• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah kerja Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU) berada di kecamatan Lembang. Kecamatan Lembang merupakan salah satu dari kecamatan yang terdapat di kabupaten Bandung yang terletak di sebelah utaranya dan merupakan salah satu kawasan yang sangat cocok dalam pengembangan usaha peternakan sapi perah. Lembang berbatasan, sebelah utara dengan kabupaten Subang, sebelah selatan dengan kotamadya Bandung, sebelah barat dengan kecamatan Parongpong kabupaten Bandung dan sebelah timur dengan kecamatan Cimenyan kabupaten Bandung dan kabupaten Sumedang.

Lembang termasuk daerah dataran tinggi yang mempunyai ketinggian 1.200-1.257 m di atas permukaan laut. Curah hujan sekitar 1.800-2.500 mm/tahun dengan temperatur antara 8-24 oC. Luas wilayah Kecamatan Lembang 10.620 Ha yang terdiri atas 16 Desa dan 43 Dusun. Keadaan lingkungan tersebut sangat mendukung usaha peternakan sapi perah di daerah Lembang.

Peternakan sapi perah rakyat di Lembang tergabung dalam satu wadah yaitu Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara (KPSBU), dibentuk berdasarkan kekuasaan hukum No. 4891/BH/DK-10/20 pada tanggal 8 Agustus 1971. KPSBU didirikan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak melalui pembinaan peternak, menyediakan kebutuhan pokok untuk peternak dan ternaknya, melakukan penampungan produksi susu dan memasarkannya, memberikan penyuluhan untuk meningkatkan produksi dan menyediakan tenaga ahli untuk pelayanan kesehatan hewan

KPSBU Lembang saat ini memiliki 22 wilayah kerja yang terdiri atas 8 Komisaris Daerah (RISDA), 23 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dan 580 Tempat Penampungan Susu (TPS) yang dibuat untuk memudahkan dalam pengambilan susu segar dari peternak. Tiap-tiap TPK memiliki beberapa kelompok TPS, adapun syarat-syarat pembentukan TPS adalah anggota peternak yang memiliki sapi perah dan menghasilkan susu segar sebanyak 200 liter per hari. Rata-rata tiap TPK memiliki 26 TPS. Untuk lebih jelasnya mengenai TPK, jumlah kelompok TPS dan populasi sapi perah dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Daerah TPK, Jumlah Kelompok TPS dan Populasi Sapi Perah di KPSBU Lembang

No. Daerah TPK Jumlah Rataan

TPS Anggota Sapi (ST/orang)

(Orang) (Ekor) (ST) (% Laktasi) 1. Barunagri 31 151 460 352,75 65,20 2,34 2. Ciater 7 66 173 110,5 52,49 1,67 3. Cibogo 28 163 606 450 74,22 2,76 4. Cibedug 40 373 1.391 1011,5 69,69 2,71 5. Cibodas 20 337 1.476 1026 65,39 3,04 6. Cikawari 19 182 663 499,75 67,43 2,75 7. Cilumber * 32 263 1.192 868 67,74 3,30 8. Cisaroni 9 104 374 285,5 66,90 2,75 9. Citespong 23 136 552 431,5 62,80 3,17 10. Genteng 20 131 552 399,5 66,33 3,05 11. Gunung Putri 27 223 761 569,75 75,99 2,55 12. Keramat 34 161 575 425,75 68,12 2,64 13. Manoko 21 172 622 464,75 66,92 2,70 14. Nagrak 41 96 310 238 69,33 2,48 15. Pager Wangi 33 214 872 673 78,45 3,14 16. Pamecelan 48 225 854 711,75 76,01 3,16 17. Bukanagara 27 193 724 549,5 71,52 2,85 18. Pasar Kemis 36 268 1.076 797 74,91 2,98 19. Pasir Ipis 8 108 285 216,25 67,51 2,00 20. Pencut 29 224 1.008 765,5 65,19 3,42 21. Pojok A 28 151 460 488,5 76,77 3,26 22. Pojok B 15 107 368 277 71,48 2,59 23. Suntenjaya 27 268 1.031 747,5 67,69 2,79 Jumlah 603 4.316 16.385 12.359,25 1.512,09 64,08 Rataan 187,65 712,39 537,36 68,73 2,77 Sumber: KPSBU, 2007

