• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas sponge

Gambar 12. Sponge N6 (a) dan spikula silika dari sponge N6 pada perbesaran 4x (b) dan spikula silika sponge T. aurentia (Weaver et. al. 2003)(c)

Sponge N6 di permukaan air terlihat pada ga mbar 12a. diambil dari perairan pulau Nias pada kedalaman ± 10-15 m. Sponge ini mempunyai ciri fisik berwarna merah kehijauan, berrongga, berbentuk bongkahan, tidak terlalu padat dan spikulanya tajam. Jika dibelah, bagian dalamnya berwarna oranye dan berbau amis. Sebagian besar sponge tidak berbahaya jika dipegang, akan tetapi ada beberapa spesies yang mempunyai spikula yang keras dan tajam yang dapat

1 mm

a b

menembus kulit yang dapat menyebabkan iritasi, demam, dan bengkak pada kulit manusia. Ciri ini dimiliki oleh sponge N6 yang jika dipegang tajam dan spikulanya dapat menembus kulit dan menyebabkan iritasi. Iritasi yang disebabkan oleh senyawa kimia, spikula atau keduanya seperti pada sponge dari genus Tedania yang sering disebut fire sponge.

Pada gambar 12b. terlihat bahwa sponge N6 hanya mempunyai satu bentuk spikula yaitu spikula berbentuk jarum (monakson) dengan panjang 1-1.2 cm dan diameter sekitar 10 µm. Bentuk spikula silika ini seperti spikula yang ditemukan pada sponge T. aurentia yang mempunyai diameter ∼ 30 µm dan panjang 2 mm (Gb. 12c) (Weaver et.al. 2003). Spikula silika dari sponge N6 merupakan spikula silika terbesar diantara spikula silika lain yang diisolasi. Spikula silika N6 cukup jelas terlihat hanya dengan perbesaran 4 kali. Dari hasil pengamatan mikroskop nampak bahwa Spikula silika silika berwarna bening sekali sehingga protein yang ada di dalamnya terlihat jelas.

Gambar 13. Sponge N20 (a) dan spikula silika silika dari sponge N20 pada perbesaran 200x (b)

Sponge N20 yang nampak pada gambar 13a. juga berasal dari perairan pulau Nias yang diambil pada kedalaman laut ± 10-15 m. Ciri fisik sponge ini adalah berwarna merah kehijauan, berbau amis, bercabang-cabang, berduri, pipih, berstruktur lembek dan tidak padat. Sponge ini berrongga dan mengeluarkan cairan berwarna merah

Berbeda dengan bentuk spikula silika dari sponge N6, spikula silika N20 (Gb.13b) mempunyai bentuk jarum yang melengkung. Dari hasil isolasi, hanya

1 mm

b a

ditemukan satu bentuk spikula silika yang tergolong megasclere dengan panjang 1.5-1.8 mm dan diameter 10–15 µm. Spikula silika dari sponge N20 ini terlihat berwarna bening dan membungkus agregat protein.Untuk memisahkan spikula silika dari sponge N20 dari kotoran lain masih sulit karena banyaknya lendir yang dikeluarkan yang tidak bisa dilarutkan dengan NaOCl, maupun H2SO4 dan HNO3.

Jika dilihat dari rendemen spikula silikanya yang sangat kecil, kemungkinan sponge N20 tergolong Calcareous sponge. Sponge yang termasuk dalam klas ini memiliki ciri tidak kaku karena tidak memiliki spongin dan kolagen. Di lautan tropis, sponge ini sebagian besar dapat ditemukan di permukaan terumbu karang vertikal (Thomas 1979).

Tiga sampel sponge berikutnya yaitu MT5, MT36 dan MT37 diambil dari perairan Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada lokasi GPS S 8o 24’1.69’’ dan E 116o 4’29.8’’. Berdasarkan parameter stasiun lingkungan Kodex, kondisi perairan tempat hidup ketiga sponge tersebut mempunyai salinitas 32 ppm, temperatur 28oC, pH 9.1, kejernihan dapat terlihat sampai kedalaman 9 m.

