• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Contoh

Karakteristik contoh yang diamati meliputi usia, jenis kelamin dan uang jajan yang disajikan pada Tabel 5. Secara keseluruhan (72%) contoh berusia 15 tahun. Namun jenis kelamin proporsional jumlahnya antar gender sesuai dengan yang ditetapkan penelitian sebelumnya.

Remaja sudah bebas menentukan makanan untuk dikonsumsi dan tentu saja disesuaikan dengan uang jajan yang diberikan, sehingga pada saat remaja konsumsi pangan tergantung pada keinginan dirinya sendiri. Uang jajan pada pelenitian ini adalah jumlah uang yang digunakan untuk makanan dan minuman. Hampir dari separuh contoh (43%) di Bandung dan lebih dari satu per empat contoh (28%) di Padang memiliki uang jajan dalam kategori besar, yaitu di atas rataan (Rp 15.104 per hari). Rata-rata uang jajan contoh di Bandung Rp 16.602 per hari (Rp 1.666, Rp 50.000) adalah nyata lebih besar dibandingkan contoh di Padang Rp 13.409 per hari (Rp 3000, Rp 40.000). Secara keseluruhan, rata-rata uang jajan yang dimiliki contoh yaitu Rp 15.104 ± 8.468 per hari, dengan jumlah minimum Rp 1.666 dan maksimum Rp 50.000.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan wilayah SMA

Karakteristik Bandung Padang Total

n % n % n % Usia 14 tahun 27 27 19 20.4 46 23.8 15 tahun 69 69 70 75 139 72 16 tahun 4 4 2 2.2 6 3.1 17 tahun 0 0 2 2 2 1 Total 100 100 93 100 193 100 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 47 53 47 53 47 46 50.5 49.5 94 48.7 99 51,3 Total 100 100 93 100 193 100

Uang jajan (Rp/hari)

Besar (≥Rp 15.104) 43 43 26 28 69 35.8

Kecil (<Rp 15.104) 57 57 67 72 124 64.2

Total 100 100 93 100 193 100

Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan, apabila zat-zat gizi yang diserap tidak cukup baik kuantitas maupun kualitasnya maka dalam jangka panjang dapat mempengaruhi status gizi individu (Suhardjo 1989). Pengukuran antropometri TB/U dan IMT/U dilakukan pada contoh dengan rentang usia 5-19 tahun berdasarkan standar WHO (2007). Status gizi TB/U contoh di Bandung dan Padang secara keseluruhan adalah normal. Secara nasional prevalensi pendek untuk laki-laki pada kelompok usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun adalah 22% dan 26.8%. Prevalensi pendek untuk perempuan pada kelompok umur 13-15 tahun dan 16-18 tahun adalah 22.2% dan 21.1% (Depkes 2010). Hasil penelitian ini, stunted relatif kecil (<10%) jumlahnya di kedua

wilayah SMA. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kedua wilayah (p>0.05).

Prevalensi gemuk dan sangat gemuk laki-laki pada usia 13-15 tahun sebesar 2.9% dan pada usia 16-18 tahun sebesar 1.9% (Depkes 2010). Hasil penelitian ini, status gizi contoh laki-laki berdasarkan IMT/U dengan kategori normal di Bandung (74.5%) dan contoh di Padang (70.2%). Status gizi gemuk di Bandung dan Padang relatif sama, tetapi hasil tersebut masih di atas prevalensi nasional. Prevalensi gemuk perempuan secara nasional pada usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun 2% dan 1.3% (Depkes 2010). Status gizi contoh perempuan berdasarkan IMT/U dengan kategori normal di Bandung lebih banyak (83%) dibandingkan contoh di Padang (58.7%), karena masih ditemukan contoh yang memiliki status gizi overweight (21.7%) pada contoh di Padang daripada di Bandung (13.2%). Persentase tersebut menunjukkan masih di atas prevalensi nasional. Selain itu, contoh perempuan dengan status gizi obes (gemuk dan sangat gemuk) di Padang enam kalinya contoh di Bandung (Tabel 6). Hasil uji menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara kedua wilayah (p>0.05). Sebaran status gizi dengan indikator TB/U dan IMT/U disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan wilayah SMA

