• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skor Keanekaragaman Konsumsi Pangan (Dietary Diversity Score) Remaja Di Bandung Dan Padang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Skor Keanekaragaman Konsumsi Pangan (Dietary Diversity Score) Remaja Di Bandung Dan Padang"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

SKOR KEANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN

(

DIETARY DIVERSITY SCORE)

REMAJA DI BANDUNG DAN

PADANG

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakakan bahwa skripsi berjudul Skor Keanekaragaman Konsumsi Pangan (Dietary Diversity Score) dan Status Gizi Remaja di Bandung dan Padang adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)
(6)
(7)

ABSTRAK

YOESNIASANI DWI MEISYA. Skor Keanekaragaman Konsumsi Pangan (Dietary Diversity Score) Remaja di Bandung dan Padang. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI dan LILIK KUSTIYAH.

Keanekaragaman merupakan elemen kunci konsumsi pangan yang berkualitas. Salah satu cara sederhana pengukurannya adalah menggunakan Dietary Diversity Score (DDS). Remaja sering dikaitkan dengan masalah kekurangan atau kelebihan zat gizi dan hal ini terkait dengan perilaku gizi yang salah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji skor keanekaragaman konsumsi pangan remaja pelajar SMA Kota Bandung dan Padang. Data keanekaragaman konsumsi pangan diolah menggunakan instrumen DDS dari data food recall 1x24 jam dimana semua kelompok pangan dijumlahkan dengan kisaran skor 0-9. Rata-rata DDS di Bandung dan Padang relatif sama masing-masing 4.32±1.33 dan 4.30±1.26. Status gizi (TB/U dan IMT/U) sebagian besar adalah normal, tetapi proporsi overweight pada perempuan di Padang lebih besar (21.7%) daripada di Bandung (13.2%). Tidak ditemukan hubungan antara karakteristik contoh, karakteristik keluarga dengan keanekaragaman konsumsi. Namun terdapat kecenderungan semakin beragam konsumsi pangan, status gizi di Padang semakin baik. Dapat disimpulkan bahwa dengan semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi maka status gizi remaja cenderung semakin baik.

Kata kunci: remaja, skor keanekaragaman konsumsi pangan, status gizi

ABSTRACT

YOESNIASANI DWI MEISYA. Dietary Diversity Score of Adolescent in Bandung and Padang. Supervisied by CESILIA METI DWIRIANI and LILIK KUSTIYAH.

Dietary diversity is a key element of a quality diet. One of simple ways to measure the diversity of food consumption is dietary diversity score (DDS). Adolescents are often associated with the problem of deficiency or excess nutrients and the problems about improper nutrition behavior. The purpose of this study was to assess the dietary diversity score of adolescents of high school students at Bandung and Padang. Dietary diversity data were estimated using DDS instruments derived from 24 hour food recall where all of food groups were summed in the range of 0-9. Average of DDS relative same both in Bandung and Padang each was 4.32 ± 1.33 and 4.30 ± 1.26. In general nutritional status (HAZ and BAZ) was normal, but the proportion of overweight in Padang (21.7%) was greater than Bandung (13.2%). There was no corelation between subject and family characteristic with DDS. But higher DDS tend to have better nutritional status in Padang. Therefore the higher adolescents DDS tend to have better nutrition.

(8)
(9)
(10)
(11)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

YOESNIASANI DWI MEISYA

SKOR KEANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN

(DIETARY DIVERSITY SCORE)

REMAJA DI BANDUNG DAN

PADANG

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan judul Skor Keanekaragaman Konsumsi Pangan (Dietary Diversity Score) Remaja di Bandung dan Padang.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran dan dukungan dalam penulisan karya ilmiah ini serta pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan pengolahan data penelitian dengan baik. Terima kasih kepada Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si selaku dosen pemandu seminar sekaligus dosen penguji sidang yang telah memberikan masukan, arahan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.

Ungkapan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta (H. Usep Ahmad Fatsani, S.Pd., M.Pd dan Hj. Yani Rohani, S.Pd), kakak dan adik-adik tersayang (Sidhi Rizkie Nurdiansyah, S. IT., M. Alfi Fauzy, Maulana Arby Fatsani dan M. Yusuf Januar Fatsani), serta seluruh keluarga besar atas kasih sayang, doa, nasihat, dukungan, semangat, dan pengertiannya sehingga penulis dapat terus berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Alvin Fitrian yang penuh semangat dan tidak pernah lelah memberikan motivasi kepada penulis. Sahabat-sahabat yang telah memberikan kasih sayang, bantuan dan motivasinya: M. Mifthah Faridh Chairil, Widia Nurfauziah, Iqbar Mahendra Saputra, Irmawati Ramadhania, Cahyuning Isnaini dan M. Taufik Hidayat. Seluruh civitas academica Gizi Masyarakat 47 seperjuangan yang penuh semangat, serta rekan-rekan gizi lainnya dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas doa dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(18)

ii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Hipotesis 2

Kegunaan 2

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Karakteristik Contoh 10

Karakteristik Keluarga 11

Keanekaragaman dan Konsumsi Pangan 13

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Keanekaragaman dan

Konsumsi Pangan 29

SIMPULAN DAN SARAN 31

Simpulan 31

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 36

(19)

DAFTAR TABEL

1 Variabel, jenis data dan cara pengambilan data 5

2 Angka kecukupan energi dan zat gizi remaja 7

3 Skor keanekaragaman konsumsi pangan 8

4 Cara pengkategorian variabel 9

5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan wilayah SMA 10 6 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan wilayah SMA 11 7 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan wilayah SMA 12 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi

dan wilayah SMA 13

9 Sebaran rata-rata dan standar deviasi DDS dan wilayah SMA 15 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori DDS dan wilayah SMA 16 11 Sebaran contoh (%) berdasarkan DDS, status gizi (TB/U dan IMT/U)

dan wilayah SMA 17

12 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan wilayah SMA 19 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi serta

wilayah SMA 20

14 Rata-rata frekuensi konsumsi berdasarkan wilayah SMA 21 15 Sebaran NAR (%) contoh berdasarkan wilayah SMA 23 16 Sebaran contoh berdasarkan MAR dan wilayah SMA 24 17 Simpulan dari beberapa studi mengenai DDS di negara-negara

berkembang 25

18 Koefisien korelasi antara NAR dan total DDS 30 19 Sebaran kategori DDS dan berdasarkan rata-rata z-skor serta wilayah

SMA 30

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran keanekaragaman konsumsi pangan dan

status gizi remaja di Bandung dan Padang 4

2 Prosedur pengambilan contoh 5

3 Sebaran contoh dengan skor keanekaragaman konsumsi pangan 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian 36

2 Uji hubungan antara karakteristik contoh dan asupan energi dan zat gizi 41 3 Uji hubungan antara karakteristik contoh dengan NAR energi dan zat

gizi 42

(20)

iv

5 Uji hubungan antara karakteristik contoh dengan frekuensi konsumsi

protein 44

6 Uji hubungan antara karakteristik keluarga dengan asupan energi dan

zat gizi 45

7 Uji hubungan antara karakteristik keluarga dengan NAR energi dan zat

gizi 46

8 Uji hubungan antara karakteristik keluarga dengfan MAR dan DDS 47 9 Uji hubungan antara konsumsi pangan dan status gizi (normal) 48 10 Uji hubungan antara asupan energi dan zat gizi dengan status gizi 49

11 Uji hubungan antara NAR dan status gizi 50

12 Uji hubungan antara NAR energi dan status gizi 51 13 Uji hubungan antara MAR dan DDS dengan status gizi 51

(21)
(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Remaja merupakan fase transisi dari anak-anak menuju dewasa yang perlu mendapatkan perhatian khusus karena rentan terhadap masalah gizi. Masalah gizi yang terjadi pada remaja dapat disebabkan oleh perilaku gizi yang salah, yaitu pemenuhan kebutuhan gizi tidak sesuai dengan yang dianjurkan. Sebagian besar remaja di negara berkembang menderita gizi kurang seperti kurang zat gizi besi, kalsium, vitamin A dan vitamin C. Kurang gizi akan memperlemah sistem kekebalan tubuh serta meningkatkan kemungkinan dan keparahan terkena infeksi (Bardosono 2009). Asupan makanan yang kurang juga berhubungan dengan ketersediaan yang tidak cukup dari makanan baik dari segi kuantitas maupun kualitas (WHO 2006).

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 secara nasional menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi kekurusan remaja pada tahun 2007 dan 2013 sebesar 0,4%. Begitu pula dengan prevalensi kegemukan meningkat dari 1,4% pada tahun 2007 menjadi 7,3% pada tahun 2013 (Depkes 2013). Permaisih (2003) menyebutkan prevalensi anemia pada remaja di perkotaan sebesar 25.5%. Terjadinya anemia tidak hanya berkaitan kurang zat besi tetapi juga disebabkan oleh kurangnya zat gizi mikro lain seperti asam folat, vitamin A, vitamin C, riboflavin dan vitamin B12, karena zat-zat gizi tersebut berperan penting dalam eritropoiesis (pembentukan sel darah merah) dan metabolisme besi (Allen 2002; Beard 2000).

