• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penelitian

Hasil Identifikasi Plankton

Dari penelitian yang telah dilakukan di perairan Sungai Pelawi diperoleh hasil sebanyak 52 genus plankton yang terdiri dari 44 genus fitoplankton dan 8 genus zooplankton. Klasifikasi plankton yang diperoleh setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Plankton yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian

Kelas No. Famili No. Genus

Fitoplankton Bacillariophyceae 1. Achrantaceaea 1. Coconeis sp.

2. Berkeleyaceae 2. Climaconeis sp. 3. Chaetoceraceae 3. Rhizosolenia sp. 4. Bacteriastrum sp. 4. Cymbellaceae 5. Cymbella sp. 5. Diploneidacea 6. Asterionella sp. 6. Fragillariaceae 7. Diatoma sp. 8. Fragillaria sp. 9. Synedra sp. 7. Melosiraceae 10. Melosira sp. 8. Naviculaceae 11. Gyrosigma sp. 12. Navicula sp. 13. Nitzcshia sp. 14. Pinnularia sp. 15. Stauroneis sp. 9. Skletonemaceae 16. Skletonema sp. 10. Surirellaceae 17. Surirella sp.

Chlorophyceae 11. Cladophoraceae 18. Cladophora sp.

12. Desmidiaceae 19. Closterium sp. 20. Staurastrum sp. 13. Gonatozygaceae 21. Gonatozygon sp. 14. Hydrodictyaceae 22. Pediastrum sp. 15. Microsporaceae 23. Microspora sp. 16. Scenedesmaceae 24. Scenedesmus sp. 17. Volvocales 25. Oedogonium sp. 26. Pandorina sp.

Conjugatophyceae 18. Zygnemataceae 27. Mougeotia sp.

28. Spirogyra sp. Coscinodiscophycea e 19. Aulacoseiraceae 29. Aulacoseira sp. 20. Biddulphyceae 30. Isthmia sp. 31. Terpsinoe sp. 21. Coscinodiscoceae 32. Coscinodiscu sp. 22. Paraliaceae 33. Paralia sp. 23. Stephanodiscaceae 34. Cyclotella sp. 35. Stephanodiscus sp.

24. Triceratiaceae 36. Triceratium sp.

Cyanophyceae 25. Chroococcaceae 37. Oscillatoria sp.

26. Nostocaceae 38. Spirulina sp.

Dynophyceae 27. Ceraticeae 39. Ceratium sp.

40. Spirulina sp.

Euglenophyceae 28. Phacaceae 41. Phacus sp.

Ulvophyceae 29. Ulothricaceae 42. Ulothrix sp.

Zygnenophyceae 30. Desmidiceae 43. Desmid sp.

44. Groenblaida sp.

Zooplankton Branchiopoda 31. Chirocephalidae 45. Eubranchipus sp.

Clitellata 32. Tubificidae 46. Tubifex sp.

Copepoda 33. Calanoida 47. Nauplius sp.

Crustaceae 34. Cyclopidae 48. Cyclops sp.

Gastropoda 35. Cavollinidae 49. Creseis sp.

Secernentea 36. Strongiloididae 50. Strongiloides sp.

Tubulinea 37. Acellidae 51. Arcella sp.

Turbellaria 38. Planariidae 52. Planaria sp.

Dari Tabel 1 diatas diketahui bahwa fitoplankton yang paling banyak diperoleh termasuk ke dalam kelas Bacillariophyceae sp. yang terdiri atas 10 famili dan 17 genus, sedangkan zooplankton yang diperoleh terdiri atas 8 kelas, 8 famili, dan 8 genus.

Nilai Kelimpahan (K). Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Plankton di Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan hasil analisis data plankton diperoleh nilai Kelimpahan (K), Kelimpahan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) pada tiap stasiun pengamatan yang dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dari ketiga stasiun penelitian dapat diketahui bahwa stasiun yang memiliki kelimpahan genus tertinggi yaitu pada stasiun 1 sebesar 206,00 ind/l dan terendah pada stasiun 3 sebesar 33,33 ind/l (Lampiran 5.). Perbandingan kelimpahan seluruh genus plankton ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Kelimpahan Plankton (K) pada Tiap Stasiun Penelitian Stasiun

1 2 3

Indeks Keanekaragaman (H’), dan Indeks Dominansi Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

