• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anatomi

Secara umum kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) memiliki ciri-ciri berwarna kuning kecoklatan, corak polos, memiliki tekstur yang agak keras, arah serat lurus sampai berombak, kayunya keras, dan tidak mengkilap. Sedangkan ciri anatomi kayu ekaliptus memiliki pori soliter, baur, berganda radial 2-3, memiliki parenkim paratrakea selubung, dan jari-jarinya sempit dan halus.

Kadar Air

Kayu Ekaliptus yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air rata-rata 12,85 (Lampiran 1). Nilai kadar air akan berpengaruh terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat. Menurut Nicholas (1988), kadar air kayu mempengaruhi keterawetannya. Kenaikan kadar air menurunkan porositas atau volume rongga kayu dan pada kadar air di atas titik jenuh serat tidak memungkinkan untuk memperoleh retensi yang diinginkan. Adanya sejumlah air bebas dalam rongga-rongga sel (lumen) dapat menghambat atau bahkan mencegah peresapan cairan pengawet ke dalam kayu. Kadar air yang digunakan yaitu kadar air kering udara. Hal ini bertujuan agar bahan pengawet dan cairan pelarutnya akan diserap secara bersama-sama.

Kerapatan

Hasil penelitian kerapatan kayu (Lampiran 2) menunjukkan bahwa nilai kerapatan kayu Eucalyptus urophylla berkisar antara 0,59 gr/cm3 sampai dengan

0,66 gr/cm3, dengan rata-rata kerapatan 0,62 gr/cm3. Dari nilai rata-rata kerapatan kayu Eucalyptus urophylla yang diperoleh sebesar 0,62 gr/cm3, sehingga kelas kuat kayu Eucalyptus urophylla adalah kelas kuat II. Dimana kelas kuat II adalah untuk kayu yang memiliki kerapatan antara 0,60-0,90 gr/cm3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelas Kuat Kayu Berdasarkan Kerapatan/ Berat Jenis Kayu Kelas Kuat Kerapatan/ Berat Jenis Kayu

I II III IV V > 0,90 0,60-0,90 0,40-0,60 0,30-0,40 < 0,30 Sumber : Kartasudjana dan Abdurrahim (1979)

Retensi

Retensi rata-rata yang diperoleh dari bahan pengawet asam borat terhadap kayu ekaliptus berkisar antara 1,83 kg/m3 sampai dengan 6,38 kg/m3. Nilai tertinggi diperoleh dengan perlakuan perendaman pada 72 jam dengan konsentrasi 6%, sedangkan nilai yang terendah diperoleh pada perendaman 24 jam dengan konsentrasi 2%. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Retensi Rata-Rata Bahan Pengawet Asam Borat Pada Kayu Ekaliptus Konsentrasi Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 1,83 2,16 4,09

4% 2,01 2,51 5.35

6% 2,77 4,45 6,38

Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa semakin lama perendaman dapat meningkatkan nilai retensi asam borat. Begitu juga pada konsentrasi asam borat, semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, maka semakin tinggi

pula retensi yang diperoleh, kecuali pada konsentrsi 4% dengan lama perendaman 48 jam. Ternyata hasil retensi dengan konsentrasi 6% jauh lebih tinggi di banding dengan konsentrasi 4% dan 2% dengan lama perendaman yang sama, dengan kata lain hal ini menunjukkan semakin lama perendaman dan semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet maka semakin besar pula nilai retensinya.

Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan semakin besar nilai rentensi bahan pengawet yang didapat. Sesuai dengan Martawijaya dan Abdurrohim (1984), yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi larutan senyawa asam borat dari 5%-10% dapat menaikkan retensi dan penembusan boron pada tiga jenis kayu percobaan yaitu : jeungjing, karet dan agathis.

Hasil pengujian nilai retensi yang diperoleh dapat dikatakan memenuhi standar. Sesuai dengan pendapat Martawijaya dan Abdurrohim (1984), besarnya retensi bahan pengawet yang larut dalam air untuk pemakaian dibawah atap berkisar antara 3,4-5,6 kg/m3.