Keanekaragaman telah lama diakui sebagai elemen kunci diet berkualitas tinggi dan dapat dinilai menggunakan alat sederhana seperti dietary diversity score (DDS). Keanekaragaman konsumsi pangan didefinisikan sebagai jumlah jenis makanan atau kelompok pangan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu (Ruel 2003). Salah satu peran keanekaragaman pangan adalah untuk menjamin kecukupan zat gizi yang dibutuhkan baik secara zat gizi makro maupun mikro. Dalam beberapa penelitian jumlah yang dikonsumsi lebih tinggi dari kelompok makanan dikaitkan dengan peningkatan kecukupan gizi (Hatloy et al. 1998; Torheim et al. 2004). Selain itu, Krebs-Smith et al. (1987) menyarankan konsumsi pangan yang bervariasi dapat mengurangi risiko kekurangan atau kelebihan salah satu zat gizi.

Penelitian Mirmiran et al. (2004) pada remaja 10-18 tahun di Tehran menunjukkan korelasi positif yang signifikan (r = 0,42, p<0,001) antara Dietary Diversity Score (DDS) dan mean rasio kecukupan (MAR) pada remaja. Kemudian nilai DDS enam atau lebih dengan sepuluh kelompok pangan memiliki indeks masa tubuh yang lebih baik dibadingkan nilai DDS di bawah enam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa DDS merupakan metode yang tepat untuk mengevaluasi kecukupan asupan gizi pada kelompok remaja. Nilai DDS yang tinggi juga terkait dengan status gizi baik pada anak-anak di negara-negara berkembang (Arimond dan Ruel 2004; Sawadogo et al. 2006 ).

(24)

2

pangan dan ketersediaan pangan. Konsumsi pangan merupakan faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi status gizi. Status gizi adalah cerminan kecukupan konsumsi zat gizi masa-masa sebelumnya yang berarti bahwa status gizi saat ini merupakan hasil akumulasi konsumsi makanan sebelumnya (Enoch 1988). Oleh karena itu, kajian ini penting dilakukan karena konsumsi pangan tidak hanya menyangkut kecukupan gizi tetapi juga menunjukkan keanekaragaman konsumsi pangan yang di konsumsinya. Perbedaan etnik wilayah menjadi hal yang menarik untuk dikaji. Berdasarkan hal di atas peneliti tertarik untuk mengkaji skor keanekaragaman konsumsi pangan remaja di Bandung dan Padang.

Tujuan

Tujuan Umum

Mengkaji skor keanekaragaman konsumsi pangan (Dietary Diversity Score) dan status gizi remaja di Bandung dan Padang.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mempelajari karakteristik contoh, keluarga dan status gizi pada remaja di Bandung dan Padang.

2. Mempelajari Dietary Diversity Score (DDS), intake energi dan zat gizi serta Mean Adequacy Ratio (MAR) pada remaja di Bandung dan Padang.

3. Menganalisis keterkaitan antara DDS dan MAR.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik contoh dan keluarga dengan DDS.

2. Terdapat hubungan positif antara DDS dengan MAR.

Kegunaan

(25)

KERANGKA PEMIKIRAN

Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsumsi pangan dan penyakit/infeksi. Konsumsi pangan dapat didekati dengan kualitas konsumsi pangan melalui pendekatan skor keanekaragaman jenis pangan atau DDS serta kuantitas konsumsi pangan dengan melihat tingkat kecukupan energi dan zat gizi yang diukur dengan rasio kecukupan gizi atauNAR. Selain itu, untuk menjamin kecukupan makanan DDS dapat dibandingkan dengan rasio rata-rata tingkat kecukupan gizi atau MAR. Keanekaragaman jenis pangan umumnya diukur secara kualitatif yang dapat dihitung dengan menjumlahkan skor dari beberapa jenis makanan yang dikonsumsi. Penilaian pada penelitian ini menggunakan DDSyang dikembangkan oleh FAO (2011).

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh karakteristik keluarga dan karakteristik contoh. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan, pekerjaan orangtua dan besar keluarga. Pendidikan dan pekerjaan yang tinggi memiliki peluang memperoleh pendapatan yang tinggi dengan harapan penyediaan pangan yang lebih baik yang dicerminkan melalui uang jajan contoh. Besar keluarga dapat mempengaruhi alokasi pengeluaran untuk masing-masing anggota keluarga.

Karakteristik contoh meliputi usia, jenis kelamin dan uang jajan. Usia remaja merupakan periode yang memerlukan zat gizi lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan fisik dan perkembangan serta perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan yang mempengaruhi baik asupan maupun kebutuhan gizinya (Soetardjo 2011). Jenis kelamin dibedakan untuk menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang karena pertumbuhan dan perkembangan individu sangat berbeda antara laki dan perempuan. Kebutuhan gizi anak laki-laki biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki-laki-laki memiliki aktivitas fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan sehingga konsumsi pangan akan lebih banyak. Menurut Barker (2002), kebutuhan gizi pada laki-laki lebih besar daripada perempuan sehingga porsi setiap kali makan lebih banyak pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan konsep citra tubuh perempuan sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makannya dari porsi yang dianjurkan.

(26)

4

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel tidak diteliti

= Hubungan antar variabel yang dianalisis = Hubungan antar variabel yang tidak dianalisis

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran keanekaragaman konsumsi pangan dan status gizi remaja di Bandung dan Padang

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu sebagian data penelitian Pengembangan Model Pendidikan Gizi Berbasis Web untuk Perbaikan Perilaku Makan Remaja (Dwiriani et al. 2013). Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitiandilaksanakan mulai bulan Mei sampai Juli 2014 di Bogor.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Teknik penarikan contoh dilakukan secara purposive. Populasi dalam penelitian ini adalah peserta penelitian Pendidikan Gizi Berbasis Web untuk Perbaikan Perilaku Makan Remaja (Dwiriani et al. 2013) di wilayah SMA Kota Bandung dan Padang. Terdapat delapan sekolah yang menjadi tempat penelitian, masing-masing di Bandung dan Padang adalah empat sekolah. Pemilihan sekolah dilakukan dengan pertimbangan fasilitas sekolah yang memadai untuk menunjang tujuan penelitian sebelumnya (fasilitas internet yang baik) dan memilih

Karakteristik Contoh: - Usia

- Jenis kelamin - Uang jajan

- Status Gizi (TB/U dan IMT/U)

Karakteristik Keluarga: - Pekerjaan orangtua - Pendidikan orangtua - Besar keluarga

Keanekaragaman dan Konsumsi Pangan

- DDS

-Intake energi dan frekuensi konsumsi

- NAR - MAR

(27)

penyebaran wilayah. Siswa yang menjadi contoh penelitian ini adalah siswa kelas sepuluh baik laki-laki maupun perempuan. Jumlah contoh yang digunakan adalah seluruh contoh yang mempunyai data konsumsi pangan berjumlah 193 orang yang terdiri dari 100 orang di Bandung dan 93 orang di Padang.

Gambar 2 Prosedur pengambilan contoh

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder mencakup karakteristik contoh dan keluarga, konsumsi pangan dan status gizi. Karakteristik contoh dikumpulkan melaui kuesioner pada penelitian sebelumnya, antara lain usia, jenis kelamin dan uang jajan yang dialokasikan untuk membeli makanan dan minuman. Karakteristik keluarga dikumpulkan melalui kuesioner pada penelitian sebelumnya, antara lain pendidikan, pekerjaan, pendapatan orangtua dan besar keluarga. Pada Tabel 1 disajikan mengenai variabel, jenis dan cara pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1 Variabel, jenis data dan cara pengambilan data

No. Variabel Jenis Data Cara Pengambilan Data

1 Karakteristik contoh - Usia

- Jenis kelamin - Uang jajan

- Status gizi (Berat Badan dan Tinggi Badan)

Pengisian kuesioner dan pengukuran secara langsung oleh

penelitian sebelumnya

2 Karakteristik keluarga - Pendidikan orangtua - Pekerjaan orangtua - Besar keluarga

Pengisian kuesioner setelah diberi

penjelasan dari peneliti 3 Konsumsi pangan - Jumlah dan jenis pangan

- Frekuensi konsumsi

Metode food recall 1x24 jam dan FFQ melalui wawancara secara langsung oleh peneliti

Data konsumsi pangan diperoleh melalui metode food recall 1x24 jam dan Food Frequency Questionairre (FFQ) dengan wawancara secara langsung pada

(28)

