• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KETERKAITAN KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI,

DAN STATUS KESEHATAN LANSIA DI KOTA BANDUNG

RATIA YULIZAWATY

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

(4)

1

RINGKASAN

RATIA YULIZAWATY. Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan VERA URIPI.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui keterkaitan konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia di Kota Bandung. Adapun tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1) Mengidentifikasi karakteristik lansia di panti Werdha dan non panti, 2) Mengidentifikasi dan membandingkan konsumsi pangan, tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, B6, asam folat dan vitamin C di panti Werdha dan non panti, 3) Mengidentifikasi dan membandingkan status gizi di panti Werdha dan non panti, 4) Mengidentifikasi dan membandingkan status kesehatan di panti Werdha dan non panti, 5) Menganalisis hubungan tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, B6, dan vitamin C terhadap status gizi dan status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti, 6) Menganalisis hubungan tekanan darah terhadap kejadian anemia lansia di panti Werdha dan non panti, 7) Menganalisis hubungan status gizi terhadap status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung berjudul ―A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspect of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home‖ yang didanai oleh Neys–van Hoogstaren Foundation, the Netherlands. Desain yang digunakan dalam penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juli 2012. Lansia yang dipilih menjadi contoh merupakan lansia yang tinggal di panti dan masyarakat (non panti) sebanyak 115 orang. Data yang digunakan meliputi karakteristik lansia, karakteristik sosial ekonomi, konsumsi pangan, tekanan darah, kadar hemoglobin, status kesehatan, dan perawatan kesehatan lansia.

Lansia yang menjadi responden terdiri dari 95 orang laki–laki (82.6%) dan 20 orang perempuan (17.4%). Sebagian besar lansia berada pada rentang usia 60– 74 tahun tahun (69.6%) dan 75–90 tahun (28.7%), hanya 1.7% lansia yang berusia >90 tahun. Lebih dari setengah (58.3%) status pernikahan lansia tergolong janda/duda, 27.8% berstatus menikah dan 13.9% berstatus tidak menikah. Sebanyak 44.3% lansia tidak tamat SD, 21.7% SD, 16.5% SMP, 12.2% SMA dan hanya 5.2% perguruan tinggi. Keseluruhan lansia umumnya sudah tidak bekerja (67.0%) dan pensiunan (15.7%). Pendapatan umumnya tergolong tinggi (52.2%) dan rendah (29.1%), hanya 8.7% yang tergolong sedang.

(5)

2 tinggal bersama keluarga lebih tinggi dibandingkan dengan lansia yang tinggal di panti. Tingkat kecukupan vitamin secara keseluruhan tidak terlalu berbeda antara lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga.

Sebanyak 34.8% lansia berstatus gizi normal, 29.6% overweight, 24.3% obese 1 dan hanya 11.3% tergolong kurus. Secara keseluruhan, 71.3% lansia tergolong hipertensi dan hanya 27.8% normal. Status anemia menunjukkan sebanyak 60% lansia laki–laki tergolong kurang dan 40% normal sedangkan sebanyak 51% lansia perempuan tergolong kurang dan 49% tergolong normal. Persepsi status kesehatan lansia menunjukkan bahwa sebanyak 70.4% tergolong baik, 16.5% sangat buruk dan 13% sedang. Penyakit yang paling umum terjadi pada lansia adalah hipertensi (41.7%), arthritis (45.2%), dan sakit maag (32.2%). Secara keseluruhan disabilitas fisik lansia tergolong baik untuk penglihatan (47%) dan pendengaran (92.2%). Pemeriksaan kesehatan yang paling sering dilakukan adalah tekanan darah (63.5%), fisik (42.6%) dan gula darah (16.5%). Pemeliharaan kesehatan yang sering dilakukan lansia adalah menjaga pola makan (72.2%), membatasi makanan (66.1%), menghindari stres (62.6%), berolahraga (68.7%) dan beribadah (76.5%).

(6)

ABSTRAK

RATIA YULIZAWATY. Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan VERA URIPI.

Penurunan fungsi tubuh akan terjadi pada populasi usia lanjut. Penurunan fungsi tubuh akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk bekerja secara normal terutama dalam mengonsumsi makanan. Kurangnya konsumsi pangan pada usia lanjut akan berdampak pada status gizi dan meningkatkan risiko terhadap kejadian anemia dan masalah status kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keterkaitan konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia yang tinggal di Panti Werdha dan bersama keluarga di Kota Bandung. Desain penelitian yang digunakan adalah studi retrospektif dan pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei 2012. Jumlah lansia yang digunakan sebanyak 115 orang lansia. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi tergolong normal, protein tergolong kurang, kalsium tergolong kurang, zat besi tergolong cukup, dan vitamin tergolong kurang. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B1, B2, B6 dan vitamin C dengan status kesehatan (p>0.05). Namun, terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi, tingkat kecukupan vitamin B1 dan B2 dengan status kesehatan, status gizi dan status anemia dengan status kesehatan serta tekanan darah dengan status anemia (p<0.05).

Kata kunci: konsumsi pangan, lansia, status kesehatan, status gizi

ABSTRACT

RATIA YULIZAWATY. Relationship of Food Consumption, Nutritional Status, and Health Status on Elderly in Bandung. Under direction of ALI KHOMSAN and VERA URIPI.

(7)

there was correlation among level of protein intake to nutritional status, level of vitamin B1 and B2 intake to health status, nutritional status and anemia to health status, as well as blood pressure to anemia (p<0.05).

(8)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

KETERKAITAN KONSUMSI PANGAN, STATUS GIZI,

DAN STATUS KESEHATAN LANSIA DI KOTA BANDUNG

RATIA YULIZAWATY

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(9)

Judul Skripsi : Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung

Nama : Ratia Yulizawaty NIM : I14090074

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Pembimbing I

dr. Vera Uripi S. Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia–Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini ialah konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan, dengan judul Keterkaitan Konsumsi Pangan, Status Gizi dan Status Kesehatan Lansia di Kota Bandung. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan dr. Vera Uripi selaku dosen pembimbing Skripsi atas waktu, bimbingan dan masukannya dalam penyusunan karya ilmiah ini.

2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan skripsi.

3. Neys–van Hoogstaren Foundation, the Netherlands yang telah membiayai penelitian payung yang berjudul ―A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspects of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home‖, beserta para penelitinya yaitu Rita Patriasih, M.Si, Dr. Isma Widiaty, dr. Mira Dewi, Msi dan Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS.

4. Keluarga tercinta : ibunda tersayang (Ibu Lina), Ratna Ayu Safitri dan Randi Putra Pranata (Kakak) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan kasih sayangnya.

5. Teman–teman terdekat : Avliya Quratul Marjan, Rammona Jayana, Yusvita Sari, Arnati Wulansari, Qurratu Aini, Chairunnisa Utami, Bibi Ahmad Chahyanto, Noeryda Pramudyta, Ksatriadi Widya Dwinugraha yang banyak membantu dalam memberikan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

6. Teman–teman satu bimbingan : Utami Wahyuningsih, Heti Sondari dan Ika Rohmah Sekarayu atas semangat dan kerjasamanya.

7. Teman–teman Internship Dietetik (ID) dan Kuliah Kerja Profesi (KKP) : Niken Rizki Amalia, Estu Nugroho, Anisa Rahmi, Indah Dwi Pertiwi, Rikardo Sembiring, dan Faris Husaini El Shabir yang selalu memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

8. Teman–teman OMDA IKPMR angkatan 46 (Esi, Sarah, Arini, Ayu, Dila, Dana, Wal, Ilham) serta Azyl Yunia Komala Sari yang selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

9. Teman–teman pembahas seminar : Meirisa Rahmawati, Soni Fauzi, Heti Sondari dan Karina Indah Pertiwi yang telah memberikan saran selama seminar.

