• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik petani yang diamati dalam penelitian ini adalah karakteristik internal dan karakteristik eksternal yang meliputi : 1) umur, 2) pendidikan formal, 3) pendidikan non formal, 4) pendapatan, 5) luas lahan, 6) status lahan, 7) pengalaman bertani, 8) jumlah tanggungan keluarga, 9) interaksi dengan petani lain, 10) Media informasi. Sebaran petani menurut karakteristik petani dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sebaran petani menurut karakteristik petani No Karakterisitk Internal dan Eksternal Kategori Responden (n) Persen (%) 1 Umur Muda (31- 48 tahun)

Tua (49- 65 tahun)

18 12

60 40 2 Pendidikan formal Tidak sekolah – Tidak tamat SD

Tamat SD – Tamat SMA

3 27

10 90 3 Pendidikan non Formal Tidak pernah

Pernah 10 20 33 67 4 Pendapatan Rendah (Rp. 1.075.000- Rp.2.384.150) Tinggi (Rp.2.384.151- Rp.8.000.000) 22 8 73 27 5 Luas lahan Sempit (0,175- 0,5039 ha)

Luas (0.5040- 1,65 ha)

22 8

73 27 6 Status lahan Pemilik

penyewa

5 25

17 83 7 Pengalaman bertani Rendah (2- 20 tahun)

Tinggi (21- 45 tahun) 16 14 53 47 8 Jumlah tanggungan keluarga Sedikit (1-4 orang) Banyak (5 - 6 orang) 20 10 67 33 9 Interaksi dengan petani

lain Rendah (≤2 kali/bulan) Tinggi (>2 kali/bulan) 22 8 73 27 10 Media Informasi Tersedia

Tidak tersedia 29 1 97 3 Keterangan : n = 30

Umur

Tabel 1 menunjukkan umur petani yang menggunakan pupuk kompos berkisar antara 31-48 tahun dan termasuk dalam kategori muda ( 60%) dan (40%) berkategori tua. Secara umum Tabel 1 menunjukkan bahwa petani sebagian besar termasuk ke dalam kelompok berusia muda. Mayoritas anggota petani yang menggunakan pupuk kompos kotoran ternak P4S Bumi Lestari berusia antara 31-48 tahun dan sebagian kecil berusia tua antara 49-65 tahun. Semakin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui. Dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun mereka sebenarnya masih belum berpengalaman dalam adopsi inovasi tersebut (Soekartawi, 1988). Mengacu pada pendapat tersebut, petani yang menggunakan pupuk kompos kotoran ternak mayoritas berusia muda sehingga dapat dikatakan berpotensi untuk menerima inovasi dengan cepat.

Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan formal petani umumnya tergolong tinggi (90%) tamat SD. Latar belakang pendidikan formal petani yang relatif dapat baca tulis ini sangat potensial untuk dikembangkan dan dibina sumberdayanya lebih lanjut yang merupakan modal mereka untuk lebih terbuka terhadap adopsi inovasi. Tingkat pendidikan responden tersebut akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap inovasi. Seperti yang diungkapkan Hadi dalam Witjaksono (1990) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring, dan menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya.

Pendidikan Non Formal

Sebagian besar petani (67%) pernah mengikuti pendidikan non formal, sebagian kecil ( 33%) yang tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. Dengan demikian mayoritas petani memiliki pengalaman mengikuti pendidikan non-formal yang didapat adalah dengan mengikuti kursus atau pelatihan pembuatan pupuk kompos kotoran ternak, selain itu mereka juga pernah mengikuti pelatihan menjalankan traktor, sehingga hal tersebut akan memberi pengetahuan yang baru terhadap petani.

Pendapatan

Tingkat pendapatan petani sebagian besar (73%) dengan rata-rata pendapatan Rp. 2.384.150 kisaran terendah Rp. 1.075.000 dan tertinggi Rp. 8.000.000. Hasil tersebut memperlihatkan adanya variasi pendapatan. Variasi pendapatan tersebut menurut Hermawanto (1993) sangat tergantung oleh berbagai faktor antara lain : 1) faktor yang berhubungan dengan luas penguasaan lahan garapannya, yang mempunyai lahan lebih luas akan mampu memproduksi lebih besar dan penghasilannya juga relatif lebih tinggi, 2) status pemilikan lahannya, yang mempunyai status pemilik akan lebih besar penghasilannya, 3) faktor yang berhubungan dengan jenis cabang usahatani atau usahaternak yang dikerjakan akan mempunyai penghasilan yang lebih besar, 4) macam pekerjaan tambahan yang diperoleh oleh petani, faktor ini memberikan penghasilan yang besarnya bergantung pada skala usaha yang dijalankan.