6

penelitian sebelumnya. Status gizi remaja ditentukan berdasarkan TB/U dan IMT/U, data yang dikumpulkan mewakili status gizi meliputi berat badan dan tinggi badan. Berat badan contoh digunakan timbangan digital dengan kapasitas 200 kg dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan contoh diukur menggunakan microtoice dengan kapasitas 200 cm dan ketelitian 0,1 cm.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS 16.0 for Windows. Karakteristik contoh meliputi umur, jenis kelamin dan uang jajan. Umur contoh dibedakan menjadi empat kelompok 14-17 tahun. Jenis kelamin contoh diberikan kode untuk laki-laki dengan kode 1 dan perempuan dengan kode 2. Variabel uang jajan dibedakan menjadi besar dan kecil sesuai dengan rataan dari seluruh contoh. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan, pekerjaan orangtua dan besar keluarga. Pendidikan orangtua dikelompokkan menjadi: tidak tamat SD, SD, SMP, SMA, Diploma dan Sarjana/Pascasarjana. Data pekerjaan orangtua dikelompokan menjadi: tidak bekerja/ibu rumah tangga (IRT), jasa (buruh tani/non tani, reparasi, tukang cukur dll), karyawan (PNS/ABRI/polisi dan karyawan swasta), wirausaha dan lainnya. Besar keluarga dikelompokan menjadi keluarga kecil, sedang dan besar.

Untuk menilai status gizi remaja, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap remaja dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (z-skor) dengan menggunakan baku antropometri. Secara teoritis, z-skor dapat dihitung dengan cara berikut :

z-skor = –

Perhitungan z-skor diperoleh dengan cara menghitung dengan menggunakan Anthro Plus. Kemudian, perhitungan tersebut dikategorikan menurut indeks TB/U dan IMT/U untuk anak umur 5-19 tahun dengan kategori seperti pada Tabel 4.

Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan metode food recall 1 x 24 jam dan FFQ melalui wawancara secara langsung. Food recall 1x24 jam menggambarkan konsumsi makan dari malam hari hingga malam hari berikutnya. FFQ digunakan untuk menghitung frekuensi konsumsi pada periode waktu tertentu. Data konsumsi pangan diperoleh dari hasil Ukuran Rumah Tangga (URT) yang dikonversi dalam bentuk gram dan dikonversi kembali menjadi energi dan zat gizi lainnya dengan menggunakan Daftar Konversi Bahan Makanan yang dikembangkan oleh Riskesdas. Konversi dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan:

Kgij = kandungan zat gizi i dari bahan makanan j dengan berat B gram Bj = berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram)

Gij = kandungan zat gizi i dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj = Persen bahan makanan j dapat dimakan (% BDD)

(29)

besi dan seng) (Ruel 2003; Marlina et al. 2011). NAR dihitung untuk masing-masing zat gizi sebagai rasio asupan individu harian sesuai standar jumlah yang direkomendasikan untuk jenis kelamin dan usia tertentu. DDS dibandingkan dengan rasio rata-rata tingkat kecukupan gizi (MAR) dengan cara menjumlahkan NAR kemudian dibagi dengan jumlah jenis zat gizi yang akan dihitung. Setiap nilai NAR memiliki nilai maksimum 100 dengan alasan untuk meminimalkan kompensasi antara nilai NAR yang rendah dan tinggi secara matematik (Steyn et al. 2006). MAR dikategorikan menjadi tiga, yaitu sangat kurang (<55%), kurang (55%-69.9%), cukup (70%-84.9%) dan baik (≥85%) (Hardinsyah 1994 dalam Anwar 2013). Perhitungan NAR dan MAR disajikan pada rumus berikut:

Tingkat kecukupan energi dan zat gizi untuk remaja dihitung dengan rumus:

Angka kecukupan energi, protein dan zat gizi yang dianjurkan pada remaja berdasarkan AKG 2013 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Angka kecukupan energi dan zat gizi remaja Kelompok Umur BB

Untuk menentukan angka kecukupan gizi individu dilakukan dengan koreksi terhadap berat badan. Faktor koreksi berat badan dilakukan pada contoh dengan status gizi normal dengan cara membandingkan berat badan aktual dengan berat badan ideal dikalikan dengan angka kecukupan energi dan zat gizi lainnya berdasarkan AKG yang dianjurkan sesuai Tabel 2. Berbeda halnya dengan contoh dengan status gizi kurus atau gemuk hanya disesuaikan dengan angka kecukupan gizi menurut kelompok umurnya.

(30)

8

kopi dianggap sebagai jumlah yang sangat kecil, sehingga tidak dihitung pada kelompok susu dan produk susu. Selanjutnya, semua kelompok pangan dijumlahkan dengan kisaran skor 0-9. DDS dibagi menjadi tiga sub kelompok

yaitu ≥ 6 (baik), 3-5 (sedang) dan < 3 (kurang). Semakin tinggi skor tersebut

menunjukkan semakin beragam makanan yang dikonsumsi oleh contoh (Mirmiran et al. 2004).

Tabel 3 Skor keanekaragaman konsumsi pangan

Kelompok Pangan Bahan makanan Skor3

Makanan Pokok Berpati1 Beras, jagung/maizena, singkong, kentang, ubi (putih/ungu), gandum/terigu, atau olahan dari bahan tersebut (roti, mie, bubur atau produk dari tepung-tepungan)

Sayuran Hijau Buncis, brokoli, daun singkong, selada, sawi hijau, daun labu, bayam, kangkung

Buah dan Sayur Sumber Vitamin A2

Wortel, labu kuning, mangga, pepaya, tomat

Buah-buahan dan Sayur-sayuran Lain

Timun, terung, jamur, kacang panjang, apel, alpokat, pisang, durian, anggur, jambu biji, kelengkeng, pir, nanas, rambutan, belimbing, stroberi, semangka

Jeroan Hati, ampela, paru, usus, babat

Daging dan Ikan Daging sapi, daging domba, daging ayam, daging bebek, ikan basah atau ikan kering dan olahan lain Telur Telur ayam, telur bebek, telur puyuh

Polong, Kacang dan Biji-bijian

Kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai, produk kedelai (tempe, tahu, susu kedelai), produk kacang-kacangan dan biji-bijian (selai kacang) Susu dan Produk Susu Susu full cream, susu rendah lemak, susu skim,

keju, ice cream, yoghurt 1

Makanan pokok berpati terdiri dari serealia, umbi dan akar putih

2

Buah dan sayur vitamin A merupakan kombinasi antara sayur atau umbi sumber vitamin A dan buah sumber vitamin A

3

Keterangan (Kennedy et al. 2007):

Ya = 1, jika mengonsumsi jenis pangan lebih dari 10 gram

Tidak = 0, jika tidak mengonsumsi jenis pangan atau kurang dari 10 gram

Selain itu, penilaian untuk tingkat kecukupan energi dan protein menurut Depkes (2003) tingkat kecukupan energi dan zat gizi yaitu < 70% termasuk defisit tingkat berat, 70-79% termasuk defisit tingkat sedang, 80-89% termasuk defisit tingkat ringan, 90-119% termasuk normal, dan ≥ 120 termasuk kelebihan. Berbeda dengan energi dan protein, tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan sebagai kurang apabila tingkat kecukupan <77% dan cukup apabila

tingkat kecukupan ≥77% (Gibson 2005).

(31)

perbedaan antara karakteristik keluarga, karakteristik contoh, konsumsi pangan dan status gizi. Analisis antar keberadaan hubungan menggunakan uji korelasi. Data yang tersebar normal menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan data yang tidak tersebar normal menggunakan uji korelasi Spearman melalui program SPSS for windows 16.0. Cara untuk mempermudah dalam pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Cara pengkategorian variabel

No Variabel Pengkategorian I Karakteristik contoh

1. Sangat gemuk (+3SD > Z-skor) 2. Gemuk (+2 SD > Z-skor ) 2. Pekerjaan orangtua 1. Tidak bekerja/IRT

2. Jasa (buruh tani/non tani, jasa reparasi dll) 3. Karyawan (PNS/ABRI/polisi, karyawan swasta) 4. Wirausaha

5. Lainnya (Profesi dokter, insinyur, dosen dll) 3. Besar Keluarga (BKKBN

1998)

1. Keluarga kecil (≤ 4 orang) 2. Keluarga sedang (5-6 orang) 3. Keluarga besar (≥ 7 orang) III Keanekaragaman dan Konsumsi

Pangan

1. DDS (Mirmiran et al. 2004) 1. Kurang (<3 jenis kelompok pangan) 2. Sedang (3-5 jenis kelompok pangan) 3. Baik (≥6 jenis kelompok pangan) 1. Tingkat kecukupan energi dan

protein (Depkes 2003)

1. Defisit tingkat berat (<70% AKG) 2. Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) 3. Defisit tingkat ringan (80-89% AKG) 4. Cukup (90-119% AKG)

5. Kelebihan (≥ 120% AKG) 2. Tingkat kecukupan zat besi,

(32)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh

Karakteristik contoh yang diamati meliputi usia, jenis kelamin dan uang jajan yang disajikan pada Tabel 5. Secara keseluruhan (72%) contoh berusia 15 tahun. Namun jenis kelamin proporsional jumlahnya antar gender sesuai dengan yang ditetapkan penelitian sebelumnya.