Jenis Kelamin Karakteristik Bandung Padang Total p

n % n % n % Laki-laki TB/U 0.642 Pendek 3 6.4 4 8.5 7 7.4 Normal 44 93.6 43 91.5 87 92.6 Total 47 100 47 100 94 100 Perempuan TB/U Pendek 5 9.4 5 10.9 10 10.1 Normal 48 90.6 41 89.1 89 89.9 Total 53 100 46 100 99 100 Laki-laki IMT/U Sangat Gemuk 2 4.3 2 4.3 4 4.3 0.742 Gemuk 3 6.4 3 6.4 6 6.4 Overweight 6 12.8 4 8.5 10 10.6 Normal 35 74.5 33 70.2 68 72.3 Kurus 1 2.1 5 10.6 6 6.4 Total 47 100 47 100 94 100 Perempuan IMT/U Sangat Gemuk 0 0 2 4.3 2 2 Gemuk 1 1.9 4 8.7 5 5.1 Overweight 7 13.2 10 21.7 17 17.2 Normal 44 83 27 58.7 71 71.7 Kurus 1 1.9 3 6.5 4 4 Total 53 100 46 100 99 100 Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga yang diambil meliputi data pendidikan orang tua, pekerjaaan orang tua dan besar keluarga. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan ayah tiga per empat contoh (75%) di Bandung adalah

12

sarjana/pascasarjana, sedangkan hampir separuh contoh (45.2%) di Padang adalah sarjana/pascasarjana dan sebanyak 43% adalah SMA. Berdasarkan tingkat pendidikan ibu didapatkan hasil lebih dari separuh contoh (53%) di Bandung dan (48.4%) di Padang adalah sarjana/pascasarjana. Persentase tersebut menunjukkan tingkat pendidikan ayah dan ibu lebih tinggi di Bandung dibandingkan di Padang. Menurut Sukandar (2007), tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, konsumsi pangan dan status gizi. Data sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan wilayah disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan wilayah SMA

Karakteristik Bandung Padang Total

n % n % n % Pendidikan Ayah SD 0 0 2 2.2 2 1 SMP 1 1 1 1.1 2 1 SMA 16 16 40 43 56 29 Diploma 8 8 8 8.6 16 8.3 Sarjana/Pasca Sarjana 75 75 42 45.2 117 60.6 Total 100 100 93 100 193 100 Pendidikan Ibu SD 0 0 2 2.2 2 1 SMP 0 0 3 3.2 3 1.6 SMA 27 27 32 34.4 59 30.6 Diploma 20 20 11 11.8 31 16.1 Sarjana/Pasca Sarjana 53 53 45 48.4 98 50.8 Total 100 51.8 93 100 193 100 Pekerjaan Ayah Tidak bekerja 3 3 2 2.2 5 2.6 Jasa 0 0 8 8.6 8 4.1 Karyawan 54 54 57 61.3 111 57.5 Wirausaha 23 23 16 17.2 39 20.2 Lainnya 20 20 10 10.8 30 15.5 Total 100 100 93 100 193 100 Pekerjaan Ibu

Ibu Rumah Tangga 54 54 44 47.3 98 50.8

Jasa 1 1 2 2.2 3 1.6 Karyawan 30 30 34 36.6 64 33.2 Wirausaha 6 6 6 6.5 12 6.2 Lainnya 9 9 7 7.5 16 8.3 Total 100 100 93 100 193 100 Besar Keluarga Besar (≥7 orang) Sedang (5-6 orang) Kecil (≤4 orang) 7 44 49 7 44 49 6 53 34 6.5 57 36.6 13 97 83 6.7 50.3 43 Total 100 100 93 100 193 100

Pekerjaan ayah didapatkan hasil bahwa lebih dari separuh (54%) dan dua per tiga contoh (61.3%) baik di Bandung maupun di Padang sebagai karyawan. Golongan karyawan dikelompokan dari beberapa jenis pekerjaan seperti, PNS/ABRI/Polisi dan karyawan swasta. Pekerjaan ibu baik di Bandung (54%)

maupun di Padang (47.3%) sebagai ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Suhardjo 1989).

Besar keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah (Suhardjo 1989). Besar keluarga dikelompokan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang dan keluarga besar (BKKBN 1998). Sebaran karakteristik menurut karakteristik keluarga menunjukkan hampir separuh contoh (49%) di Bandung termasuk dalam besar keluarga kategori kecil, sebanyak (44%) contoh termasuk dalam besar keluarga kategori sedang dan (7%) contoh termasuk dalam kategori keluarga besar. Kemudian besar keluarga contoh di Padang (36.6%) termasuk dalam kategori kecil, (57%) termasuk dalam kategori sedang dan (6.5%) termasuk dalam kategori besar. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara besar keluarga contoh pada kedua wilayah. Secara keseluruhan, karakteristik keluarga di Bandung cenderung lebih baik daripada di Padang.