Luas Lahan

Rata-rata luas lahan yang digarap untuk usahatani dan ternaknya 0,5039 ha, dengan kisaran luas lahan paling sempit 0,175 ha dan terluas 1,65 ha. Pada umumnya petani mempunyai luas lahan yang sempit (73%) dan selebihnya memiliki luas lahan yang luas (27%). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani yang menggarap lahan yang luas umumnya mempunyai status sosial ekonomi yang lebih baik dan lebih banyak dapat memanfaatkan lahannya untuk usaha tani sehingga produksi yang dihasilkan lebih tinggi

Status Lahan

Status lahan yang digarap sebagian besar (83%) adalah pemilik, sisanya sebanyak (17%) adalah lahan sewaan. Faktor ini dapat menjadi salah satu pendukung tambahan mereka, karena yang mempunyai status pemilik lahan akan relatif lebih besar penghasilannya.

Pengalaman Bertani

Keseluruhan responden dalam penelitian ini mayoritas (53%) memiliki pengalaman yang rendah ( 2-20 tahun). Sedangkan yang berada dalam kisaran (21-45 tahun) tergolong memiliki pengalaman yang tinggi sebesar (47%). Faktor fungsional

yang mempengaruhi persepsi berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal- hal lain yang termasuk ke dalam faktor pribadi ( Rakhmat, 2004)

Jumlah Tanggungan Keluarga

Mayoritas petani (67%) memiliki jumlah tanggungan keluarga yang masuk kategori kecil, sementara (33%) memiliki jumlah tanggungan keluarga yang besar. Besar kecilnya jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi petani dalam mempertimbangkan keputusan dalam menjalankan usaha taninya. Seperti diungkapkan oleh Soekartawi (1988) bahwa anggota keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi.

Interaksi dengan Petani Lain

Interaksi dengan petani lain sebagian besar tergolong rendah sebanyak 70%, sedangkan 30 % tergolong tinggi, ini dikarenakan mereka kumpul dengan petani lain dalam kelompok tani hanya setiap dua minggu sekali. Interaksi yang dimaksud adalah petani membicarakan masalah bidang pertanian dengan petani lain, disini mereka saling tukar pikiran atau tukar informasi.

Media Informasi

Sebagian besar petani mengetahui akan pupuk kompos kotoran ternak sebesar (97%) dari media yang disediakan yaitu berupa leaflet, dan hanya (3%) yang tidak mengetahuinya.

Persepsi Petani terhadap Inovasi Untuk Menggunakan Pupuk Kompos Kotoran Ternak

Persepsi petani terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak dalam penelitian ini terdiri dari lima butir, yaitu : 1) persepsi terhadap keuntungan relatif (manfaat ekonomis, manfaat/ kelebihan teknis), 2) persepsi petani terhadap tingkat kesesuaian (kondisi lingkungan, adat istiadat, kebutuhan), 3) persepsi petani terhadap tingkat kerumitan ( penggunaan), 4) persepsi petani terhadap tingkat kemudahan dapat dicobanya suatu inovasi (di coba dalam skala kecil), 5) persepsi petani terhadap tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya (produksi (hasil), kualitas produksi (mutu)). Rogers (1983) menyebutkan bahwa kelima ciri inovasi tersebut sama-sama penting. Persepsi petani terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak dapat disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Rataan skor persepsi petani terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak

No Variabel Dimensi variabel Rataan skor

1 Keuntungan relatif 1.1Manfaat ekonomis 1.2Manfaat kelebihan teknis

2,73 2,42 2 Kesesuaian 2.1 Kondisi lingkungan

2.2 Kebiasaan / adat istiadat 2.3 Kebutuhan

3,00 2,73 2,90

3 kerumitan 3.1 Penggunaan 2,90

4 T.Kdapat dicoba 4.1 Dicoba dalam skala kecil 2,90 5 T.Kdapat dilihat hasilnya 5.1 Produksi 5.2 Kualitas produksi 2,80 2,73 Keterangan : T.K = Tingkat Kemudahan

