• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keawetan dan Keterawetan Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) Umur 7 Tahun dari Areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keawetan dan Keterawetan Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) Umur 7 Tahun dari Areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KEAWETAN DAN KETERAWETAN KAYU EKALIPTUS

(Eucalyptus urophylla) UMUR 7 TAHUN

DARI AREAL HPHTI PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk

SKRIPSI

Oleh:

Odi Lorano Sitepu

041203025/ Teknologi Hasil Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ABSTRACT

The objection of this research was to know the natural durability effect of Eucalyptus urophylla wood of Subteran termite’s attact, retention and penetration of borat acid solution, and treatability of Eucalyptus urophylla. After preserving treatment, wood graved for 100 days. Percentation of weight loss was between 0,11%-0,52%. Eucalyptus urophylla can be classified as resistance wood of subteran termite’s attack. The preservative retention value of Eucalyptus urophylla wood was between 1,83-6,38 kg/m3, and penetration was between 3,03-6,62 mm. The highest retention and penetration was show by treatment with concentration 6% for soaking period of 72 hours. Retention and penetration Eucalyptus urophylla wood can be classified as easy in preserving. The increasing of concentration and soaking period of borat acid solution can increase retention and penetration borat acid solution also can increase resistance of Eucalyptus urophylla wood for subteran termite’s attack.

(3)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keawetan alami kayu ekaliptus terhadap serangan rayap tanah, besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu ekaliptus dan mengetahui keterawetan kayu ekaliptus. Setelah dilakukan, selanjutnya contoh uji dikubur selama 100 hari. Persentase kehilangan berat berkisar antara 0,11%-0,52%. Kayu ekaliptus dapat diklasifikasikan ke dalam kayu yang tahan terhadap serangan rayap tanah. Nilai retensi bahan pengawet asam borat pada kayu ekaliptus berkisar antara 1,83-6,38 kg/m3, sedangkan penetrasinya berkisar antara 3,03-6,62 mm. Retensi dan penetrasi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi asam borat 6% dengan lama perendaman 72 jam. Dari hasil retensi dan penetrasi, kayu ekaliptus termasuk kayu yang mudah diawetkan. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman asam borat dapat meningkatkan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat serta semakin tahan terhadap serangan rayap tanah.

(4)

Judul Skripsi : Keawetan dan Keterawetan Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) Umur 7 Tahun dari Areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Nama : Odi Lorano Sitepu

Nim : 041203025

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Ridwanti Batubara, S.Hut, MP Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan limpahan karunia-Nya penulis masih diberikan kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesikan penelitian ini dengan sebaik-baiknya.

Penelitian ini berjudul “Keawetan dan Keterawetan Kayu Ekaliptus

(Eucalyptus urophylla) Umur 7 Tahun dari Areal HPHTI PT. Toba Pulp

Lestari, Tbk”, yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keawetan alami kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun terhadap serangan rayap tanah, mengetahui besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun, dan pengaruh konsentrasi dan lama perendaman terhadap retensi dan penetrasi, serta mengetahui keterawetan kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun dari areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, membimbing dan memberikan saran dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih ini Penulis sampaikan kepada:

(6)

2. Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP dan Ibu Iwan Risnasari, S.Hut, M.Si selaku komisi pembimbing, terima kasih atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Seluruh staff dan karyawan di HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk khususnya pada Sektor Aek Nauli, atas dukungan dan perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

4. Seluruh dosen Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian, yang telah membekali penulis dengan ilmu yang diberikan selama mengikuti proses perkuliahan.

5. Teman-teman seperjuangan (Mukriz, Elindra, Harisyah, dan Juliana), angkatan THH’04 Kehutanan USU (Diah, Astri, Mila, Uli dan lain-lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu), terima kasih atas dukungan dan semangatnya.