Berdasarkan analisis data diperoleh nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Dominansi (D) plankton pada tiap stasiun terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,56 dan nilai indeks keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,16. Sedangkan stasiun 2 sebesar 2,47. Nilai keanekaragaman yang didapatkan dari stasiun 1, 2, dan 3 ini dikaitkan dengan Indeks Diversitas Shannon-Wiener (Nugroho, 2006) yaitu nilai 1< <3 tergolong stasiun dengan keanekaragaman sedang atau komunitas biota sedang. Perbandingan Nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman genus pada tiap Stasiun Penelitian

Nilai indeks dominansi yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar antara 0,15 − 0,18. Indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun 3

sebesar 0,18, sedangkan nilai indeks dominansi terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,15. Perbandingan nilai indeks ini dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Nilai Indeks Dominansi (D) pada Tiap Stasiun Penelitian Stasiun

1 2 3

D 0,17 0,15 0,18

Analisis Korelasi Pearson Antara Faktor Fisik-Kimia Dengan Indeks Keanekaragaman Plankton

Berdasarkan pengukuran faktor fisik-kimia perairan yang telah dilakukan pada stasiun penelitian dan dikorelasikan dengan indeks keanekaragaman

(Shannon-Wiener) maka diperoleh nilai korelasi seperti terlihat pada Tabel 4.

berikut ini:

Tabel 4. Nilai Analisis Korelasi Pearson Antara Faktor Fisik Kimia dengan Indeks Keanekaragaman Plankton

H’ Suhu Kecerahan Arus DO BOD5 pH Fosfat Nitrat

H’ 1 -1.000 .716 -.935 .977 -.368 .981 -.747 .627

Keterangan : H' = Keanekaragaman

(-) = korelasi negatif (berlawanan) (+) = korelasi positif (searah)

Faktor Fisika-Kimia Perairan

Berdasarkan hasil pengamatan kondisi Perairan Sungai Pelawi diperoleh nilai faktor fisika-kimia yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai Faktor Fisika-Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No Parameter Fisika-Kimia Satuan Stasiun

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

1 Suhu Tengah Pinggir Tengah Pinggir Tengah Pinggir

U1 27 27 27.5 27 29 28.5

U2 27.5 27 28 27.5 30.5 29.5

Rata-rata 27.17 27 28 27.17 29.667 28.667 2 Kecerahan U1 40 45.5 40 45 35 45 U2 38 40 40 35 38 35 U3 38 35 40 35 38 35 Rata-rata 38.67 40.16 40 35,5 37 38.33 3 Kecepatan Arus U1 0.20 0.20 0.11 0.11 0.20 0.20 U2 0.20 0.20 0.12 0.12 0.20 0,20 U3 0.02 0.02 0.17 0.17 0.20 0,20 Rata-rata 0.14 0.14 0.13 0.13 0.20 0.20

4 Oksigen Terlarut (DO)

U1 5.8 5.8 5.5 5.7 5 5.5 U2 5.5 5.6 5.6 5.5 4 5.5 U3 6.8 6.5 6.0 5.8 5.8 5.5 Rata-rata 6.0 5.9 5.7 5.6 4.9 5.5 5 BOD5 U1 1.2 1.2 0.6 0.6 1.3 1.3 U2 0.8 0.8 0.7 0.7 0.8 0.8 U3 0.8 0.8 0.6 0.5 0.8 0.8 Rata-rata 0.93 0.93 0.63 0.6 0.96 0.96 6 pH U1 7 6.8 6.8 6.5 5.8 5.7 U2 6.8 6.7 7.1 6.8 5.5 5.6 U3 6.9 6.8 6.8 6.5 5.6 5.4 Rata-rata 6.9 6.7 6.9 6.6 5.6 5.5 7 Fosfat U1 0.04 0.04 0.05 0.04 0.03 0.05 U2 0.04 0.04 0.14 0.08 <0.03 <0.03 U3 0.05 0.12 0.08 0.47 0.07 0.07 Rata-rata 0.04 0.06 0.09 0.19 0.05 0.06 8 Nitrat U1 1.2 1.4 1.1 0.8 1.0 1.0 U2 1.5 1.8 1.5 1.3 1.5 1.4 U3 1.1 0.7 0.6 0.9 0.6 0.8 Rata-rata 1.2 1.3 1.0 1,0 1.0 1.0 Keterangan:

a. Stasiun 1 : Daerah dengan aktivitas pertanian (perkebunan kelapa sawit) b. Stasiun 2 : Daerah dengan aktivitas domestik (pemukiman penduduk) c. Stasiun 3 : Daerah dengan aktivitas industri (pabrik karet)