Gambar 14.Sponge MT5 dibawah permukaan air (a) dan di atas permukaan air (b) Pada gambar 14b. terlihat sponge MT5 yang mempunyai ciri fisik yaitu berbau amis, berwarna hitam, berrongga dan bercabang-cabang. Sponge ini berstruktur keras tapi tidak padat dan mengeluarkan cairan kental berwarna merah bening. Seperti terlihat pada gambar 15, nampak bahwa panjang spikula silika MT5 bervariasi dari 1–3 mm. Sedangkan besar diameter spikula silika berkisar ~10–20 µm. Spikula silika dari sponge MT5 berbentuk jarum, berwarna bening dan didalamnya terlihat adanya agregat protein yang berwarna hijau.

Gambar 15. Bentuk spikula silika silika MT5 perbesaran 200X

Sponge MT36 (Gb16a.) juga berasal dari perairan Lombok pada kedalaman kedalaman ± 17 m. Sponge ini berwarna abu-abu, berrongga, berstruktur kaku dan agak padat. Sponge ini berbau amis dan mengeluarkan getah berwarna putih kental dan lengket. Dilihat dari teksturnya yang remah (mudah dipatahkan dengan tangan dan patahannya berbentuk serpihan, diduga sponge MT36 ini juga masuk dalam klas Calcareous. Spikula silika dari sponge MT36 (Gb.16b) juga berbentuk jarum dan terlihat sangat bening sehingga protein yang ditunjuk tanda panah yang terbungkus dapat diamati. Spikula silika MT36 berukuran panjang berkisar 1-2 mm dan diameter berkisar 10-20 µm.

Gambar 16. Sponge MT36 (a) dan bentuk spikula silika sponge MT36 dengan perbesaran 200X (b)

Sponge MT37 (Gb.17) yang berasal dari perairan Lombok terlihat berwarna abu-abu kehijuaan. Sponge ini berbau amis, berbentuk pipih, berstruktur

1 mm

1 mm

keras dan padat. Dilihat dari ciri fisik sponge dan kandungan spikula silikanya yang cukup tinggi, diduga sponge MT37 ini tergolong dalam sponge klas Demospongiae. Seperti dua sponge yang lain, spikula silika dari MT37 berbentuk jarum dengan panjang berkisar antara 1-5 mm, sedangkan diameternya 10-20 µm. Tanda panah pada Gambar 17B. menunjukkan adanya agregat protein di dalam spikula silika ini.

Gambar 17. Sponge MT37(a) dan bentuk spikula silika MT5 perbesaran 200X(b)

Sponge dapat menjadi rumah berbagai macam binatang seperti kepiting, udang, remis, cacing, bintang laut, holthurians, dan sponge yang lain. Dan yang penting lagi, sejumlah besar mikroba yang tak terlihat mata juga hidup di canal sponge, baik diantar sel maupun di dalam sel. Hal ini menunjukkan adanya hubungan simbiosis mutualisme karena adanya ketergantungan nutrisi antara sponge dan mikroba. Warna merah marun dan kehijauan yang terlihat pada permukaan sponge N6, N20, MT36 dan MT37 ditimbulkan oleh adanya mikroba- mikroba yang dapat memantulkan cahaya (light-loving). Dalam keadaan gelap atau tidak ada cahaya, mikroba mati sehingga warna pada permukaan sponge menghilang (Thomas 1979). Selain itu warna hijau dari sponge dapat juga disebabkan karena adanya alga yang bersimbiotik (zoochlorellae) di dalam sponge (Brusca and Brusca 1990).

a b

Tabel 3. Ciri Fisik Sponge dan Spikula

Spikula Silika Ukuran Sponge Lokasi perairan Ciri Fisik

Bentuk Panjang (mm)

Diameter (µm) N6 Nias Berwarna merah kehijauan, berrongga,

berbentuk bongkahan, tidak terlalu padat dan spikula silikanya tajam. Jika dibelah, bagian dalamnya berwarna oranye dan berbau amis.