10. Teman–teman Gizi Masyarakat 46, 47 dan 48 serta kakak kelas 45 dan teman–teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan penyusunan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitan 2

Tujuan Umum 2

Tujuan Khusus 2

Hipotesis Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE PENELITIAN 5

Desain, Tempat, dan Waktu 5

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

Definisi Operasional 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Keadaan Umum Panti Werdha 11

Keadaan Umum Kecamatan Sukasari 13

Karakteristik Lansia 13

Pola Konsumsi Pangan 16

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein 19

Tingkat kecukupan Kalsium dan Zat Besi 22

Tingkat Kecukupan Vitamin C, B1, B2 dan B6 23

Status Gizi 25

Tekanan Darah 26

Anemia 27

Status Kesehatan 29

(12)

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Gizi 31 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Status Kesehatan 33 Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Status Anemia 34

Hubungan Tekanan Darah dengan Status Anemia 34

Hubungan Status Anemia dan Status Gizi dengan Status Kesehatan 35

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37

LAMPIRAN 41

RIWAYAT HIDUP 48

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data peubah dan cara pengumpulan data 6

Tabel 2 Oxford equation untuk estimasi kebutuhan energi lansia usia >60 tahun 7

Tabel 3 Faktor aktivitas lansia menurut status gizi dan jenis kelamin 8

Tabel 4 Sebaran dan statistik lansia di panti dan non panti 14

Tabel 5 Sebaran statistik frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium 17

Tabel 6 Sebaran statistik frekuensi konsumsi minuman 19

Tabel 7 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein lansia 20

Tabel 8 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein 21

Tabel 9 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan mineral lansia 23

Tabel 10 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan kalsium dan zat besi 23

Tabel 11 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin B dan C lansia 24

Tabel 12 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan vitamin B dan C 25

Tabel 13 Sebaran lansia menurut status gizi 26

Tabel 14 Sebaran lansia menurut tekanan darah 27

Tabel 15 Sebaran lansia menurut kadar hemoglobin 29

Tabel 16 Sebaran lansia menurut persepsi kondisi kesehatan 30

Tabel 17 Sebaran lansia menurut penyakit yang dialami 30

(13)

dan mineral dengan status gizi 33 Tabel 20 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi

dan protein dengan status kesehatan 33 Tabel 21 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi

dan protein dengan status kesehatan 34

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan kerangka pemikiran keterkaitan konsumsi pangan, status gizi,

dan status kesehatan lansia 4

DAFTAR LAMPIRAN

(14)
(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemajuan perekonomian sangat berperan pada peningkatan taraf hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Meningkatnya usia harapan hidup penduduk merupakan indikator keberhasilan pembangunan yang harus dicapai dalam suatu negara. Peningkatan usia harapan hidup menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun ke tahun sebagai dampak dari peningkatan kualitas kesehatan. Lanjut usia adalah suatu proses alami yang pasti akan terjadi pada setiap individu yang diberikan umur panjang. Dekade belakangan ini menunjukkan populasi lanjut usia meningkat dinegara berkembang, yang awalnya hanya terjadi dinegara maju. Pertambahan jumlah lansia di beberapa negara, salah satunya Indonesia, telah mengubah profil kependudukan baik nasional maupun dunia. Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia berjumlah 18.57 juta jiwa, meningkat sekitar 7.93% dari tahun 2000 sebanyak 14.44 juta jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di Indonesia akan bertambah sekitar 34.22 juta jiwa (BPS 2010).

Peningkatan jumlah penduduk lansia yang cukup tinggi tentunya akan menjadikan lansia menjadi salah satu kelompok yang sangat penting diperhatikan, terutama terkait kesehatan, baik secara klinis maupun fisik. Masalah kesehatan lansia erat kaitannya dengan penyakit degeneratif dan progresif. Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki/mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo 2006).

Berdasarkan hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, penyakit terbanyak diderita lansia adalah penyakit sendi (52.3%), hipertensi (38.8%), anemia (30.7%) dan katarak (23.0%). Penyakit–penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (Komnas Lansia 2010). Prevalensi sindrom metabolik pada usia 60 tahun keatas hampir dua kali lipat pada wanita dibandingkan pria, sehingga diperlukan perhatian yang lebih banyak pada status kesehatan wanita usia lanjut (Kim et al. 2010). Penurunan angka metabolisme basal tubuh dan gangguan gigi dapat berpengaruh pada kemampuan mengunyah. Hal ini menyebabkan perubahan asupan makanan sehingga dapat terjadi defisiensi zat gizi (Wirakusumah 2001).

(16)

2

menurut Depkes (2003) menyatakan bahwa lebih dari 28% lanjut usia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) Jakarta memiliki IMT dibawah normal. Penelitian Mainake (2012) menyatakan bahwa status gizi lansia di Manado yang tinggal bersama keluarga sebanyak 68.4% normal, 25% gemuk dan 6.6% kurus dengan rerata IMT 23.6. Hasil penelitian ini menunjukkan rata–rata lansia memiliki status gizi normal dan akan berdampak baik terhadap derajat kesehatan lansia. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Keadaan gizi seseorang mempengaruhi penampilan, pertumbuhan dan perkembangan, kondisi kesehatan serta ketahanan tubuh terhadap penyakit (Depkes 2003).

Keluarga merupakan sosok yang paling utama dalam menjaga dan merawat lansia. Peran keluarga tentunya menjadi sangat penting dalam kelangsungan hidup lansia. Selain keluarga, masyarakat dan pemerintah juga berperan penting dalam menjaga dan merawat lansia. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah menyediakan fasilitas berupa tempat tinggal dan perawatan bagi lansia yang sudah tidak tinggal dengan keluarga dan terlantar. Dengan demikian, Panti Werdha merupakan salah satu alternatif yang diberikan pemerintah untuk membantu pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia (Rusilanti & Kusharto 2006). Penyelenggaraan makan pada lansia yang tinggal bersama keluarga dan Panti Werdha sebaiknya harus memenuhi kebutuhan gizi lansia sehingga lansia dapat memiliki pola makan yang tepat dan kondisi kesehatan yang baik. Mengingat kelompok lanjut usia merupakan kelompok yang rentan terhadap konsumsi makanannya maka peneliti ingin mempelajari keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan lansia yang tinggal di panti Werdha dan bersama keluarga di Kota Bandung.

Tujuan Penelitan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia di Kota Bandung, khususnya lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik lansia yang tinggal di panti dan non panti Werdha.

2. Mengidentifikasi dan membandingkan konsumsi pangan, tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, zat besi, vitamin B dan C di panti dan non panti Werdha.

3. Mengidentifikasi dan membandingkan status gizi di panti dan non panti Werdha.

4. Mengidentifikasi dan membandingkan status kesehatan di panti dan non panti Werdha.

(17)

3 6. Menganalisis hubungan tekanan darah terhadap kejadian anemia lansia di

panti dan non panti Werdha.

7. Menganalisis hubungan status gizi terhadap status kesehatan lansia di panti dan non panti Werdha.

Hipotesis Penelitian

1. Adanya kaitan antara konsumsi pangan, status gizi dan status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti.

2. Adanya hubungan antara kejadian anemia terhadap status gizi dan status kesehatan lansia di panti Werdha dan non panti.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi mahasiswa, memberikan informasi mengenai pentingnya konsumsi pangan dengan gizi seimbang untuk mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal.

2. Bagi masyarakat, memberikan informasi tentang penyakit anemia yang mempengaruhi status gizi dan hubungannya dengan konsumsi pangan, khususnya pada lansia sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit anemia yang mungkin terjadi.

3. Bagi pemerintah, menjadi pertimbangan untuk pemerintah dalam pengadaan program kesehatan lansia dan penyuluhan gizi mengenai pola dan jenis makanan yang tepat.

KERANGKA PEMIKIRAN

Lansia merupakan seseorang yang mengalami proses penuaan secara terus menerus ditandai dengan penurunan daya tahan fisik dan rentan terhadap terjadinya penyakit, baik secara degeneratif maupun infeksi. Penurunan daya tahan fisik akan mengakibatkan penurunan kesehatan lansia. Penurunan kesehatan lansia juga didukung oleh berkurangnya nafsu makan yang diakibatkan oleh menurunnya fungsi indera pengecap dan permasalahan pada gigi. Hal demikian akan mempengaruhi konsumsi pangan lansia. Konsumsi pangan lansia juga dipengaruhi oleh makanan yang disediakan dan jajanan yang terdapat di luar rumah/panti. Selain itu, konsumsi pangan tentunya juga dipengaruhi oleh kebiasaan, preferensi dan tabu terhadap makanan.

(18)

4

Karakteristik lansia berupa umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan akan mempengaruhi kebutuhan zat gizi tubuh baik makro maupun mikro. Selain kebutuhan zat gizi, karakteristik lansia juga akan mempengaruhi konsumsi pangan dan pola makan. Pangan yang dikonsumsi oleh lansia akan mengalami penurunan apabila kondisi lansia mengalami perubahan. Perubahan kondisi yang paling sering dialami oleh lansia adalah penurunan nafsu makan yang salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mengunyah makanan. Konsumsi pangan dapat diukur dari tingkat kecukupan zat gizi yang dikonsumsi lansia. Tingkat kecukupan lansia yang rendah dan berlangsung terus menerus dapat mempengaruhi status gizi dan kesehatan lansia. Berikut ini adalah bagan kerangka keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan (pada Gambar 1).

Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran keterkaitan konsumsi pangan, status gizi, dan status kesehatan lansia

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel tidak diteliti : Hubungan yang dianalisis : Hubungan yang tidak dianalisis

Asupan Energi dan Zat Gizi

Status Anemia

- Kadar Hemoglobin (Hb)

- Tekanan Darah Konsumsi Pangan

- Makan di rumah/panti

- Makan dari luar

Karakteristik Lansia

- Jenis Kelamin

- Usia

- Pendidikan

- Pekerjaan

Status Kesehatan

- Persepsi status kesehatan

- Jenis Penyakit yang diderita

- Disabilitas fisik

- Perawatan Kesehatan

Konsumsi Zat Besi (Heme dan Non Heme)

Tingkat Kecukupan

Status Gizi

- Defisiensi zat besi

– Berat badan (kg)

(19)

5

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul ―A Study of Nutritional Status, Health Characteristics and Psychosocial Aspects of the Elderly Living with Their Family and of Those Living in Nursing Home‖ yang dibiayai oleh Neys-van Hoogstaren Foundation, the Netherlands. Desain penelitian yang digunakan adalah studi retrospektif, yaitu studi yang waktu kejadiannya terjadi di masa lampau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2012 di Bandung.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian adalah lansia yang memenuhi kriteria inklusi yaitu lansia yang berusia 60 tahun ke atas, mampu mengonsumsi makanan melalui mulut, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami gangguan ingatan, bersedia diwawancarai sebagai responden, tinggal bersama keluarga dan di panti Werdha. Lansia yang telah memenuhi kriteria kemudian diambil dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Total sampel yang terdapat pada penelitian payung ini adalah 82 orang di panti dan 336 orang di masyarakat. Penarikan jumlah lansia dilakukan dengan menggunakan presisi 10% dan prevalensi 20.8%. Prevalensi anemia dewasa sebesar 20.8% diketahui berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Berdasarkan prevalensi anemia yang telah diketahui, dengan populasi lansia di panti 150 orang dan non panti 13.038 orang maka dapat diperoleh jumlah sampel yang berada di panti sebesar 45 orang dan non panti sebesar 63 orang. Penentuan jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Lemeshow (1997), yaitu :

Z21–α/2 p (1–p) N n =

d2 (N–1) + Z21–α/2 p (1–p) Keterangan :

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

α = derajat kepercayaan

p = proporsi lansia yang mengalami penyakit anemia d = limit dari error atau presisi absolut

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

(20)

6

dan frekuensi; 4) status anemia, yaitu kadar hemoglobin; 5) tekanan darah; 6) status gizi meliputi tinggi badan, berat badan dan tinggi lutut; 7) status kesehatan meliputi persepsi status kesehatan, penyakit yang dialami, disabilitas fisik dan perawatan kesehatan. Data dan metode pengumpulan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Data peubah dan cara pengumpulan data

No Data Alat dan Cara Pengumpulan

1. Karakteristik lansia pangan selama 2 hari dan di konversi URT ke dalam gram

4. Anemia

Kadar hemoglobin Hemocue

5. Tekanan darah Alat pengukur tekanan darah digital 6. Status Gizi

Proses pengolahan data dimulai dari proses editing, coding, entry, cleaning dan selanjutnya dianalisis. Proses editing dilakukan untuk pengecekan data, selanjutnya dilakukan coding untuk penggolongan sesuai dengan peubah dan dilakukan entry data sesuai dengan coding yang telah ditentukan sebelumnya, kemudian dilakukan cleaning yang bertujuan mengecek data untuk melihat kesesuaian pada kode yang telah ditentukan dan melihat data yang tidak sesuai. Pengolahan dan analisis data menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 20.0 for Windows.

(21)

7 setiap peubah. Pengelompokan umur lansia dikelompokkan menurut WHO, yaitu kelompok usia lanjut (elderly) yaitu 60–74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu 75–90 tahun, dan usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun (Notoatmodjo 2007). Pengkategorian jenis kelamin dibedakan menjadi dua, yaitu laki–laki dan perempuan. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi lima, yaitu tidak sekolah, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Status pekerjaan dikategorikan menjadi dua, yaitu bekerja (pedagang, PNS/ABRI, swasta, pensiunan, buruh, petani, lain– lain) dan tidak bekerja.

Data konsumsi pangan terdiri dari jenis, jumlah, dan frekuensi konsumsi pangan berupa makanan dan minuman. Frekuensi pangan sumber kalsium dan minuman dilihat berdasarkan instrumen FFQ (Food Frequency Questionnaire). Lansia diwawancarai tentang frekuensi mengonsumsi pangan dan minuman selama satu bulan kemudian dikonversi menjadi frekuensi mingguan. Data konsumsi lansia diperoleh dengan wawancara menggunakan Food Recall 2x24 jam. Lansia diminta untuk mengingat kembali makanan dan minuman yang dikonsumsi satu hari sebelum waktu wawancara. Jumlah makanan yang dikonsumsi oleh responden dikonversikan dari ukuran rumah tangga ke ukuran berat dengan menggunakan ukuran yang ada di Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) sehingga diperoleh konsumsinya sendiri (Supariasa et al. 2001). Setelah dikonversi, dihitung kandungan zat gizi seperti energi, protein, kalsium, zat besi (Fe), vitamin B dan vitamin C dengan menggunakan DKBM.

Sebelum dilakukan perhitungan terhadap tingkat kecukupan zat gizi maka terlebih dahulu dilakukan perhitungan konsumsi zat gizi terlebih dahulu. Berikut adalah rumus yang digunakan dalam menghitung konsumsi zat gizi :

Kgij = {(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)} Keterangan :

Kgij = Kandungan zat gizi–i dalam bahan makanan–j Bj = Berat makanan–j yang dikonsumsi (g)

Gij = Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan–j BDDj = Bagian bahan makanan–j yang dapat dimakan

Kebutuhan energi lansia usia >60 tahun dihitung berdasarkan pada oxford equation. Rumus perhitungan oxford equation (Henry 2005) kemudian dikoreksi dengan faktor aktifitas (PAL/ physical activity level) pada rumus perhitungan energi dari Institute of Medicine (IOM) tahun 2002 dalam Mahan & Escoot– stump (2008). Perhitungan kebutuhan energi lansia usia >60 tahun dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Oxford equation untuk estimasi kebutuhan energi lansia usia >60 tahun (Henry 2005)

Jenis kelamin BMR Kebutuhan energi Laki–laki (11.4xBB) + (541xTB) – 256 BMR x PA Perempuan (8.52xBB) + (421xTB ) +10.7 BMR x PA

Keterangan: (Berdasarkan Oxford equation) BMR = Level metabolism basal

PA = Koefisien aktivitas fisik

(22)

8

bekerja sebagai petani/buruh termasuk dalam kategori faktor aktivitas yang sangat aktif. Perhitungan kebutuhan berdasarkan faktor aktivitas (PA) dari rumus Institute of Medicine (IOM) tahun 2002 dalam Mahan & Escoot–stump (2008). Faktor aktivitas ditentukan dari pekerjaan masing–masing lansia karena pada data penelitian payung tidak terdapat data terkait waktu dari aktivitas fisik lansia. Berikut adalah faktor aktivitas berdasarkan status gizi dan jenis kelamin menurut Mahan & Escoot– stump (2008) disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Faktor aktivitas lansia menurut status gizi dan jenis kelamin Kategori Faktor Aktivitas (PA)

Laki–laki status gizi normal

PA = 1.0 (sangat ringan) PA = 1.11 (ringan) PA = 1.25 (aktif) PA = 1.48 (sangat aktif)

Laki–laki status gizi gemuk

PA = 1.0 (sangat ringan)

Keterangan : Berdasarkan Mahan & Escoot–stump (2008)

Angka kecukupan protein (AKP) bagi orang dewasa didasarkan pada rata– rata kebutuhan protein orang dewasa yang dibedakan menurut umur dan gender dan dikalikan dengan berat badan, ditambah faktor keamanan (safe level) sebesar 24% dan dikoreksi dengan faktor mutu sebesar 1.2 (Almatsier 2009).