Pembahasan

Kelimpahan Plankton (K), Kelimpahan Relatif (KR), Frekuensi Kehadiran (FK)

Dari Tabel 2 Diperoleh kelimpahan pada stasiun 1 yaitu 206,00 ind/l, kemudian stasiun 2 sebesar 125,33 ind/l sedangkan stasiun 3 yaitu 33,33 ind/l

yang tergolong kelimpahan termasuk rendah. Hal sesuai dengan pernyataan Soegianto (1994), bahwa kelimpahan dengan nilai <1000 ind/l termasuk rendah, kelimpahan antara 1000 − 40.000 tergolong sedang, dan kelimpahan >40.000 ind/l tergolong tinggi.

Genus yang mempunyai kelimpahan tertinggi pada stasiun 1 yakni genus

Surirella sp. sebesar 126,67 ind/l dengan kelimpahan relatif sebesar 25,02% dan

frekuensi kehadiran sebesar 100%, kemudian diikuti oleh genus Synedra sp. dengan kelimpahan sebesar 21,33 ind/l dengan kelimpahan relatif sebesar 6,90%, dan frekuensi kehadiran sebesar 100%. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pada stasiun 1 sangat baik untuk kehidupan kedua genus plankton tersebut. Suin (2002), apabila didapatkan nilai KR >10% dan FK >25% menunjukkan bahwa habitat tersebut dapat mendukung kehidupan dan perkembangbiakan genus tersebut.

Sedangkan yang memiliki kelimpahan terendah pada stasiun 1 didapatkan pada genus Cymbella sp., Diatoma sp., Gyrosigma sp., Navicula sp., Skeletonema

sp., Staurastrum sp., Pediastrum sp., Scenedesmus sp., Mougeotia sp., dan Phacus

sp. dengan nilai kelimpahan masing-masing sebesar 0,67 ind/l, kelimpahan relatif

sebesar 0,21%, dan frekuensi kehadiran 33,33 %. Hal ini dapat disebabkan kondisi fisika-kimia perairan tersebut tidak cocok bagi pertumbuhan genus tersebut. Menurut Suin (2002), pola penyebaran plankton di dalam air tidak sama. Tidak samanya penyebaran plankton dalam badan air disebabkan oleh adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan faktor-faktor lainnya di kedalaman air yang berbeda.

Pada Stasiun 2 didapatkan total kelimpahan sebesar 125,33 ind/l, dengan jumlah genus sebanyak 32. Pada stasiun 2 genus yang memiliki nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada genus Pandorina sp. sebesar 34 ind/l, dengan kelimpahan relatif 16, 51%, dan frekuensi kehadiran 100%, kemudian diikuti oleh genus

Surirella sp. dengan kelimpahan sebesar 28 ind/l dengan kelimpahan relatif

sebesar 13,59% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Keadaan ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan tersebut mendukung kehidupan genus tersebut. Barus (2004), fluktuasi dari populasi plankton dipengaruhi oleh perubahan berbagai kondisi lingkungan, salah satunya adalah ketersediaan nutrisi di perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi plankton.

Pada stasiun 2 kelimpahan terendah pada genus Rhizosolenia sp.,

Asterionella sp., Diatoma sp., Microspora sp., Scenedesmus sp., Oedogonium sp.,

dan Stephanodiscus sp. dengan masing-masing Kelimpahan (K) sebesar 0,66 ind/l, dengan kelimpahan relatif sebesar 0,32%, dan frekuensi kehadiran 33,33%. Rendahnya kelimpahan genus-genus plankton ini karena kecepatan arus yang relatif tinggi pada stasiun 2 yakni sebesar 0,13 m/s. Kebanyakan plankton tidak dapat berkembang pada air dengan aliran deras. Ewusie (1990) diacu oleh Surbakti (2009), plankton tidak dapat berkembang subur dalam air mengalir.

Pada Stasiun 3 memiliki total kelimpahan sebesar 33,33 ind/l, dengan jumlah genus sebanyak 29. Pada stasiun 3 genus yang memiliki nilai Kelimpahan (K) tertinggi terdapat pada genus Surirella sp. sebesar 65,33 ind/l, dengan kelimpahan relatif 31,71%, dan frekuensi kehadiran 100%, kemudian diikuti oleh

genus Synedra sp. dengan kelimpahan sebesar 30,66 ind/l dengan kelimpahan relatif sebesar 14,88% dan frekuensi kehadiran 100%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pada stasiun 3 sangat baik untuk genus plankton tersebut karena adanya nutrien seperti fosfat dan nitrat yang mendukung pertumbuhan populasi genus plankton tersebut. Ketersediaan sumberdaya pada lingkungan menentukan keberadaan jenis, jumlah individu, kelimpahan dan frekuensi kehadirannya (Suin, 2002).

