• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan Bahan Baku

Teripang gama yang diteliti diperoleh dari Balai Budidaya Laut Provinsi Lampung. Secara umum morfologi teripang gama berbentuk bulat, panjang, berwarna hijau tua kehitaman dengan bintik-bintik putih. Tubuhnya kenyal, lembek jika ditekan dan bertekstur seperti kasur sehingga sering disebut dengan istilah teripang kasur. Teripang gama yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 15-25 cm dengan berat 250-300 g/ekor. Menurut Dewi (2008), teripang dikatakan dewasa apabila memiliki bobot 200-500 g/ekor dengan panjang 25-35 cm. Teripang gama yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Gambar 4. Teripang segar dicuci bersih dengan air mengalir untuk membersihkannya dari kotoran, kemudian dibelah perutnya dengan menggunakan pisau untuk membersihkan isi perut dan bagian visceral. Kulit teripang dikerok secara perlahan dengan menggunakan pisau, dicuci dengan air dingin, dimasukan kedalam kantong plastik yang tertutup rapat dan disimpan di dalam freezer. Penyimpanan ini bertujuan untuk mempertahankan kesegaran teripang dan kualitas teripang sebelum diolah pada proses selanjutnya.

Gambar 4 Teripang gama segar (Stichopus variegatus) Pra-perlakuan dan Ekstraksi Kolagen

Beberapa metode ekstraksi kolagen dari teripang telah dicoba dalam penelitian ini. Metode ekstraksi yang pernah dilakukan di antaranya metode Cui et al. (2007), Zhu et al. (2012) dan Park et al. (2012). Ketiga metode tersebut mengacu pada metode sebelumnya yaitu Trotter et al. (1995) dan Saito et al.

(2002). Berdasarkan metode tersebut, hasil ekstraksi kolagen yang didapatkan kurang maksimal. Hal ini diduga karena proses ekstraksi yang terlalu lama dan perbedaan spesies teripang yang digunakan sehingga rendemen yang didapatkan sedikit. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan maka metode ekstraksi yang digunakan adalah modifikasi dari metode Park et al. (2012).

Ekstraksi teripang dilakukan dengan cara 100 gram teripang segar dipotong-potong kecil untuk mempermudah proses ekstraksi kemudian dicuci dengan air. Semua tahapan ekstraksi dilakukan pada suhu 4 0C untuk mencegah kontaminasi dari mikroorganisme. Teripang direndam di dalam 1000 ml aquades dan diaduk perlahan menggunakan stirrer selama 30 menit. Tahapan tersebut

25 diulangi sebanyak 2 kali. Perendaman dalam aquades bertujuan untuk mencuci teripang dari sisa kotoran yang masih menempel pada daging dan melarutkan senyawa yang larut dalam air. Sampel teripang kemudian disaring lalu direndam dalam 200 ml etanol 50% selama 30 menit. Etanol berfungsi untuk melarutkan senyawa pengotor yang tidak bisa larut dalam air.

Selanjutnya, sampel dicuci dengan aquades untuk menetralkan pH dan direndam dalam 1000 ml HCl 0.1 M dan 4 mM EDTA selama 12 jam. Tris-HCl mampu mempertahankan stabilitas dan pH sehingga proses ekstraksi berjalan dengan benar. pH saat perendaman dengan Tris-HCl adalah 8.0. Larutan Tris-HCl dan EDTA berubah menjadi larutan kental berwarna kuning. Matsumura et al.

(1973) menyatakan bahwa EDTA tidak mampu memisahkan jaringan hewan. Akan tetapi, penelitian yang diungkapkan Trotter et al. (1995) dan Cui et al.

(2007) melaporkan bahwa inkubasi teripang dalam air dan EDTA mampu memisahkan serat kolagen kasar sehingga integritas jaringan terjaga karena terjadi interaksi elektrostatik.