Tabel 6.Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung No Jenis Bahan

Pengawet

Retensi (kg/m3)

Di Bawah Atap Di Luar

1 Tanalith CT 106 4,6 6,6

2 Celcure A(P) 5,6 8,0

3 Osmose K33 3,4 4,8

4 Kemira K33 4,4 6,3

Sumber : Martawijaya dan Abdurrohim (1984) dalam Djarwanto dan Abdurrahim (2000)

Besarnya retensi beberapa bahan pengawet lain untuk penggunaan dibawah atap untuk jenis bahan pengawet Tanalith CT 106, Celcure a (P), Osmose K33, dan Kemira K33 untuk penggunaan dibawah atap dan di luar seperti pada Tabel 6. Sedangkan bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini yaitu asam borat memiliki retensi berkisar antara 1,83 kg/m3 sampai dengan 6,38 kg/m3

untuk penggunaan dibawah atap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suranto (2002) yang menyatakan bahwa bila kayu akan digunakan di dalam ruangan, retensinya dapat kurang dari 8 kg/m3.

Adapun kelebihan bahan pengawet asam borat yaitu harganya relatif murah sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk digunakan oleh masyarakat untuk bahan pengawet. Meskipun demikian, bahan pengawet ini mudah luntur, oleh sebab itu bahan pengawet ini hanya dianjurkan untuk digunakan dalam pengawetan kayu untuk konstruksi rumah. Sedangkan kekurangannya yaitu pengawet ini bersifat korosi terhadap paku atau besi.

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa konsentrasi asam borat tidak berpengaruh terhadap nilai retensi asam borat, tetapi lama perendaman berpengaruh terhadap nilai retensi asam borat. Sedangkan perlakuan interaksi antara konsentrasi dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap nilai retensi asam borat.

Hasil uji Duncan pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman 72 jam tidak berbeda nyata dengan lama perendaman 48 jam. Sedangkan pada lama perendaman 48 jam berbeda nyata dengan lama perendaman 24 jam.

Penetrasi

Hasil pengukuran penetrasi rata-rata berkisar dari 3,03 mm sampai dengan 6,62 mm. Nilai tertinggi dicapai pada perendaman 72 jam konsentrasi 6%, sedangkan nilai terendah diperoleh pada perendaman 24 jam konsentrasi 2%. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Ekaliptus Konsentrasi Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 3,03 3,33 3,67

4% 3,67 5,01 5,21

6% 3,94 5,08 6,62

Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa penambahan konsentrasi larutan asam borat 2% menjadi 4% dan 6% dapat meningkatkan nilai penetrasi pada perendaman selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.

Gambar 2. Penetrasi pada Kayu Ekaliptus

Standar Nasional Indonesia (Anonim, 1994) menyatakan persyaratan penetrasi yang paling dangkal adalah 5 mm. Berdasarkan persyaratan penetrasi tersebut pada penelitian ini standar tersebut dapat dicapai pada konsentrasi 4% dan 6% dengan lama perendaman 48 jam dan 72 jam. Sedangkan pada konsentrasi 2% hasil penetrasi belum memenuhi standar, namun dapat juga dilihat bahwa nilai yang ditunjukkan sudah hampir mendekati standar. Untuk lebih jelasnya penetrasi bahan pengawet asam borat pada kayu Ekaliptus dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa konsentrasi asam borat dan lama perendaman berpengaruh nyata, ini

menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi atau penambahan lama perendaman juga dapat meningkatkan nilai penetrasi. Namun, pada perlakuan interaksi konsentrasi dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi bahan pengawet asam borat.

Hasil uji Duncan pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi 6% tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 4%, sedangkan

perlakuan konsentrasi 4% berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 2%. Hasil uji Duncan pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa perlakuan lama

perendaman 72 jam tidak berbeda nyata terhadap lama perendaman 48 jam. Namun lama perendaman 48 jam berbeda nyata terhadap lama perendaman 24 jam. Hal ini didukung dengan nilai penetrasi berdasarkan lama perendaman yang semakin meningkat dengan bertambahnya lama perendaman yang dilakukan. Hasil yang paling baik dapat dilihat pada lama perendaman 72 jam dengan konsentrasi 6% dengan penetrasi sebesar 7,90 mm dan hasil ini sudah memenuhi standar untuk penggunaan di bawah atap. Nilai penetrasi lain yang memenuhi standar terdapat di perlakuan dengan konsentrasi 4% dan 6%.