Remaja sudah bebas menentukan makanan untuk dikonsumsi dan tentu saja disesuaikan dengan uang jajan yang diberikan, sehingga pada saat remaja konsumsi pangan tergantung pada keinginan dirinya sendiri. Uang jajan pada pelenitian ini adalah jumlah uang yang digunakan untuk makanan dan minuman. Hampir dari separuh contoh (43%) di Bandung dan lebih dari satu per empat contoh (28%) di Padang memiliki uang jajan dalam kategori besar, yaitu di atas rataan (Rp 15.104 per hari). Rata-rata uang jajan contoh di Bandung Rp 16.602 per hari (Rp 1.666, Rp 50.000) adalah nyata lebih besar dibandingkan contoh di Padang Rp 13.409 per hari (Rp 3000, Rp 40.000). Secara keseluruhan, rata-rata uang jajan yang dimiliki contoh yaitu Rp 15.104 ± 8.468 per hari, dengan jumlah minimum Rp 1.666 dan maksimum Rp 50.000.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik dan wilayah SMA

Karakteristik Bandung Padang Total

n % n % n %

(33)

wilayah SMA. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kedua wilayah (p>0.05).

Prevalensi gemuk dan sangat gemuk laki-laki pada usia 13-15 tahun sebesar 2.9% dan pada usia 16-18 tahun sebesar 1.9% (Depkes 2010). Hasil penelitian ini, status gizi contoh laki-laki berdasarkan IMT/U dengan kategori normal di Bandung (74.5%) dan contoh di Padang (70.2%). Status gizi gemuk di Bandung dan Padang relatif sama, tetapi hasil tersebut masih di atas prevalensi nasional. Prevalensi gemuk perempuan secara nasional pada usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun 2% dan 1.3% (Depkes 2010). Status gizi contoh perempuan berdasarkan IMT/U dengan kategori normal di Bandung lebih banyak (83%) dibandingkan contoh di Padang (58.7%), karena masih ditemukan contoh yang memiliki status gizi overweight (21.7%) pada contoh di Padang daripada di Bandung (13.2%). Persentase tersebut menunjukkan masih di atas prevalensi nasional. Selain itu, contoh perempuan dengan status gizi obes (gemuk dan sangat gemuk) di Padang enam kalinya contoh di Bandung (Tabel 6). Hasil uji menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara kedua wilayah (p>0.05). Sebaran status gizi dengan indikator TB/U dan IMT/U disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan status gizi dan wilayah SMA

Jenis Kelamin Karakteristik Bandung Padang Total p

n % n % n %

Laki-laki TB/U

0.642

Pendek 3 6.4 4 8.5 7 7.4

Normal 44 93.6 43 91.5 87 92.6

Total 47 100 47 100 94 100

Perempuan TB/U

Pendek 5 9.4 5 10.9 10 10.1

Normal 48 90.6 41 89.1 89 89.9

Total 53 100 46 100 99 100

Laki-laki IMT/U

Sangat Gemuk 2 4.3 2 4.3 4 4.3 0.742

Gemuk 3 6.4 3 6.4 6 6.4

Overweight 6 12.8 4 8.5 10 10.6

Normal 35 74.5 33 70.2 68 72.3

Kurus 1 2.1 5 10.6 6 6.4

Total 47 100 47 100 94 100

Perempuan IMT/U

Sangat Gemuk 0 0 2 4.3 2 2

Gemuk 1 1.9 4 8.7 5 5.1

Overweight 7 13.2 10 21.7 17 17.2

Normal 44 83 27 58.7 71 71.7

Kurus 1 1.9 3 6.5 4 4

Total 53 100 46 100 99 100

Karakteristik Keluarga

(34)

12

sarjana/pascasarjana, sedangkan hampir separuh contoh (45.2%) di Padang adalah sarjana/pascasarjana dan sebanyak 43% adalah SMA. Berdasarkan tingkat pendidikan ibu didapatkan hasil lebih dari separuh contoh (53%) di Bandung dan (48.4%) di Padang adalah sarjana/pascasarjana. Persentase tersebut menunjukkan tingkat pendidikan ayah dan ibu lebih tinggi di Bandung dibandingkan di Padang. Menurut Sukandar (2007), tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak terutama pemberian makan, konsumsi pangan dan status gizi. Data sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan wilayah disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik keluarga dan wilayah SMA

Karakteristik Bandung Padang Total

n % n % n %

(35)

maupun di Padang (47.3%) sebagai ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Suhardjo 1989).

Besar keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah (Suhardjo 1989). Besar keluarga dikelompokan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang dan keluarga besar (BKKBN 1998). Sebaran karakteristik menurut karakteristik keluarga menunjukkan hampir separuh contoh (49%) di Bandung termasuk dalam besar keluarga kategori kecil, sebanyak (44%) contoh termasuk dalam besar keluarga kategori sedang dan (7%) contoh termasuk dalam kategori keluarga besar. Kemudian besar keluarga contoh di Padang (36.6%) termasuk dalam kategori kecil, (57%) termasuk dalam kategori sedang dan (6.5%) termasuk dalam kategori besar. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara besar keluarga contoh pada kedua wilayah. Secara keseluruhan, karakteristik keluarga di Bandung cenderung lebih baik daripada di Padang.

Keanekaragaman dan Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal/beragam) yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan memperoleh pangan dalam aspek gizi adalah untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi, terutama remaja memerlukan asupan yang cukup untuk masa pertumbuhannya.

Dietary Diversity Score (DDS)

Tabel 8 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi contoh di Bandung dan Padang.

Tabel 8 Sebaran contoh (%) berdasarkan kelompok pangan yang dikonsumsi dan wilayah SMA

Kelompok Pangan Bandung (n=100) Padang (n=93) Total (n=193)

n % n % n %

1 Makanan pokok berpati 100a 100a 93a 100a 193 100

2 Sayuran hijau 25a 25a 38b 30.9b 63 32.6

3 Buah dan sayur sumber vitamin A

21a 21a 10a 10.8a 31 16.1

4 Buah-buahan dan sayuran lain

45a 45a 40a 43a 85 44

5 Jeroan 2a 2a 0a 0a 2 1

6 Daging dan ikan 88a 88a 84a 90.3a 172 89.1

7 Telur 56a 56a 49a 52.7a 105 54.4

8 Polong, kacang dan biji 35a 35a 42a 45.2a 77 39.9 9 Susu dan produk susu 62a 62a 44b 47.3b 106 54.9 a,b

Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)

(36)

14

(Ruel 2003). Keanekaragaman pangan dapat diukur dengan menjumlahkan makanan atau kelompok pangan yang dikonsumsi selama satu hari dengan menggunakan data food recall 1x24 jam (Kennedy et al. 2007). Sebaran contoh berdasarkan kelompok pangan, secara keseluruhan (100%) baik contoh di Bandung maupun Padang mengonsumsi makanan pokok berpati, seperti nasi, mie, roti dan kentang. Menurut Winichagoon (2008), zat gizi mikro seperti seng banyak terdapat pada pangan serealia. Kelompok pangan yang paling banyak di konsumsi lebih dari 50% pada kedua wilayah SMA antara lain makanan pokok berpati, daging dan ikan, telur serta susu dan produk susu. Hasil analisis Setiawan (2006) tahun 2002 sampai 2005, Indonesia sudah mulai mengurangi konsumsi makanan pokok yang berasal dari beras, dan diduga sudah banyak yang melakukan diversifikasi konsumsi ke arah pengganti beras seperti mie dan makanan yang dibuat dari terigu seperti roti dan berbagai jenis kue.

Sayuran mengandung vitamin, mineral, serat, dan komponen lainnya yang sangat penting dalam diet. Menurut Almatsier (2001), sayuran berwarna hijau merupakan pangan sumber zat besi nabati dan vitamin C. Konsumsi sayuran hijau di Bandung (25%) lebih kecil dibandingkan dengan contoh di Padang (30.9%). Hasil uji beda didapatkan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata konsumsi sayuran hijau di kedua wilayah (p<0.05). Sayuran yang banyak dikonsumsi antara lain sawi hijau, bayam dan kangkung. Jenis sayuran yang populer di konsumsi berdasarkan wilayah di Asia Tenggara antara lain kangkung, buncis dan bayam (Oomen & Grubben 1978). Konsumsi kelompok pangan buah dan sayur sumber vitamin A, contoh di Bandung (21%) lebih besar dibandingkan dengan contoh di Padang (10.8%). Bahan makanan yang banyak dikonsumsi adalah wortel. Menurut Almatsier (2001), nilai vitamin A dari wortel dalam satuan Retinol Ekivalen (RE)/100 gram sebesar 3600 RE. Selain itu, β-karoten dari buah-buahan dan sayuran berwarna kuning atau oranye lebih baik diserap

daripada β-karoten dalam sayur-sayuran berdaun hijau (dePee et al. 1998 dalam

Gorstein et al. 2007).