Tahapan selanjutnya yaitu pencucian sampel dengan aquades untuk menetralkan pH dan perendaman sampel dalam 1000 ml NaOH 0.1 M selama 48 jam. Perendaman dalam NaOH menyebabkan sampel membengkak dan mengembang beberapa kali lipat. Menurut Sato et al. (1987) perendaman dalam NaOH bertujuan untuk defatting (menghilangkan lemak), demineralisasi (menghilangkan mineral pengotor), menghilangkan komponen protein nonkolagen, dan menghilangkan pengaruh protease endogenous pada kolagen. Menurut Parker (1982) zat basa menyebabkan tropokolagen terdenaturasi kemudian terdisosiasi

menjadi γ komponen yaitu α, , ϒ. Komponen α merupakan komponen rantai

tunggal polipeptida, sedangkan dan ϒ merupakan dimer dan trimer. Zhou dan

Regenstein (2005) mengungkapkan penggunaan larutan basa pada tahap praperlakuan ekstraksi lebih efektif dalam proses pengeluaran protein nonkolagen. Jaswir et al. (2011) menambahkan bahwa selama perendaman NaOH terjadi pembengkakan kulit, yang menyebabkan air masuk kedalam matriks protein nonkolagen sehingga protein tersebut mudah dilepaskan.

Setelah perendaman dengan NaOH, sampel dicuci dengan aquades sampai pH mendekati netral dan direndam dalam 1000 ml asam asetat 0.5 M selama 48 jam. Kolagen merupakan salah satu jenis protein yang larut dalam asam. Ketika direndam dalam asam asetat disertai dengan pengadukan secara kontinyu, maka kolagen akan larut. Produk hasil ekstraksinya disebut dengan kolagen larut asam. Menurut Jaswir et al. (2011) asam mampu meningkatkan ion H+ sehingga air mudah masuk kedalam serat kolagen dan terjadi gaya elektrostatik antargugus polar dan ikatan hidrogen antargugus nonpolar. Gimenez et al. (2009) menambahkan bahwa efek lyotropic dari asam karboksilat lebih dominan dalam peningkatan swelling.

Suspensi yang dihasilkan dari hasil perendaman asam asetat kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Filtrat kemudian diendapkan dengan NaCl 1 M selama 12 jam. Menurut Scopes (1981), ketika dalam suatu larutan terdapat garam dalam konsentrasi tinggi, protein cenderung berkumpul dan mengendap dari larutan. Pengendapan protein dikarenakan adanya beda jenis protein dalam konsentrasi garam yang berbeda-beda. Oleh karena itu teknik ini sering disebut dengan pemurnian protein. Persipitasi dipengaruhi oleh pH, suhu dan kemurnian protein. Berg et al. (2002) menyatakan bahwa semakin meningkat

26

konsentrasi garam dalam larutan, sisi yang bermuatan dari permukaan protein akan berinteraksi dengan garam. Dengan demikian terjadi interaksi hidrofobik pada permukaan protein dan menyebabkan protein mengendap dari larutan (terjadi proses agregasi dan persipitasi).

Setelah proses pengendapan, suspensi selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 10.000g selama 60 menit. Pelet yang didapat dari hasil sentrifuse dilarutkan ke dalam asam asetat 0.5 M dan didialisis dengan bufer asetat 0.1 M. Bufer diganti secara berkala dan terakhir diganti dengan aquades selama proses dialisis. Proses dialisis dilakukan menggunakan kantong dialisis yang terbuat dari membran selulosa dengan cutoff membrane 20 kDa. Tujuan dari proses dialisis adalah untuk mengurangi kadar garam dalam kolagen. Menurut Lehninger (1982) proses dialisis menyebabkan air dan molekul kecil seperti garam berdifusi keluar kantong menuju ruangan di luar karena difusi molekul cenderung ke arah yang mempunyai konsentrasi lebih rendah. Penggantian fase cairan luar dengan air beberapa kali dapat menurunkan konsentrasi garam sehingga protein yang didapatkan lebih murni.