Keterangan: * = Lokasi Penelitian

Karakteristik Peternak Responden dan Komposisi Sapi Perah

Hasil pengukuran karakteristik peternak responden meliputi umur, pendidikan, dan pengalaman beternak diperlihatkan pada Tabel 4. Umur peternak dikelompokkan menjadi 3 yaitu peternak muda (20-35 tahun), sedang (36-51 tahun) dan tua (>52 tahun). Sedangkan pengalaman beternak dikelompokkan menjadi 3 yaitu peternak baru (<8 tahun), berpengalaman (9-15 tahun) dan peternak sangat berpengalaman (>16 tahun).

Tabel 4. Umur, Pendidikan dan Pengalaman Beternak Responden di Cilumber

No. Uraian Jumlah Peternak

Orang % 1. Umur (tahun) 20-35 (muda) 16 40 36-51(sedang) 19 47,5 52-67 (tua) 5 12,5 2. Pendidikan SD 34 85 SMP 3 7,5 SMA 2 5 Universitas 1 2,5

3. Pengalaman Beternak (tahun)

2-8 (baru) 19 47,5

9-15 (berpengalaman) 10 25

16-22 (sangat berpengalaman) 11 27,5

Sumber: Data Primer Setelah Diolah (2007)

Umur Responden

Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa peternak responden yang melakukan usaha sapi perah mempunyai umur terendah 20 tahun dan tertinggi 67 tahun. Sebagian besar peternak (87,5 %) berada pada usia kerja produktif (20-51 tahun). Hal tersebut merupakan potensi tenaga kerja yang sangat besar. Menurut Rasyaf (1995) dalam Nuraeni dan Purwanta (2006) bahwa umur 25-55 tahun merupakan umur produktif, sedangkan di bawah 20 tahun merupakan umur yang belum produktif dan dapat dikategorikan sebagai usia sekolah sedangkan umur di atas 55 tahun tingkat produksinya telah melewati titik optimal dan akan menurun sejalan dengan pertambahan umur.

Tingkat Pendidikan

Pendidikan formal secara langsung maupun tidak langsung sangat mempengaruhi pola pikir peternak dan kinerja peternak dalam mengelola usaha sapi perah. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa 85 % peternak berpendidikan Sekolah Dasar, 12,5 % berpendidikan sekolah menengah dan ada sebanyak 2,5 % yang sudah mengenyam pendidikan di universitas. Komposisi pendidikan yang demikian cukup ideal untuk pelaksanaan suatu peternakan dimana terdapat peternak

yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi yang dapat dijadikan early adopter technology dan memberikan contoh kepada peternak lainnya yang memiliki latar belakang pendidikan lebih rendah namun berpengalaman dalam beternak. Peningkatan pendidikan peternak yang menghasilkan lebih banyak peternak dengan latar belakang pendidikan menengah diharapkan dapat mempercepat proses transfer teknologi kepada peternak.

Pengalaman Beternak

Pengalaman beternak adalah lamanya seseorang menggeluti usaha peternakan perah yang dinyatakan dalam tahun. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar (52,5 %) peternak sudah memiliki pengalaman lebih dari 9 tahun dan 47,5 % peternak berpengalaman 2-8 tahun. Tidak ditemukan peternak yang memiliki pengalaman < 2 tahun di Cilumber.

Pengalaman beternak sapi perah yang demikian dapat menjadi modal yang sangat penting dalam keberhasilan usaha sapi perah. Pengalaman beternak yang lebih lama akan memberikan performa yang lebih baik dari peternak yang baru karena lebih terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hal ini merupakan indikasi bahwa usaha peternakan sapi perah di Cilumber memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat disana sebagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan sehingga peternak dapat bertahan dalam usaha sejenis untuk jangka waktu yang lama.

