan bobot isi cukup dilakukan dengan cara yang umum dilakukan (satu nilai bobot isi untuk semua penetapan kadar air di berbagai tekanan).

Pendugaan Kurva Karakteristik Kelembaban Tanah dengan Persamaan Raws et al. (1982)

Selain dengan menggunakan metode yang biasa dilakukan di laboratorium, kurva karakteristik kelembaban tanah juga ditetapkan dengan menggunakan model pendugaan Raws et al. (1982). Model ini dikembangkan untuk mempermudah penetapkan kurva karakteristik kelembaban tanah pada kelas tekstur yang luas dalam kaitannya dengan penentuan kadar air yang tersedia bagi tanaman. Hasil perhitungan KA (% v) dengan menggunakan persamaan matematis Raws et al. (1982) ditampilkan pada Tabel 2, sedangkan perbandingan antara kurva karakteristik kelembaban tanah dari model persamaan Raws et al.

(1982) dengan pengukuran di laboratorium disajikan pada Gambar 3. Bentuk persamaan empiris dari persamaan matematis Raws et al. (1982) pada berbagai taraf tekanan (pF) disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Persamaan Empiris pada Penetapan KA (%v) di Beberapa Taraf pF Berdasarkan Persamaan Raws et al. (1982)

Tekanan Bentuk Persamaan

10 kPa (= pF 2.00) è = 0.4118- 0.003 (% sand) + 0.0023 (% clay) + 0.0317 (organic matter)

33 kPa (= pF 2.54) è = 0.2576- 0.002 (% sand) + 0.0036 (% clay) + 0.0299 (organic matter)

100 kPa (= pF 3.00) è = 0.0349+ 0.0014 (% silt) + 0.0055 (% clay) + 0.0251 (organic matter)

1500 kPa (=pF 4.20) è = 0.026+ 0.005 (% clay) + 0.0158 (organic matter )

Tabel 2 menunjukkan bahwa secara umum nilai KA (% v) hasil perhitungan matematis Raws et al. (1982) lebih tinggi dari nilai KA (% v) yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah terbagi untuk ketiga jenis tanah. Hal yang unik terlihat pada Latosol Darmaga, dimana persamaan matematis Raws et al. (1982) menghasilkan nilai KA (% v) yang jauh lebih besar dari yang dihasilkan dari

pengukuran dengan jenis contoh tanah utuh maupun terbagi. Pada persamaan matematis yang dikembangkan oleh Raws et al. (1982), parameter yang berpengaruh terhadap kemampuan retensi air tana h adalah kandungan bahan organik dan komponen tekstur (kandungan pasir, debu, liat). Diantara parameter tersebut, kandungan bahan organik dan liat merupakan parameter yang paling berpengaruh pada penetapan retensi air tanah di tiap taraf nilai tekanan. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien pada parameter kandungan bahan organik dan liat di tiap taraf tekanan (Tabel 1). Oleh karena itu pada Latosol Darmaga yang mempunyai kandungan bahan organik yang cukup tinggi (5.12 %) dan kandungan liat yang tinggi (77.48 %) hasil prediksi dengan persamaan matematis Raws et al. (1982) lebih tinggi dibandingkan hasil pengukuran dengan jenis contoh tanah utuh maupun terbagi.

Adapun pada Regosol Laladon penggunaan persamaan matematis Raws et.

al (1982) menghasilkan nilai KA (% v) yang mendekati KA (% v) yang dihasilkan

oleh jenis contoh tanah utuh dan terbagi (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa persamaan matematis Raws et al. (1982) sesuai untuk jenis tanah yang memiliki kandungan liat yang rendah dan kandungan bahan organik yang sedang seperti pada Regosol Laladon.

Perhitungan kadar air (% v) pada tiap taraf nilai tekanan dengan menggunakan model matematis Raws et al. (1982) juga dapat digunakan untuk melakukan perencanaan irigasi dan drainase di daerah yang kurang memiliki fasilitas yang lengkap untuk menetapkan kurva karakteristik kelembaban dimana informasi tekstural dan kandungan bahan organik tersedia.