Kisaran skor yang digunakan adalah

1.1),1.2) 1 = mahal, 2 = sama saja, 3 = murah

2.1), 2.2),2.3) 1 = kurang sesuai, 2 = cukup sesuai, 3 = sangat sesuai 3.1) 1 = sulit, 2 = sama saja, 3 = mudah

4.1) 1 = tidak dapat dicoba, 2 = cukup dapat dicoba, 3 = dapat dicoba 5.1) 1 = kurang terlihat, 2 = cukup terlihat, 3 = sangat terlihat 5.2) 1 = kurang baik, 2 = cukup baik, 3 = sangat baik Persepsi Petani terhadap Keuntungan Relatif

Rogers (1983) beranggapan bahwa keuntungan relatif suatu tidak hanya dalam soal keuntungan finansial, tetapi juga segi-segi sosial (gengsi), preferensi (rasa enak dan kurang enak), teknis, dan kepraktisan (mudah sulitnya digunakan). Keuntungan relatif suatu inovasi adalah tingkatan dimana suatu ide baru dapat dianggap suatu hal yang lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya, dan secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan relatif dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1) manfaat ekonomis adalah keuntungan atau pendapatan yang diperoleh dengan adanya inovasi, 2) manfaat/ kelebihan teknis adalah keuntungan dari peningkatan hasil dan dari segi biaya. Suatu inovasi akan cepat diadopsi apabila inovasi tersebut memberikan keuntungan yang lebih baik dibanding teknologi yang ada sebelumnya.

Berdasarkan pada Tabel 2, rataan skor mengenai manfaat ekonomis adalah 2,73. Nilai tersebut mempunyai arti petani menyatakan bahwa dari manfaat ekonomis inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak dianggap mempunyai manfaat yang lebih baik dan harganya murah dibandingkan dengan

menggunakan pupuk kimia. Satu kwintal pupuk kompos kotoran ternak produk P4S Bumi Lestari seharga Rp.35.000,-, sedangkan pupuk Urea Rp.1.200,-/kg, ZA Rp. 1.050,-/kg, SP-36 Rp.1.550,-/kg, NPK Phonska Rp.1.750,-/kg, NPK Pelangi Rp.2.500,-/kg dan NPK Mutiara Rp.4.000,-/kg. Rataan skor mengenai manfaat atau kelebihan teknis adalah 2,42. Nilai tersebut menunjukkan petani menganggap bahwa inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak sama saja dengan penggunaan pupuk kimia.

Persepsi Petani terhadap Kesesuaian

Hanafi (1987) mengatakan bahwa suatu inovasi adalah sejauh mana inovasi dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman masa lalu dan kebutuhan penerima. Kesesuaian suatu inovasi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu 1) kondisi lingkungan adalah keadaan tempat tinggal petani, 2) adat istiadat adalah tata cara, nilai budaya atau kebiasaan petani, 3) kebutuhan adalah keinginan yang cocok dengan kondisi petani. Ide yang tidak sesuai dengan ciri-ciri sistem sosial yang menonjol akan tidak diadopsi secepat ide yang sesuai. Berdasarkan Tabel 2, rataan skor untuk kesesuaian inovasi dalam menggunakan pupuk kompos kotoran ternak terhadap kondisi lingkungan adalah 3,00. hal ini menunjukkan kondisi lingkungan sangat sesuai dalam penerapan inovasi pupuk kompos kotoran ternak. Sangat cocoknya kondisi lingkungan ini didukung oleh bahan baku pembuatan pupuk kompos kotoran ternak yaitu kotoran ternak yang sangat melimpah di daerah tersebut. Selain itu dalam pengolahannya dapat meningkatkan nilai tambah kotoran ternak juga mengurangi tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh kotoran ternak.

Rataan skor mengenai adat istiadat adalah 2,73. hal ini menunjukkan bahwa inovasi pupuk kompos kotoran ternak merupakan inovasi yang konsisten dengan nilai budaya serta tidak bertentangan dengan adat kebiasaan masyarakat.

Rataan skor mengenai kebutuhan adalah 2,90. hal ini menunjukkan dalam penggunaan pupuk kompos kotoran ternak sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau petani setempat. Sehingga ketersediaan pupuk kompos kotoran ternak sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi tanamannya.