Monakson (jarum)

100.0-120.0 10.0

N20 Nias Berwarna merah kehijauan,

berongga,berbau amis, bercabang-cabang, berduri, pipih, berstruktur lembek dan tidak padat. Sponge ini mengeluarkan cairan berwarna merah

Monakson (jarum)

1.5-1.8 10.0-15.0

MT5 Lombok Berwarna hitam, berrongga, berbentuk gelondongan dan bercabang-cabang. Sponge ini berbau amis, berstruktur keras tapi tidak padat dan mengeluarkan cairan kental berwarna merah bening.

Monakson (jarum)

1.0–3.0 10.0-20.0

MT36 Lombok Berwarna abu-abu, berrongga, berstruktur kaku dan agak padat. Sponge ini berbau amis dan mengeluarkan getah berwarna putih kental dan lengket.

Monakson (jarum)

1.0-2.0 10.0-20.0

MT37 Lombok Berwarna abu-abu kehijuaan, berrongga, berbau amis, berbentuk pipih, berstruktur keras dan padat.

Monakson (jarum)

1.0–5.0 10.0-20.0

Rendemen Spikula Silika

Spikula silika diisolasi dari jaringan mesohyl sponge menggunakan pelarut natrium hidroklorit (NaOCl) dan asam pekat secara bertahap. Larutan NaOCl dapat merusak jaringan sponge sehingga spikula silika terlepas dari tubuh sponge. Larutan Natrium hipoklorit mendegradasi karbohidrat kompleks, seperti selulosa, lignin yang berada di tubuh sponge. Selain itu NaOCl juga dapat melarutkan kalsium karbonat dari spikula kalsium carbonate yang terlihat dari timbulnya buih pada saat perendaman potongan sponge dengan NaOCl. Larutan asam pekat HNO3/H2SO4 dapat melarutkan lemak, protein lain dan pecahan sel, sehingga

bagian yang tidak larut asam akan tertinggal di wadah. Spikula silika yang diperoleh setelah tahap ini akan berwarna putih bersih.

Komposisi silika spikula merupakan lapisan dari polimer silikon dioksida ini menghambat beberapa senyawa yang berukuran besar untuk menembus masuk ke dalam lapisan silika. Komposisi dan struktur inilah yang diharapkan untuk aplikasi polimer silika pada food packaging maupun beberapa peralatan.

3.11 0.30 8.93 7.32 52.18 13.90 75.30 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 % Rendemen Spikula Kering N6 N20 MT5 MT36 MT37 ST1 T.aurenti Sampel sponge

Gambar 18. Perbandingan rendemen spikula silika dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37, (2)ST1 (Nurjanah 2006) dan (1)T. aurentia (Shimizu et.al 1998)

Pada grafik (Gb.18) terlihat bahwa rendemen spikula yang diperoleh dari sponge N6, N20, MT5, MT36 adalah 3.11%, 0.30%, 3.93% dan 7.32 % dari berat kering spongenya. Rendahnya rendemen spikula silika yang diperoleh dari sponge N20, MT5 dan MT36 diduga karena kandungan spikula silika dari sponge ini rendah dan lebih banyak mengandung spikula karbonat. Rendemen tertinggi

spikula silika diperoleh dari sponge MT 37 yaitu sebesar 51.8%. Pada penelitian ini untuk mengisolasi spikula silika dilakukan perendaman dengan NaOCl selama 1 jam sambil digoyang dan pelarut diganti sebanyak 3 kali. Dengan penggantian pelarut sebanyak 3 kali diharapkan rendemen spikula silika yang diperoleh lebih banyak, sedangkan kontak waktu 1 jam diharapkan kondisi protein dapat terjaga dari pelarut. Rendemen spikula silika yang diperoleh lebih banyak dibanding dengan spikula silika yang diperoleh dari sponge ST1 yaitu 13.9%. Akan tetapi jika dibandingkan dengan rendemen spikula dari sponge T. aurentia yaitu sebesar 75.3% dari berat kering sponge (Shimizu et al. 1998), rendemen spikula spponge MT37 lebih rendah.