Komposisi Sapi Perah

Rataan komposisi sapi perah yang dipelihara peternak di Cilumber ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Komposisi Sapi Perah yang Dipelihara Peternak Di Cilumber Kelompok Jumlah Ternak ekor ST % Pedet - Jantan 15 3,75 2,52 - Betina 34 8,5 5,71 Dara - Bunting 14 7 4,71 - Tidak Bunting 19 8,5 5,71 Sapi Laktasi - Bunting 52 52 34,96 - Tidak Bunting 60 60 40,34 Sapi Kering 9 9 6,05 Jumlah 203 148,75 100 Rataan 5,08 3,72

Sumber: Data Primer Setelah Diolah (2007)

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa para peternak tidak hanya memelihara sapi-sapi perah yang sedang berproduksi (yang sedang laktasi), tetapi juga memelihara sapi-sapi perah non produktif yaitu sapi yang sedang kering kandang, dara, pedet jantan, dan pedet betina. Biaya pemeliharaan sapi-sapi non produktif ini menjadi tanggungan dari sapi-sapi perah yang sedang berproduksi.

Rataan kepemilikan sapi di Cilumber sebesar 5,08 ekor atau setara dengan 3,72 satuan ternak. Rataan kepemilikan sapi peternak di Cilumber lebih tinggi dibandingkan dengan rataan kepemilikan sapi anggota KPSBU (2,77 ST/peternak). Namun, jumlah kepemilikan tersebut masih dibawah skala ekonomis. Berdasarkan pengamatan Siregar (1996) dalam Diwyanto et al. (2001) di sekitar Bogor, skala usaha sapi perah akan efisien dan ekonomis apabila memiliki sapi induk minimal 8 ekor.

Persentase sapi laktasi yang ada di Cilumber sudah cukup baik (75,30 %). Menurut Sudono (1999) bahwa persentase sapi laktasi merupakan faktor yang penting yang tidak dapat diabaikan dalam tata laksana yang baik dalam suatu peternakan untuk menjamin pendapatan peternak. Peternakan sapi perah yang mempunyai sapi yang laktasi sebanyak > 60% adalah yang paling menguntungkan. Sedangkan menurut Siregar (2007), persentase sapi laktasi yang ekonomis harus sekitar 70-80 %. Pendapat tersebut menguatkan hasil penelitian Siregar (1996) dalam

Diwyanto et al. (2001) sebelumnya yang mengatakan bahwa persentase sapi laktasi yang ekonomis di daerah Bogor adalah sekitar 75%.

Replacement stock juga dilakukan oleh peternak sapi perah di Cilumber sebagai calon pengganti sapi-sapi betina dewasa yang akan dikeluarkan dari peternakan. Persentase pedet betina dan dara di Cilumber yaitu sebesar 55,37 %. Persentase tersebut sudah melebihi persentase yang direkomendasikan oleh Nadjib (1985) bahwa banyaknya anak sapi betina calon pengganti sebaik-baiknya berjumlah 20-25 % dari sapi betina dewasa.

Faktor Penentu Ternak Sapi Perah

Faktor penentu ternak sapi perah merupakan indikator untuk melihat pengetahuan dan keterampilan teknis beternak sapi perah dari para peternak. Pengetahuan terhadap aspek teknis beternak meliputi lima aspek sesuai dengan standar penilaian Dirjen Peternakan (1983), yaitu 1). Breeding dan Reproduksi, 2). Makanan Ternak, 3). Pengelolaan, 4). Kandang dan Peralatan serta 5). Kesehatan Hewan. Hasil pengamatan terhadap pengetahuan dan keterampilan peternak untuk kelimaaspek ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Teknis Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cilumber KPSBU Lembang

Keterangan: ** : sangat nyata (P<0,01)

No. Aspek Nilai

Pengamatan Harapan Pengamatan (%)