Kolagen selanjutnya dibekukan dan diliofilisasi dengan freeze dryer. Bollag dan Edelstein (1991) menyatakan bahwa liofilisasi bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi dan memperpanjang masa simpan protein karena protein lebih stabil apabila disimpan dalam bentuk serbuk. Liofilisasi dilakukan dengan cara membekukan kolagen dan menurunkan tekanan hingga mencapai 0 atm, kemudian dipanaskan hingga terjadi sublimasi. Setelah dikeringkan, kolagen kemudian disimpan dan siap untuk dianalisis. Kolagen dari teripang gama yang telah dikeringkanditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Kolagen teripang gama Rendemen Kolagen

Rendemen merupakan parameter dari keefektifan suatu proses ekstraksi. Semakin tinggi rendemen yang dihasilkan, maka proses ekstraksi yang dilakukan semakin baik. Pada penelitian ini rendemen dinyatakan dalam basis kering (bk). Rendemen kolagen teripang gama (Stichopus variegatus) yang diekstrak dengan menggunakan metode acid soluble collagen (ASC) adalah sebesar 16.40%. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kolagen teripang yang diekstrak dengan menggunakan metode pepsin soluble collagen (PSC).

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Abedin et al. (2013); Park et al.

(2012); dan Liu et al. (2010) melaporkan bahwa kolagen teripang yang diekstrak menggunakan metode PSC menghasilkan rendemen berturut-turut sebesar 21.3%;

27 26.6%; dan 20.8%. Menurut Zhang et al. (2007), metode PSC memberikan hasil ekstraksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ASC. ASC dapat diekstraksi dengan cara merusak ikatan garam dan basa shift dalam struktur ikatan silang dengan asam lemah, sedangkan PSC dapat diekstraksi dengan pengaruh enzim pepsin terhadap proses hidrolisis telopeptida nonheliks di dalam ikatan silang. Zhong et al. (2015) menambahkan bahwa ikatan silang kovalen merupakan faktor utama yang mempengaruhi kelarutan kolagen. Kelarutan kolagen secara signifikan dapat ditingkatkan dengan menghilangkan telopeptida nonheliks.

Persen Derajat Hidrolisis

Kolagen teripang yang telah dihidrolisis kemudian dianalisis persen derajat hidrolisisnya. Menurut Ruthefurd (2010), derajat hidrolisis merupakan proporsi atau jumlah ikatan peptida yang terpecah selama proses hidrolisis yang dinyatakan dalam satuan persen (%). Beberapa metode yang sering digunakan untuk menentukan persen derajat hidrolisis diantaranya pH-stats,

trinitrobenzenesulfonic acid (TNBS), O-phtaldialdehyde (OPA), trichloroacetic acid (TCA), dan titrasi formol. Derajat hidrolisis dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan proses hidrolisis. Semakin tinggi persen derajat hidrolisis maka proses hidrolisis berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini, derajat hidrolisis peptida kolagen teripang gama ditentukan menggunakan metode TCA. Menurut Silvestre et al. (2013) prinsip dari metode TCA yaitu mereaksikan sampel dengan larutan TCA 20% untuk mendapatkan fraksi sampel yang terlarut dan tidak terlarut dalam 20% TCA. Persen derajat hidrolisis dihitung sebagai perbandingan protein terlarut dalam TCA 20% dengan total protein.

Persen derajat hidrolisis peptida kolagen teripang gama disajikan pada Gambar 6 dan data analisis keragamannya disajikan pada Lampiran 3. Hasil penelitian yang didapat yaitu persen derajat hidrolisis dari waktu 0; 30; 60; 90; 120; 180; dan 240 menit berturut -turut sebesar 0%; 21.39%; 36.29%; 44.79%; 54.61%; 54.54%; 54.23%. Derajat hidrolisis tertinggi terdapat pada waktu inkubasi 120 menit yaitu sebesar 54.61%. Ketika proses hidrolisis baru dimulai, reaksi berjalan lambat karena enzim dan substrat masih belum bereaksi. Seiring berjalannya waktu, proses hidrolisis mulai berjalan meningkat. Setelah mencapai waktu 120 menit, reaksi mulai berjalan stabil dan tidak ada peningkatan yang signifikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa reaksi berjalan konstan pada waktu 120 menit. Kondisi konstan ini diduga karena substrat telah habis dipotong oleh enzim sehingga jumlah peptida yang dihasilkan tetap dan enzim telah jenuh terhadap substrat.