Pada stasiun 3 kelimpahan terendah pada genus Melosira, Scenedesmus

sp., Cladhopora sp., Staurastrum sp., Scenedesmus sp,, Aulacoseira sp., Phacus

sp., Desmid sp., dan Planaria sp. dengan masing-masing kelimpahan sebesar 0,66

ind/l, dengan kelimpahan relatif sebesar 0,32%, dan frekuensi kehadiran 33,33%. Rendahnya kelimpahan genus-genus ini dikarenakan genus tersebut tidak dapat beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya. Menurut Junaidi, dkk., (2013) tingginya nilai kelimpahan suatu geus di perairan disebabkan kerena genus tersebut dapat beradaptasi dengan baik dengan faktor fisikadan kimia lingkungan yang memiliki kandungan zat-zat organik.

Dari ketiga stasiun penelitian dapat diketahui bahwa stasiun yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu pada stasiun 1 sebanyak 206,00 ind/l dengan jumlah taksa (genus) 41. Kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 3 sebanyak 33,33 ind/l dengan jumlah 29 taksa . Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan nutrien seperti nitrat dan fosfat yang mempengaruhi pertumbuhan plankton pada kedua stasiun tersebut. Banyaknya unsur hara disebabkan deskripsi area pada stasiun 1 merupakan daerah pertanian sehingga unsur hara terakumulasi di daerah ini

sehingga konsentrasinya tinggi yang mengakibatkan tumbuh suburnya tumbuhan, terutama makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit dan fosfat (Nybakken, 1992).

Nilai kelimpahan jenis tertinggi yaitu Surirella sp. Dari kelas

Bacillariophyceae sp. Tingginya kelimpahan kelas Bacillariophyceae sp. ini

disebabkan karna adanya faktor fisika dan kimia yang dapat mempengaruhi, diantaranya pH, cahaya, dan nutrient. Menurut Barus (2002), bagi organisme air intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang mendukung kehidupan organisme dan habitatnya. Ketersediaan jenis nutrient tertentu dapat medukung kehidupan spesies dari kelompok Bacillariophyceae sp. ini. Hal ini dijelaskan Goldman dan Horne (1983) diacu oleh Wijaya (2009), pada perairan sungai yang memiliki kandungan nutrien yang cukup memadai, keberadaan kelompok Bacillariophyceae sering mendominasi dengan komposisi sangat besar

Indeks Keanekaragaman Plankton (H’)

Nilai indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,56. Hal ini disebabkan pada stasiun 1 terdapat jumlah jenis dengan penyebaran yang merata dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya. Odum (1994) diacu oleh Surbakti (2009), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata.

Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) yang terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,16 hal ini disebabkan pada daerah ini zat hara yang diperlukan plankton seperti fosfat dan nitrat untuk berkembangbiak rendah sehingga berpengaruh terhadap keanekaragaman plankton di daerah ini. Zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak ialah nitrogen (sebagai nitrat) dan fosfor (sebagai fosfat). Zat-zat hara lain baik anorganik maupun organik mungkin diperlukan dalam jumlah kecil atau sangat kecil, namun pengaruhnya terhadap produktivitas tidak sebesar nitrogen dan fosfor (Yuliana dan Asriyana, 2012).

Odum (1994), keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya rendah.

Indeks Dominansi (D)

Dari Tabel 3 diperoleh nilai Indeks Dominansi berkisar 0,15 − 0,18 dengan nilai dominansi tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,18 dan nilai dominansi terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,15. Nilai ini mengindikasikan bahwa belum ada dominansi oleh beberapa spesies plankton (nilai D mendekati nol).Odum (1994), apabila indeks dominansi (D) > 0,5 maka struktur komunitas yang sedang diamati ada dominansi dari satu atau beberapa spesies. Belum adanya dominansi oleh spesies plankton juga menunjukkan bahwa kekuatan spesies yang ada merata. Menurut Odum (1971) menjelaskan spesies yang dominan dalam suatu komunitas memperlihatkan kekuatan spesies itu

dibandingkan spesies lainnya dengan demikian terdapat jenis plankton yang mengendalikan perairan dan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak hanya pada komunitas biotiknya sendiri tetapi juga dalam lingkungan fisiknya.