Keanekaragaman dan Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal/beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan memperoleh pangan dalam aspek gizi adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi, terutama remaja memerlukan asupan yang cukup untuk masa pertumbuhannya.

Dietary Diversity Score (DDS)

Tabel 8 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi contoh di Bandung dan Padang.

Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi dan wilayah SMA

Kelompok Pangan Bandung (n=100) Padang (n=93) Total (n=193)

n % n % n %

1 Makanan pokok berpati 100a 100a 93a 100a 193 100

2 Sayuran hijau 25a 25a 38b 30.9b 63 32.6

3 Buah dan sayur sumber vitamin A

21a 21a 10a 10.8a 31 16.1 4 Buah-buahan dan sayuran

lain

45a 45a 40a 43a 85 44

5 Jeroan 2a 2a 0a 0a 2 1

6 Daging dan ikan 88a 88a 84a 90.3a 172 89.1

7 Telur 56a 56a 49a 52.7a 105 54.4

8 Polong, kacang dan biji 35a 35a 42a 45.2a 77 39.9 9 Susu dan produk susu 62a 62a 44b 47.3b 106 54.9 a,b

Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) DDS merupakan salah satu cara sederhana untuk mengukur keanekaragaman konsumsi pangan pada tingkat individu. DDS adalah jumlah jenis makanan atau kelompok pangan yang dikonsumsi selama periode tertentu

14

(Ruel 2003). Keanekaragaman pangan dapat diukur dengan menjumlahkan makanan atau kelompok pangan yang dikonsumsi selama satu hari dengan menggunakan data food recall 1x24 jam (Kennedy et al. 2007). Sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan, secara keseluruhan (100%) baik contoh di Bandung maupun Padang mengonsumsi makanan pokok berpati, seperti nasi, mie, roti dan kentang. Menurut Winichagoon (2008), zat gizi mikro seperti seng banyak terdapat pada pangan serealia. Kelompok pangan yang paling banyak di konsumsi lebih dari 50% pada kedua wilayah SMA antara lain makanan pokok berpati, daging dan ikan, telur serta susu dan produk susu. Hasil analisis Setiawan (2006) tahun 2002 sampai 2005, Indonesia sudah mulai mengurangi konsumsi makanan pokok yang berasal dari beras, dan diduga sudah banyak yang melakukan diversifikasi konsumsi ke arah pengganti beras seperti mie dan makanan yang dibuat dari terigu seperti roti dan berbagai jenis kue.

Sayuran mengandung vitamin, mineral, serat, dan komponen lainnya yang sangat penting dalam diet. Menurut Almatsier (2001), sayuran berwarna hijau merupakan pangan sumber zat besi nabati dan vitamin C. Konsumsi sayuran hijau di Bandung (25%) lebih kecil dibandingkan dengan contoh di Padang (30.9%). Hasil uji beda didapatkan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata konsumsi sayuran hijau di kedua wilayah (p<0.05). Sayuran yang banyak dikonsumsi antara lain sawi hijau, bayam dan kangkung. Jenis sayuran yang populer di konsumsi berdasarkan wilayah di Asia Tenggara antara lain kangkung, buncis dan bayam (Oomen & Grubben 1978). Konsumsi kelompok pangan buah dan sayur sumber vitamin A, contoh di Bandung (21%) lebih besar dibandingkan dengan contoh di Padang (10.8%). Bahan makanan yang banyak dikonsumsi adalah wortel. Menurut Almatsier (2001), nilai vitamin A dari wortel dalam satuan Retinol Ekivalen (RE)/100 gram sebesar 3600 RE. Selain itu, β-karoten dari buah-buahan dan sayuran berwarna kuning atau oranye lebih baik diserap

daripada β-karoten dalam sayur-sayuran berdaun hijau (dePee et al. 1998 dalam

Gorstein et al. 2007).