1. Breeding dan Reproduksi 173,63 ** ± 13,35 240 72,35

2. Makanan Ternak 219,38 ** ± 12,31 260 84,38

3. Pengelolaan 157,13 ** ± 16,21 200 78,l6

4. Kandang dan Peralatan 76,13 ** ± 2,89 100 76,13

5. Kesehatan Hewan 171 ** ± 4,41 200 85,5

Rataan 159,45 200 79,73

Pada Tabel 6 terlihat bahwa capaian aspek teknis peternakan sapi perah rakyat di Cilumber sangat nyata lebih rendah dari nilai harapan (P<0,01). Peternak sapi perah di Cilumber baru menerapkan sekitar 80 % aspek teknis yang direkomendasikan. Persentase tersebut masih lebih baik dibandingkan di daerah Parakan Salak Sukabumi yang mencapai 75,40 % (Suryopratomo, 1986) tetapi masih rendah jika dibandingkan di kecamatan Pangalengan yang telah mencapai 88,01 %

(Andri, 1992). Penerapan aspek teknis dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah aspek kesehatan hewan, diikuti aspek makanan ternak, aspek pengelolaan, aspek kandang dan peralatan serta aspek breeding dan reproduksi. Capaian aspek kesehatan hewan yang lebih tinggi dibandingkan dengan aspek lain mungkin disebabkan besarnya peran tenaga keswan dari KPSBU disamping upaya yang dilakukan oleh peternak. Untuk lebih jelasnya pada masing-masing aspek dijelaskan di bawah ini.

Breedingdan Reproduksi

Pengamatan aspek breeding dan reproduksi meliputi 1). Bangsa sapi yang dipelihara, 2). Cara seleksi, 3). Cara kawin, 4). Pengetahuan berahi, 5). Umur beranak pertama, 6). Saat dikawinkan setelah beranak dan 7). Calving interval. Tabel 6 memperlihatkan bahwa hasil pengamatan aspek breeding dan reproduksi yang dilakukan peternak Cilumber masih dibawah nilai harapannya setelah dilakukan uji chi-square (P<0,01). Capaian penerapan masing-masing sub aspek breeding dan reproduksi diperlihatkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Aspek Breeding dan Reproduksi (40 Responden)

No. Aspek Nilai

Pengamatan Harapan Pengamatan (%)

1. Bangsa sapi yang dipelihara 30 ± 0 30 100

2. Cara seleksi 10,5 ** ± 3,16 40 26,25

3. Cara kawin 40 ± 0 40 100

4. Pengetahuan berahi 20,5 **± 3,16 40 51,25

5. Umur beranak pertama 40 ± 0 40 100

6. Saat dikawinkan setelah 26 ** ± 10,08 40 65

beranak

7. Calving interval 6,63 ** ± 2,37 10 66,3

Keterangan: ** : sangat nyata (P<0,01)

Tabel 7 memperlihatkan bahwa bangsa sapi yang dipelihara, cara kawin, dan umur beranak pertama sapi yang dipelihara peternak di Cilumber sudah sesuai dengan nilai harapan, namun beberapa aspek lain masih di bawah nilai harapan (P<0,01). Sub aspek yang masih kurang penerapannya adalah saat dikawinkan setelah beranak, pengetahuan berahi, dan cara seleksi. Kemampuan deteksi berahi peternak yang masih rendah (51,25 % dari nilai harapan) menyebabkan

keterlambatan sapi dikawinkan setelah beranak (65 % dari nilai harapan). Hal ini dapat memperpanjang calving interval dan menurunkan efisiensi reproduksi. Aspek breeding dan reproduksi yang sangat sedikit diketahui peternak adalah cara seleksi. Peningkatan pada sub aspek ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas bibit dan sapi yang dipelihara oleh peternak. Kesalahan dalam pemilihan bibit akan berdampak pada kerugian jangka panjang karena sifat usaha peternakan sapi perah yang memelihara sapi dalam jangka waktu yang panjang (dapat mencapai 7 kali laktasi atau 10 tahun). Persentase peternak yang menerapkan aspek breeding dan reproduksi sapi perah di Cilumber dirinci pada Tabel 8.