Jika dalam komunitas biota yang kita amati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya. Hal ini menunjukkan bahawa kondisi struktur komunitanya dalam keadaan stabil, kondisi lingkungan cukup prima dan tidak terjadi tekanan ekologis (stress) terhadap biota di habitat bersangkutan (Basmi, 2000).

Parameter Kualitas Air

Dari hasil parameter kualitas air yang diperoleh secara umum masih mendukung kehidupan plankton dan ini dapat diketahui dari beberapa parameter kualitas air di masing-masing stasiun. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh suhu dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 27 − 29 0C dengan suhu rata-rata 27,17 0C (Tabel 6.) dan nilai suhu ini masih dalam kisaran optimum bagi kehidupan plankton. Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), kisaran suhu yang optimal bagi kehidupan plankton adalah 22 − 30 0C. Suhu suatu perairan dapat mempengaruhi kehidupan organisme yang berada di dalamnya termasuk plankton.

Diketahui bahwa suhu rata-rata terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 27,08 0C dan suhu tertinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 28,83 0C. Hal ini disebabkan pada saat pengambilan data stasiun 1 cuaca mendung sehingga penetrasi cahaya berkurang ke dalam perairan sedangkan suhu tertinggi pada stasiun 3 disebabkan adanya pembuangan limbah dari industri pabrik karet di

sekitar stasiun 3. Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kecerahan dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 35 − 40 cm dengan kecerahan rata-rata 38,19 cm. Nilai kecerahan terendah terdapat di stasiun 3 sebesar 37,6 cm dan nilai kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 39,3 cm rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun 3 disebabkan adanya masukan zat-zat terlarut ke badan perairan seperti buangan dari industri pabrik karet yang terdapat pada stasiun ini. Selain itu sedikitnya vegetasi pada daerah tepi sungai ini. Nilai kecerahan tertinggi ini disebabkan rendahnya kandungan organik akibat tidak adanya aktivitas di kawasan ini sehingga cahaya matahari dapat menembus hingga ke badan perairan yang lebih dalam. Barus (2004), terjadinya penurunan nilai penetrasi cahaya disebabkan oleh kurangnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke badan peairan, adanya kekeruhan oleh zat-zat terlarut dan kepadatan plankton di suatu perairan menyebabkan penetrasi cahaya pada bagian hulu suatu ekosistem sungai pada umumnya lebih tinggi dibanding dengan bagian hilir.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh arus dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 0,14 − 0,20 m/s dengan arus rata-rata 0,13 m/s. Kecepatan arus yang lebih rendah terdapat pada stasiun 1 0,14 m/s dan kecepatan arus tertinggi ada pada stasiun 3 yaitu 0.20 m/s. Perbedaan kecepatan arus disini dipengaruhi oleh kemiringan ataupun ketinggian yang berbeda antara stasiun 3 d dengan stasiun 1 dan 2. Selain itu tingginya arus pada stasiun 3 disebabkan oleh aliran sungai yang relatif lurus dan substrat yang halus pada stasiun ini. Rendahnya arus pada stasiun 1 dan 2 diakibatkan oleh air sungai yang tidak lurus. Jenis substrat akan mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepatan arus dalam suatu ekosistem tidak dapat ditentukan dengan pasti karena arus pada suatu perairan sangat mudah berubah.

Menurut Barus (2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari periode ke periode tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai gesekan (friction) yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan mempunyai arus yang lebih cepat. Pada alur sungai yang membelok (meander) kecepatan arus paling tinggi pada bagian pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika tentang putaran massa sentrifugal. Pada

daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-batuan di dasar perairan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh oksigen terlarut (DO) dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 4,9 − 6,0 mg/l dengan oksigen terlarut rata-rata 5,6 mg/l dan nilai oksigen terlarut ini masih dalam kisaran optimum bagi kehidupan plankton.

Nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 4,9 mg/l sedangkan nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat pada stasiun 4 sebesar 6,0 mg/l. Rendahnya oksigen terlarut pada stasiun 3 disebabkan adanya masukan dari aktivitas industri yaitu pabrik karet yang menyuplai senyawa organik dan anorganik sehingga dibutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa tersebut dan tingginya suhu yang menimbulkan konsumsi oksigen meningkat oleh biota air yang menyebabkan terjadinya defisit oksigen terlarut di stasiun tersebut. Menurut Michael (1984) oksigen hilang dari air secara alami oleh adanya pernafasan biota, pengurairan bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu.