Persepsi Petani terhadap Tingkat Kerumitan

Rogers (1983), menyebutkan tingkat kerumitan inovasi adalah kesulitan yang dipersepsi dari inovasi itu untuk bisa dimengerti atau untuk bisa dilakukan oleh

adopters-nya. Tingkat kerumitan untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak di antaranya yaitu penggunaan. Berdasarkan pada Tabel 2, rataan skor inovasi untuk menggunakan pupuk kompos terhadap pengoperasian adalah 2,9. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kompos kotoran ternak mudah untuk dilakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pupuk kompos kotoran ternak merupakan inovasi yang sederhana untuk dilakukan, cara penggunaannya tidak sulit.

Persepsi Petani terhadap Tingkat Kemudahan Untuk Dicoba

Menurut Hanafi (1987), tingkat kemudahan untuk dicoba adalah suatu tingkat di mana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dulu. Berdasarkan pada Tabel 2, rataan skor inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak tentang dapat dicobanya inovasi dalam skala kecil adalah 2,90. Hal tersebut menunjukkan bahwa pupuk kompos kotoran ternak merupakan inovasi yang dapat dicoba dalam skala kecil.

Persepsi terhadap Tingkat Kemudahan Untuk Dilihat Hasilnya

Rogers (1983) mengemukakan bahwa tingkat kemudahan suatu inovasi untuk dilihat hasilnya adalah derajat di mana hasil inovasi itu dapat dilihat atau dirasakan oleh penganut yang berpotensi( potential adopter). Tingkat kemudahan untuk dapat diamati dibedakan menjadi dua macam, yaitu 1) produksi adalah hasil yang diperoleh dari penggunaan pupuk kompos kotoran ternak, 2) kualitas produksi adalah mutu yang dihasilkan dari produksi.

Berdasarkan Tabel 2, rataan skor inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak tentang produksi adalah 2,8. Hal tersebut menunjukkkan bahwa produksi (hasil) sangat terlihat, karena dalam tiap musim panen produksi mereka mengalami peningkatan dibandingkan sebelum menggunakan pupuk kompos kotoran ternak.

Rataan skor mengenai kualitas produksi (mutu) adalah 2,73. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk kompos kotoran ternak dari kotoran ternak mempunyai mutu yang sangat baik dibandingkan pemberian pupuk dengan menggunakan pupuk kimia.

Hubungan Antara Karakteristik Petani dengan Persepsi Petani Terhadap Inovasi Untuk Menggunakan Pupuk Kompos Kotoran Ternak

Hasil analis uji rank Spearman antara karakteristik internal dan eksternal petani dengan persepsi petani terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan Antara Karakteristik Internal dan Eksternal dengan Persepsi Petani Terhadap Inovasi Untuk Menggunakan Pupuk Kompos Kotoran Ternak

Karakteristik internal dan eksternal

Koefisien korelasi rank Spearman (rs)

Persepsi terhadap inovasi penggunaan pupuk kompos kotoran ternak Keuntungan relatif T. Kesesuaian T. Kesederha naan T. K. untuk Dicoba T. K. untuk dilihat hasilnya rs rs rs rs rs Umur 0,291 0,387* 0,357 -0,148 -0,215 Pendidikan formal -0,062 -0,111 -0,089 0,259 0,342 Pendidikan non formal -0,131 -0,236 -0,189 0,236 0,279

Pendapatan 0,161 0,193 0,325 -0,173 0,027

Luas lahan -0,118 -0,019 -0,116 -0,148 0,041 Status lahan -0,083 -0,149 -0,120 -0,149 -0,035 Pengalaman bertani 0,097 0,239 0,388* -0,142 -0,211 Jumlah tanggungan keluarga 0,275 0,219 0,066 -0,130 -0,024 Interaksi dengan petani lain 0,049 0,248 0,263 0,022 0,139 Media informasi -0,034 -0,062 -0,050 0,557** 0,337 Keterangan : T.K : Tingkat Kesesuaian

*

nyata pada α = 0,05 **

sangat nyata pada α = 0,01

Keeratan hubungan pada kolom persepsi terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak dibagi dalam empat area, yaitu : tidak ada hubungan/hubungan lemah ( rs = 0,00–0,25 ), hubungan cukup erat (rs = 0,26–0,50 ), hubungan erat ( rs = 0,5–0,75 ), hubungan sangat erat (rs = 0,76–1,00) ( Colton dalam Hastono, 2001).