Tabel 8. Penerapan Aspek Breeding dan Reproduksi Sapi Perah di Cilumber

KPSBU Lembang

Uraian Jumlah Peternak Uraian Jumlah Peternak

Orang % Orang %

1. Bangsa sapi yang 5. Umur beranak

dipelihara pertama

a. FH murni 40 100 a. 2 ½ tahun 40 100

b. Peranakan FH 0 0 b. 3 tahun 0 0

c. Persilangan 0 0 c. Lebih dari 3 0 0

d. Lain-lain 0 0 tahun

2. Cara seleksi 6. Saat dikawinkan

a. Produksi susu 0 0 setelah beranak

b. Silsilah 1 2,5 a. 60 hari 13 32,5

c. Bentuk luar 39 97,5 b. 60-90 hari 25 62,5

c. Lebih dari 90 2 5

3. Cara kawin hari

a. IB 40 100

b. Alam dengan 0 0 7. Calving interval

pejantan a. 1 tahun 13 32,5

unggul b. 1-1 ½ tahun 27 67,5

c. Alam dengan 0 0 c. Lebih dari 1 0 0

pejantan tidak ½ tahun

unggul 4. Pengetahuan berahi a. Faham 1 2,5 b. Kurang faham 39 97,5 c. Tidak faham 0 0

Berdasarkan Tabel 8, semua sapi yang dipelihara di daerah penelitian adalah bangsa sapi FH murni. Ciri-ciri sapi FH menurut Sudono et al. (2003) yaitu warna bulu bangsa sapi FH pada umumnya berwarna hitam dan putih, kadang-kadang

merah dan putih dengan batas-batas warna jelas. Syarief dan Sumoprastowo (1984) menambahkan tanda-tanda sapi FH yaitu ekor harus putih, warna hitam tidak diperkenankan, juga tidak diperbolehkan warna hitam di daerah bawah persendian siku dan lutut, tetapi warna hitam pada kaki mulai dari bahu atau paha sampai ke kuku diperbolehkan; badannya besar, mempunyai kapasitas makan yang banyak, mempunyai ambing yang besar; kepalanya panjang, sempit dan lurus, tanduk mengarah ke depan dan membengkok ke dalam, badan menyerupai taji.

Seleksi merupakan upaya peningkatan mutu genetik ternak untuk memilih serta mencari keturunan ternak yang memiliki sifat-sifat baik. Tabel 8 memperlihatkan bahwa belum ada peternak yang melakukan seleksi berdasarkan produksi susu. Cara seleksi yang dilakukan peternak pada umumnya lebih memperhatikan bentuk luar (97,5 %) yaitu dilihat dari badan, kaki dan ambing. Hal tersebut dilakukan karena peternak beranggapan bahwa bentuk luar yang baik akan menghasilkan produksi susu tinggi. Hal tersebut tidak sesuai dengan Syarief dan Sumoprastowo (1984) yang mengatakan bahwa cara seleksi berdasarkan tipe atau bentuk luar kurang tepat, karena ternak yang mempunyai tipe yang baik, belum tentu mempunyai produksi yang tinggi. Korelasi genetik antara tipe sapi perah dengan produksi susu yang rendah juga dikemukakan oleh Sudono (1999). Korelasi tipe sapi perah dengan produksi susu hanya 0,10 sehingga kemajuan yang didapat dari seleksi berdasarkan tipe sangat lambat.

Satu dari 40 peternak responden melakukan seleksi berdasarkan silsilah dengan memperhatikan produksi rata-rata induk. Pengetahuan cara seleksi berdasarkan silsilah yang rendah di Cilumber berbeda dengan hasil penelitian Rosnaedy (2004) yang melaporkan bahwa sebagian besar peternak responden di kabupaten dan kota Tegal sudah mengerti arti seleksi. Dilaporkan bahwa sebanyak 87,5 % peternak Tegal melakukan seleksi terhadap ternaknya yang memiliki produksi susu yang tinggi (12-13 liter/ekor/hari) untuk dijadikan bibit dan 12,5 % peternak melakukan seleksi berdasarkan tetua pejantan karena masih menggunakan pejantan untuk mengawinkan ternaknya.