Buah dan sayuran lain merupakan bahan makanan selain kelompok buah dan sayur sumber vitamin A, lebih dari dua per limanya contoh baik di Bandung (45%) maupun Padang (43%) mengonsumsi kelompok pangan tersebut. Sebagian besar contoh tidak mengonsumsi kelompok pangan jeroan, hanya 2% contoh di Bandung yang mengonsumsinya. Konsumsi daging dan ikan lebih dari tiga per empat contoh baik di Bandung (88%) maupun di Padang (90.3%) dapat mengonsumsi jenis pangan tersebut. Hal ini diduga karena akses pangan terhadap daging dan ikan lebih mudah didapatkan di perkotaan.

Menurut Daniels (2009), kelompok pangan yang dikonsumsi ≥50%

perempuan di Filipina antara lain makanan pokok berpati, daging dan ikan serta buah dan sayur lainnya. Hasil penelitian ini, konsumsi baik kelompok pangan buah maupun sayuran sumber vitamin A serta buah dan sayuran lain masih rendah. Hal ini sejalan dengan data hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 bahwa proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah 93,5% dan tidak tampak perubahan dibandingkan tahun 2007 (Depkes 2013).

(37)

et al. 2007, makanan hewani seperti hati, susu, dan telur juga memberikan bentuk vitamin A yang tersedia untuk fungsi fisiologis. Menurut Marlina et al. (2011), telur dapat menjadi salah satu sumber vitamin A dan zat besi. Kelompok pangan polong, kacang dan biji pada contoh di Bandung (35%) yang mengonsumsi jenis pangan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan contoh di Padang (45.2%). Sebanyak tujuh kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata konsumsi pangan contoh pada kedua wilayah (p>0.05).

Hasil kelompok pangan susu dan produk susu sedikit berbeda, contoh yang mengonsumsi jenis pangan tersebut di Bandung (62%) lebih besar dibandingkan dengan di Padang (47.3%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa konsumsi susu dan produk susu secara nyata lebih tinggi di Bandung dibandingkan di Padang (p<0.05). Winichagoon (2008) menyebutkan bahwa beberapa zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan seng salah satunya terdapat pada kelompok pangan susu.

Seiring dengan pertumbuhan pendapatan dan pengaruh makanan gaya barat, konsumsi pangan di Indonesia secara bertahap telah berubah. Sementara konsumsi beras, sayuran dan makanan laut tetap menjadi kebutuhan pokok, konsumsi pangan telah bergerak menuju lebih banyak jenis makanan. Secara khusus, telah ada peningkatan konsumsi produk berbasis gandum, buah dan produk ternak, termasuk daging sapi dan produk susu (Bond et al. 2007).

Keanekaragaman pangan berkaitan dengan kecukupan zat gizi yang dibutuhkan baik secara zat gizi makro maupun mikro dan variasi makanan yang menunjukkan dua komponen dari kualitas makanan. Rah et al. (2010) dalam analisis penelitiannya memperkuat gagasan bahwa dengan meningkatkan berbagai makanan mencerminkan kemungkinan yang lebih besar untuk memenuhi kecukupan energi dan zat gizi sehari-hari yang akan menghasilkan status gizi yang meningkat di kalangan anak-anak. Tabel menunjukkan sebaran rata-rata skor keanekaragaman konsumsi pangan berdasarkan wilayah.

Tabel 9 Sebaran rata-rata dan standar deviasi DDS dan wilayah SMA

Kelompok Pangan Bandung Padang

1 Makanan pokok berpati 1.00±0.00 1.00±0.00

2 Sayuran hijau 0.25±0.43 0.41±0.43

3 Buah dan sayur kaya vitamin A 0.21±0.40 0.11±0.31 4 Buah-buahan dan sayuran lain 0.45±0.50 0.43±0.49

5 Jeroan 0.02±0.14 0.00±0.00

6 Daging dan ikan 0.88±0.32 0.90±0.29

7 Telur 0.56±0.49 0.53±0.50

8 Kacang-kacangan 0.35±0.47 0.45±0.50

9 Susu dan produk susu 0 62±0.48 0.47±0.50

Skor keanekaragaman konsumsi pangan (DDS) 4.32±1.33 4.30±1.26

(38)

16

Mirmiran et.al (2004) menjelaskan skor keanekaragaman dikatakan beragam

apabila mengonsumsi ≥6 kelompok pangan. Gambar 3 menunjukkan sebaran

contoh dengan skor keanekaragaman konsumsi pangan.

Gambar 3 Sebaran contoh dengan skor keanekaragaman konsumsi pangan Sebagian besar contoh mengonsumsi tiga sampai lima kelompok pangan (Gambar 3), tidak ada contoh yang mengonsumsi delapan atau sembilan kelompok pangan dalam satu hari. Median nilai DDS pada remaja SMA dari kedua wilayah adalah 4 (kisaran: 2-7), sedangkan pada anak-anak di wilayah Kota Bandung adalah 6 (kisaran: 3-8) (Marlina et al.2011). Mirmiran et.al (2004) mengelompokan skor keanekaragaman konsumsi pangan menjadi tiga sub kelompok, yaitu kelompok pangan yang dikonsumsi <3, 3-5 dan ≥6 jenis pangan. Semakin tinggi skor keanekaragaman konsumsi pangan menunjukkan variasi keanekaragaman yang lebih besar. Kennedy et al. (2007) menghitung skor keanekaragaman konsumsi pangan dengan menggunakan dua indikator, yaitu DDS dengan jumlah minimal 10 gram dan DDS yang tidak diperhitungkan jumlahnya atau 0 gram. Hasil analisis deskriptif menunjukkan nilai DDS dengan jumlah minimal 10 gram sebesar 4.05±1.54 sedangkan nilai DDS yang tidak diperhitungkan jumlahnya sebesar 4.91±1.57. Rata-rata DDS tersebut dengan menggunakan batas 10 gram terjadi penurunan dari lima kelompok pangan menjadi empat kelompok pangan. Dengan demikian, diharapkan dengan menggunakan jumlah minimal pada DDS akan semakin tampak hubungannya dengan tingkat kecukupan gizi. Pengelompokan hasil penelitian DDS dan wilayah SMA disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan kategori DDS dan wilayah SMA

DDS Bandung Padang Total p

Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa hampir tiga per empat (71.5%) contoh mengonsumsi sebanyak tiga sampai lima jenis kelompok pangan dengan sebaran contoh di Bandung (70%) dan di Padang (73.1%). Skor keanekaragaman konsumsi pangan pada contoh di Bandung lebih beragam dibandingkan pada

(39)

contoh di Padang meskipun belum keseluruhan contoh mengonsumsi jenis pangan yang beragam. Hal ini diduga kondisi keluarga contoh seperti pendidikan ayah dan ibu yang tinggi tentu akan mempengaruhi pemilihan pangan yang baik. Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kedua wilayah (p>0.05).

Status gizi berdasarkan indikator TB/U, contoh laki-laki dan perempuan yang pendek baik di Bandung maupun Padang kurang dari 6-10% mengonsumsi 3-5 jenis kelompok pangan yang tergolong kategori sedang. Contoh laki-laki dan

perempuan yang normal di Bandung sedikit lebih tinggi mengonsumsi ≥6 jenis

kelompok pangan (kategori baik) dibandingkan di Padang. Sebaran contoh berdasarkan DDS dan status gizi pada contoh di Bandung dan Padang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Sebaran contoh (%) berdasarkan DDS, status gizi (TB/U dan IMT/U) dan wilayah SMA

Status gizi berdasarkan indikator IMT/U, contoh laki-laki yang overweight di Bandung sedikit lebih tinggi di bandingkan di Padang. Berdasarkan Tabel 11, contoh yang overweight di Bandung (10.6%) dan Padang (6.4%) lebih banyak mengonsumsi 3-5 jenis kelompok pangan dan hanya 2.1% contoh overweight di Bandung mengonsumsi ≥6 jenis kelompok pangan. Berbeda dengan contoh perempuan, meskipun contoh overweight di Padang lebih tinggi dibandingkan di Bandung lebih banyak yang mengonsumsi 3-5 jenis kelompok pangan (15.2%) dibandingkan di Bandung (7.5%). Pada contoh yang normal

laki-laki di Bandung (17%) sedikit lebih banyak mengonsumsi ≥6 jenis kelompok

pangan dibandingkan di Padang (10.6%). Contoh perempuan yang normal menunjukkan persentase sedikit lebih banyak di Bandung (20.8%) mengonsumsi

(40)

18

bahwa contoh yang memiliki status gizi normal lebih dari separuh contoh laki-laki dan perempuan baik di Bandung maupun Padang tergolong kategori sedang, kecuali contoh perempuan di Padang sebanyak dua pertiga contoh (41.3%). Kondisi tersebut diduga, contoh yang gemuk atau kurussudah menyadari antara konsumsi dan kejadian kegemukan atau kekurusan, sehingga contoh yang gemuk cenderung melaporkan lebih sedikit dari yang dikonsumsisedangkan contoh yang kurus cenderung melaporkan lebih banyak dari yang dikonsumsi. Menurut beberapa penelitian nilai DDS yang tinggi terkait dengan status gizi baik anak-anak di negara-negara berkembang (Arimond dan Ruel 2004; Sawadogo et al. 2006 ).