Gambar 3. Perbandingan Kurva Karakteristik Kelembaban Tanah Antara Pengukuran di Laboratorium (Jenis contoh Tanah Utuh dan Terbagi) dengan Model Persamaan Matematis Raws et al. (1982)

0

Pengaruh Kelas Tekstur Tanah pada Kurva Karakteristik Kelembaban Tanah

Tekstur tanah adalah perbandingan antara persentase kandungan pasir, debu, dan liat dalam tanah. Partikel pasir, debu, dan liat mempunyai karakter yang berbeda -beda dalam meretensi air. Urutan kemampuan meretensi air pada partikel tanah dari yang terbesar sampai terkecil yaitu liat > debu > pasir, dimana hal ini akan berpengaruh terhadap kurva karakteristik kelembaban tanah. Tanah yang memiliki kandungan liat yang tinggi akan meretensi air lebih kuat.

Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa Grumusol Cihea dan Latosol Darmaga mempunyai bentuk kurva pF yang lebih tegak daripada kurva pF Regosol Laladon dan Regosol Muntilan. Kurva pF Latosol Darmaga mempunyai bentuk yang lebih tegak dibandingkan kurva pF Grumusol Cihea. Hal ini dapat dijelaskan bahwa Latosol Darmaga memiliki kandungan liat yang lebih tinggi yaitu 77.50%

dibandingkan dengan Grumusol Cihea sebesar 51.79%. Disamping itu, kandungan bahan organik Latosol Darmaga juga lebih besar dari Grumusol Cihea (5.12% > 2.50%). Kandungan liat dan bahan organik yang tinggi menyebabkan tanah mempunyai kemampuan meretensi air yang kuat pada tiap nilai hisapan matriks. Hal tersebut menyebabkan selisih kadar air dari tiap-tiap hisapan matriks tidak terlalu besar, sehingga kurva karakteristik kelembaban yang terbentuk lebih tegak.

Regosol Laladon yang mempunyai tekstur lempung mempunyai kurva pF yang lebih landai dibandingkan kurva pF Latosol Darmaga dan Grumusol Cihea, sedangkan Regosol Muntilan yang bertekstur pasir mempunyai bentuk kurva pF yang paling landai. Tanah bertekstur pasir umumnya memiliki ukuran pori yang besar, sehingga saat tekanan diberikan air segera keluar dari jerapan tanah dan

hanya sedikit saja yang mampu dijerap. Akibatnya, selisih kadar air di tiap nilai hisapan matriks sangat besar sehingga kurvanya menjadi landai.

Sumber kurva pF Regosol Muntilan : Giyanto (2004)

Gambar 4. Perbandingan antara kurva pF Grumusol Cihea, Latosol Darmaga, Regosol Laladon, dan Regosol Muntilan

Penetapan Kadar Air Kapasitas Lapang

Kadar Air Kapasitas Lapang (KAKL) adalah kadar air dari bagian lembab pada tanah, setelah kelebihan air didrainase keluar dan rata-rata pergerakan air ke bawah telah menurun (Veihmeyer dan Hendrickson, 1950). Penetapan KAKL dilakukan dengan menggunakan empat pendekatan, yaitu metode dengan alat pressure plate apparatus menggunakan contoh tanah utuh (KA dan BI pada

pF 2.54) maupun contoh tanah terbagi, metode Alhrick, dan metode Bouyoucos.

Nilai hasil penetapan KAKL (% b) dengan keempat pendekatan tersebut disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada Grumusol Cihea, KAKL (% b) yang dihasilkan dengan keempat pendekatan tersebut adalah sebesar 46.07%, 38.86%,

47.38%, dan 50.82%. Nilai tersebut sejalan dengan kisaran yang dikemukakan oleh Rowell (1937) yaitu bahwa kisaran Kadar Air Kapasitas Lapang (% b) (setara pF 2.54) pada tanah yang bertekstur berat (liat) adalah 38-53 %,

sedangkan untuk tanah yang bertekstur sedang (lempung) adalah 27-35 % (Tabel Lampiran 7).

Tabel 5. Kadar Air Kapasitas Lapang pada Berbagai Metode Pengukuran

Kadar Air Kapasitas Lapang (% b) Metode

Pada Latosol Darmaga nilai KA KL (% b) yang dihasilkan oleh pressure plate apparatus dengan menggunakan jenis contoh tanah terbagi menghasilkan

nilai yang lebih tinggi (55.32 %) dibandingkan dengan kisaran yang dikemukakan oleh Rowell (1937). Penetapan retensi air tanah dengan mengguna kan jenis contoh tanah terbagi mengakibatkan pori tanah menjadi rusak akibat dari pemotongan contoh tanah yang digunakan. Hal ini menyebabkan adanya perubahan ukuran pori tanah dari makro menjadi pori meso ataupun mikro.