Dengan demikian, penentuan kebutuhan protein lansia dihitung berdasarkan WNPG 2004, yaitu :

Kebutuhan protein : 0.8 g x kg BB/hari x 1.2* Ket *: 1.2 (faktor koreksi mutu)

Perhitungan tingkat kecukupan gizi ditentukan dengan membandingkan antara zat gizi yang dikonsumsi dengan kebutuhan zat gizi masing–masing lansia berdasarkan perhitungan rumus kebutuhan untuk zat gizi makro, yaitu energi dan protein. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk tingkat kecukupan zat gizi berdasarkan kebutuhan.

Tingkat kecukupan zat gizi (%) =

Pengkategorian tingkat kecukupan zat gizi makro untuk energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah :

(23)

9 Defisit tingkat berat :<70%

Defisit tingkat sedang : 70–79% Defisit tingkat ringan : 80–89% Normal : 90–119%

Lebih :≥120%

TKFe, TKCa, TKVit B dan TKVit C dihitung tanpa menggunakan koreksi berat badan melainkan dengan membandingkan konsumsi zat gizi dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan WNPG VIII (2004) sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Tingkat kecukupan vitamin dan mineral <77% AKG tergolong

kurang dan ≥ 77% tergolong cukup (Gibson 2005).

Status gizi dinilai dengan menggunakan indikator antropometri dan status anemia yang dilihat berdasarkan tinggi lutut, berat badan, dan kadar hemoglobin. Kriteria anemia menurut Almatsier (2009) ditentukan berdasarkan kadar hemoglobin, yaitu wanita <12–14 gr/dl dan laki–laki <13–16 gr/dl. Pengkategorian status gizi ditentukan berdasarkan IMT menurut WHO (2005), yaitu : sangat kurus (<14.9), kurang (15–18.4 kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m2), overweight (23–27.5 kg/m2), obese I (27.6–40.0 kg/m2), dan obese II (≥40 kg/m2). Status kesehatan meliputi persepsi status kesehatan, disabilitas fisik dan perawatan kesehatan lansia.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 20.0 for Windows. Uji statistik yang dilakukan, antara lain:

1. Analisis Deskriptif

a. Karakteristik lansia : usia, jenis kelamin, status pernikahan

b. Karakteristik sosial ekonomi : pendidikan, pekerjaan dan pendapatan c. Konsumsi pangan lansia berupa makanan dan minuman

d. Tekanan darah dan kadar hemoglobin e. Status gizi dan status kesehatan

f. Tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, kalsium, vitamin B dan vitamin C

2. Uji beda Independent Sample t–test digunakan untuk mengetahui perbedaan frekuensi pangan, tingkat kecukupan zat gizi, tekanan darah, status gizi, kadar hemoglobin dan status kesehatan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga.

3. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar peubah penelitian dengan skala ordinal, meliputi :

a. Menganalisa hubungan pendapatan dengan pendidikan.

b. Menganalisa hubungan status kesehatan dengan tingkat kecukupan zat gizi, status anemia, tekanan darah dan status gizi.

c. Menganalisa hubungan kadar hemoglobin dengan tekanan darah.

4. Uji korelasi Pearson yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan hubungan antar peubah–peubah penelitian dengan skala rasio dan interval, meliputi : a. Menganalisa hubungan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi. b. Menganalisa hubungan tekanan darah dengan status gizi.

Definisi Operasional

(24)

10

mampu untuk mengonsumsi makan menggunakan mulut, dapat berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami gangguan ingatan dan bersedia diwawancarai sebagai responden.

Lansia adalah seseorang yang sudah mencapai usia lanjut, yaitu 60 tahun.

Karakteristik lansia adalah ciri khusus yang dimiliki oleh lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga yaitu usia, jenis kelamin, agama dan status pernikahan.

Karakteristik sosial ekonomi adalah ciri khusus terkait sosial ekonomi lansia dan keluarga yang memiliki kecenderungan terhadap status gizi, status kesehatan dan kejadian anemia yaitu pendidikan, pekerjaan dan pendapatan.

Pendidikan adalah tingkatan sekolah yang pernah dialami oleh lansia dalam kegiatan belajar mengajar dan menuntut ilmu di pendidikan formal berdasarkan kategori SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan Tinggi/sederajat.

Pekerjaan adalah suatu usaha atau predikat yang dimiliki lansia untuk memperoleh penghasilan dalam memenuhi kebutuhan sehari–hari seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh lansia untuk mencukupi kebutuhan sehari–hari berupa kebutuhan pangan, tranportasi, pendidikan, kesehatan, tabungan dan lainnya.

Tempat tinggal (non panti) adalah tempat lansia menetap untuk tinggal bergabung bersama keluarga menjalani hidupnya dan berinteraksi bersama orang lain.

Tempat tinggal (panti Wredha) adalah tempat lansia menetap dan bergabung bersama orang–orang seusianya untuk menjalani hidup dan berinteraksi. Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh lansia

berupa makanan dan minuman dalam setiap waktu makan dengan menggunakan metode Recall 24 jam.

Tingkat kecukupan gizi adalah angka perbandingan jumlah zat gizi pangan yang dikonsumsi oleh lansia dengan angka kecukupan gizi berdasarkan usia, jenis kelamin dan berat badan lansia.

Anemia adalah ukuran nilai hemoglobin seseorang yang menunjukkan angka kurang dari 13 gr/dl untuk perempuan dan 14.67 gr/dl untuk laki–laki. Status gizi adalah ukuran mengenai kondisi tubuh lansia yang dapat dilihat dari

indeks massa tubuh (IMT) dan makanan yang dikonsumsi serta kadar hemoglobin lansia. Pengkategorian IMT dibedakan menjadi sanagat kurus (<14.9 kg/m2), kurus (15–18.4 kg/m2), normal (≥18.5–22.9 kg/m2), overweight (23–27.5 kg/m2), obese I (27.6–40.0 kg/m2), dan obese II

(≥40 kg/m2).

(25)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Panti Werdha Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Pertiwi

PSTW Budi Pertiwi terletak di Kota Bandung, tepatnya di Jalan Sancang No.2 Kelurahan Burangrang, Kecamatan Lengkong. Panti ini didirikan pada tanggal 19 November 1948 oleh Organisasi Wanita Budi Istri yang bekerja sama dengan PMI. Saat awal berdiri, panti ini menampung 30 lansia wanita yang tidak memiliki tempat tinggal setelah ditinggal oleh suami dan anaknya karena revolusi. Lalu, panti ini dipindah ke sebuah gedung baru yang dibangun di atas sebidang tanah dengan luas 1900 m2 yang berlokasi di Jalan Sancang No.2 atas bantuan dari Departemen Sosial (Patriasih 2005). Pengelolaan panti secara langsung dilakukan oleh yayasan sehingga ketua yayasan berperan langsung sebagai kepala panti. Jumlah lansia yang tinggal di PSTW Budi Pertiwi saat ini adalah 34 orang dan semuanya berjenis kelamin perempuan. Panti ini diurus oleh 18 orang pengurus yang terdiri dari ketua, wakil ketua, bendahara, sekretaris, guru mengaji, guru olahraga, dokter, tukang masak, tenaga kebersihan, sopir dan tukang kebun (Atmaja 2012).

Lansia yang tinggal di panti ini tidak dikenakan biaya, baik biaya pendaftaran maupun biaya bulanan. Sumber pendanaan panti diperoleh melalui sumbangan donatur antara lain Departemen Sosial, Yayasan Dharmais dan masyarakat. Sumber dana panti lainnya diperoleh dari tabungan dan hasil penjualan kerajinan rajutan yang dibuat oleh para lansia.

Luas PSTW Budi Pertiwi adalah 1.884 m2 dan terbagi menjadi beberapa ruangan. Ruangan yang ada di panti ini adalah ruang kamar, ruang isolasi, aula, mushola, klinik dan ruang kantor. Jumlah ruangan di panti ini adalah 20 kamar dengan luas yang berbeda–beda. Luas masing–masing kamar tergantung pada jumlah pemilik kamar. Kamar yang ditempati oleh satu orang lansia berjumlah empat kamar dengan ukuran luas 2x2 m2, kamar yang ditempati oleh dua orang lansia berjumlah satu kamar dengan ukuran luas 4x4 m2, kamar yang ditempati oleh tiga orang lansia berjumlah satu kamar dengan ukuran luas 8x8 m2, kamar yang ditempati oleh empat orang lansia berjumlah tiga kamar dan yang ditempati oleh lima orang lansia berjumlah tiga kamar.