Metode pengawetan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan perendaman. Kayu yang diteliti harus diberi pemberat agar tidak mengapung. Jarak yang digunakan antar kayu harus cukup lebar untuk memberi peluang bagi sirkulasi bahan pengawet dan memberi jalan bagi udara yang keluar dari dalam kayu. Menurut Suranto (2002), meresapnya bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama sampai dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman.

Uji Kubur

Berdasarkan hasil pengujian selama 100 hari yang dilakukan terhadap contoh uji berupa kayu ekaliptus yang telah diawetkan dengan asam borat dan yang tidak diawetkan diperoleh persen kehilangan berat sebesar 0,11% hingga 0,52%. Untuk lebih jelasnya hasil ketahanan kayu ekaliptus terhadap serangan rayap tanah dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Ketahanan Kayu Ekaliptus Terhadap Serangan Rayap Tanah Konsentrasi Lama Perendaman Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan

0% (kontrol) 0,52 Sangat tahan

2% 0,37 Sangat tahan

4% 24 jam 0,37 Sangat tahan

6% 0,35 Sangat tahan

2% 0,23 Sangat tahan

4% 48 jam 0,22 Sangat tahan

6% 0,15 Sangat tahan

2% 0,17 Sangat tahan

4% 72 jam 0,15 Sangat tahan

6% 0,11 Sangat tahan

Contoh uji yang tidak diberi perlakuan pengawetan (kontrol) mendapatkan serangan rayap tanah yang paling tinggi, dapat dilihat dari persentase kehilangan berat yang dialami yaitu sebesar 0,52%. Sedangkan contoh uji berikutnya yang mengalami persentase kehilangan berat adalah contoh uji yang diberi perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 2% dengan lama perendaman 24 jam, disusul dengan contoh uji dengan konsentrasi 4% lama perendaman 24 jam dan yang mengalami persentase kehilangan berat paling kecil adalah contoh uji dengan perlakuan pengawetan konsentrasi 6% dengan lama perendaman 72 jam.

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman, maka semakin

tahan kayu terhadap serangan rayap tanah. Hal ini terlihat pada beberapa contoh uji lainnya yang tidak terserang rayap sehingga hanya sedikit mengalami kehilangan berat (Gambar 3). Contoh uji tersebut diberi perlakuan pengawetan dengan konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman yang lebih tinggi. Namun demikian, contoh uji merupakan kayu yang tahan terhadap serangan rayap meskipun tidak diberi perlakuan pengawetan. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase kehilangan berat yang menunjukkan kelas ketahanan yang tinggi (sangat tahan) setelah diuji selama 100 hari dengan persentase kehilangan berat sebesar 0,52%.

Gambar 3. Hasil Uji Kubur

Pada kondisi di alam, rayap mempunyai banyak pilihan makanan. Dalam keadaan demikian rayap akan memilih makanan yang paling sesuai, bukan saja tipe makanan yang cukup mengandung selulosa, tetapi juga makanan yang mudah untuk digigit dan dikunyah. Begitu juga dengan kondisi tempat pengujian dilakukan yaitu di hutan Tridharma USU yang merupakan hutan mini yang didominasi oleh pohon mahoni. Tempat pengujian ini banyak terdapat koloni rayap tanah, hal ini dapat dilihat dari ditemukannya beberapa timbunan tanah yang dipastikan merupakan sarang rayap tanah tipe sarang bukit, seperti terlihat

pada Gambar 4. Dalam pengujian, kayu yang digunakan adalah kayu yang telah diawetkan sehingga kayu tersebut mengandung racun bagi serangga selain itu ternyata kayu ekaliptus juga memiliki ketahanan terhadap serangan rayap sesuai dengan hasil pengujian yang telah dilakukan, sehingga kayu ekaliptus dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan kayu untuk konstruksi dan lainnya.

Gambar 4. Sarang Rayap Tanah

Rayap yang menempel pada contoh uji ketika diangkat setelah 100 hari adalah rayap dengan jenis Macrotermes gilvus (Gambar 5). Kerusakan yang ditimbulkan oleh rayap ini tidak begitu tampak pada kayu ekaliptus. Menurut Hunt and Garrat, 1986 dalam Tambunan dan Nandika,1989, jenis-jenis rayap tanah di Indonesia adalah dari famili Termitidae. Mereka bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Contoh-contoh Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus), Odontotermes spp. dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 meter dari sarangnya.

Dokumen terkait