Isolasi dan Bentuk Protein Serupa Silicatein

Untuk mengeluarkan protein dilakukan pelepasan silika penyusun spikula dengan menggunakan larutan buffer 2M Hidrogen Fluorida (HF) dan 8M

Amonium Fluorida sambil distirer di ruang dingin selama 2 jam. Kedua pelarut merupakan pelarut silika yang kuat. Senyawa HF dihasilkan dari reaksi senyawa fluorite (misalnya kalsium fluorite) dengan H2SO4 melalui reaksi double

replacement (Chemtutor 1997). Aktivitas senyawa kimia ini mampu menyerang elektron yang sangat ekstrim (sangat elektronegatif) dan mempunyai ukuran atom (ion F-) yang sangat kecil. Karena ukurannya yang sangat kecil, ia dapat membentuk kompleks yang sangat stabil dengan bebrapa ion positif seprti Si4+ dan Al3+ membentuk kompleks hexafluorida (IV) SiF62-) atau hexaflurida (III)

(AlF63-) (Encyclopedia Britanica 1997).

Senyawa HF ini mampu menyerang ikatan Si dan O2 dari polimer SiO2 (silika spikula) sehingga polimer silika terdgradasi dan atom Si mebentuk kompleks dengan flurite dari HF membentuk hexafluoride(IV) (SiF62-). Proses ini

dibantu dengan pengadukan dan goyangan. Untuk menjaga aktivitas protein yang diisolasi dengan larutan 2M HF yang memiliki pH kurang dari 1, maka digunakan garam 8M NH4F sehingga diperoleh larutan buffer yang memiliki pH 5. pH 5 ini diduga merupkan titik isoelektrik protein silicatein yang sama dengan titik isoelektrik kebanyakan protein cathepsin- L. Pada pH isoelektrik, umumnya

protein ini mempunyai kelarutan yang paling rendah, sehingga protein mudah diendapkan.

Untuk mengeluarkan kompleks hexafluride(IV), maka dilakukan dialisis. Telah diketahui protein silicatein dari T. aurentia memiliki berat molekul 27-29 kD sehingga untuk dialisis digunakan kantong dialisis ukuran cut off 10 kD agar protein tidak ikut keluar dari membran. Pada proses ini terjadi difusi senyawa berukuran lebih kecil dari cut off membran dari konsentrasi yang ke konsntrasi yang rendah (Blaber 1998).

Gambar 19. (1)Agregat protein sponge T. aurentia (a) (Shimizu et.al. 1998),N6 (b), N20 (c), MT5 (d), MT36 (e), MT37 (f) pada perbesaran 400x

d e 1 mm b 1 mm 1 mm a 1 mm c f 1 mm

Dari hasil pengamatan secara mikroskopis yang terlihat pada gambar 19. bahwa bentuk protein serupa silicatein dari kelima sampel sponge berbentuk batang atau filamen. Filamen protein N6, N20, MT5, MT36 mempunyai ukuran yang hampir sama yaitu ∼ 20-30 µm dan diameter ∼ 2 µm (Gb. 19b). Sedangkan filamen protein dari sponge MT37 mempunyai panjang ∼ 50 µm dan diameter 1 µm (Gb. 19f). Panjang filamen protein yang diperoleh berbeda dengan panjang filamen protein dari T. aurentia memiliki panjang 2 mm yang sama dengan panjang spikulanya, sedangkan diameter protein hampir sama yaitu ∼ 1 µm (Gb.19a) (Shimizu et al. 1998). Hal ini kemungkinan disebabkan filamen protein terpotong-potong oleh batang magnetic stirer saat pelarutan dengan buffer HF/NH4F sehingga panjang protein yang diperoleh bervariasi.