Setiap kamar di panti ini dilengkapi oleh tempat tidur, lemari, meja dan kursi. Masing–masingnya juga dilengkapi dengan tempat sampah. Jumlah kamar mandi di panti ini sebanyak 13 kamar mandi yang dilengkapi dengan jamban pada setiap kamar mandi. Sarana dan prasarana tambahan yang dimiliki PSTW Budi Pertiwi antara lain fasilitas olahraga, seperti aula dan taman serta fasilitas kesehatan, yaitu klinik.

(26)

12

pada pukul 09.00 dan sore diberikan pada pukul 15.00. Makanan utama yang diberikan terdiri dari nasi dan lauk pauk pada pagi hari. Makanan lengkap, yaitu nasi, sayur, lauk hewani dan lauk nabati diberikan pada saat siang hari sedangkan makan sore hanya terdiri dari nasi dan sayur. Menu makanan di panti ini menggunakan siklus menu 10+1 hari.

Lansia yang tinggal di panti pada umumnya memiliki kegiatan utama, seperti pengajian yang dilakukan tiga kali dalam seminggu, olahraga yang dilakukan dua kali dalam seminggu dan kesenian angklung yang dilakukan dua kali dalam seminggu. Selain itu, kegiatan tambahan yang sering dilakukan adalah merenda dan menjahit.

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Senjarawi

PSTW Senjarawi terletak di Kota Bandung, tepatnya di Jalan Jeruk No 7 Kelurahan Cihapit, Kecamatan Bandung Wetan. Panti ini didirikan pada tanggal 4 Oktober 1949 yang sebelumnya merupakan bangunan tempat penampungan anak– anak yang ditinggalkan orang tuanya yang bertugas berjuang pada zaman perang kemerdekaan. Bangunan ini kemudian dialihfungsikan menjadi Panti Werdha dengan nama Senjarawi yang dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan (Salvatory Army) pada tahun 1949 (Patriasih 2005).

Lansia yang tinggal di panti saat ini berjumlah 87 orang dengan jumlah lansia wanita sebanyak 63 orang dan pria sebanyak 24 orang. Pengelolaan panti ini dilakukan oleh lima orang pengurus yang merupakan pendeta gereja. Pengurus lainnya dibedakan menjadi pegawai dalam dan luar yang masing–masingnya berjumlah 15 orang. Tenaga kerja lainnya yang terdapat di panti ini adalah 18 orang tenaga kebersihan, 15 orang tukang masak dan dua orang satpam (Atmaja 2012).

Sumber dana panti ini berasal dari Dinas Sosial, bantuan dari Yayasan Dharmais sebesar Rp 2.000.000/bulan dan dari induk organisasi Yayasan Bala Keselamatan (Salvatory Army) sebesar 50% dari keseluruhan dana. Sumber dana lainnya adalah donatur tidak tetap dan subsidi silang dari keluarga penghuni panti sebesar 30% keseluruhan dana.

PSTW Senjarawi mempunyai luas bangunan sebesar 4.100 m2. Bangunan tersebut terdiri dari 26 rumah, 1 ruang bangsal, kantor dengan luas 2.5x6 m2, dapur 12x5 m2, tempat cuci pakaian (wash ray), gudang dengan luas 2.5x6 m2, aula dengan luas 10x5 m2, gereja dan kamar jenazah. Ruang bangsal ditempati oleh 37 orang lansia yang membutuhkan perawatan dan pelayanan khusus. Sarana lainnya yang terdapat di panti ini adalah fasilitas olahraga berupa lapangan dan area jalan kaki yang disertai dengan fasilitas kesehatan berupa klinik. Pemeriksaan kesehatan dilakukan secara rutin setiap hari Rabu oleh seorang dokter dan perawat yang bertugas tetap di panti. Selain fasilitas kesehatan dan obat–obatan disediakan juga kursi roda, tongkat dan tabung oksigen.

(27)

13 dan pukul 17.00 untuk makan sore. Air minum yang digunakan berasal dari PDAM yang sudah difilter (Atmaja 2012).

Keadaan Umum Kecamatan Sukasari

Kecamatan Sukasari merupakan salah satu bagian eks wilayah Bojonegara Kota Bandung dengan memiliki luas lahan sebesar 627.518 Ha. Secara geografis Kecamatan Sukasari memiliki bentuk wilayah datar / berombak sebesar 85% dari total keseluruhan luas wilayah. Ditinjau dari sudut ketinggian tanah, Kecamatan Sukasari berada pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Suhu maksimum dan minimum Kecamatan Sukasari berkisar 220C, sedangkan dilihat dari segi curah hujan berkisar 1.807 mm/th. Kecamatan Sukasari memiliki jumlah penduduk sebanyak 67.904 jiwa, yang terdiri dari 35.072 jiwa laki–laki dan 32.832 jiwa perempuan. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sukasari saat ini mencapai 13.792 KK. Berdasarkan data kependudukan dari kecamatan pada tahun 2009 yang dilihat dari segi kepadatan penduduk sebesar 108 jiwa per hektar dan dilihat dari pertumbuhan penduduk, intensitas populasinya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Kecamatan Sukasari terdiri dari 4 Kelurahan, yaitu : Kelurahan Isola yang terdiri dari 6 RW dan 29 RT, Kelurahan Gegerkalong yang terdiri dari 8 RW dan 56 RT, Kelurahan Sarijadi yang terdiri dari 11 RW dan 100 RT dan Kelurahan Sukarasa yang terdiri dari 7 RW dan 38 RT (Diskominfo Bandung 2011). Lansia dalam penelitian ini dipilih secara acak yang berasal dari Kelurahan Gegerkalong dan Kelurahan Sarijadi.

Karakteristik Lansia Jenis Kelamin

(28)

14

Tabel 4 Sebaran dan statistik lansia di panti dan non panti

Karakteristik lansia Panti Non Panti Total

n % n % n %

x ± SD 316552± 462788 2629101±3659925 1704082±3047699

Usia

(29)

15 lanjut yaitu 60–74 tahun, lanjut usia tua yaitu 75–90 tahun dan usia sangat tua yaitu >90 tahun (Notoatmodjo 2007). Usia lansia dalam penelitian ini adalah 60 tahun keatas yang bertempat tinggal di panti Werdha dan tinggal bersama keluarga.

Rata–rata usia lansia adalah 71.2±8.1 tahun dengan persentase lebih dari setengah lansia, yaitu 69.6% pada rentang usia 60–74 tahun, hanya 28.7% lansia yang berada pada rentang usia 75–90 tahun dan 1.7% lansia yang berusia >90 tahun. Berdasarkan tempat tinggal, lansia yang tinggal dipanti dan bersama keluarga berusia 60–74 tahun yaitu masing–masingnya 58.7% dan 76.8%. Penelitian Batubara et al. (2012) menyatakan bahwa sebagian besar lansia (94.4%) yang tinggal di Kecamatan Tanjung Pura umumnya berusia 60–70 tahun tetapi berbeda dengan penelitian Fauziah (2012) yang menyatakan bahwa sebesar 65.6% lansia yang tinggal di panti Salam Sejahtera umumnya berkisar pada usia 75–90 tahun. Sebaran lansia menurut usia disajikan pada Tabel 4.

Status Pernikahan

Status pernikahan lansia dibedakan menjadi menikah, janda/duda dan tidak menikah. Rata–rata status pernikahan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga adalah janda/duda (1.9±0.6), yaitu 58.3%. Sebanyak 34.8% lansia yang tinggal di panti berstatus tidak menikah sedangkan lansia yang tinggal bersama keluarga sebesar 46.4% berstatus menikah. Penelitian Nuryanti et al. (2012) menyatakan bahwa lebih dari setengah lansia (59%) berstatus janda/duda di UPT Pasuruan Babat Lamongan. Penelitian Tarbiyati et al. (2004) menyatakan bahwa sebanyak 47.5% lansia berstatus kawin dan 52.5% lansia tidak kawin di Kecamatan Mergangsan Yogyakarta. Sebaran lansia menurut status pernikahan disajikan pada Tabel 4.