Selain itu, terdapat beberapa metode untuk mengukur keanekaragaman konsumsi pangan, diantaranya adalah Healthy Eating Index (HEI), Pola Pangan Harapan (PPH) dan Australian Child and Adolescent Recommended Food Score (ACARFS). HEI merupakan alat untuk mengukur kepatuhan konsumsi pangan yang dihubungkan dengan angka kecukupan berdasarkan piramida makanan yang dikembangkan oleh Center for Nutrition Policy and Promotion USDA. HEI ditujukan untuk mengevaluasi kualitas diet pada waktu tertentu dan juga sebagai metode untuk memonitor perubahan pola makan (USDA 2008).

HEI tahun 2005 terdiri dari 10 komponen yaitu 5 komponen pertama berdasarkan 5 kelompok pangan utama pada USDA Food Guide Pyramid 1992 yaitu gandum, buah-buahan, sayuran, daging dan susu. Komponen ke 6 sampai dengan 10 berdasarkan aspek yang tercantum dalam Dietary Guidelines for American tahun 1995 yaitu total lemak, total lemak jenuh, kolesterol, sodium dan keragaman (Kennedy 2008). Namun HEI tahun 2005 sudah ada perubahan yang lebih spesifik pada HEI tahun 2010. HEI tahun 2010 terdiri dari 12 komponen, 9 komponen kecukupan dan 3 komponen moderasi. Komponen HEI tahun 2005 dari Lemak, minuman beralkohol, dan gula yang ditambahkan telah dimodifikasi. Sejumlah komponen yang berubah dari tahun 2005 antara lain sayuran hijau dan kacang diganti sayuran hijau dan sayuran berwarna kuning serta kacang-kacangan; seafood dan protein nabati, yang merupakan sub-kelompok yang dipilih dari makanan protein; asam lemak diganti menjadi dua komponen lemak jenuh dan minyak; dan biji-bijian (Guenther et al. 2013).

(41)

Marshall et al. (2012) mengembangkan metode pengukuran kualitas diet dengan menggunakan Australian Child and Adolescent Recommended Food Score (ACARFS). Metode ACARFS tersebut terdiri dari delapan kelompok pangan, dimana skor yang diberikan berkisar 0-73 dengan 20 pertanyaan terkait intake sayuran, 12 pertanyaan untuk buah-buahan, 13 pertanyaan untuk pangan sumber protein (tujuh untuk daging dan enam untuk yang bukan jenis daging), 12 pertanyaan untuk roti atau serealia, 10 pertanyaan untuk pangan dari susu, 1 pertanyaan untuk air dan 2 pertanyaan untuk bumbu atau saus. Data tersebut diperoleh dari FFQ dimana masing-masing kelompok pangan diberikan skor berdasarkan seberapa sering mengonsumsi jenis pangan tersebut. Kelemahannya adalah pengukuran dengan metode ini tidak menyediakan secara spesifik rekomendasi dari jumlah yang dikonsumsi dalam kelompok pangan, sistem pemberians kor dilakukan secara subjektif yang memiliki kemungkinan dengan metode ACARFS menjadi overestimate dari segi kualitas diet.

Intake Energi dan Zat Gizi

Asupan energi danzat gizi dari kedua SMA disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan asupan dan wilayah SMA

Zat Gizi Asupan

Bandung Padang

Energi (Kal/hari)1 2133±861a 1630±838b

Protein (g/hari)2 59.1(12.1,283.2)a 51(13.3,188.5)b Zat Besi (mg/hari)2 12.8(2.4,147.8)a 9.03(1.2,71.4)a Vitamin A (RE/hari)2 I769.1(5.37,6392.9)a 282.5(4.1,2268.2)b Vitamin C (mg/hari)2 19.7(0,105.2)a 16.07(0,1161.1)a Kalsium (mg/hari)2 446.7(21.3,8785.1)a 489.13(31.1,4244.8)a

Seng (mg/hari)1 6.33±2.92a 5.16±2.67b

a,b

Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)

1

Rata-rata ± SD, 2Median (Min,Mak)

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012 menetapkan kecukupan energi anak usia 13-15 tahun dan 16-18 tahun masing-masing sebesar 2125 Kal/hari dan 2151 Kal/hari. Berdasarkan Tabel 7, rata-rata asupan energi pada contoh di Bandung sudah memenuhi AKG 2013, sedangkan asupan zat gizi lainnya masih di bawah AKG kecuali asupan vitamin A. Kondisi ini berbeda dengan asupan energi dan enam jenis zat gizi pada contoh di Padang yang masih di bawah AKG. Sunarno dan Untoro (2002) dalam WHO (2006), dalam sebuah survey konsumsi pangan di Indonesia tahun 2002 menemukan bahwa asupan energi pada remaja adalah 1104-1238 Kal. Asupan energi pada penelitian ini lebih tinggi dari penelitian tersebut. Hasil uji beda menunjukkan bahwa asupan energi, protein, vitamin A dan seng adalah nyata lebih tinggi di Bandung dibandingkan di Padang (p<0.05). Namun asupan zat besi, vitamin C dan kalsium tidak berbeda nyata antar kedua wilayah (p>0.05).

(42)

20

tingkat kecukupan energi dan zat gizi baik secara makro maupun mikro yang disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kecukupan gizi serta wilayah SMA

Zat Gizi Bandung Padang Total

n % n % n %

Energi

Defisit 56 56 69 64.2 125 64.8

Cukup 25 25 15 16.1 41 20.7

Kelebihan 19 19 9 9.7 28 14.5

Total 100 100 93 100 193 100

Protein

Defisit 49 49 57 61.2 106 54.9

Cukup 19 19 14 15.1 33 17.1

Kelebihan 32 32 22 23.7 54 28

Total 100 100 93 100 193 100

Zat Besi

Kurang 61 61 57 61.3 118 61.1

Cukup 39 39 36 38.7 75 38.9

Total 100 100 93 100 193 100

Vitamin A

Kurang 15 16 64 68 80 41.5

Cukup 85 84 29 31.2 113 58.5

Total 100 100 93 100 193 100

Vitamin C

Kurang 85 85 83 83 168 87

Cukup 15 15 10 10.8 25 13

Total 100 100 93 100 193 100

Kalsium

Kurang 70 70 57 61,3 127 65.8

Cukup 30 30 36 38,7 66 34.2

Total 100 100 93 100 193 100

Seng

Kurang 96 96 90 96.8 186 96.4

Cukup 4 4 3 3.2 7 3.6

Total 100 100 93 100 193 100

Tingkat kecukupan gizi untuk vitamin dan mineral terdiri dari zat besi, vitamin A, vitamin C, kalsium dan seng. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dikategorikan kurang apabila tingkat kecukupan <77% dan cukup apabila tingkat

kecukupan ≥77% (Gibson 2005). Berdasarkan Tabel 9 baik di Bandung (63%)

(43)

kekurangan asupan seng. Kondisi tersebut diduga rendahnya konsumsi sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral.

Frekuensi Konsumsi

Frekuensi konsumsi merupakan distribusi konsumsi makanan oleh contoh pada periode tertentu. Tabel 14 menunjukkan rata-rata frekuensi konsumsi contoh di SMA Kota Bandung dan Padang.