6. Adik-adik angkatan 2005 sampai 2007, khususnya THH, terima kasih atas semangatnya dan bantuannya dalam bentuk apapun.

7. Terima kasih kepada semua keluarga besar.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Medan, November 2008

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ...ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian... 4

Hipotesa Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Keawetan Alami Kayu ... 5

Aspek Pengawetan Kayu ... 7

Bahan Pengawet Kayu ... 8

Bahan Pengawet Asam Borat ... 9

Metode Pengawetan Kayu (Perendaman) ... 10

Keberhasilan Pengawetan Kayu ... 11

a. Retensi ... 12

b. Penetrasi ... 13

Keterawetan Kayu ... 14

Rayap Sebagai Organisme Perusak Kayu ... 16

Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla) ... 19

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat Penelitian ... 22

Metode Penelitian ... 23

Persiapan Contoh uji ... 23

Pengawetan Contoh Uji ... 23

Pengukuran Retensi ... 23

Pengukuran Penetrasi ... 24

Uji Kubur ... 25

Analisis Data ... 26

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi Penelitian ... 28

Luas Areal ... 28

Iklim ... 29

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Anatomi ... 31

Kadar air ... 31

Kerapatan ... 31

Retensi ... 32

Penetrasi ... 34

Uji Kubur ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Klasifikasi Keawetan Kayu ... 6 2. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Umur Pakai Kayu

pada Setiap Kelas Keawetan Kayu ... 6 3. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap... 26 4. Kelas Kuat Kayu Berdasarkan Kerapatan/ Berat Jenis Kayu ... 32 5. Retensi Rata-rata Bahan Pengawet Asam Borat Pada Kayu Ekaliptus .... 32 6. Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan

dan Gedung ... 33 7. Nilai Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat pada

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan ... 44 2. Kerapatan Kayu Ekaliptus ... 44 3. Hasil Perhitungan Retensi (kg/m3) Bahan Pengawet Asam Borat

(H3BO3) pada Kayu Ekaliptus ... 44 4. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat ... 44 5. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada

Kayu Ekaliptus Selang Kepercayaan 95% ... 45 6. Hasil Perhitungan Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat

(H3BO3) pada Kayu Ekaliptus ... 45 7. Analisis Keragaman Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat ... 45 8. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada

Kayu Ekaliptus Selang Kepercayaan 95% ... 45 9. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada

Kayu Ekaliptus Selang Kepercayaan 95% ... 46 10. Data Hasil Ketahanan Kayu Ekaliptus Terhadap Serangan Rayap

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pengukuran Penetrasi ... 25

2. Penetrasi pada Kayu Ekaliptus ... 35

3. Hasil Uji Kubur ... 38

4. Sarang Rayap Tanah ... 39

(12)

ABSTRACT

The objection of this research was to know the natural durability effect of Eucalyptus urophylla wood of Subteran termite’s attact, retention and penetration of borat acid solution, and treatability of Eucalyptus urophylla. After preserving treatment, wood graved for 100 days. Percentation of weight loss was between 0,11%-0,52%. Eucalyptus urophylla can be classified as resistance wood of subteran termite’s attack. The preservative retention value of Eucalyptus urophylla wood was between 1,83-6,38 kg/m3, and penetration was between 3,03-6,62 mm. The highest retention and penetration was show by treatment with concentration 6% for soaking period of 72 hours. Retention and penetration Eucalyptus urophylla wood can be classified as easy in preserving. The increasing of concentration and soaking period of borat acid solution can increase retention and penetration borat acid solution also can increase resistance of Eucalyptus urophylla wood for subteran termite’s attack.

(13)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keawetan alami kayu ekaliptus terhadap serangan rayap tanah, besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu ekaliptus dan mengetahui keterawetan kayu ekaliptus. Setelah dilakukan, selanjutnya contoh uji dikubur selama 100 hari. Persentase kehilangan berat berkisar antara 0,11%-0,52%. Kayu ekaliptus dapat diklasifikasikan ke dalam kayu yang tahan terhadap serangan rayap tanah. Nilai retensi bahan pengawet asam borat pada kayu ekaliptus berkisar antara 1,83-6,38 kg/m3, sedangkan penetrasinya berkisar antara 3,03-6,62 mm. Retensi dan penetrasi tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan konsentrasi asam borat 6% dengan lama perendaman 72 jam. Dari hasil retensi dan penetrasi, kayu ekaliptus termasuk kayu yang mudah diawetkan. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman asam borat dapat meningkatkan nilai retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat serta semakin tahan terhadap serangan rayap tanah.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya kebutuhan kayu seiring dengan bertambahnya penduduk setiap tahun, menyebabkan permintaan akan kayu semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan ini harus diimbangi dengan tersedianya produksi kayu yang mencukupi dengan memperhatikan keseimbangan alam. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu alternatif pemecahannya yaitu dengan pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Pembangunan HTI merupakan salah satu program pembangunan kehutanan Indonesia yang diprioritaskan dan bertujuan untuk memenuhi permintaan pasar kayu yang tidak mungkin lagi terpenuhi dengan hanya mengandalkan pasokan kayu yang berasal dari hutan alam saja. Hutan tanaman pada saat ini masih memfokuskan pengembangan jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) dan berdaur pendek sebagai tanaman pokoknya. Alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan kayu dalam waktu yang tidak lama, dan tanaman jenis tersebut tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang diinginkan. Ekaliptus merupakan salah satu tanaman yang pertumbuhannya cepat (fast growing species) dan salah satu jenis kayu untuk pulp atau bubur kertas.