Buah dan sayuran lain merupakan bahan makanan selain kelompok buah dan sayur sumber vitamin A, lebih dari dua per limanya contoh baik di Bandung (45%) maupun Padang (43%) mengonsumsi kelompok pangan tersebut. Sebagian besar contoh tidak mengonsumsi kelompok pangan jeroan, hanya 2% contoh di Bandung yang mengonsumsinya. Konsumsi daging dan ikan lebih dari tiga per empat contoh baik di Bandung (88%) maupun di Padang (90.3%) dapat mengonsumsi jenis pangan tersebut. Hal ini diduga karena akses pangan terhadap daging dan ikan lebih mudah didapatkan di perkotaan.

Menurut Daniels (2009), kelompok pangan yang dikonsumsi ≥50%

perempuan di Filipina antara lain makanan pokok berpati, daging dan ikan serta buah dan sayur lainnya. Hasil penelitian ini, konsumsi baik kelompok pangan buah maupun sayuran sumber vitamin A serta buah dan sayuran lain masih rendah. Hal ini sejalan dengan data hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 bahwa proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 93,5% dan tidak tampak perubahan dibandingkan tahun 2007 (Depkes 2013).

Kelompok pangan telur terdiri dari telur ayam, telur bebek dan telur puyuh. Separuh dari masing-masing wilayah baik contoh di Bandung (56%) maupun Padang (52.7%) mengonsumsi telur. Telur merupakan sumber protein yang baik dari bahan makanan hewani. Menurut dePee et al. 1998 dalam Gorstein

et al. 2007, makanan hewani seperti hati, susu, dan telur juga memberikan bentuk vitamin A yang tersedia untuk fungsi fisiologis. Menurut Marlina et al. (2011), telur dapat menjadi salah satu sumber vitamin A dan zat besi. Kelompok pangan polong, kacang dan biji pada contoh di Bandung (35%) yang mengonsumsi jenis pangan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan contoh di Padang (45.2%). Sebanyak tujuh kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata konsumsi pangan contoh pada kedua wilayah (p>0.05).

Hasil kelompok pangan susu dan produk susu sedikit berbeda, contoh yang mengonsumsi jenis pangan tersebut di Bandung (62%) lebih besar dibandingkan dengan di Padang (47.3%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa konsumsi susu dan produk susu secara nyata lebih tinggi di Bandung dibandingkan di Padang (p<0.05). Winichagoon (2008) menyebutkan bahwa beberapa zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan seng salah satunya terdapat pada kelompok pangan susu.

Seiring dengan pertumbuhan pendapatan dan pengaruh makanan gaya barat, konsumsi pangan di Indonesia secara bertahap telah berubah. Sementara konsumsi beras, sayuran dan makanan laut tetap menjadi kebutuhan pokok, konsumsi pangan telah bergerak menuju lebih banyak jenis makanan. Secara khusus, telah ada peningkatan konsumsi produk berbasis gandum, buah dan produk ternak, termasuk daging sapi dan produk susu (Bond et al. 2007).

Keanekaragaman pangan berkaitan dengan kecukupan zat gizi yang dibutuhkan baik secara zat gizi makro maupun mikro dan variasi makanan yang menunjukkan dua komponen dari kualitas makanan. Rah et al. (2010) dalam analisis penelitiannya memperkuat gagasan bahwa dengan meningkatkan berbagai makanan mencerminkan kemungkinan yang lebih besar untuk memenuhi kecukupan energi dan zat gizi sehari-hari yang akan menghasilkan status gizi yang meningkat di kalangan anak-anak. Tabel menunjukkan sebaran rata-rata skor keanekaragaman konsumsi pangan berdasarkan wilayah.