Peningkatan derajat hidrolisis disebabkan oleh peningkatan peptida dan asam amino yang terlarut dalam TCA akibat pemutusan ikatan peptida selama hidrolisis. Selain faktor tersebut, konsentrasi enzim, waktu hidrolisis, serta jenis enzim juga menyebabkan perbedaan derajat hidrolisis. Derajat hidrolisis meningkat lebih cepat ketika 2 jam pertama, setelah itu semakin melambat. Kecepatan peningkatan derajat hidrolisis yang semakin menurun dapat disebabkan oleh adanya penghambatan proses hidrolisis substrat oleh produk yang dihasilkan selama proses hidrolisis (Haslaniza et al. 2010). Semakin meningkat derajat hidrolisis maka kelarutan hidrolisat protein dalam air semakin tinggi. Kelarutan

28

yang tinggi ini disebabkan karena protein telah terpecah menjadi peptida sederhana. Proses hidrolisis mampu membuka ikatan antar gugus hidrofobik sehingga menyebabkan berubahnya gugus hidrofobik menjadi hidrofilik dengan menghasilkan ujung karboksil dan amino yang mudah berikatan dengan air (Ovissipour et al. 2010).

Gambar 6 Derajat hidrolisis kolagen teripang gama

Enzim merupakan protein yang mengkatalisa reaksi kimia spesifik. Enzim mengikat molekul substrat membentuk kompleks enzim-substrat yang bersifat sementara, yang mampu terurai membentuk enzim bebas dan produknya. Jika konsentrasi substrat meningkat, aktivitas katalitik suatu enzim akan meningkat mengikuti pola hiperbolik mendekati kecepatan maksimum Vmax yang khas. Pada kondisi ini semua enzim berada dalam bentuk kompleks ES (enzim-substrat) dan jenuh oleh substrat. Selain memiliki spesifisitas terhadap substrat, enzim juga memiliki pH optimum dan suhu optimum. Enzim dapat terinaktivasi oleh modifikasi irreversible terhadap gugus fungsional yang penting bagi aktivitas katalitiknya (Lehninger 1982). Terdapat berbagai macam jenis enzim, salah satunya adalah enzim pepsin, yang digunakan untuk proses hidrolisis dalam penelitian ini.

Pepsin merupakan salah satu jenis enzim hidrolase dan menjadi salah satu penyusun utama enzim proteolitik saluran pencernaan serta banyak diaplikasikan dalam industri. Secara umum, pepsin disekresikan dari mukosa lambung dan memiliki spesifisitas terhadap asam amino aromatis seperti fenilalanin, tirosin, dan triptofan. Pepsin merupakan jenis enzim endopeptidase dengan spesifisitas mendegradasi protein. Pepsin merupakan satu dari tiga jenis enzim pemecah protein (proteolitik) dalam saluran pencernaan, di samping tripsin dan α -kemotripsin (Zhao et al. 2011). Enzim pepsin merupakan kelompok aspartic protease, yaitu enzim yang memiliki sisi aktif berupa dua residu asam aspartat. Pepsin juga termasuk dalam kelompok endopeptidase yang memutus ikatan peptida spesifik pada bagian tengah rantai polipeptida (Kim dan Byun 2012).

Beberapa penelitian tentang hidrolisat protein dari berbagai sumber hewani disajikan pada Tabel 6. Zhang et al. (2013) mengungkapkan bahwa

29 kolagen sapi yang dihidrolisis dengan enzim alkalase, kolagenase, termolisin, pepsin dan dianalisa dengan metode uji OPA memiliki derajat hidrolisis 12%; 18.1%; 14.8%; dan 6.88%. Peneliti lain, Baihaki (2012) menyatakan bahwa kolagen ikan bandeng yang dihidrolisis dengan enzim kolagenase dengan metode uji TNBS memiliki derajat hidrolisis sebesar 79.41%. Penelitian lain yang menggunakan metode uji TCA dari berbagai jenis enzim dan substrat juga memberikan hasil yang bervariasi. Kim dan Byun (2012) melaporkan otot ikan salmon yang dihidrolisis dengan enzim pepsin, tripsin, dan α-kimotripsin memiliki derajat hidrolisis sebesar 49.12%; 28.75%; dan 30.52%. Qian et al.