(15)

pembungkus korek api, bubur kayu (pulp), dan kayu bakar. Beberapa jenis tanaman ekaliptus ditanam sebagai tanaman hias.

Jenis tanaman yang utama pada HTI di PT. Toba Pulp Lestari adalah jenis ekaliptus. Pada umur 7 tahun, kayu ekaliptus sudah dapat dipanen, hal ini disebabkan karena kayu ekaliptus adalah jenis tanaman yang bersifat fast growing species. Kayunya mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, sehingga jenis

tanaman ini cenderung untuk selalu dikembangkan. Kayu ekaliptus termasuk ke dalam kelas awet III dan kelas kuat II. Jika kayu ekaliptus diawetkan maka kayu ekaliptus dapat digunakan untuk konstruksi bangunan yang memiliki keawetan yang bagus dan lebih kuat.

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu tertentu terhadap berbagai faktor perusak kayu. Sedangkan keterawetan merupakan suatu sifat yang dimiliki kayu terhadap mudah tidaknya ditembus oleh bahan pengawet kayu. Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan (Duljapar, 2001). Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu.

(16)

Bahan pengawet kayu merupakan senyawa kimia yang diberikan terhadap kayu sehingga menjadi tahan terhadap berbagai serangan organisme perusak kayu. Sifat, kandungan bahan aktif, dan harga bahan pengawet kayu yang beredar di pasaran sangat beragam. Oleh karena itu, dalam pemilihannya harus selektif. Salah satu contoh bahan pengawet yang banyak digunakan dan harganya dapat dijangkau oleh masyarakat adalah asam borat (H3BO3). Asam borat merupakan jenis bahan pengawet yang larut dalam air, dan dapat menghambat kerusakan kayu akibat cendawan dan serangga perusak kayu, terutama kumbang bubuk. Dari uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai keawetan alami dan keterawetan kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun dari areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui keawetan alami kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun terhadap serangan rayap tanah.

2. Mengetahui besarnya retensi dan penetrasi asam borat pada kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun, dan pengaruh konsentrasi dan lama perendaman terhadap retensi dan penetrasi.

(17)

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu:

1. Tersedianya data keawetan alami dan keterawetan kayu ekaliptus

(Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun dari areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

2. Memberikan informasi bahwa kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur

7 tahun dapat dimanfaatkan lebih beragam dengan keawetan yang lebih tinggi.

Hipotesa Penelitian

Adapun hipotesa penelitian ini adalah:

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Keawetan Alami Kayu

Keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang serasi bagi organisme yang bersangkutan (Duljapar, 2001). Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dikatakan awet bila mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama bila mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Kayu diselidiki keawetannya pada bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan. Pemakaian kayu menentukan pula umur pemakaiannya.

Keawetan kayu menjadi faktor utama penentu penggunaan kayu dalam konstruksi. Bagaimanapun kuatnya suatu jenis kayu, penggunaannya tidak akan berarti bila keawetannya rendah. Suatu jenis kayu yang memiliki bentuk dan kekuatan yang baik untuk konstruksi bangunan tidak akan bisa dipakai bila kontruksi terebut akan berumur beberapa bulan saja, kecuali bila kayu tersebut diawetkan terlebih dahulu dengan baik. Karena itulah dikenal apa yang disebut dengan kelas pakai, yaitu komposisi antara kelas awet dan kelas kuat, dengan kelas awet dipakai sebagai penentu kelas pakai. Jadi, meskipun suatu jenis kayu memiliki kelas kuat yang tinggi, kelas pakainya akan tetap rendah jika kelas awetnya rendah (Tim Elsppat, 1997).