Seluruh peternak menggunakan metode Inseminasi Buatan (IB) untuk mengawinkan sapi-sapinya sehingga cara ini dapat menghindari penyakit yang disebabkan oleh kontak kelamin. Pelaksanaan IB menggunakan semen beku pejantan

unggul yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) lembang, BIB Singosari dan Canada. Pelayanan Inseminasi Buatan dilakukan oleh seorang petugas inseminator berdasarkan laporan dari peternak melalui kartu berwarna merah yang disimpan di tempat penampungan susu. Pada hari peternak melapor, biasanya pada hari itu juga inseminator akan datang ke peternak. Sistem pelayanan IB yang baik dari KPSBU, menyebabkan peternak tidak perlu memelihara pejantan.

Peternak umumnya kurang memahami tentang gejala-gejala berahi sapi sehingga sering terjadi keterlambatan pelaporan IB dan akhirnya peternak harus menunggu berahi selanjutnya. Tanda-tanda berahi diketahui oleh peternak berdasarkan pengalamannya dalam mengelola usaha peternakan. Tanda berahi yang paling diketahui oleh peternak (100 %) yaitu keluar lendir dari vulva, sedangkan tanda-tanda lainnya masih kurang dipahami peternak (Tabel 9).

Tabel 9. Tanda-tanda Berahi yang Diketahui Peternak

No. Tanda-tanda berahi Jumlah Peternak

Orang %

1. Gelisah/tidak mau diam 27 67,5

2. Nafsu makan turun 1 2,5

3. Vulva tampak bengkak, merah dan hangat 6 15

4. Keluar lendir 40 100

5. Diam dinaiki 8 20

6. Produksi susu menurun 4 10

Sapi perah di Cilumber rata-rata beranak pertama pada umur 2 ½ tahun. Peternak biasanya mengawinkan sapi dara setelah tiga kali berahi. Umur beranak pertama tersebut tidak jauh berbeda dengan rataan umur beranak pertama di peternakan sapi perah Lembang, Bogor dan Cirebon yang berturut-turut sebesar 33, 36 dan 33 bulan (Sudono, 1999).

Perkawinan kembali setelah beranak erat kaitannya dengan pengetahuan berahi, ketersediaan semen dan kesiapan inseminator. Perkawinan kembali setelah beranak yaitu lebih dari 90 hari. Ginting dan Sitepu (1989) menyatakan bahwa perkawinan kembali setelah beranak tidak sama pada setiap bangsa bahkan setiap individu dalam satu bangsa, namun secara garis besarnya berkisar antara 60-90 hari. Waktu istirahat ini sangat perlu untuk memulihkan semua jaringan tubuh sapi terutama yang erat kaitannya dengan reproduksi dan produksi air susu, namun masa istirahat yang terlalu panjang dapat memperlama selang beranak (calving interval).

Sapi-sapi yang dipelihara 27 peternak responden (67,5 %) mempunyai calving interval 1-1 ½ tahun, sedangkan sisanya yaitu 13 peternak (32,5 %) memiliki calving interval 1 tahun. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil laporan Diwyanto et al. (2001) bahwa jarak beranak sapi perah domestik (lokal dan eks-impor) umumnya masih melebihi 14 bulan. Panjangnya selang beranak disebabkan sapi betina tidak/kurang memperlihatkan tanda-tanda birahi yang jelas, penyakit reproduksi, kasus keguguran dan gangguan kesehatan. Selang beranak yang tinggi akan berpengaruh terhadap produksi susu. Menurut Sudono (1999) calving interval yang optimal adalah 12 dan 13 bulan. Selang beranak yang optimal tersebut menurut Siregar (1996) akan dapat dicapai dengan mengawinkan sapi tepat waktu tanpa menimbulkan efek yang negatif terhadap alat reproduksinya.