(2007) mengemukakan bahwa daging merah ikan tuna yang dihidrolisis dengan enzim alkalase, α-kimotripsin, tripsin, dan pepsin memiliki derajat hidrolisis sebesar 67.22%; 77.71%; dan 46.72%. Menurut Silvestre et al. (2013) dari beberapa metode uji derajat hidrolisis, metode yang memberikan hasil paling tinggi adalah metode TCA. Hal ini diduga karena metode uji TCA merupakan uji yang masih kasar sehingga semua peptida terhitung dalam analisis. Sedangkan metode uji TNBS dan OPA lebih spesifik terhadap peptida tertentu.

Tabel 6 Persen derajat hidrolisis (DH) dari berbagai substrat, metode dan enzim

Substrat Metode Enzim % DH Referensi

Otot ikan salmon

TCA Pepsin 49.12 Kim dan Byun (2012) Tripsin 28.75

α-kimotripsin 30.52

Kerang TCA Bromelain 58 Haslaniza et al. (2010) Daging

merah ikan tuna

TCA Alkalase 67.22 Qian et al. (2007)

α-kimotripsin 77.71 Tripsin 46.28

Pepsin 78.72

Cumi-cumi TNBS Esperase 15.48 Aleman et al. (2013) Kolagen ikan

salmon

TNBS Tripsin 53.1 Han et al. (2011) Kolagen ikan

bandeng

TNBS Kolagenase 79.41 Baihaki (2012) Teripang TNBS Tripsin 100 Karnila (2012) Kolagen sapi OPA Alkalase 12 Zhang et al. (2013)

Kolagenase 18.1 Termolisin 14.8

Pepsin 6.88

Limbah filet ikan nila

OPA Alkalase 20.2 Roslan et al. (2014)

Pola Peptida Kolagen dan Hidrolisat Kolagen

Sodium deodecyl sulfate polycrilamide gel electroforesis (SDS-PAGE) merupakan salah satu teknik pemisahan protein berdasar kemampuannya untuk bergerak terhadap muatan listrik. Protein terpisah berdasarkan ukuran molekul dan interaksinya terhadap muatan listrik. Metode ini digunakan untuk

30

menganalisis protein secara kualitatif. Gel poliakrilamida terbentuk dari polimerisasi akrilamida dengan agen pembentuk ikatan silang bis-akrilamida dan ikatan silang dari polimer akrilamida menghasilkan pori-pori dengan ukuran yang berbeda-beda (Roy et al. 2012). Elektroforesis dilakukan pada tegangan 35 volt dan arus listrik 15 mA selama 6 jam dengan komposisi gel pemisah 10% dan gel penahan 4%. Pola elektroforesis SDS-PAGE dari kolagen dan peptida kolagen disajikan pada Gambar 7 dan perhitungan berat molekulnya disajikan pada Lampiran 2. Konsentrasi protein kolagen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 mg/ml dan perbandingan sampel dengan bufer sampel sebesar 4 : 1.

Hasil analisis menunjukan bahwa kolagen teripang gama memiliki berat molekul sebesar 130.33 kDa, yang merupakan rantai triple helix1)3 dan diduga termasuk kolagen tipe I. Saito et al. (2002) menyebutkan bahwa kolagen tipe I

biasanya tersusun dari heterolog rantai α1 dan α2 membentuk triple helix1)2 α2

dimana komponen berat molekul tinggi dan merupakan dimer dan trimer dari

rantai α. Menurut Zhong et al. (2015) penambahan merkaptoetanol tidak

memberikan perbedaan yang signifikan terhadap pita protein yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan kolagen teripang tidak mengandung asam amino sistein sehingga tidak ada ikatan disulfida yang terputus. Ditinjau dari aspek berat molekul,

kolagen teripang gama (1γ0.γγ kDa) menunjukan berat molekul rantai α1 yang

serupa dengan kolagen dari Stichopus monotuberculatos (137 kDa; Zhong et al.

2015), Stichopus japonicus (135 kDa; Cui et al. 2007), dan Parastichopus californicus (138 kDa; Liu et al. 2010).