(19)

kayu dapat dilihat pada Tabel 1. dan pengaruh kondisi lingkungan terhadap umur pakai kayu pada setiap kelas keawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Klasifikasi Keawetan Kayu

Kelas Keawetan Kualifikasi Keawetan Umur Pemakaian Rata-rata (tahun)

1 Sangat awet > 8

2 Awet 5 – 8

3 agak awet 3 – 5

4 tidak awet 1.5 – 3

5 sangat tidak awet < 1.5

Sumber : Suranto (2002)

Tabel 2. Pengaruh Kondisi Lingkungan Terhadap Umur Pakai Kayu pada Setiap Kelas Keawetan Kayu

No Kondisi Pemakaian

Umur Pakai (Tahun) Pada Kelas Keawetan

I II III IV V Sumber : Suranto (2002)

(20)

terhadap serangan cendawan dan serangga disebabkan karena sebagian zat ekstraktif bersifat racun atau paling tidak menolak jamur pembusuk dan serangga. Selain itu menurut Tim Elsppat (1997), faktor suhu, kelembaban udara dan faktor fisik lainnya akan ikut mempengaruhi kegiatan organisme perusak kayu tersebut.

Aspek Pengawetan Kayu

Menurut Hunt dan Garrat (1986), pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan kimia ke dalam kayu dengan tujuan melindungi kayu atau memperpanjang umur pakai kayu. Suranto (2002) mengemukakan bahwa pengawetan kayu adalah suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang.

Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor utama yang mempengaruhi hasil pengawetan, yaitu:

1. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti

struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.

2. Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk

(21)

Bahan Pengawet Kayu

Bahan pengawet kayu menurut Hunt dan Garrat (1986), adalah bahan-bahan kimia yang apabila diterapkan secara baik pada kayu, akan membuat kayu itu tahan terhadap serangan cendawan, serangga, atau cacing-cacing kapal. Efek perlindungannya itu tercapai dengan menjadikan kayu itu beracun atau kalis terhadap organisme yang menyerangnya. Bahan-bahan pengawet ini sangat berbeda dalam sifat, harga, keefektifan, dan kecocokan penggunaannya di bawah kondisi-kondisi pemakaian yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Suranto (2002), bahan pengawet kayu adalah suatu senyawa (bahan) kimia, baik berupa bahan tunggal maupun campuran dua atau lebih bahan, yang dapat menyebabkan kayu yang digunakan secara benar akan mempunyai ketahanan terhadap serangan cendawan, serangga dan perusak-perusak kayu lainnya.

Menurut Duljapar (2001), untuk digunakan secara komersial, bahan pengawet kayu yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Memiliki daya penetrasi yang cukup tinggi 2. Memiliki daya racun ampuh

3. Bersifat permanen 4. Aman dipakai

5. Tidak bersifat korosif terhadap logam 6. Bersih dalam pemakaian

7. Tidak mengurangi sifat baik kayu 8. Tidak mudah terbakar

(22)

Nicholas (1988) mengemukakan secara umum bahan pengawet diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang sifat, kandungan bahan aktif dan harga yang beredar di pasaran sangat beragam yaitu:

1. Bahan pengawet berupa minyak

2. Bahan pengawet yang larut dalam minyak 3. Bahan pengawet larut air.

Bahan Pengawet Asam Borat

Asam borat dan boraks dapat digunakan secara terpisah maupun bersama-sama (dicampur) untuk mengawetkan kayu agar terhindar dari cendawan dan serangga perusak kayu. Harganya relatif murah sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi sebagai bahan pengawet kayu. Meskipun demikian, bahan pengawet asam borat ini mudah mengalami pelunturan. Oleh karena itu, bahan pengawet ini hanya dianjurkan untuk digunakan dalam pengawetan kayu untuk konstruksi rumah (misal rangka atap) dan tidak dianjurkan untuk kayu yang dalam penggunaannya berhubungan dengan tanah atau kondisi lembab (misalnya pagar). Sifat yang alkalis membuat boraks dan asam borat sangat korosif terhadap paku atau besi lain yang bersinggungan dengannya. Sebagai bahan pengawet, asam borat digunakan dalam konsentrasi 6%-10% (Suranto, 2002).

Menurut Duljapar (2001), bahan pengawet larut air mempunyai kelebihan antara lain:

(23)

4. Tidak berwarna (bersih dalam pemakaian) 5. Tidak mudah terbakar

Menurut Hunt dan Garrat (1986), bahan pengawet larut air ini juga mengandung kelemahan sebagai berikut:

1. Kayu yang diawetkan akan memuai ukuran dimensi pajang, lebar dan tebalnya.

2. Air sebagai bahan pelarut akan membasahi kayu sehingga untuk penggunaan tertentu kayu harus dikeringkan lagi, sementara itu proses pengeringan ini akan menyusutkan kembali ukuran kayu.