Makanan Ternak

Pengamatan aspek makanan ternak meliputi 1). Cara pemberian hijauan, 2). Jumlah pemberian hijauan, 3). Kualitas hijauan, 4). Frekuensi pemberian hijauan, 5). Cara pemberian konsentrat, 6). Jumlah pemberian konsentrat, 7). Kualitas konsentrat dan mineral, 8). Frekuensi pemberian konsentrat dan 9). Pemberian air minum. Pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa hasil pengamatan aspek makanan ternak yang dilakukan peternak Cilumber sangat nyata lebih rendah dibandingkan dengan nilai harapannya (P<0,01). Capaian penerapan masing-masing sub aspek makanan ternak diperlihatkan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan dan Simpangan Baku Hasil Pengamatan Makanan Ternak (40 Responden)

No. Uraian Nilai

Pengamatan Harapan Pengamatan (%)

1. Cara pemberian hijauan 25 ± 0 25 100

2. Jumlah pemberian hijauan 34 ± 4,11 40 85

3. Kualitas hijauan 36 ** ± 3,03 45 80

4. Frekuensi pemberian hijauan 20 ± 0 20 100

5. Cara pemberian konsentrat 11,5 ** ± 4,83 15 76,67

6. Jumlah pemberian konsentrat 30,38 ± 1,33 35 86,80

7. Kualitas konsentrat dan mineral 29 ** ± 7,44 35 82,90

8. Frekuensi pemberian konsentrat 15 ± 0 15 100

9. Pemberian Air minum 18,5 ** ± 4,27 30 61,67

Keterangan: ** : sangat nyata (P<0,01)

Cara dan frekuensi pemberian hijauan serta frekuensi pemberian konsentrat sudah dilaksanakan sepenuhnya oleh peternak Cilumber. Sub aspek yang kurang penerapannya adalah jumlah pemberian hijauan, kualitas hijauan, jumlah pemberian konsentrat, kualitas konsentrat dan mineral dan pemberian air minum. Masih banyak peternak (39 %) belum memberikan air minum sapi sesuai yang direkomendasikan. Penerapan aspek makanan ternak sapi perah di Cilumber KPSBU berdasarkan persentase peternak diperlihatkan pada Tabel 11.

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha peternakan sapi perah, karena pemberian pakan tidak cukup kandungan nutrisinya dapat berpengaruh terhadap reproduksi maupun produksi susu sapi perah. Pakan sapi perah utamanya terdiri dari hijauan dan konsentrat. Siregar (2001) menyatakan bahwa pemberian pakan berupa konsentrat dan hijauan akan meningkatkan konsumsi zat-zat gizi yang berdampak terhadap peningkatan kemampuan produksi susu apabila potensi genetiknya masih memungkinkan.

Berdasarkan Tabel 11, peternak pada umumnya memberikan hijauan setelah pemerahan (100 %). Hijauan diberikan dalam jumlah cukup sampai berlebihan dan diberikan dua sampai tiga kali sehari. Campbell (1961) dalam Siregar (2001) menyatakan bahwa frekuensi pemberian pakan yang lebih dari dua kali akan dapat meningkatkan konsumsi bahan kering pakan, kadar lemak susu dan produksi susu. Pemberian pakan yang berlebih mungkin disebabkan kualitas hijauan yang diberikan kurang begitu baik, terutama pada musim kemarau. Hijauan yang diberikan yaitu rumput campuran (rumput gajah, rumput lapang, jerami padi, daun pisang dan bunga kol). Pada musim kemarau, ketersediaan rumput gajah sangat berkurang tetapi hijauan masih dapat terpenuhi meskipun memerlukan waktu yang lama untuk mencarinya. Seperti yang dilaporkan oleh LPP (1970) dalam Subandriyo et al. (1979) bahwa peternak-peternak sapi perah di Pulau Jawa umumnya mengalami kesukaran penyediaan hijauan pada musim-musim kemarau sehingga akibatnya pada musim tersebut produksi susu berkurang. Peternak di Cilumber mencari rumput lapang dan jerami padi ke daerah Subang setelah melakukan pemerahan pagi hari dan memberikan hijauan dan konsentrat. Peternak juga kadang-kadang memberikan daun pisang dan bunga kol yang berasal dari kebunnya sendiri atau tetangganya.