Jumlah Agregat Protein Serupa Silicatein dalam Larutan

Hasil analisa ini diperkuat dengan penghitungan jumlah agregat protein serupa silicatein menggunakan Haemocytometer, dimana jumlah agregat protein tertinggi diperoleh dari sponge MT37 yaitu 2.2x108/ml. Dari sponge N6 diperoleh agregat protein sebanyak adalah 3.3 x 106/ml. Sponge N20 dan MT5 mempunyai jumlah agregat protein yang sama yaitu 2.3 x 106/ml dan dari sponge MT36 diperoleh jumlah agregat protein sebanyak 5 x 105/ml. Kuantifikasi jumlah agregat protein silicatein dari sponge T. aurentia dinyatakan dalam berat yaitu 0.0058 g dari 7.3 g berat kering sponge atau rendemen agregat proteinnya sebsesar 0.11% dari berat kering sponge (Shimizu et.al.1998).

0 5 10 15 20 25 N6 N20 MT5 MT36 MT37 ST1 Sampel sponge Jumlah filamen protein/ml (x10

6 )

Gambar 20. Grafik perbandingan jumlah agregat protein dari sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37 dan (1) ST1 Nurjanah (2006)

Konsentrasi Protein Serupa Silicatein

Pada tabel 4. diperlihatkan hasil analisa kadar protein serupa silicatein menggunakan metode Bradford yang dapat mendeteksi sampai dengan 5µg/ml. Prinsip metode ini adalah pengikatan pewarna pada ikatan glikosidik dan aromatik dari protein. Sampel yang mengandung kadar protein tertinggi adalah sponge MT37 yaitu sebanyak 0.12 mg. Sedangkan agregat protein dari sponge N6, MT5, MT36 secara berturut-turut adalah 0.013 mg, 0.042 mg dan 0.05 mg.

Tabel 4. Konsentrasi protein serupa Silicatein

(1) Shimizu et. al (1998)

Rendemen protein serupa silicatein tertinggi diperoleh dari sponge MT37 yaitu 0.006% dari berat kering spikula, sedangkan protein silicatein dari sponge

T.aurentia adalah 0.1% dari berat kering spikulanya (Shimizu et. al. 1998), sehingga kandungan protein dari kelima sampel jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi protein silicatein sponge T. aurentia (Gb. 24).

0,001 0,004 0,003 0,006 0,100 - 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 N6 N20 MT5 MT36 MT37 T.aurentia Sponge Rendemen protein (%)

Gambar 21. Perbandingan konsentrasi protein serupa silicatein sponge N6, N20, MT5, MT36, MT37 dan (1)protein silicatein T.aurentia(Shimizu et.al. 1998)

Sponge Berat kering

spikula [Protein]

Yield protein/berat kering spik ula (g) (g/ml) (%) N6 1,0 0,000013 0,001 N20 0.9 td td MT5 1,0 0,000042 0,004 MT36 2,0 0,000058 0,003 MT37 2,0 0,000125 0,006 T.aurentia(1) 0,000300 0,100 1)

Berat Molekul Protein Serupa Silicatein

Gambar 22. Hasil SDS-PAGE (1)protein silicatein dari T. aurentia (Shimizu et.al.

1998) (a) dan protein serupa silicatein dari sponge N6, MT5, MT37 (b). Protein yang berhasil diisolasi dianalisa berat molekulnya menggunakan teknik SDS-PAGE. Masing- masing sampel dianalisa, tetapi hanya protein dari sponge N6, MT5 dan MT37 yang terdeteksi (Gb 22b.). Berat molekul yang dimiliki oleh protein silicatein N6 ini mirip dengan berat molekul silicatein dai sponge T.aurentia yang terdiri dari tiga subunit a, ß, ? yang masing- masing berukuran 29, 28 dan 27 kD (Shimizu et. al. 1998) (Gambar 22a). Kemungkinan tiga pita hasil SDS-PAGE dari protein serupa silicatein N6 juga terdiri dari 3 subunit a, ß, ? yang masing- masing berukuran 32, 27 dan 23 kD (Gabar 22b.). Sedangkan dari MT37 dan MT5 pita yang dapat terukur hanya 1 pita yaitu 18.1 kD dan 15.5 kD (Gambar 22b.). Protein serupa silicatein dari sponge N20 dan MT36 tidak terdeteksi, kemungkinan disebabkan konsentrasi proteinnya yang terlalu rendah dibawah 2 ng/ml yang merupakan batas deteksi oleh silver staining.