M K M γ0’ 60’ 90’ 1β0’ 180’ β40’

Gambar 7 Pola hidrolisis kolagen oleh enzim pepsin dengan aktivitas 0,1 U/mg (M = marker, K = kolagen tanpa hidrolisis)

Hidrolisis kolagen teripang dengan enzim pepsin menghasilkan peptida-peptida kolagen dengan berat molekul yang lebih rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa kolagen yang dihidrolisis menghasilkan potongan protein dengan berat molekul lebih rendah dari kolagen utuh. Waktu hidrolisis yang semakin lama menghasilkan peptida dengan ukuran yang lebih kecil. Kolagen yang terpotong dari 30 menit hingga 240 menit sebagian besar menghasilkan 3 fraksi peptida dengan berat molekul yang bervariasi. Peptida yang pertama memiliki berat molekul antara 95.03-90.42 kDa, peptida kedua memiliki berat molekul antara 57.6-52.11 kDa sedangkan peptida ketiga memiliki berat molekul antara 29.55-24.1 kDa. Pola potongan peptida yang dihasilkan berhubungan erat

130.33 k 91.91 k 44.09 k 27.64 k 70 k 50 k 40 k 25 k 140 k 100 k 100 k 70 k 50 k 40 k 25 k 140 k

31 dengan jenis, konsentrasi dan spesifisitas enzim terhadap substrat yang digunakan. Enzim pepsin merupakan salah satu jenis enzim aspartic protease yang hanya mampu memecah kolagen pada asam amino tertentu saja. Secara umum, peptida yang dihasilkan masih tergolong besar karena berat molekulnya berkisar dari 24 kDa hingga 95 kDa.

Baihaki (2012) melaporkan bahwa kolagen kulit ikan bandeng ketika dhidrolisis dengan enzim kolagenase kasar menghasilkan peptida dengan berat molekul sekitar 4.6 kDa sedangkan ketika dihidrolisis dengan enzim kolagenase murni menghasilkan peptida dengan berat molekul sekitar 10 kDa. Enzim kolagenase bersifat lebih spesifik terhadap substrat kolagen dibandingkan dengan enzim pepsin sehingga potongan kolagen yang dihasilkan juga lebih kecil. Zhang

et al. (2013) menambahkan di dalam kolagen hanya terdapat sedikit situs pemotongan yang sesuai dengan sisi aktif enzim pepsin sehingga potongan peptida yang dihasilkan berukuran besar.

Aktivitas Penghambatan ACE (Antihipertensi)

Analisis penghambatan ACE (ACE inhibitor) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara in vitro menggunakan enzim ACE dengan substrat HHL dan secara in vivo menggunakan spontaneously hypertensive rats (SHR). Menurut Arihara (2001), metode uji aktivitas penghambatan ACE secara in vitro berdasar pada pembebasan asam hipurat dari substrat Hip-His-Leu yang dikatalisis oleh ACE. Asam hipurat yang dibebaskan oleh ACE ditentukan absorbansinya pada panjang gelombang 228 nm setelah diekstrak dengan etil asetat. Semakin sedikit asam hipurat yang dibebaskan, maka persen penghambatan ACE semakin besar.

Aktivitas penghambatan ACE peptida kolagen disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sampel peptida kolagen dengan konsentrasi 15 mg/ml memiliki persen penghambatan ACE dari 0; 30; 60; 90; 120; 180; 240 menit berturut-turut sebesar 29.23%; 63.59%; 67.93%; 77.00%; 78.58%; 82.31%; dan 80.49%. Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa semakin lama waktu hidrolisis, semakin meningkat pula persen penghambatan ACE. Akan tetapi, setelah 180 menit persen penghambatan ACE mengalami penurunan. Persen penghambatan tertinggi terdapat pada waktu hidrolisis 180 menit yaitu sebesar 82.31% dan terendah pada 0 menit sebesar 29.23%. Perbedaan lama waktu hidrolisis memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata (P < 0,05) terhadap persen penghambatan ACE yang dihasilkan (Lampiran 4). Berdasarkan hasil uji keragaman (ANOVA), dilakukan uji lanjut Duncan. Uji lanjut Duncan menunjukan hasil bahwa tiap perlakuan memberikan kode yang berbeda-beda.

Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah captopril. Captopril dengan konsentrasi 1 mg/ml memiliki persen penghambatan ACE sebesar 90,32%. Apabila dibandingkan dengan kontrol positif, peptida kolagen memiliki persen penghambatan yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan sampel peptida kolagen masih dalam bentuk peptida kasar (crude). Captopril merupakan salah satu obat yang telah digunakan secara komersial untuk menurunkan tekanan darah tinggi. Menurut Bryan (2009), captopril termasuk dalam golongan inhibitor enzim yang bersifat kompetitif karena berikatan langsung dengan sisi aktif enzim.

32

Nilai inhibition concentration 50 (IC50) captopril sebesar 0.02 µM, sedangkan IC50 enalapril sebesar 7.34 µM. Captopril sering digunakan sebagai pembanding dalam uji aktivitas penghambatan ACE peptida baru yang belum diketahui aktivitasnya.

Gambar 8 Aktivitas penghambatan ACE peptida kolagen

Menurut Byun dan Kim (2001), terdapat korelasi antara berat molekul hidrolisat dengan aktivitas penghambatan ACE. Semakin rendah berat molekul suatu peptida maka aktivitas penghambatan ACE akan semakin meningkat. Asam amino aromatis yang memiliki ujung terminal-C dan asam amino alifatik yang memiliki ujung terminal-N mampu berikatan dengan sisi aktif ACE dan bertindak sebagai sebagai inhibitor kompetitif. Abeedin et al. (2013), Zhong et al. (2015), adan Liu et al. (2010) melaporkan kolagen teripang Stichopus sp memiliki komposisi asam amino utama yaitu glisin, prolin, dan alanin. Selain itu juga mengandung asam glutamat. Teripang gama yang digunakan dalam penelitian ini termasuk dalam golongan Stichopus sp sehingga teripang ini juga memiliki komposisi asam amino dominan yang hampir sama. Hidrolisis menyebabkan ikatan peptida kolagen terputus sehingga menghasilkan peptida dengan residu asam amino hidrofobik (prolin, alanin) yang tinggi.

Kapel et al. (2006) menjelaskan bahwa peptida yang memiliki prolin atau residu aromatis pada ujung terminal-C dan residu asam amino hidrofobik pada ujung terminal-N memiliki aktivitas penghambatan ACE yang potensial. Wijesekara et al. (2011) mengungkapkan bahwa peptida dengan residu asam amino hidrofobik seperti valin dan leusin pada ujung terminal-N dan asam amino yang bermuatan positif di tengah juga menunjukan aktivitas penghambatan ACE. Balti et al. (2010) menambahkan bahwa rantai samping asam amino alifatik seperti isoleusin dan valin yang dominan di antara ujung terminal-N asam amino merupakan peptida dengan rantai pendek yang aktif.

Sisi aktif enzim ACE (S1’) lebih disukai oleh residu asam amino hidrofobik seperti leusin, valin, dan alanin. Terlebih lagi, keberadaan fenilalanin pada ujung terminal-C asam amino ketiga lebih dipilih sebagai penghambat ACE

33 (Jung et al. 2006). Peptida bioaktif biasanya mengandung 3-20 residu asam amino. Peptida dengan berat molekul rendah lebih potensial daripada peptida dengan berat molekul tinggi. Peptida yang mengandung prolin, fenilalanin, atau tirosin pada ujung terminal-C dan isoleusin atau valin pada ujung terminal-N menunjukan aktivitas penghambatan yang tinggi. Prolin diketahui dapat lolos dari saluran pencernaan dan mudah masuk ke dalam kapiler pembuluh darah pada sekuens peptida pendek. Meskipun hubungan antara struktur peptida dengan aktivitas penghambatan ACE belum banyak dilaporkan, peptida yang dimurnikan menunjukan beberapa sifat penghambatan yang sama (Pihlanto 2001).

Secara umum, aktivitas penghambatan ACE memiliki 2 mekanisme yaitu bersifat kompetitif dan nonkompetitif. Kim dan Byun (2012) dalam penelitiannya

Dokumen terkait