Tabel 9 Sebaran rata-rata dan standar deviasi DDS dan wilayah SMA

Kelompok Pangan Bandung Padang

1 Makanan pokok berpati 1.00±0.00 1.00±0.00

2 Sayuran hijau 0.25±0.43 0.41±0.43

3 Buah dan sayur kaya vitamin A 0.21±0.40 0.11±0.31 4 Buah-buahan dan sayuran lain 0.45±0.50 0.43±0.49

5 Jeroan 0.02±0.14 0.00±0.00

6 Daging dan ikan 0.88±0.32 0.90±0.29

7 Telur 0.56±0.49 0.53±0.50

8 Kacang-kacangan 0.35±0.47 0.45±0.50

9 Susu dan produk susu 0 62±0.48 0.47±0.50

Skor keanekaragaman konsumsi pangan (DDS) 4.32±1.33 4.30±1.26 Berdasarkan Tabel 9, di antara sembilan kelompok pangan kelompok daging dan ikan memiliki rata-rata tertinggi, artinya contoh di Bandung dan Padang sebagian besar mengonsumsi kelompok pangan tersebut. Hal ini diduga sebagian besar contoh mengonsumsi kelompok pangan olahan daging dan ikan seperti bakso daging dan sosis sehingga kontribusi nilai DDS terhadap kelompok pangan daging dan ikan cukup besar. Rata-rata nilai DDS baik di Bandung dan Padang masing-masing sebesar 4.32±1.33 dan 4.30±1.26 kelompok pangan. Nilai tersebut menunjukkan konsumsi contoh masih belum beragam, sebagaimana

16

Mirmiran et.al (2004) menjelaskan skor keanekaragaman dikatakan beragam

apabila mengonsumsi ≥6 kelompok pangan. Gambar 3 menunjukkan sebaran

contoh dengan skor keanekaragaman konsumsi pangan.

Gambar 3 Sebaran contoh dengan skor keanekaragaman konsumsi pangan Sebagian besar contoh mengonsumsi tiga sampai lima kelompok pangan (Gambar 3), tidak ada contoh yang mengonsumsi delapan atau sembilan kelompok pangan dalam satu hari. Median nilai DDS pada remaja SMA dari kedua wilayah adalah 4 (kisaran: 2-7), sedangkan pada anak-anak di wilayah Kota Bandung adalah 6 (kisaran: 3-8) (Marlina et al.2011). Mirmiran et.al (2004) mengelompokan skor keanekaragaman konsumsi pangan menjadi tiga sub kelompok, yaitu kelompok pangan yang dikonsumsi <3, 3-5 dan ≥6 jenis pangan. Semakin tinggi skor keanekaragaman konsumsi pangan menunjukkan variasi keanekaragaman yang lebih besar. Kennedy et al. (2007) menghitung skor keanekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan dua indikator, yaitu DDS dengan jumlah minimal 10 gram dan DDS yang tidak diperhitungkan jumlahnya atau 0 gram. Hasil analisis deskriptif menunjukkan nilai DDS dengan jumlah minimal 10 gram sebesar 4.05±1.54 sedangkan nilai DDS yang tidak diperhitungkan jumlahnya sebesar 4.91±1.57. Rata-rata DDS tersebut dengan menggunakan batas 10 gram terjadi penurunan dari lima kelompok pangan menjadi empat kelompok pangan. Dengan demikian, diharapkan dengan menggunakan jumlah minimal pada DDS akan semakin tampak hubungannya dengan tingkat kecukupan gizi. Pengelompokan hasil penelitian DDS dan wilayah SMA disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori DDS dan wilayah SMA

DDS Bandung Padang Total p

n % n % n %

Kurang (<3 jenis) 8 8 7 7.5 15 7.8

Sedang (3-5 jenis) 70 70 68 73.1 138 71.5 0.754 Baik (≥6 jenis) 22 22 18 19.4 40 20.7

Total 100 100 93 100 193 100

Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa hampir tiga per empat (71.5%) contoh mengonsumsi sebanyak tiga sampai lima jenis kelompok pangan dengan sebaran contoh di Bandung (70%) dan di Padang (73.1%). Skor keanekaragaman konsumsi pangan pada contoh di Bandung lebih beragam dibandingkan pada

8 21 27 22 17 5 7.5 20.4 29 23.7 16.1 3.2 0 5 10 15 20 25 30 35 2 3 4 5 6 7 P er sen tase (%) DDS Bandung Padang

contoh di Padang meskipun belum keseluruhan contoh mengonsumsi jenis pangan yang beragam. Hal ini diduga kondisi keluarga contoh seperti pendidikan ayah dan ibu yang tinggi tentu akan mempengaruhi pemilihan pangan yang baik. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kedua wilayah (p>0.05).