Tingkat Pendidikan

Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi cara, pola pikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian yang akan menjadi bekal dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, tingkat pendidikan secara tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi seseorang. Menurut tingkat pendidikan, sebagian besar lansia baik yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga sebesar 44.3% tidak sekolah, 21.7% tamat SD, 16.5% tamat SMP, 12.2% tamat SMA, dan 5.2% tamat perguruan tinggi (PT). Cukup tingginya jumlah lansia yang tidak bersekolah dikarenakan lansia hidup saat zaman penjajahan sehingga sangat sedikit lansia yang memungkinkan untuk bersekolah. Rata–rata tingkat pendidikan lansia baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga adalah 2.12±1.25. Sebaran lansia menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 4. Pekerjaan

(30)

16

dan pendapatan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kebiasaan makan individu. Status pekerjaan lansia menunjukkan sebagian besar lansia sudah tidak bekerja atau pensiunan dikarenakan faktor umur yang tidak memungkinkan untuk bekerja lagi, hanya sekitar 17% lansia yang masih bekerja. Berdasarkan tempat tinggal, sebagian besar lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga sudah tidak bekerja atau pensiunan yaitu masing–masingnya 78.3% dan 85.5%. Sebaran lansia menurut pekerjaan disajikan pada Tabel 4.

Pendapatan

Martianto dan Ariani (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi. Menurut Sukandar (2007), salah satu pengukuran status ekonomi adalah pendapatan total yang dimiliki oleh individu dan keluarga. Tingkat pendapatan lansia dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Sebagian besar lansia (52.2%) memiliki pendapatan pada kategori tinggi (Rp 1000000–Rp 3000000), sebanyak 39.1% lansia memiliki pendapatan pada kategori kurang (< Rp 500000) dan sebanyak 8.7% lansia yang berada pada kategori sedang, yaitu (Rp 500000–Rp 1000000). Rata–rata pendapatan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga sebesar 1704082±3047699.

Sebanyak 82.6% lansia yang tinggal di panti memiliki pendapatan tergolong rendah, 10.9% memiliki pendapatan tergolong tinggi dan 6.5% memiliki pendapatan tergolong sedang. Hal ini disebabkan lansia yang tidak bekerja dan tidak mendapatkan kiriman, tetap mendapatkan pendapatan perbulan yang diberikan dari panti. Terkadang panti memberikan uang kepada lansia setiap minggu akan tetapi ada beberapa panti yang memberikan uang hanya saat ada donatur yang berkunjung. Umumnya, uang yang diberikan kepada lansia perbulannya berkisar antara Rp 15000 – Rp 20000. Sebesar 79.7% lansia yang tinggal bersama keluarga memiliki pendapatan tergolong tinggi, hanya 10.1% lansia memiliki pendapatan tergolong sedang dan rendah. Hal ini dikarenakan lansia yang tinggal bersama keluarga pada umumnya merupakan seorang pensiunan dan juga masih mendapatkan uang dari anak maupun kerabat terdekat.

Berdasarkan uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif (p<0.05 dan r=0.213) antara pendapatan dan pendidikan lansia. Semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula pendapatan seseorang. Penelitian Guhardja et al. (1992) diacu dalam Sukandar (2007) menyatakan bahwa pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi. Sebaran lansia menurut pendapatan disajikan pada Tabel 4.

Pola Konsumsi Pangan

(31)

17 pangan dipengaruhi oleh jumlah asupan zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Semakin sesuai asupan zat–zat gizi yang diperlukan tubuh, maka semakin baik kualitas konsumsi pangannya (Nasoetion & Briawan (1993) dalam Rusilanti (2006). Pola konsumsi pangan lansia dipengaruhi oleh perubahan akibat proses menua yang terjadi pada lansia sehingga penyajian dan pengolahan makanan pada lansia perlu mendapat perhatian khusus (Depkes 2003)

Frekuensi Pangan Sumber Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat didalam tubuh, yaitu 1.5–2% dari berat badan orang dewasa. Jumlah kalsium yang dikonsumsi akan mempengaruhi absorpsi kalsium. Penyerapan kalsium meningkat jika kalsium yang dikonsumsi menurun. Kalsium terdapat pada beberapa jenis kelompok pangan yang berbeda–beda. Sumber kalsium utama terdapat pada susu dan produk olahannya seperti keju dan yoghurt, ikan, serealia, kacang–kacangan dan hasil olahannya serta sayuran hijau (Almatsier 2009). Kebiasaan mengonsumsi pangan sumber kalsium pada lansia dinilai dengan menggunakan food frequency questionnaire (FFQ) dalam satu bulan terakhir kemudian dikonversi dalam satu minggu. Pangan sumber kalsium dibedakan menjadi bayam, ikan teri, tempe, tahu, daun singkong, dan susu. Alasan pemilihan kelompok pangan ini berdasarkan pada kandungan kalsium tertinggi yang mewakili masing– masing kelompok pangan. Berikut ini disajikan sebaran statistik frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran statistik frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium Jenis Pangan

Frekuensi (kali/minggu)

Panti Non Panti Total Uji Beda

x±stdev x±stdev x±stdev p–value

Bayam 1.0±0.6 1.4±1.4 1.3±1.2 0.100 Ikan Teri 0.5±0.3 1.1±1.5 0.9±1.3 0.019 Tempe 9.0±6.7 7.2±5.7 7.9±6.2 0.165 Tahu 8.9±6.8 7.4±6.0 8.1±6.4 0.250 Daun Singkong 0.5±0.6 0.8±0.7 0.8±0.7 0.084 Susu 5.2±4.4 4.1±4.8 4.5±4.6 0.322

Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata–rata±stdev

(32)

18

pangan sayuran seperti daun singkong sering tidak menjadi pilihan makanan pada lansia dikarenakan daun singkong dapat menyebabkan rematik. Sebaiknya, lansia mengonsumsi susu setiap hari dikarenakan lansia mengalami peningkatan kebutuhan kalsium karena terjadi penurunan absorbsi kalsium akibat penuaan. Individu yang memiliki kebiasaan minum susu sejak kecil memiliki kesehatan tulang yang lebih baik di masa lanjut usia (McCabe 2004).

Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium, seperti sayur bayam, tempe, tahu dan susu akan tetapi terdapat perbedaan yang cenderung nyata terhadap frekuensi konsumsi ikan teri dan daun singkong antara lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Konsumsi ikan teri dan daun singkong pada lansia yang tinggal di panti sangat jarang, tidak pernah atau hanya 1 kali dalam seminggu dan biasanya diperoleh dari luar panti. Konsumsi ikan teri dan daun singkong pada lansia yang tinggal bersama keluarga berkisar 1–3 kali dalam seminggu, hal ini dikarenakan menu makanan yang tersedia mengikuti menu makanan keluarga lansia. Menurut Almatsier (2009), serealia, kacang–kacangan dan hasil kacang– kacangan, tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik, tetapi bahan makanan ini mengandung banyak zat yang menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat.

Frekuensi Pola Konsumsi Minuman

Tabel 6 menunjukkan bahwa lansia mengonsumsi air putih sebanyak 31 kali dalam seminggu (31.2±21.3). Jenis minuman lainnya yang sering dikonsumsi oleh lansia dalam seminggu adalah teh 7 kali, kopi 5–6 kali, sirup 2 kali, jus 1–2 kali, jamu 3 kali, minuman lainnya seperti bandrek 5 kali. Berdasarkan tempat tinggal, lansia yang tinggal di panti lebih banyak mengonsumsi air putih selama seminggu, yaitu sekitar 38 kali dalam seminggu. Berbeda pada lansia yang tinggal bersama keluarga, hanya mengonsumsi air putih sekitar 26–27 kali dalam seminggu. Hal ini dikarenakan lansia yang tinggal bersama keluarga mempunyai ketersediaan terhadap minuman yang lebih beragam sehingga tidak hanya mengonsumsi air putih akan tetapi juga disertai dengan jenis minuman lainnya.

(33)

19 Tabel 6 Sebaran statistik frekuensi konsumsi minuman

Jenis

Keterangan: data disajikan dalam bentuk rata–rata±stdev

Tingkat Kecukupan Energi dan Protein

Energi dan protein merupakan bagian dari zat gizi makro yang sangat berperan penting didalam tubuh. Kedua zat gizi ini sangat berperan untuk pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Tingkat kecukupan energi dan protein ditentukan dengan cara membandingkan konsumsi pangan lansia dengan angka kebutuhan energi dan angka kebutuhan protein lansia sehingga diketahui rasio antara konsumsi pangan yang dinyatakan dalam persen. Energi diperoleh dari lemak 9.4 kal, karbohidrat 4 kal, dan protein 4 kal per gramnya. Bagi lansia komposisi energi sebaiknya 20–25% berasal dari protein. Lansia akan mengalami pengurangan pada masa otot akan tetapi kebutuhan tubuhnya akan protein tidak berkurang karena pada lansia efisiensi penggunaan senyawa nitrogen (protein) oleh tubuh telah berkurang yang disebabkan oleh pencernaan dan penyerapan yang kurang efisien (Depkes 2003).