Berdasarkan perhitungan jumlah agregat protein dari sponge MT37 yaitu sebanyak 2.17 x 108 buah, diperoleh berat molekul sebesar 3.4 x 108 kD dengan ukuran 3.4 cm. Sedangkan jumlah filamen protein dari sponge MT5 sebanyak 2.35 x 106 diperkirakan memiliki berat molekul sebesar 1.1 x 1010 kD dengan ukuran 110 cm. Berdasarkan hasil perhitungan ini, maka jika dibandingkan

M N6 MT37 MT5 32 kD 27 kD 23 kD 18 kD 15 kD 14.4 - 20.1 - 45.0 - 30.0 - 66.0 - 97.0 kD a b Silicatein1)

dengan panjang spikula yang berukuran hanya 1-3 mm, maka diduga agregat ini adalah gabungan dari beberapa monomer protein.

Jika diperkirakan jajaran 10 buah asam amino berukuran 1 ?, maka monomer- monomer protein serupa silicatein dari sponge MT37 dan MT5 berdasarkan analisa SDS PAGE mempunyai berat molekul 18.1 dan 15.5 kDa mempunyai ukuran masing- masing 6.5 x 102 ? dan 5.4 x 102 ? atau 6.5 µm dan 5.4 µm. Jika dilihat dari panjang filamen protein serupa silicatein MT37 adalah 3.4 cm dan MT5 adalah 110 cm, maka diduga agregat ini merupakan penjajaran dari monomer- monomer protein tersebut. Jumlah monomer protein serupa

silicatein MT37 yang diperlukan adalah sekitar 523 buah, sedangkan jumlah monomer protein serupa silicatein sponge MT5 yang diperlukan adalah 20370 buah.

Aktivitas Protein Serupa Silicatein dengan TEOS

Uji aktivitas protein serupa silicatein dengan substrat TEOS dilakukan untuk mengetahui adanya potensi katalis biologis polimerisasi silika. Senyawa TEOS yang digunakan sebagai substrat merupakan senyawa Si dengan empat tangan yang mengikat O-Etanol. Substrat ini memiliki kemiripan struktur dengan substrat alami yaitu asam silikat (Si(OH)4) tetapi lebih stabil pada pH netral (Cha

et. al. 1999). Asam silikat kurang stabil karena gugus OH yang reaktif yang mampu melakukan reaksi kondensasi dan polimerisasi sendiri pada suhu kamar meskipun pada derajat polimerisasi tertentu dapat terurai kembali (Coradin 2003). Protein yang diuji aktivitas polimerisasinya hanya yang terdeteksi oleh SDS-PAGE, yaitu protein dari sponge N6, MT5 dan MT37. Aktivitas polimerisasi diukur dengan colorimetric molibdate assay. Pada assay digunakan amonium molibdate (NH4.Mo7.O2.4H2O) dalam air bebas ion yang ditambah larutan HCL

pekat. Senyawa amonium molibdate ini sering digunakan untuk memberi warna (dye) pada beberapa assay logam (Mitchel 2003). Senyawa ini mampu membentuk kompleks dengan senyawa logam tersebut. Si(OH)4 yang terbenuk

dari pelarutan polimer silika akan kehilangan gugus OH karena adanya atom H dari HCL pekat. Amonium molibdate mengkelat Si dan membentuk kompleks berwarna kuning. Agen pereduksi metol sulfit merupakan pereduksi yang sangat

kuat. Kompleks molibdate yang mengalami tingkat oksidasi tinggi akan berwarna biru (Mitchel 2003)