Status gizi berdasarkan indikator TB/U, contoh laki-laki dan perempuan yang pendek baik di Bandung maupun Padang kurang dari 6-10% mengonsumsi 3-5 jenis kelompok pangan yang tergolong kategori sedang. Contoh laki-laki dan

perempuan yang normal di Bandung sedikit lebih tinggi mengonsumsi ≥6 jenis

kelompok pangan (kategori baik) dibandingkan di Padang. Sebaran contoh berdasarkan DDS dan status gizi pada contoh di Bandung dan Padang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarkan DDS, status gizi (TB/U dan IMT/U) dan wilayah SMA

Jenis

Kelamin Status Gizi

Bandung Padang

Kurang Sedang Baik Kurang Sedang Baik Laki-laki TB/U Pendek 0 6.4 0 0 8.5 0 Normal 8.5 66 19.1 8.5 76.6 14.9 Perempuan TB/U Pendek 0 9.4 0 0 10.9 0 Normal 7.5 67.9 24.5 6.5 58.7 23.9 Laki-laki IMT/U Sangat gemuk 0 4.3 0 0 2.1 2.1 Gemuk 2.1 4.3 0 0 4.3 2.1 Overweight 0 10.6 2.1 2.1 6.4 0 Normal 6.4 51.1 17 6.4 53.2 10.6 Kurus 0 2.1 0 0 10.6 0 Perempuan IMT/U Sangat gemuk 0 0 0 0 4.3 0 Gemuk 0 1.9 0 2.2 4.3 2.2 Overweight 1.9 7.5 3.8 2.2 15.2 4.3 Normal 5.7 56.6 20.8 2.2 41.3 15.2 Kurus 0 1.9 0 0 4.3 2.2

Status gizi berdasarkan indikator IMT/U, contoh laki-laki yang overweight di Bandung sedikit lebih tinggi di bandingkan di Padang. Berdasarkan Tabel 11, contoh yang overweight di Bandung (10.6%) dan Padang (6.4%) lebih banyak mengonsumsi 3-5 jenis kelompok pangan dan hanya 2.1% contoh overweight di Bandung mengonsumsi ≥6 jenis kelompok pangan. Berbeda dengan contoh perempuan, meskipun contoh overweight di Padang lebih tinggi dibandingkan di Bandung lebih banyak yang mengonsumsi 3-5 jenis kelompok pangan (15.2%) dibandingkan di Bandung (7.5%). Pada contoh yang normal laki-

laki di Bandung (17%) sedikit lebih banyak mengonsumsi ≥6 jenis kelompok

pangan dibandingkan di Padang (10.6%). Contoh perempuan yang normal menunjukkan persentase sedikit lebih banyak di Bandung (20.8%) mengonsumsi

18

bahwa contoh yang memiliki status gizi normal lebih dari separuh contoh laki-laki dan perempuan baik di Bandung maupun Padang tergolong kategori sedang, kecuali contoh perempuan di Padang sebanyak dua pertiga contoh (41.3%). Kondisi tersebut diduga, contoh yang gemuk atau kurussudah menyadari antara konsumsi dan kejadian kegemukan atau kekurusan, sehingga contoh yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit dari yang dikonsumsisedangkan contoh yang kurus cenderung melaporkan lebih banyak dari yang dikonsumsi. Menurut beberapa penelitian nilai DDS yang tinggi terkait dengan status gizi baik anak- anak di negara-negara berkembang (Arimond dan Ruel 2004; Sawadogo et al. 2006 ).

Selain itu, terdapat beberapa metode untuk mengukur keanekaragaman konsumsi pangan, diantaranya adalah Healthy Eating Index (HEI), Pola Pangan Harapan (PPH) dan Australian Child and Adolescent Recommended Food Score (ACARFS). HEI merupakan alat untuk mengukur kepatuhan konsumsi pangan yang dihubungkan dengan angka kecukupan berdasarkan piramida makanan yang dikembangkan oleh Center for Nutrition Policy and Promotion USDA. HEI ditujukan untuk mengevaluasi kualitas diet pada waktu tertentu dan juga sebagai metode untuk memonitor perubahan pola makan (USDA 2008).

HEI tahun 2005 terdiri dari 10 komponen yaitu 5 komponen pertama berdasarkan 5 kelompok pangan utama pada USDA Food Guide Pyramid 1992 yaitu gandum, buah-buahan, sayuran, daging dan susu. Komponen ke 6 sampai dengan 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam Dietary Guidelines for American tahun 1995 yaitu total lemak, total lemak jenuh, kolesterol, sodium dan keragaman (Kennedy 2008). Namun HEI tahun 2005 sudah ada perubahan yang lebih spesifik pada HEI tahun 2010. HEI tahun 2010 terdiri dari 12 komponen, 9 komponen kecukupan dan 3 komponen moderasi. Komponen HEI tahun 2005 dari Lemak, minuman beralkohol, dan gula yang ditambahkan telah dimodifikasi. Sejumlah komponen yang berubah dari tahun 2005 antara lain sayuran hijau dan kacang diganti sayuran hijau dan sayuran berwarna kuning serta kacang- kacangan; seafood dan protein nabati, yang merupakan sub-kelompok yang dipilih dari makanan protein; asam lemak diganti menjadi dua komponen lemak jenuh dan minyak; dan biji-bijian (Guenther et al. 2013).