Konsumsi pangan lansia yang tinggal dipanti umumnya relatif sama karena tidak adanya perbedaan menu antar panti akan tetapi berbeda pada lansia yang tinggal bersama keluarga dikarenakan menu lansia lebih mengikuti siklus dari masing–masing keluarga. Selain itu, hal yang diduga dapat membedakan konsumsi lansia adalah konsumsi pangan tambahan yang berasal dari luar panti maupun rumah serta kemampuan lansia untuk menghabiskan makanan yang disediakan dari panti maupun keluarga.

Lansia yang tinggal di panti disajikan menu yang berbeda setiap harinya sedangkan lansia yang tinggal bersama keluarga terkadang disajikan menu yang sama tergantung dari habis atau tidaknya menu makanan yang disajikan. Lansia yang tinggal dipanti dan keluarga diberikan makan utama tiga kali dalam sehari. Makanan utama yang diberikan berupa makanan pokok dan lauk pauk, seperti nasi, sayuran, protein hewani dan nabati. Sayuran yang umum dikonsumsi lansia yang tinggal di panti adalah buncis, labu siam, kacang panjang, sawi dan wortel.

(34)

20

selingan yang biasa diberikan pada lansia, yaitu roti, ubi rebus, singkong goreng, bolu kukus dan buah seperti pisang dan pepaya.

Tabel 7 menunjukkan rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dari keseluruhan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga. Rata–rata konsumsi lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga berturut–turut, yaitu 1023 kkal dan 1057 kkal. Tingkat kecukupan energi lansia yang diperoleh berdasarkan angka kebutuhan tidak terlalu berbeda baik di panti maupun yang tinggal bersama keluarga, yaitu 97.4% dan 93.6%. Rata–rata tingkat kecukupan energi lansia berada dalam kategori normal, yaitu >90–119% (Depkes 1996). Sumber energi yang dikonsumsi lansia umumnya berupa nasi, bihun, singkong, ubi dan roti. Makanan pokok yang disediakan oleh pihak panti dan keluarga disesuaikan dengan kemampuan lansia untuk menerima makanan yang diberikan. Asupan energi yang berlebihan dan tertimbun didalam tubuh, terutama dalam jaringan adiposa dalam bentuk lemak dapat menimbulkan obesitas yang pada akhirnya akan menyebabkan resistensi insulin dan sindrom metabolik (Gross et al. 2004).

Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga, berturut-turut sebesar 29.0 g dan 31.9 g. Tingkat kecukupan protein berdasarkan angka kebutuhan menunjukkan bahwa rata–rata tingkat kecukupan lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga tergolong defisit tingkat berat, yaitu <70% (Depkes 1996). Hal ini diduga sumber protein yang sering dikonsumsi lansia adalah lauk nabati, berupa tempe dan tahu sedangkan lauk hewani tidak setiap hari disediakan di panti maupun keluarga. Selain itu, jumlah protein yang sering dikonsumsi lansia umumnya tidak mencapai satu penukar sehingga dapat dikatakan bahwa konsumsi protein lansia masih sangat kurang.

Kebutuhan protein lansia dipenuhi dari yang bernilai biologis tinggi seperti telur, ikan, dan protein hewani lainnya karena kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut. Akan tetapi, harus diingat bahwa konsumsi protein yang berlebihan akan memberatkan kerja ginjal dan hati (Fatmah 2010). Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dan protein pada lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga. Hal ini diduga konsumsi lansia yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga hampir sama dikarenakan pada lansia telah terjadi penurunan nafsu makan dan kesulitan dalam mengunyah. Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein lansia

Variabel Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan

Panti Non Panti

Energi (kkal)

Konsumsi 1023 1057

Angka kebutuhan 1078 1132

Tingkat kecukupan (%)* 97.4 93.6

(35)

21 Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tingkat kecukupan energi lansia secara keseluruhan tergolong pada kategori yang beragam. Sebanyak 32.2% lansia tergolong pada kategori normal, 47% tergolong pada kategori defisit dan 20.9% tergolong pada kategori lebih. Masih banyaknya lansia yang defisit terhadap kecukupan energi dikarenakan lansia telah mengalami penurunan nafsu makan sehingga makanan yang dikonsumsi hanya dalam jumlah kecil dari porsi yang telah disediakan.

Selain itu, beberapa lansia memang mengurangi konsumsi pangan sumber karbohidrat dengan alasan menderita penyakit diabetes mellitus, akan tetapi terdapat beberapa lansia yang mengonsumsi energi dalam jumlah normal maupun lebih. Hal ini dikarenakan lansia masih merasa cocok terhadap makanan yang disajikan sehingga konsumsi lansia terhadap makanan masih sama seperti sebelumnya. Lansia yang mengonsumsi energi dalam jumlah lebih juga tetap harus diperhatikan karena dapat mengakibatkan timbulnya penyakit obesitas atau lainnya. Menurut Arisman (2009), konsumsi pangan dalam jumlah yang kecil tercermin dari nilai energinya, terutama untuk menghindari masalah kegemukan yang membahayakan lansia.

Sebagian besar tingkat kecukupan protein lansia tergolong pada kategori defisit berat (70.4%), hanya 8.7% lansia yang tergolong pada kategori normal. Kurangnya konsumsi protein hewani sebagai sumber protein dapat mengakibatkan tingkat kecukupan protein lansia menjadi defisit berat. Selain itu, terdapat beberapa lansia yang mengalami penurunan kemampuan mengunyah makanan sehingga merasa kesulitan dalam mengonsumsi sumber protein yang bertekstur keras seperti ayam dan daging. Terdapat 5.2% lansia tergolong dalam kategori berlebih. Tingkat kecukupan protein yang berlebih dipengaruhi oleh konsumsi protein yang berlebih dari susu dan daging. Menurut Wellman dan Kamp (2004), asupan protein yang berlebih akan memaksa kerja ginjal yang fungsinya telah menurun akibat penuaan. Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 8.

(36)

22

Tingkat Kecukupan Kalsium dan Zat Besi

Menurut Almatsier (2009), peningkatan kebutuhan kalsium terjadi pada masa pertumbuhan, kehamilan, menyusui dan tingkat aktivitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Densitas tulang berbeda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Pembentukan struktur tulang dan metabolisme kalsium juga membutuhkan mineral–mineral lain, seperti fosfor dan zat besi. Zat besi berperan dalam inhibitor kalsium karena zat besi yang tinggi dapat menjadi racun pada sel tulang dan berkontribusi pada terjadinya osteoporosis atau penyakit tulang lainnya (Illich & Kerstetter 2003).

Berbeda dengan tingkat kecukupan energi dan protein, tingkat kecukupan kalsium dan zat besi ditentukan dengan cara membandingkan konsumsi pangan lansia yang diperoleh dari hasil recall 2x24 jam dengan angka kecukupan kalsium dan zat besi yang terdapat dalam WNPG (2004) sehingga diketahui rasio antara konsumsi dan kecukupan yang dinyatakan dalam persen. Rata–rata konsumsi kalsium lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga berturut–turut adalah 330.4 mg dan 516.2 mg. Sumber kalsium yang sering dikonsumsi adalah tempe dan tahu. Beberapa lansia juga mengonsumsi susu sebagai sumber kalsium akan tetapi sekitar 40% lansia yang tidak mau mengonsumsi susu. Beberapa lansia yang tinggal bersama keluarga juga mengonsumsi ikan tongkol dan kembung sebagai sumber kalsium. Rata–rata tingkat kecukupan kalsium lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga secara berturut–turut adalah 41.5% dan 64.5%. Persentase ini menunjukkan lansia masih tergolong dalam kategori defisit, yaitu <77% (Gibson 2005).

Menurut Almatsier (2009), asam fitat merupakan ikatan yang mengandung fosfor akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga kalsium tidak dapat diabsopsi. Asam fitat banyak terdapat pada pangan yang umum dikonsumsi seperti teh, bayam, dan lainnya. Dengan demikian, konsumsi sumber kalsium seperti susu yang bersamaan dengan teh atau sumber asam fitat lainnya akan menganggu penyerapan kalsium.