Berdasarkan Tabel Lampiran 5 tampak bahwa pada Latosol Darmaga untuk jenis contoh tanah terbagi, perubahan jenis pori lebih banyak ke arah jenis pori air tersedia dimana kadar air pada pF 2.54 merupakan batas atasnya.

Pada penetapan KAKL (% b) untuk Regosol Laladon, metode Alhrick menghasilkan nilai yang lebih besar dari kisaran yang dikemukakan oleh Rowell

(1937). Pada metode Alhrick digunakan tanah kering udara (lolos ayakan 2mm) yang kurang mewakili kondisi struktural tanah di lapang. Hal ini kurang sesuai untuk digunakan pada penetapan KAKL (setara pF 2.54) yang masih termasuk pada kisaran hisapan matriks rendah. Hillel (1980) menyatakan bahwa jumlah air yang diretensi pada nilai hisapan matriks relatif rendah (misal antara 0 dan 1 bar) sangat dipengaruhi oleh efek kapilaritas dan distribusi ukuran pori, dengan demikian sangat dipengaruhi oleh struktur tanah. Selain itu, kondisi tanah di lapang bukanlah seperti yang diwakilkan pada tanah kering udara yang lolos ayakan 2 mm. Pada kondisi sebenarnya di lapang, tanah bertekstur kasar sekalip un masih mempunyai unit struktural.

Metode Bouyoucos memberikan hasil yang sesuai dengan kisaran KAKL yang dikemukakan oleh Rowell (1937) untuk ketiga jenis tanah. Namun metode ini memiliki kekurangan yaitu bahwa pada metode ini digunakan contoh tanah kering udara lolos ayakan 2 mm dan adanya penjenuhan tanah secara tiba-tiba serta penghisapan dengan hisapan setara dengan 1/3 atmosfer untuk mendapatkan nilai KAKL. Penjenuhan yang tiba-tiba dapat menyebabkan partikel liat belum menyerap air dengan sempurna dan adanya udara yang terperangkap dalam pori tanah. Selain itu, pengosongan pori-pori tanah yang dilakukan dengan jalan memberikan hisapan dalam waktu singkat dapat mengakibatkan pori tanah yang seharusnya kosong pada hisapan tersebut belum sepenuhnya kering.

Adapun pada metode dengan alat pressure plate apparatus dengan jenis contoh tanah utuh dianggap paling sesuai untuk menetapkan nilai KAKL karena pada pendekatan ini contoh tanah yang digunakan sudah mewakili kondisi struktural tanah di lapang karena merupakan contoh tanah utuh. Selain itu, nilai

KAKL (% b) yang dihasilkan dengan pendekatan ini sesuai dengan kisaran yang dikemukakan oleh Rowell (1937) untuk ketiga jenis tanah.

Penetapan Jumlah Air Tersedia

Jumlah air tersedia adalah selisih antara air yang ditambat pada Kapasitas Lapang (0.3 bar) dan Titik Layu Permanen (15 bar) (Black, 1973). Giyanto (2004) menyatakan bahwa walaupun pasir tidak mempunyai pengaruh secara nyata tetapi ada kecenderungan penurunan air tersedia disebabkan oleh bertambahnya persentase pasir. Hal ini dapat terjadi karena tanah bertekstur pasir didominasi oleh pori makro yang tidak menyediakan air bagi tanaman. Demikian juga antara persentase liat dengan kandungan air tersedia, walaupun persentase liat tidak secara nyata mempunyai pengaruh terhadap air tersedia tetapi ada kecenderungan peningkatan air tersedia oleh bertambahnya persentase liat. Hasil penetapan Jumlah Air Tersedia dengan berbagai pendekatan jenis contoh tanah disajikan pada Tabel 6.

Pada Grumusol Cihea, kelima jenis contoh tanah yang digunakan menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang berbeda. Tiga jenis contoh yang pertama menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang berdekatan yaitu sebesar 7.10%, 5.32%, dan 7.58%. Adapun dua jenis contoh terakhir menghasilkan Jumlah Air Tersedia (%v) yang lebih tinggi (23.08%, 17.69%).