Aktivitas enzim serupa silicatein

33,6 73,0 144,1 65,2 0,0 0,0 0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0 140,0 160,0 30 60 720

Lama reaksi (menit)

[Produk](umol/ml)

37MT 5MT

Gambar 23. Grafik pembentukan polimer silika oleh protein serupa silicatein dari sponge MT5 dan MT37

Dari hasil uji aktivitas ternyata hanya protein serupa silciatein sponge MT5 dan MT37 yang mempunyai aktivitas polimerisasi, sedangkan N6 tidak mempunyai aktivitas. Jika dilihat dari bentuk spikula silika, filamen protein dan berat molekulnya yang mirip dengan protein silicatein dari sponge T. aurentia, kemungkinan tidak adanya aktivitas protein serupa silicatein dari sponge N6 ini disebabkan karena sudah terlalu lama disimpan sehingga protein sudah rusak atau terdenaturasi. Karena itu uji aktivitas pada sampel sponge kedua yaitu dari perairan Lombok dilakukan segera yaitu satu minggu dari saat pengambilan sampel. Pada grafik yang tampak pada Gambar 23. menunjukkan bahwa protein dari sponge MT5 mampu mempolimerisasi TEOS setelah 12 jam dengan jumlah polimer silika yang terbentuk sebanyak 65.2 µmol/ml. Sedangkan protein dari sponge MT37 tampak lebih reaktif karena pada menit ke 30 sudah mampu mempolimerisasi silika sebanyak 33.6 µmol/ml, kemudian setelah menit ke 60 terbentuk polimer silika sebanyak 73.0 µmol/ml dan pada menit ke 720 diperoleh polimer sebanyak 144.1 µmol/ml.

Mekanisme reaksi kondensasi dan polimerisasi TEOS oleh silicatein yang diusulkan oleh Cha et al. 1999 seperti terlihat pada Gambar 24. Mekanisme reaksi ini diambil berdasarkan model struktur tiga dimensi silicatein yang mirip dengan protease Cathepsin-L dengan sisi aktif Cys-His. Sisi aktif sistein pada

Cathepsin-L digantikan oleh serin pada silicatein (Shimizu et al. 1998). Sisi aktif

silicatein Ser-His bersama-sama berfungsi sebagai katalis asam basa untuk proses hidrolisis silikon alkoxide, paralel dengan katalisis hidrolisa ikatan pepetida oleh enzim proteolitik yang homolog. Silicatein a bekerja sebagai mediator reaksi ikatan hidrogen antara nitrogen imidazole dari histidin 165 dan hidroksil dari sisi aktif serin (pada posisi 26). Hal ini akan meningkatkan nukleofilitas oksigen serin yang akan menyerang atom silikon dan memutuskan ethanol membentuk formasi transitori kovalen protein-O-Si yang analog dengan struktur enzim-substrat yang dibentuk oleh protease dan hidrolase yang lain. Intermediate ini dapat menstabilkan spesies silikon pentavalen melalui ikatan donor dari nitrogen imidazole. Penambahan air dapat menyempurnakan proses hidrolisis pada ikatan alkoxide yang pertama. Berikutnya kondensasi diinisiasi oleh penyerangan nukleofilik dari Si-OH yang dilepaskan dari molekul substrat kedua. Demikian seterusnya terjadi mekanisme hisrolisis dan kondensasi oleh molekul protein silicatein dengan substrat menghasilkan polimer silika. Mekanisme polimerisasi secara detil belum diketahui, tetapi diduga proses ini dibantu juga oleh ion Na+ yang banyak terdapat di dalam silika spikula.