3. Bahan pengawet ini tidak memberi perlindungan kayu terhadap pelapukan dan keausan mekanis.

4. Bahan pengawet ini lebih mudah luntur, terurai dan semakin lama akan berkurang kadarnya pada kayu yang diawetkan apabila kayu ini digunakan dalam kondisi yang berhubungan dengan air atau tanah basah.

Metode Pengawetan Kayu (Perendaman)

Metode pengawetan kayu dengan cara perendaman ini dilakukan dengan merendam kayu di dalam bahan pengawet larut air pada suhu kamar. Pemanasan bahan pengawet sedikit di atas suhu kamar akan membuat proses pengawetan lebih efektif. Apabila cara ini diterapkan pada kayu kering, baik air maupun bahan pengawetnya akan masuk ke dalam kayu (Suranto, 2002).

(24)

bahan pengawet selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini biasanya dilakukan dalam suhu kamar. Larutan bahan pengawet yang digunakan dapat berupa bahan pengawet yang larut dalam air atau larut dalam minyak. Larutan yang digunakan harus cukup cair agar dapat meresap cukup dalam. Sedangkan pada proses perendaman panas-dingin, bak perendam kayu dipanaskan kemudian kayu dimasukkan dan dibiarkan dalam bak sampai larutan menjadi dingin. Kayu yang akan diawetkan dengan cara ini harus berkadar air maksimal 45%.

Absorbsi bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman. Tetapi akan terus berlangsung terus dengan lebih lambat selama waktu yang tak tertentu. Oleh karena itu makin lama bahan pengawet dapat tetap dalam kayu makin baik pengawetan yang diperoleh. Apabila perendaman ini berlangsung cukup lama, absorbsi dan peresapannya akan sama, atau bahkan melebihi yang diperoleh pada proses bertekanan. Tetapi ini memerlukan perendaman bulanan, atau bahkan dalam tahunan (Hunt dan Garrat, 1986).

Di dalam bak pengawet, kayu tidak boleh terapung, tetapi harus tenggelam, bahan kayu gergajian harus disusun secara baik dan jarak antar (tumpukan) kayu yang berdampingan harus cukup lebar. Susunan demikian dimaksudkan untuk memberi jalan bagi udara yang keluar dari dalam kayu (Suranto, 2002).

Keberhasilan Pengawetan Kayu

(25)

kemungkinan penyebab kerusakannya. Meskipun keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988).

Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang juga ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Suranto (2002) mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet.

a. Retensi

Menurut Duljapar (2001), kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu disebut retensi. Retensi dihitung berdasarkan selisih berat masing-masing contoh kayu sebelum dan sesudah diawetkan dengan rumus sebagai berikut:

R =

Ba = berat kayu sesudah diawetkan (kg) Bo = berat kayu sebelum diawetkan (kg) R = retensi bahan pengawet (kg/m3) K = konsentrasi larutan (%)

V = volume kayu yang diawetkan (m3)

(26)

semakin besar. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3atau kg/m3.

Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedang pada absorbsi yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu. Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut bahan pengawet (Suranto, 2002).

b. Penetrasi

Menurut Suranto (2002), penetrasi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan kedalaman bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Semakin dalam suatu bahan pengawet dapat memasuki kayu, penetrasi pengawetannya dikatakan semakin dalam. Sebaliknya semakin dangkal bahan pengawet memasuki bagian dalam kayu, penetrasi bahan pengawet ini juga dikatakan semakin dangkal. Apabila penetrasi ini sangat dalam, derajat pengawetan kayu dikatakan sebagai sangat tinggi.

Penetrasi adalah kemampuan tembus bahan pengawet ke dalam sel-sel kayu yang diawetkan. Penetrasi sangat dipengaruhi oleh kadar air kayu, cara pengawetan yang digunakan, ukuran dan keadaan kayu, serta perbandingan antara kayu gubal dan kayu teras (Duljapar, 2001).

(27)

1. Penetrasi total (kelas A)

Pada penetrasi ini, bahan pengawet dapat memasuki seluruh sel-sel kayu secara sempurna. Penetrasi ini memang sulit dicapai.

2. Penetrasi mendekati sempurna (kelas B)

Bahan pengawet dalam penetrasi ini dapat menembus kedalaman 30 mm pada permukaan kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 100 mm pada bagian ujung-ujungnya.