Pada Latosol Darmaga, nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah ke tiga, empat dan lima menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia yang berdekatan (16.10%, 19.56%, 14.42%). Adapun kedua jenis contoh tanah

lainnya menghasilkan Jumlah Air Tersedia (% v) yang lebih rendah (6.00% dan 3.26%).

Tabel 6. Hasil Pengukuran Jumlah Air Tersedia (% volume) Metode Pressure Plate Apparatus dengan Berbagai Pendekatan Jenis Contoh Tanah No Jenis Contoh Tanah

... KA (% v)...

Contoh Tanah Terbagi untuk KA pF 2.54 dan Contoh Tanah Kering Udara (Lolos Ayakan 2 mm) untuk KA pF 4.2

7.58 16.10 13.98

4

KA pF 2.54 dengan Contoh Tanah Utuh (bobot isi seragam di tiap taraf pF) dan KA pF 4.2 dengan Contoh Tanah Kering Udara (Lolos Ayakan 2 mm)

23.08 19.56 22.01

5

KA pF 2.54 dengan Contoh Tanah Utuh (bobot isi tidak seragam di tiap taraf pF) dan KA pF 4.2 dengan Contoh Tanah Kering Udara (Lolos Ayakan 2 mm)

17.69 14.42 23.52

Adapun pada Regosol Laladon, nilai Jumlah Air Tersedia hasil metode dengan alat pressure plate membran apparatus pada jenis contoh tanah utuh (bobot isi yang seragam maupun bobot isi yang tidak seragam di tiap taraf pF) menunjukkan perbedaan yang tida k besar (berdasarkan selisih persen kadar air).

Adapun pada tiga jenis contoh terakhir menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia yang lebih tinggi (13.98%, 22.01%, dan 23.52%).

Pada pendekatan pertama yang menggunakan contoh tanah utuh dan bobot isi seragam di tiap taraf pF, nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang dihasilkan lebih besar dari jenis contoh yang ke dua (menggunakan bobot isi yang tidak seragam di tiap taraf nilai pF). Perbedaan ini disebabkan oleh penggunaan jenis penetapan bobot isi. Dari Tabel 6 terlihat bahwa pada Grumusol Cihea dan Latosol Darmaga selisih Jumlah Air Tersedia (% v) yang diperoleh dengan menggunakan jenis contoh pertama dan ke dua lebih besar dibandingkan pada Regosol Laladon. Hal

ini menunjukkan terlihat bahwa adanya pengaruh dari perubahan bobot isi sebagai akibat dari aktivitas liat pada kedua jenis tanah tersebut. Pada Regosol Laladon yang mempunyai kandungan liat yang rendah (19.73%), tampak bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang dihasilkan baik dengan menggunakan pendekatan pertama (bobot isi seragam di tiap taraf pF) maupun pendekatan ke dua (bobot isi tidak seragam di tiap taraf pF). Pada pendekatan ke dua, yang menggunakan jenis contoh tanah utuh dan bobot isi yang tidak seragam di tiap taraf pF sebenarnya cukup bagus karena telah menggunakan contoh tanah utuh yang mewakili kondisi struktural tanah di lapang dan menggunakan bobot isi yang tidak seragam di tiap taraf pF yang diperlukan untuk tanah yang mengandung liat ataupun liat tipe 2: 1 yang tinggi. Namun, pada pendekatan ini masih menggunakan jenis contoh tanah utuh yang kurang tepat digunakan pada penetapan KA (% v) pF 4.2 (setara dengan 15 bar).

Jenis contoh tanah yang digunakan pada pendekatan ke tiga adalah contoh tanah terbagi untuk penetapan KA (% v) pF 2.54 dan contoh tanah kering udara (lolos ayakan 2 mm) untuk penetapan KA (% v) pF 4.2. Tabel 6 memperlihatkan bahwa dengan menggunakan jenis contoh tanah ini untuk Grumusol Cihea memiliki nilai Jumlah Air Tersedia (% v) ya ng paling kecil dibandingkan Latosol Darmaga dan Regosol Laladon. Namun, nilai Jumlah Air Tersedia (% v) Grumusol Cihea pada jenis contoh tanah ini mendekati nilai yang dihasilkan dua jenis contoh tanah sebelumnya (jenis contoh pertama dan ke dua). Penggunaan contoh tanah terbagi pada penetapan KA (% v) pF 2.54 untuk Grumusol Cihea menghasilkan nilai KA (% v) yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya perusakan pada pori tanah akibat dari pemotongan sampel sehingga pori yang

seharusnya masih mampu merete nsi air pada kisaran pF 2.54 telah berubah menjadi ukuran pori yang lebih kecil. Selain itu, penggunaan contoh tanah terbagi juga merusak kontinyuitas pori tanah sehingga air lebih mudah untuk dilepaskan.