Adapun metode pengukuran keanekaragaman konsumsi pangan lainnya adalah Pola Pangan Harapan (PPH). PPH atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. Dengan pendekatan PPH ini mutu konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score) dan dikenal sebagai skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang (Baliwati et al 2012). Namun basis data yang digunakan untuk menghitung PPH biasanya berasal dari Neraca Bahan Makanan (NBM). Hasil penelitian Lativa (2013) menunjukkan tingkat kecukupan energi meningkat seiring dengan semakin baiknya skor PPH. Menurut kelompok usia dan jenis kelamin rata-rata total skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada remaja laki-laki dan perempuan usia 13-15 tahun sebesar 63.9±17.3, rata-rata total skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada remaja laki-laki sebesar 62.5±17.2, dan rata-rata total Skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada remaja perempuan sebesar 65.4±17.5.

Marshall et al. (2012) mengembangkan metode pengukuran kualitas diet dengan menggunakan Australian Child and Adolescent Recommended Food Score (ACARFS). Metode ACARFS tersebut terdiri dari delapan kelompok pangan, dimana skor yang diberikan berkisar 0-73 dengan 20 pertanyaan terkait intake sayuran, 12 pertanyaan untuk buah-buahan, 13 pertanyaan untuk pangan sumber protein (tujuh untuk daging dan enam untuk yang bukan jenis daging), 12 pertanyaan untuk roti atau serealia, 10 pertanyaan untuk pangan dari susu, 1 pertanyaan untuk air dan 2 pertanyaan untuk bumbu atau saus. Data tersebut diperoleh dari FFQ dimana masing-masing kelompok pangan diberikan skor berdasarkan seberapa sering mengonsumsi jenis pangan tersebut. Kelemahannya adalah pengukuran dengan metode ini tidak menyediakan secara spesifik rekomendasi dari jumlah yang dikonsumsi dalam kelompok pangan, sistem pemberians kor dilakukan secara subjektif yang memiliki kemungkinan dengan metode ACARFS menjadi overestimate dari segi kualitas diet.

Intake Energi dan Zat Gizi

Asupan energi danzat gizi dari kedua SMA disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan wilayah SMA

Zat Gizi Asupan

Bandung Padang

Energi (Kal/hari)1 2133±861a 1630±838b

Protein (g/hari)2 59.1(12.1,283.2)a 51(13.3,188.5)b Zat Besi (mg/hari)2 12.8(2.4,147.8)a 9.03(1.2,71.4)a Vitamin A (RE/hari)2 I769.1(5.37,6392.9)a 282.5(4.1,2268.2)b Vitamin C (mg/hari)2 19.7(0,105.2)a 16.07(0,1161.1)a Kalsium (mg/hari)2 446.7(21.3,8785.1)a 489.13(31.1,4244.8)a

Seng (mg/hari)1 6.33±2.92a 5.16±2.67b

a,b

Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)

1

Rata-rata ± SD, 2Median (Min,Mak)

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012 menetapkan kecukupan energi anak usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun masing-masing sebesar 2125 Kal/hari dan 2151 Kal/hari. Berdasarkan Tabel 7, rata-rata asupan energi pada contoh di Bandung sudah memenuhi AKG 2013, sedangkan asupan zat gizi lainnya masih di bawah AKG kecuali asupan vitamin A. Kondisi ini berbeda dengan asupan energi dan enam jenis zat gizi pada contoh di Padang yang masih di bawah AKG. Sunarno dan Untoro (2002) dalam WHO (2006), dalam sebuah survey konsumsi pangan di Indonesia tahun 2002 menemukan bahwa asupan energi pada remaja adalah 1104-1238 Kal. Asupan energi pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian tersebut. Hasil uji beda menunjukkan bahwa asupan energi, protein, vitamin A dan seng adalah nyata lebih tinggi di Bandung dibandingkan di

Dokumen terkait