Rata–rata konsumsi zat besi lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga, berturut–turut adalah 9.2 mg dan 9.8 mg. Tingkat kecukupan zat besi lansia yang tinggal di panti adalah 75.8% dan tergolong defisit (<77%). Hal ini diduga lansia yang tinggal di panti sangat kurang mengonsumsi makanan sumber zat besi seperti bayam, hati dan daging. Berbanding terbalik pada lansia yang tinggal bersama keluarga, tingkat kecukupan zat besi tergolong dalam kategori normal (>77%). Hal ini diduga terdapat beberapa lansia yang tinggal bersama keluarga mengonsumsi hati, daging, dan sayuran hijau yang merupakan sumber zat besi.

(37)

23 Tabel 9 Rata– rata konsumsi dan tingkat kecukupan mineral lansia

Variabel Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan Panti Non Panti

Tabel 10 menunjukkan tingkat kecukupan kalsium pada lansia sebanyak 84.3% tergolong dalam kategori defisit. Rendahnya konsumsi kalsium lansia disebabkan kurangnya konsumsi lansia terhadap sumber kalsium utama, seperti ikan teri dan susu. Menurut DKBM (2010), 100 gram tepung susu mengandung kalsium sebesar 904 mg dan 100 gram ikan teri mengandung kalsium sebesar 1200 mg. Hanya 15.7% lansia yang tergolong pada kategori normal. Hal ini dikarenakan beberapa lansia mengonsumsi susu dengan alasan kesehatan dan dianjurkan dokter untuk minum susu. Lebih dari setengah (56.5%) lansia tergolong defisit untuk tingkat kecukupan zat besi. Hal ini dikarenakan tidak semua lansia sering mengonsumsi pangan sumber zat besi seperti hati dan daging merah. Secara keseluruhan, persentase tingkat kecukupan kalsium dan zat besi masih tergolong defisit. Rendahnya status mineral pada lansia dapat terjadi karena asupan mineral yang tidak cukup, perubahan fisiologis dan pengobatan (Harris 2004). Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan kalsium dan zat besi disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan kalsium dan zat besi

Kategori Panti Non Panti Total

Tingkat Kecukupan Vitamin B1, B2, B6 dan C

(38)

24

rendah kalori dan lanjut usia (Bellows & Moore 2012). Penentuan tingkat kecukupan vitamin dilakukan dengan cara yang sama dengan kalsium dan zat besi yang telah dijelaskan sebelumnya.

Vitamin C pada tubuh lansia berperan untuk meningkatkan sistem imun orang tua. Vitamin C dalam hal ini akan berpengaruh terhadap peningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada orang tua, peningkatkan aktivitas limfosit dan makrofag, serta memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari serangan infeksi virus (Fatmah 2006). Rata–rata konsumsi vitamin C pada lansia yang tinggal di panti dan bersama keluarga tidak jauh berbeda yaitu, 33.7 mg dan 29.4 mg. Tingkat kecukupan vitamin C keseluruhan lansia tergolong kurang, baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga, yaitu 44% dan 37.7%. Hal ini disebabkan konsumsi buah dan sayur yang dikonsumsi masih kurang beragam.

Sama halnya dengan vitamin C, vitamin B baik itu B1 (Thiamin), B2 (Riboflavin), B6 (Piridoksin) dan asam folat menunjukkan konsumsi masih sangat jauh dari kecukupan. Secara keseluruhan, tingkat kecukupan lansia baik yang tinggal di panti maupun bersama keluarga tergolong defisit (<77%). Hal ini diduga sifat vitamin yang larut dalam air sehingga banyak vitamin yang hilang pada saat proses pengolahan makanan dan hanya sedikit yang terserap oleh tubuh. Menurut Fatmah (2006) pemberian vitamin B (koenzim), khususnya B6 pada orang tua dapat memperbaiki respon limfosit yang menyerang sistem imun, berperan penting dalam produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6 menimbulkan atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan imunitas selular.

Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan vitamin B dan C pada contoh yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga. Hal ini diduga karena kurangnya konsumsi contoh terhadap buah dan sayur serta cara pengolahan yang kurang tepat mengingat sifat vitamin B dan C yang mudah larut air. Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin lansia disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin lansia Variabel Rata–rata konsumsi dan tingkat kecukupan

(39)

25 Secara keseluruhan (>80%) lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga tergolong dalam kategori defisit terhadap vitamin B dan C. Hal ini disebabkan kurangnya konsumsi sayur dan buah serta sifatnya yang mudah larut pada air sehingga sangat berpengaruh saat proses pengolahan. Hanya 13.9% lansia tergolong dalam kategori normal untuk vitamin C dan riboflavin. Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan vitamin B dan C disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran lansia menurut tingkat kecukupan vitamin B dan C

Kategori Panti Non Panti Total

Status gizi adalah suatu ukuran yang digunakan mengenai kondisi tubuh seseorang yang dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat gizi di dalam tubuh (Almatsier 2009). Status gizi lansia ditentukan berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh (IMT), yaitu perbandingan berat badan aktual dengan tinggi badan. Pemeriksaan antropometri dilakukan dengan mengukur berat badan dan tinggi lutut yang kemudian dikonversi menjadi tinggi badan. Pemeriksaan tinggi lutut ini bertujuan untuk memprediksi tinggi badan lansia karena ada beberapa pertimbangan tertentu, seperti keadaan lansia yang membungkuk sehingga pengukuran tinggi badan secara langsung dianggap kurang akurat. Pengukuran berat badan pada lansia yang tidak mampu berdiri menggunakan lingkar lengan atas dan dikonversi menjadi berat badan.

(40)

26

Hal ini diduga lansia yang tinggal di panti memiliki aktivitas yang lebih sedikit sehingga zat gizi yang terdapat didalam tubuh tidak banyak digunakan untuk aktivitas melainkan disimpan di dalam tubuh.

Kelebihan berat badan dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi karena beberapa faktor, yaitu : massa tubuh yang makin besar, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dari makanan ke jaringan tubuh, dan volume yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (Ernitasari et al. 2009). Uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi lansia yang tinggal di panti maupun bersama keluarga. Hal ini dapat dilihat dari tabel 13 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada status gizi pada lansia yang tinggal di panti maupun yang tinggal bersama keluarga. Sebaran lansia menurut status gizi disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran lansia menurut status gizi

Status Gizi Panti Non Panti Total

n % n % n %

Sangat kurus (<14.9) 0 0 0 0 0 0

Kurus (15.0–18.4) 4 8.7 9 12.0 13 11.3 Normal (18.5–22.9) 17 37.0 23 33.3 40 34.8

Overweight (23–27.5) 16 34.8 18 26.1 34 29.6

Obese 1 (27.6–40) 9 19.6 19 27.5 28 24.3

Obese 2 (>40) 0 0 0 0 0 0

Total 46 100 69 100 115 100

Uji Beda (p–value) 0.256

Tekanan Darah

Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersirkulasi di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses sirkulasi dimana jantung sebagai pompa muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah dan pembuluh darah yang memiliki dinding elastis dengan ketahanan yang kuat. Tekanan darah diperoleh berdasarkan perbandingan tekanan darah sistolik dan diastolik yang disajikan dengan satuan mmHg (Palmer 2007). Tekanan darah lansia diukur dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah digital. Saat pengukuran tekanan darah, lansia diminta dalam keadaan beristirahat.

Gambar

Tabel 20 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat kecukupan energi
Gambar 1 Bagan kerangka pemikiran keterkaitan konsumsi pangan, status
Tabel 1 Data peubah dan cara pengumpulan data
Tabel 3 Faktor aktivitas lansia menurut status gizi dan jenis kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teknik visualisasi adalah salah satu bagian dari unsur iklan, yang merupakan teknik-teknik pekerjaan yang dipadukan sedemikian rupa dengan merekayasa gambar atau produk yang

Konsep tentang Locus of Control yang digunakan Rotter (1966) memiliki empat konsep dasar, yaitu a) Potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif

Melalui PAUD anak dibina dengan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan

Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengusahaan srikaya organik adalah Rp 506.346.400,-. Perincian biaya investasi yang dikeluarkan oleh.. perusahaan untuk

[r]

Dari hasil dan pembahasan yang sudah dijelaskan di atas, maka disimpulkan bahwa periklanan menggunakan media sosial memang terbilang cukup mudah, kita dapat membuat

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui aliran produk, aliran keuangan, dan aliran informasi pada rantai pasokan kerupuk rambak sapi di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember,

Terhadap upaya penegakan kode etik atas tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam penanganan perkara pidana sebagaimana kasus yang dilukiskan