Umur

Hasil analisis korelasi rank Spearman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa umur mempunyai hubungan yang cukup erat dengan persepsi terhadap tingkat kerumitan dan umur memiliki hubungan tidak nyata dengan semua persepsi tentang penggunaan pupuk kompos kotoran ternak, kecuali pada tingkat kesesuaian. Umur berhubungan nyata positif dengan persepsi tentang tingkat kesesuaian, artinya seiring bertambahnya umur maka tingkat kesesuaian akan semakin meningkat. Kondisi ini

mendukung pendapat Gonzales ( Jahi,1988) bahwa pengadopsian inovasi yang lebih cepat mungkin saja berusia muda atau tua.

Pendidikan Formal

Pendidikan formal memiliki hubungan lemah dengan persepsi tentang penggunaan pupuk kompos kotoran ternak, kecuali pada tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya yang memiliki hubungan yang cukup erat dan positif. Petani yang berpendidikan lebih tinggi memiliki persepsi tentang tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya yang lebih baik dibanding petani yang berpendidikan rendah. Korelasi tersebut mendukung dengan pendapat Soekartawi (1988) yang menyebutkan bahwa mereka yang berpendidikan tinggi lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah agak sulit melakukan adopsi inovasi dengan cepat.

Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal memilikim hubungan lemah dengan persepsi tentang penggunaan pupuk kompos kotoran ternak, namun pada tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya memiliki hubungan yang cukup erat dan positif (rs 0,279). Hal ini sesuai dengan pengamatan di lapangan bahwa sebagian besar petani baik yang pernah mendapatkan pendidikan non formal atau tidak semua cenderung memberikan persepsi yang positif terhadap inovasi penggunaan pupuk kompos kotoran ternak.

Pendapatan

Pendapatan berkorelasi positif pada persepsi keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya dan berkorelasi negatif pada persepsi tingkat kemudahan untuk dicoba, dan pada tingkat kerumitan mempunyai hubungan yang cukup erat dan positif. Artinya besar kecilnya penghasilan tidak berpengaruh terhadap persepsi tentang penggunaan pupuk kompos kotoran ternak.

Luas Lahan

Luas lahan berkorelasi negatif pada persepsi keuntungan relatif, tingkat kesesuaian, tingkat kesederhanaan, kemudahan untuk dicoba, dan berkorelasi positif pada tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya, namun korelasinya lemah sehingga dapat dikatakan bahwa luas lahan mempunyai hubungan yang tidak nyata artinya ada

hubungan yang tidak nyata di antara petani yang memiliki luas lahan sempit maupun sebaliknya dengan persepsi terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak. Hal ini diduga karena penguasaan lahan garapan yang tersebar merata dengan rata-rata luas lahan 0,5039 ha dan terluas 1,65 ha.

Status Lahan

Status lahan tidak mempunyai hubungan yang nyata dengan persepsi terhadap inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan persepsi terhadap pupuk kompos kotoran ternak diantara petani yang status lahannya penyewa atau pemilik.

Pengalaman Bertani

Hasil analisis korelasi rank Spearman menunjukkan bahwa pengalaman bertani memiliki hubungan tidak nyata denagn persepsi inovasi untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak kecuali pada tingkat kerumitan (rs 0,388). Pengalaman bertani berhubungan nyata dan positif dengan persepsinya tentang tingkat kesederhanaan, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi tentang tingkat kesederhanaan seiring dengan bertambahnya pengalaman.

Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga mempunyai hubungan cukup erat dan positif dengan persepsinya tentang keuntungan relatif, dan berhubugan lemah dengan tingkat kesesuaian, tingkat kerumitan, tingkat kemudahan untuk dicoba dan tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya. Artinya banyak sedikitnya jumlah tanggungan keluarga ternyata tidak memberikan pengaruh yang berarti pada persepsi petani untuk menggunakan pupuk kompos kotoran ternak.

Interaksi dengan Petani Lain

Interaksi dengan petasni lain mempunyai hubungan yang cukup erat dan positif dengan persepsinya tentang tingkat kerumitan, dan berhubungan lemah dengan tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya, artinya sering tidaknya petani berinteraksi dengan petani lain tidak memberikan pengaruh yang berarti pada persepsi petani terhadap penggunaan pupuk kompos kotoran ternak.

Media Informasi

Hasil analisis media informasi mempunyai hubungan sangat nyata dan positif pada tingkat kemudahan untuk dicoba (rs 0,557), hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak media informasi yang didapat atau diperoleh maka inovasi itu dianggap mudah untuk dimengerti dan digunakan oleh petani, dan mempunyai hubungan yang cukup erat dan positif dengan persepsinya tentang tingkat kemudahan untuk dilihat hasilnya (0,337).

Dokumen terkait