Nilai BOD5 dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 0,5 − 0,9 mg/l dengan BOD5 rata-rata 0,69 mg/l. Nilai BOD5 terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,63 mg/l dan BOD5 tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,96 mg/l. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 3 ini disebabkan daerah ini merupakan daerah aktivitas industri yang banyak menampung beban masukan sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik itu tinggi. Menurut Kristanto (2002), BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut

yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut di dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi.

Nilai pH dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 5,4 − 6,9 dengan pH rata-rata 5,6. Nilai pH terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 5,5 dan pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 6,8. Rendahnya nilai pH pada stasiun 3 ini disebabkan karena adanya pembuangan limbah industri yaitu pabrik karet yang mengandung senyawa organik yang selanjutnya mengalami penguraian yang menurunkan pH di daerah ini. Siregar (2009), bahwa daerah yang terdapat aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik akan mengalami penguraian yang menimbulkan penurunan pH di daerah tersebut.

Tingginya nilai pH pada stasiun 1 disebabkan daerah ini sedikit aktivitas yang menghasilkan senyawa organik sehingga tidak terjadi penguraian yang dapat menurunkan nilai pH di perairan tersebut. Siregar (2009), daerah yang tidak terdapat aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maka belum terjadi penguraian yang menghasilkan karbondioksida sehingga nilai pH nya tinggi.

Kisaran pH di perairan ini masih mendukung kehidupan plankton yang hidup di dalamnya. Menurut Sinambela (1994), diacu oleh Surbakti (2009) menyatakan kehidupan di dalam air masih dapat bertahan bila perairan mempunyai kisaran pH 5 − 9.

Nilai fosfat dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 0,05 − 0,14 mg/l dengan fosfatrata-rata 0,08 mg/l. Nilai fosfatterendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,05 mg/l dan fosfat tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 0,14 mg/l. Nilai fosfat rendah pada stasiun 1 ini disebabkan daerah ini merupakan daerah sedikit aktivitas sehingga tidak ada masukan nutrisi dari luar yang mempengaruhi kandungan fosfat di stasiun ini. Effendi (2003), menyatakan sumber utama fosfat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, sumber antropogenik seperti limbah industri dan domestik.

Nilai nitrat dari masing-masing stasiun di Perairan Sungai Pelawi berkisar 1 − 1,3mg/l dengan nitrat rata-rata 1,12 mg/l. Nilai nitrat terendah terdapat pada stasiun 2 sebesar 1,03 mg/l dan nitrat tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 1,28 mg/l. Nilai nitrat pada stasiun 2 rendah disebabkan beban masukan dari luar sedikit sehingga proses penguraian nitrit menjadi nitrat sehingga nilai nitrat pada daerah ini rendah sedangkan nilai nitrat tinggi pada daerah stasiun 1 disebabkan daerah ini terdapat adanya aktivitas pertanian langsung ke badan perairan sehingga kemudian meningkatkan nilai nitrat pada daerah ini. Nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit dan serta merupakan zat yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang (Barus, 2004).

Kisaran nilai nitrat rata-rata pada daerah ini (1,45 mg/l) tergolong baik untuk pertumbuhan optimal fitoplankton. Mackentum (1969) diacu oleh Yuliana dan Asriyana (2002), pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat pada kisaran 0,9 − 3,5 mg./l.

Analisis Korelasi Pearson Antara Faktor Fisika-Kimia Dengan Indeks Keanekaragaman Plankton

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara beberapa faktor fisika-kimia perairan berbeda tingkat korelasi dan arah korelasinya dengan indeks diversitas (H'). Nilai (+) menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisika-kimia perairan dengan nilai Indeks diversitas (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia maka nilai indeks keanekaragaman akan semakin besar pula, sedangkan nilai (-) menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H'), artinya semakin besar nilai faktor fisik kimia maka nilai H' akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin kecil nilai faktor fisik kimia maka nilai H' akan semakin besar.

Dari hasil analisis korelasi Tabel 4 menunjukkan bahwa suhu, arus, BOD5 dan fosfat berkorelasi negatif (berlawanan) terhadap keanekaragaman plankton dengan demikian semakin tinggi nilai suhu, arus, BOD5 dan fosfat maka keanekaragaman plankton semakin rendah dan jika nilai suhu, arus, BOD5 dan fosfat semakin rendah maka keanekaragaman plankton juga semakin rendah. Suin (2002), kecepatan arus air dari suatu badan air ikut, menentukan penyebaran

Dokumen terkait