Retensi air tanah pada keadaan Kapasitas Lapang (setara pF 2.54) masih sangat dipengaruhi oleh struktur tanah, sehingga penggunaan contoh tanah terbagi pada penetapan nilai KA (% v) dirasakan kurang tepat. Penggunaan jenis contoh utuh (bobot isi seragam maupun tidak seragam di tiap taraf nilai pF) pada Latosol Darmaga dan Regosol Laladon menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang lebih rendah dari jenis contoh ke tiga. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai KA (% v) Titik Layu Permanen (setara pF 4.2) pada penggunaan jenis contoh utuh sehingga selisih antara KA (% v) Kapasitas Lapang (setara pF 2.54) dan KA (% v) Titik Layu Permanen (setara pF 4.2) lebih lebih kecil dibandingkan pada contoh terbagi. Penggunaan jenis contoh kering udara (lolos ayakan 2 mm) lebih tepat digunakan pada penetapan KA (% v) Titik Layu Permanen.

Pendekatan ke empat menggunakan jenis contoh tanah utuh dengan bobot isi seragam di tiap taraf pF untuk menetapkan KA (% v) pF 2.54 dan jenis contoh tanah kering udara (lolos ayakan 2 mm) untuk menetapkan KA (% v) pF 4.2.

Pada Grumusol Cihea, pendekatan jenis contoh pertama dan ke dua menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang jauh lebih kecil dari jenis contoh tanah ini.

Hal tersebut dipengaruhi oleh penggunaan contoh tanah utuh pada penetapan nilai KA (% v) Titik Layu Permanen (setara pF 4.2) pada jenis contoh pertama dan ke dua. Penggunaan jenis contoh utuh menghasilkan nilai KA (% v) Titik Layu Permanen yang lebih besar dari jenis contoh kering udara (lolos ayakan 2 mm) Pada Latosol Darmaga dan Regosol Laladon pendeka tan jenis contoh tanah ini

menghasilkan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang lebih besar dari jenis contoh yang ke tiga. Hal ini disebabkan karena pada Latosol Darmaga dan Regosol Laladon nilai KA (% v) Kapasitas Lapang (setara pF 2.54) yang dihasilkan oleh jenis contoh tanah utuh (bobot isi seragam di tiap taraf pF) adalah 53.25% dan 39.94%, yang lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan contoh tanah terbagi (49.79% dan 32.59%) (Tabel 2). Kelemahan dari pendekatan jenis contoh tanah ini adalah penggunaan bobot isi yang seragam di tiap taraf pF yang kurang sesuai untuk tanah yang memiliki kandungan liat tinggi dan mempunyai kemampuan mengembang-mengerut.

Jenis contoh tanah terakhir yang digunakan adalah contoh tanah utuh dengan bobot isi tidak seragam di tiap taraf nilai pF untuk penetapan KA (% v)

Kapasitas Lapang (setara pF 2.54) dan contoh tanah kering udara (lolos ayakan 2 mm) untuk penetapan KA (% v) Titik Layu Permanen

(setara pF 4.2). Pada penggunaan jenis contoh tanah ini, terlihat bahwa nilai Jumlah Air Tersedia (% v) untuk Grumusol Cihea dan Latosol Darmaga berbeda (lebih kecil) dari nilai yang dihasilkan oleh jenis contoh ke empat sedangkan untuk Regosol Laladon nilai Jumlah Air Tersedia (% v) yang dihasilkan tidak terlalu berbeda dengan nilai yang dihasilkan oleh jenis contoh ke empat.

Perbedaan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) pada Grumusol Cihea dan Latosol Darmaga ini disebabkan oleh penggunaan bobot isi yang tidak seragam di tiap

Perbedaan nilai Jumlah Air Tersedia (% v) pada Grumusol Cihea dan Latosol Darmaga ini disebabkan oleh penggunaan bobot isi yang tidak seragam di tiap

Dokumen terkait