Selain TEOS, filamen aksial silicatein dari sponge T. aurentia telah diketahui dapat mengkatalisis proses hidrolisis dan polikondensasi berbagai macam silikon alkoxide seperti methyl- dan phenyl-tri-ethoxysilane untuk menghasilkan silika dan silsesquioxanes (silikon) secara in-vitro pada suhu dan pH mendekati netral (Cha et al.1999, Shimizu et al.1998). Proses polimerisasi secara in-vitro berbeda dengan proses polimerisasi secara in-vivo yang menggunakan asam-asam silikat tetapi dapat menghasilkan hasil polimerisasi silika biogenik yang stabil. Polimerisasi silika biogenik terjadi karena adanya prekusor-prekusor silikon alkoxide sederhana yang merupakan konjugat-konjugat asam silikat yang bergabung dengan ionopore- ionopore intraseluler dan membentuk kompleks kovalen melalui kondensasi dengan alkohol, poliol atau katekol yang didahului dengan pengumpulan silika. Hal ini seperti terjadi pada diatomae yaitu asam silikat dikumpulkan didalam tempat yang mempunya i konsentrasi asam silikat yang lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat yang secara normal dapat terjadi presipitasi silika secara spontan dengan melakukan

reaksi atau konjugasi kimiawi lain. Jika asam silikat dikonjugasikan dengan salah satu kelompok bahan organik setelah transportasi dan konsentrasi di dalam sel sklerosit selama pembentukan spikula di demospongiae, mekanisme katalitiknya adalah kondensasi (Weaver et al. 2003).

.

Gambar 24. Mekanisme reaksi Silicatein dari T.aurentia terhadap sub strat TEOS (Cha et al. 1999).

Tabel 5. Jumlah TEOS Terpolimerisasi permenit

Sumber Lama [TEOS] Kadar Jumlah Jumlah TEOS terpolimerisasi

Protein reaksi protein agregat Total permenit

(menit) (µmol) (µg/ml) protein (x106) (µmol/ml) (µmol/ml)

MT37 720 13,5 31,2 2,17E+08 144,0 0,200 MT5 720 13,5 10,5 2,35E+06 65,2 0,091 ST1(2) 720 4500 5,60E+05 15,9 0,022 ST3(2) 720 4500 1,50E+06 3,0 0,004 T. aurentia(1) 15 4500 180,0 214,0 14,267

Tabel 6. Jumlah TEOS Terpolimerisasi per partikel protein

Sumber Lama Jumlah partikel Jumlah TEOS terpolimerisasi

Protein reaksi protein per µg protein per partikel protein per partikel protein per agregat

(menit) (molekul/ml) (molekul) (µmol) (molekul) (molekul)

MT37 720 1,7E+11 2,78E+18 8,4E-10 5,0E+08 4,0E+11

MT5 720 6,7E+10 3,76E+18 9,7E-10 5,8E+08 1,7E+13

ST1(2) 720 1,7E+13

ST3(2) 720 1,2E+12

T. aurentia(1) 15 8,6E+11 7,17E+17 2,5E-10 1,5E+08

Seperti yang terlihat pada tabel 5., jika dilihat dari hasil per menit aktivitas protein dari MT37 masih lebih kecil dibandingkan aktivitas protein silicatein dari

T. aurentia. Hal ini sangat dimungkinkan karena konsentrasi substrat yang direaksikan juga jauh lebih kecil yaitu 13.5 µmol/ml. Demikian juga jika dilihat jumlah TEOS terpolimerisasi per µg protein, aktivitas protein silicatein dari sponge MT5 dan sponge MT37 masih lebih rendah dibanding aktivitas protein silicatein dari T. aurentia. Akan tetapi jika dilihat dari ha sil aktivitas per partikel protein (Tabel 6.), aktivitas protein serupa silicatein dari MT35 lebih tinggi dibanding MT37 dan T. aurentia. MT5 mampu mempolimerisasi TEOS sebanyak 5.8 x 108 molekul per partikel protein dengan kadar protein dan konsentrasi substrat yang lebih rendah. Sedangkan protein silicatein dari T. aurentia hanya 1.5x108 molekul.

Karakter Kinetika Reaksi Protein Serupa Silicatein

Dokumen terkait