3. Penetrasi dalam (kelas C)

Bahan pengawet dapat terpenetrasi sampai kedalaman 10 mm pada bagian tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 50 mm pada bagian ujung-ujungnya.

4. Penetrasi sedang (kelas D)

Pada penetrasi sedang, sekurang-kurangnya mencapai kedalaman 1 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 10 mm pada bagian ujung-ujung kayu.

5. Penetrasi permukaan

Sekurang-kurangnya bahan pengawet dapat menembus kedalaman 0,5 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 2 mm pada bagian ujung-ujungnya.

Keterawetan Kayu

(28)

tidaknya timbunan bahan dalam isi sel, besar kecilnya lubang pori dan adanya getah atau saluran damar serta noktah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998).

Menurut Suranto (2002), keterawetan kayu adalah ukuran yang menggambarkan mudah tidaknya kayu diresapi dan dimasuki bahan pengawet. Kayu yang semakin mudah dimasuki bahan pengawet, dikatakan bahwa kayu itu mempunyai keterawetan tinggi. Sebaliknya kayu yang semakin sukar dimasuki bahan pengawet, disebut sebagai kayu yang mempunyai keterawetan rendah. Dengan demikian, keterawetan kayu menyangkut masalah ketahanan kayu terhadap masuknya bahan pengawet ke dalam kayu.

Pada umumnya, keterawetan kayu berbeda-beda antara jenis kayu yang satu terhadap jenis kayu yang lain. Keterawetan kayu ditentukan oleh empat hal, yaitu jenis kayu, kondisi kayu yang diawetkan, metode pengawetan dan bahan pengawet yang digunakan dalam proses pengawetan. Jenis-jenis kayu yang mempunyai keterawetan hampir sama dapat diawetkan secara bersama-sama dengan menggunakan metode dan skema pengawetan yang sama pula. Namun sayang, kita sulit mendapatkan kayu-kayu yang mempunyai keterawetan sama, apalagi bila kayu itu berasal dari jenis berbeda (Suranto, 2002).

(29)

harus diawetkan dengan metode pengawetan yang menerapkan proses penghampaan yang kemudian diikuti dengan proses penekanan (Suranto, 2002).

Rayap Sebagai Organisme Perusak Kayu

Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. Di Indonesia rayap tegolong kedalam kelompok serangga perusak kayu utama. Kerusakan akibat serangan rayap tidak kecil. Binatang kecil yang tergolong kedalam binatang sosial ini, mampu menghancurkan bangunan yang berukuran besar dan dan menyebabkan kerugian yang besar pula (Tambunan dan Nandika, 1989).

Prasetiyo dan Yusuf (2005), menyatakan bahwa dalam siklus hidupnya, rayap mengalami metamorfosis bertahap atau gradual (hemimetabola), dari telur kemudian nimfa sampai menjadi dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa melalui beberapa instar (bentuk diantara dua tahap perubahan). Perubahan yang gradual ini berakibat terhadap kesamaan bentuk badan secara umum, cara hidup dan jenis makanan antara nimfa dan dewasa. Namun, nimfa yang memiliki tunas, sayapnya akan tumbuh sempurna pada instar terakhir ketika rayap telah mencapai tingkat dewasa.

(30)

Kasta pekerja

Kasta pekerja mempunyai anggota yang terbesar dalam koloni, berbentuk seperti nimfa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet. Mandibelnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit, sedangkan fungsinya adalah sebagai pencari makanan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.

Kasta prajurit

Kasta prajurit mudah dikenal karena bentuk kepalanya yang besar dan dengan sklerotisasi yang nyata. Anggota-anggota dari pada kasta ini mempunyai mandible atau restrum yang besar dan kuat. Berdasarkan pada bentuk kasta prajuritnya, rayap dibedakan atas dua kelompok yaitu tipe mandibulate dan tipe nasuti. Pada tipe mandibulate prajurit-prajuritnya mempunyai mandibel yang kuat dan besar tanpa rostrum, sedangkan tipe nasuti prajurit-prajuritnya mempunyai rostrum yang panjang tapi mandibelnya kecil. Fungsi kasta prajurit adalah melindungi koloni terhadap gangguan dari luar.

Kasta reproduktif

(31)

bagian dari koloni dipisahkan dari koloni induk, kasta reproduktif tambahan terbentuk di dalam sarang dan mengambil alih fungsi raja dan ratu.