Tabel 14 Rata-rata frekuensi konsumsi berdasarkan wilayah SMA Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu)

Bandung Padang

Makanan pokok

Nasi 13.7±7.8a 14.6±7.4a

Mie 4.2±7.1a 4.2±8.3a

Roti 3.8±6.5a 4.4±7.6a

Protein hewani

Daging ayam 10.0±12.3a 5.8±10.7b

Daging sapi 4.0±8.7a 3.6±8.5a

Telur 3.6±8.3a 4.1±8.3a

Ikan 3.5±6.9a 4.9±8.3b

Susu 4.1±8.8a 5.2±12.5a

Protein nabati

Tahu 6.4±12.0a 3.8±5.9a

Tempe 4.1±7.5a 4.9±9.1a

Sayuran

Bayam 4.5±10.5a 3.7±10.4a

Wortel 3.5±6.5a 3.4±10.0b

Kangkung 3.2±7.7a 3.6±8.8a

Buah-buahan

Jeruk 3.8±7.2a 3.5±7.1a

Pepaya 1.7±4.9a 3.0±8.4b

Pisang 2.6±5.8a 3.9±8.2b

Apel 1.9±3.6a 1.6±4.2a

Jajanan

Bakso 5.1±11.3a 2.6±6.4a

Siomay 2.4±7.9a 2.4±7.1a

Pisang goreng 2.6±7.7a 1.7±4.8a

a,b

Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel yang diamati. Pada huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)

Berdasarkan Tabel 14 distribusi kelompok pangan pada makanan pokok yang sering dikonsumsi contoh di Bandung dan Padang adalah nasi dengan frekuensi 13.7±7.8 dan 14.6±7.4 kali per minggu. Hal tersebut menunjukkan konsumsi nasi rata-rata sekitar dua kali per hari dari masing-masing wilayah. Dua jenis pangan lainnya yaitu mie dan roti dikonsumsi sekitar empat kali per minggu dari masing-masing wilayah. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua wilayah (p<0.05).

(44)

22

atau hampir setiap hari contoh mengonsumsi daging ayam. Berbeda halnya dengan contoh di Padang, distribusi konsumsi protein hewani hampir tersebar secara merata, tiga jenis pangan yang sering dikonsumsi antara lain daging ayam, susu dan ikan. Rata-rata konsumsi daging ayam di Padang sebanyak 5.8±10.7 kali per minggu. Berdasarkan uji beda menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi daging ayam nyata lebih tinggi di Bandung dibandingkan di Padang, sedangkan frekuensi konsumsi ikan nyata lebih tinggi di Padang dibandingkan di Bandung (p<0.05).

Kelompok protein nabati yang paling banyak dikonsumsi adalah tahu dan tempe. Di antara kedua wilayah, frekuensi konsumsi tahu masing-masing sebanyak 6.4±12.0 dan 3.8±5.9 kali per minggu. Rata-rata konsumsi tahu pada contoh di Bandung lebih banyak dibandingkan dengan contoh di Padang. Namun berbeda dengan tempe, frekuensi konsumsi contoh di Bandung lebih sedikit dibandingkan contoh di Padang dengan rata-rata frekuensi konsumsi sebanyak 4.1±7.5 dan 4.9±9.1 kali per minggu. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi konsumsi protein nabati di kedua wilayah (p>0.05). Rata-rata frekuensi konsumsi sumber protein (hewani dan nabati) baik di Bandung maupun Padang adalah 35.7 kali/minggu dan 32.3 kali/minggu. Frekuensi konsumsi tersebut menunjukkan bahwa lebih dari lima kali per hari contoh di Bandung dan lebih dari empat kali per hari di Padang mengonsumsi sumber protein. Di lihat dari hasil tersebut, frekuensi konsumsi contoh di Bandung dan Padang sudah melebihi konsumsi yang dianjurkan Pedoman Gizi Seimbang (PGS) 2014 yaitu sebanyak 2-4 porsi jika asumsinya jumlah yang dikonsumsi sesuai dengan jumlah porsi dari masing-masing jenis pangan sumber protein.

Frekuensi konsumsi jenis sayur dan buah adalah seberapa sering contoh mengonsumsi setiap jenis buah dan sayur dalam periode satu bulan yang dikonversi menjadi kali per minggu. Jenis sayur yang paling sering dikonsumsi oleh contoh di Bandung dan Padang adalah bayam dengan frekuensi konsumsi sebanyak 4.5±10.5 dan 3.7±10.4 kali per minggu. Namun di antara ketiga jenis sayuran, frekuensi konsumsi wortel terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.002) antara kedua wilayah. Konsumsi jenis pangan buah yang paling banyak dikonsumsi contoh di Bandung adalah jeruk sebanyak 3.8±7.2 kali per minggu, sedangkan frekuensi konsumsi contoh di Padang adalah pisang sebanyak 3.9±8.2 kali per minggu. Hasil uji beda menunjukkan perbedaan yang nyata pada jenis pangan pepaya dan pisang (p<0.05).

(45)

Asia Tenggara sebanyak 76.3% dari usia 13-15 tahun mengonsumsi sayuran dan buah-buahan tidak sesuai dengan yang dianjurkan (<5 porsi per hari). Menurut Kemenkes (2014), konsumsi sayuran dan buah-buahan di Indonesia pada kelompok usia di atas 10 tahun masih rendah (63.3% dan 62.1%).

Jenis jajanan yang paling banyak dikonsumsi di antaranya adalah bakso, siomay dan pisang goreng. Frekuensi konsumsi bakso lebih sering pada contoh di Bandung dibandingkan dengan contoh di Padang, dengan frekuensi konsumsi masing-masing sebanyak 5.1±11.3 dan 2.6±6.4 kali/minggu. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi konsumsi pada masing-masing jenis jajanan (p<0.05).

Nutrient Adequacy Ratio (NAR)

NAR atau rasio kecukupan gizi yaitu persentase asupan zat gizi dibandingkan dengan angka kecukupan gizi pada usia tertentu. Mirmiran et al. (2004) menyebutkan untuk mengestimasi kecukupan zat gizi dari diet, NAR dikalkulasikan dari asupan energi dan dua belas jenis zat gizi (vitamin A, riboflavin, tiamin, vitamin C, kalsium, zat besi, seng, fosfor, magnesium, protein, kalium dan lemak). Berbeda dengan penelitian Marlina et al. (2011) hanya menghitung tingkat kecukupan dari energi dan enam jenis zat gizi (protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi dan seng).

Tabel 15 Sebaran NAR (%) contoh berdasarkan wilayah SMA

Zat Gizi1 NAR (%)

Bandung Padang

Energi (Kal/hari) 73.8 (35.2, 99.2)a 56.2 (7.3, 99.1) Protein (g/hari) 60.4 (16.8, 99.2) 58.8 (10.7, 97.5) Zat Besi (mg/hari) 36.9 (12.4, 99.7) 29.7 (4.7, 99.3) Vitamin A (RE/hari) 54.0 (0.9, 92.8) 27.9 (0.7, 96.6) Vitamin C (mg/hari) 20.9 (0, 87.7) 20.3 (1.8, 96.8) Kalsium (mg/hari) 24.2 (2.5, 87.1) 18.2 (1.8,99.3)

Seng (mg/hari) 33.2 (10.8, 97.8) 28.7 (4.2, 90.9)

a,b

Huruf yang beda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05)

1

Median (Min, Mak)

(46)

24

Mean Adequacy Ratio (MAR)

MAR atau rata-rata rasio kecukupan gizi yaitu rata-rata NAR untuk seluruh zat gizi. Menurut Steyn et.al (2006), MAR digunakan untuk mengukur kecukupan gizi dari seluruh diet. Nilai ideal baik NAR maupun MAR adalah 100% yang menunjukkan asupan gizi sesuai dengan kebutuhan. Menurut Gibson (1990), MAR tidak mengidentifikasi zat gizi tertentu yang tidak memadai dalam diet. MAR atau dengan kata lain adalah mutu gizi asupan pangan menunjukkan apakah makanan tersebut bergizi atau tidak yang berkaitan dengan kebutuhan bagi tubuh (Hardinsyah 2001 dalam Anwar 2013).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan MAR dan wilayah SMA

Kategori Bandung Padang Total

n % n % n %

Sangat kurang 16 16 38 40.9 54 28

Kurang 12 12 15 16.1 27 14

Cukup 24 24 13 14 37 19.2

Baik 48 48 27 29 75 38.9

Total 100 100 93 100 193 100

(47)

Tabel 17 Simpulan dari beberapa studi mengenai DDS di negara-negara berkembang

No Pengarang Judul Contoh Pengukuran

konsumsi pangan Indikator DD Hasil

1. Azadbakht &

-5 kelompok pangan tersebut dibagi menjadi 23 sub kelompok pangan -Skor 0-10 dan masing-masing

kelompok pangan memiliki nilai minimum-maksimum 0-2

-DDS yang tinggi berhubungan dengan diet yang lebih sehat

-DDS yang tinggi berkorelasi positif dengan energi, total asupan serat, kalsium dan vitamin C -DDS adalah indeks untuk

mengukur pola konsumsi pangan

-DDS berhubungan dengan rendahnya risiko obesitas dan adiposit abdominal

Daging, unggas, ikan dan telur Buah dan sayur sumber vitamin A Buah dan sayuran lain

Makanan yang diolah menggunakan minyak, lemak atau butter

(48)