Tabel 11. Penerapan Aspek Makanan Ternak Sapi Perah di Cilumber KPSBU Lembang

Uraian Jumlah Peternak Uraian Jumlah Peternak

Orang % Orang %

HMT (Hijauan Konsentrat

Makanan 5. Cara pemberian

Ternak) a. Sebelum 26 65

1. Cara pemberian diperah

a. Setelah diperah 40 100 b. Sedang diperah 0 0

b. Sebelum 0 0 c. Sesudah 14 35

diperah diperah

2. Jumlah pemberian 6. Jumlah pemberian

a. Cukup 1 2,5 a. Cukup 3 7,5

b. Berlebihan 36 90 b. Lebih 37 92,5

c. Kurang 3 7,5 c. Kurang 0 0

3. Kualitas HMT 7. Kualitas

a. Unggul 3 7,5 konsentrat

b. Campur 37 92,5 dan mineral

c. Lapangan 0 0 a. Baik dan 24 60

Lengkap

4. Frekuensi b. Baik dan 16 40

pemberian kurang

a. Dua kali 40 100 mineral

b. Satu kali 0 0 c. Kurang baik 0 0

c. Tidak teratur 0 0

8. Frekuensi

pemberian

a. Dua kali per 40 100

hari b. Satu kali 0 0 c. Tidak teratur 0 0 9. Air minum a. Tersedia terus 1 2,5 menerus b. Dua kali 32 80 perhari c. Tidak teratur 7 17,5

Sementara rumput gajah berasal dari lahan milik sendiri atau milik Perhutani. Kandungan nutrisi hijauan yang diberikan ditampilkan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kandungan Nutrisi Hijauan di Cilumber KPSBU Lembang

No. Jenis Bahan Pakan BK (%) Komposisi (% BK)

TDN PK 1. Rumput Gajah 1 22,2 52,4 8,69 2. Rumput Lapang 2 20 55 10 3. Jerami Padi 3 85 32,5 2,5 4. Daun Pisang 2 10 60 9 5. Kaliandra 2 25 75 24 6. Daun Kol 1 9,87 11,8 21,5

Sumber: 1 Sutardi (1981), 2 GKSI-CCD Denmark (1995), 3KPSBU (2007)

Konsentrat yang diberikan pada ternak umumnya berupa konsentrat dari KPSBU Lembang. Peternak menambah konsentrat dengan dedak padi, onggok dan ampas bir. Peternak beranggapan bahwa jika hanya memberikan konsentrat dari KPSBU tidak dapat menaikkan produksi susu. Bahan yang sering ditambahkan yaitu dedak dan onggok, sedangkan ampas bir hanya sedikit yang menggunakan karena harganya mahal. Campuran konsentrat yang digunakan peternak ditampilkan pada Tabel 13.

Tabel 13. Penggunaan Konsentrat dan Pakan Tambahan

No. Campuran Konsentrat Jumlah Peternak

(orang) (%)

1. Konsentrat 11 27,5

2. Konsentrat, dedak 7 17,5

3. Konsentrat, onggok 7 17,5

4. Konsentrat, ampas bir 2 5

5. Konsentrat, dedak, onggok 13 32,5

Jumlah 40 100

Sebagian besar peternak (72,5 %) berpendapat bahwa konsentrat KPSBU saja tidak dapat memenuhi kebutuhan sapi laktasi sehingga perlu ditambah dengan pakan lain. Kandungan nutrisi konsentrat dan pakan tambahan lain yang digunakan peternak Cilumber ditampilkan pada Tabel 14.

Tabel 14. Kandungan Nutrisi Konsentrat dan Pakan Tambahan di Cilumber KPSBU Lembang

No. Jenis Bahan Pakan BK (%) Komposisi (% BK)

TDN PK 1. Konsentrat 90 65 12 2. Dedak 88 59,5 12 3. Onggok 12,5 78,4 2,4 4. Ampas Bir 24,56 61,5 28,07 Sumber: KPSBU (2007) Tabel 14 memperlihatkan bahwa pakan tambahan yang digunakan peternak

tidak selalu memiliki kualitas lebih baik dibandingkan dengan konsentrat KPSBU. Penambahan dedak akan menurunkan energi ransum, sedangkan penggunaan onggok akan menurunkan protein ransum. Penggunaan pakan tambahan yang mungkin bermanfaat adalah penggunaan ampas bir yang hanya menurunkan sedikit energi ransum namun dapat meningkatkan kandungan protein kasar ransum. Penggunaan

Dokumen terkait