26

No Pengarang Judul Contoh Pengukuran

konsumsi pangan Indikator DD Hasil

3. Kennedy et al.

Polong dan kacang-kacangan Buah dan sayur sumber vitamin A Buah lainnya

Sayuran lainnya Minyak dan lemak Lainnya

-Koefisien korelasi antara asupan dan DDS menggunakan 10 gram lebih tinggi daripada DDS tanpa jumlah minimum -NAR dari semua jenis zat

gizi mikro berkorelasi positif dengan DDS -DDS dan DDS 10 gram

dapat menjadi prediktor kecukupan zat gizi mikro Buah dan sayur sumber vitamin A Buah lainnya positif signifikan dengan DDS

(49)

No Pengarang Judul Contoh Pengukuran

konsumsi pangan Indikator DD Hasil

5. Mirmiran et

-Setiap kelompok pangan dibedakan menjadi beberapa sub kelompok

-Terdapat korelasi positif yang signifikan (r = 0,42, p<0,001) antara DDS dan MAR pada remaja. -Nilai DDS enam atau

lebih memiliki indeks masa tubuh yang lebih dikonsumsi selama 24 jam (total 9) -FVS (Food Variety Score): jenis

pangan yang dikonsumsi selama 24 jam (total 45)

-9 kelompok pangan:

Serealia, umbi dan akar putih (tubers)

Buah dan sayur sumber vitamin A Buah lainnya berkorelasi positif dengan FVS dan DDS

(50)

28

No Pengarang Judul Contoh Pengukuran

konsumsi pangan Indikator DD Hasil

7. Hatloy et al. (1998)

Food variet- a good indicator of nutritional adequacy of the

diet? A case study from an urban area in Mali, West

Africa

-1-5 tahun -N= 77

- 2-3 hari penimbangan secara langsung - Energi dan 9 jenis

zat gizi: protein, zat besi, kalsium, vitamin A, B1, B2, B3, C dan folat

- DDS: kelompok pangan berbeda yang dikonsumsi selama 2-3 hari (total 8) - FVS: jenis pangan berbeda

yang dikonsumsi selama 2-3 hari (total 75)

- 8 kelompok pangan: Makanan berpati Sayuran hijau Sayuran lainnya Buah-buahan Daging Ikan Susu Telur

Lainnya (gula)

-Korelasi Person: MAR & FVS = 0.33 MAR & DDS = 0.39 -Cut off terbaik:

(51)

Hubungan Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan Keanekaragaman dan Konsumsi Pangan

Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Keluarga dengan DDS

Variabel karakteristik keluarga yang diuji hubungannya dan berkaitan dengan konsumsi hanya pendidikan orangtua dan uang jajan. Pendidikan orangtua yang tinggi memiliki peluang memperoleh pendapatan yang tinggi sehingga penyediaan pangan akan lebih baik. Dengan demikian variabel karakteristik keluarga hanya pendidikan orangtua yang diuji sehingga dapat memberi uang jajan lebih banyak. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara pendidikan orangtua baik ayah dan ibu dengan uang jajan contoh, sehingga pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga tidak berhubungan signifikan dengan karakteristik contoh (p>0.05).

Hasil uji korelasi Spearman pendidikan ayah berhubungan positif dengan asupan energi (p=0.009, r=0.187), vitamin A (p=0.002, r=0.219), vitamin C (p=0.034, r=0.153) dan seng (0=0.025,r=0.161). Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ayah maka memiliki peluang dalam pemilihan pangan yang lebih baik. Selain itu, hubungan NAR juga sejalan dengan asupan, dan pendidikan ayah berhubungan positif dengan NAR energi (p=0.015, r=0.175), vitamin A (p=0.003, r=0.212), vitamin C (p=0.035, r= 0.152) dan MAR (p=0.049, r=0.142). Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan ayah maka tingkat kecukupan energi,vitamin A dan vitamin C yang lebih baik. Menurut Lusiana (2008), pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula. Dengan demikian, diduga pemenuhan konsumsi pangan mampu memenuhi sumber vitamin A dan vitamin C berasal dari buah dan sayur serta sumber seng yang berasal dari pangan hewani yang memiliki harga yang relatif mahal atau dipengaruhi oleh ketersedian pangan yang lebih sering dikonsumsi di masing-masing wilayah. Penelitian ini sejalan dengan Wulansari (2009), konsumsi sayur berhubungan dengan pendidikan orang tua.

Besar keluarga memiliki hubungan negatif dengan asupan vitamin A (p=0.037,r=-0.150). Artinya semakin besar jumlah anggota keluarga semakin kecil asupan vitamin A. Menurut Sanjur (1982), besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga.

(52)

30

Peran keanekaragaman pangan menjamin kecukupan zat gizi yang dibutuhkan baik secara zat gizi makro maupun mikro seperti dalam Mirmiran et al. (2004) pada remaja 10-18 tahun di Tehran menunjukkan korelasi positif yang signifikan (r = 0,42, p<0,001) antara DDS dan MAR. Korelasi Spearman antara NAR dan DDS untuk beberapa jenis zat gizi yang dihitung disajikan pada Tabel 18. DDS memiliki korelasi positif yang signifikan dengan semua jenis zat gizi (energi, protein, zat besi, vitamin A, vitamin C, kalsium dan seng). Artinya semakin tinggi NAR dan MAR maka nilai DDS menunjukkan nilai yang lebih tinggi. Selain itu, MAR berhubungan positif signifikan dengan DDS dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0.367. Penelitian ini sejalan dari penelitian Marlina et al. (2011) yang menunjukkan hasil korelasi koefisien antara MAR dan DDS sebesar 0.354 dan DDS memiliki kemungkinan menjadi indikator tingkat kecukupan gizi bagi anak-anak (Steyn et al. 2006; Hatloy et al. 1998). Jumlah minimum yang diterapkan sebanyak 10 gram untuk menilai DDS dapat meningkatkan koefisien korelasi dari NAR dan DDS (Kennedy et al. 2006). Tabel 18 menunjukkan koefisien korelasi NAR, MAR dan DDS.

Tabel 18 Koefisien korelasi antara NAR dan total DDS

Nutrient Adequacy Ratio (NAR) Koefisien korelasi (r) dan DDS

Energi 0.375**

Protein 0.232**

Zat Besi 0.247**

Vitamin A 0.221**

Vitamin C 0.503**

Kalsium 0.176**

Seng 0.299**

MAR 0.367**

** p<0.01

Hubungan antara DDS dan Status Gizi

Sebaran kategori DDS, rata-rata z-skor serta wilayah SMA disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Sebaran kategori DDS dan berdasarkan rata-rata z-skor serta wilayah SMA

DDS Bandung Padang

TB/U IMT/U TB/U IMT/U

Kurang (<3 jenis) -0.87±0.86 0.52±1.18 -0.88±0.79 0.92±1.09 Sedang (3-5 jenis) -0.85±0.87 0.01±1.27 -0.89±0.96 -0.15±1.62 Baik (≥6 jenis) -0.99±0.59 -0.23±1.04 -0.53±0.79 -0.12±1.73

Gambar

Gambar 1  Bagan kerangka pemikiran keanekaragaman konsumsi pangan dan status gizi remaja di Bandung dan Padang
Tabel 1  Variabel, jenis data dan cara pengambilan data
Tabel 2  Angka kecukupan energi dan zat gizi remaja
Tabel 3  Skor keanekaragaman konsumsi pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

19 Tingkat pemenuhan kebutuhan (tingkat konsumsi) zat gizi diperoleh dari jumlah konsumsi masing-masing zat gizi dari 9 kelompok pangan yang terdiri dari padi-padian,

Hipotesis penelitian ini adalah (1) kualitas konsumsi pangan remaja SMA berstatus gizi stunted adalah nyata lebih rendah daripada yang berstatus gizi normal, (2)

konsumsi pangan rumahtangga kota dan desa di pulau Jawa,.. tingkat keanekaragaman konsumsi pangan rumahtanggd

Konsumsi Sugar Sweetened Beverages dan Kejadian Status Gizi Lebih pada Remaja di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta.. Review Faktor Determinan Keragaman

APRILIA PITRIANI. Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Gizi dengan Tingkat Kebugaran Atlet Taekwondo Remaja di Pemusatan Latihan Nasional Cipayung, Bogor. Dibimbing

Penelitian yang dilakukan oleh Arimond dan Ruel mengenai keragaman konsumsi pangan pada status gizi anak pun menyatakan bahwa konsumsi pangan seperti keragaman

Namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi body image   dengan perilaku diet, konsumsi pangan dan status gizi, pengetahuan gizi dan tingkat kecukupan

19 Tingkat pemenuhan kebutuhan (tingkat konsumsi) zat gizi diperoleh dari jumlah konsumsi masing-masing zat gizi dari 9 kelompok pangan yang terdiri dari padi-padian,