Berdasarkan habitatnya, rayap dibagi ke dalam beberapa golongan diantaranya:

• Rayap kayu basah (dampwood termite) adalah golongan rayap yang biasa

menyerang kayu-kayu busuk atau pohon yang akan mati. Sarangnya terletak di dalam kayu tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini adalah Glyprotermes spp. (famili Kalotermitidae)

• Rayap kayu kering (drywood termite) adalah golongan rayap yang biasa

menyerang kayu-kayu kering, misalnya pada kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan, perlengkapan rumah tangga dan lain-lain. Sarangnya terletak di dalam kayu dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Rayap kayu kering dapat bekerja dalam kayu yang mempunyai kadar air 10-12 % atau lebih rendah. Contoh dari golongan ini misalnya Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae).

• Rayap pohon (tree termite) adalah golongan rayap yang menyerang

pohon-pohon hidup. Mereka bersarang di dalam pohon dan tidak mempunyai hubungan dengan tanah. Contoh dari golongan ini misalnya Neotermes spp. (famili Kalotermtidae).

• Rayap subteran (subteranean termite) adalah golongan rayap yang

(32)

Cryptobiotic (menjauhi sinar). Yang termasuk ke dalam rayap subteran

adalah dari famili Rhinotermitidae serta sebagian dari famili Termitidae (Hunt and Garrat, 1986 dalam Tambunan dan Nandika,1989).

Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diperhatikan yaitu:

1. Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta

mengadakan perukaran bahan makanan.

2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak

berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang).

3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.

Kayu Ekaliptus (Eucalyptus urophylla)

Eucalyptus urophylla termasuk famili Myrtaceae yang terdiri dari 500

(33)

Sistematika Eucalyptus urophylla dalam dunia tumbuhan sebagai berikut : Divisio : Spermathophyta

Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledon Ordo : Myrtales Famili : Myrtaceae Genus : Eucalyptus

Spesies : Eucalyptus urophylla

(Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999).

Eucalyptus urophylla pada umumnya terdapat pada zona iklim basah

sampai kering yaitu tipe hutan C, D, dan E pada klasifikasi Shmidt dan Ferguson. Eucalyptus urophylla mampu tumbuh pada tanah yang kurang subur, berbatu dan

tanah rawa. Untuk pertumbuhannya, Eucalyptus urophylla menghendaki cahaya sepanjang tahun (jenis intoleran), dan juga merupakan pohon yang tetap hijau sepanjang tahun (Suhaendi dan Djalpulus, 1978 dalam Purba, 1999).

Pertumbuhan riap maupun diameter Eucalyptus urophylla sangat tinggi. Tinggi pohon dapat mencapai 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 meter. Diameternya bisa mencapai 100 cm atau lebih dan tidak berbanir, kulit luar biasanya coklat muda sampai coklat tua, keadaan kulit licin dan mengelupas memanjang tidak teratur (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 1980).

Eucalyptus urophylla mempunyai tekstur yang keras merata dan licin

(34)

Daun Eucalyptus urophylla berbentuk bulat telur, memanjang dan lanset, dimana pada pangkal mengecil hingga ke ujung meruncing. Pada tingkat anakan bentuk duduk daun berhadapan dan pada tingkat pohon bentuk duduk daun tersebar (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 1980).

Eucalyptus urophylla digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas

(35)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk, Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan, dan Hutan Tridarma Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2008.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) umur 7 tahun berasal dari areal HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Bahan lain adalah bahan pengawet asam borat (H3BO3), cat untuk melabur kedua ujung contoh uji, air sebagai bahan pelarut, 2 bahan pereaksi yaitu pereaksi pertama terdiri dari 2 gr ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol, dan pereaksi kedua terdiri dari 20 ml HCl dilarutkan dalam 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat.

Alat Penelitian

(36)

Metode Penelitian

1. Persiapan Contoh Uji

Contoh uji kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) dibuat dengan ukuran 2,5 cm x 5 cm x 25 cm sebanyak 48 contoh uji yang terdiri dari 27 contoh uji untuk perlakuan, 3 contoh uji untuk kontrol (tanpa perlakuan), dan 18 contoh uji untuk uji penetrasi. Kemudian contoh uji dikeringkan dengan kipas angin sampai kadar air kering udara. Setiap contoh uji dicat ujungnya kemudian diukur dimensinya dan ditimbang berat awalnya.

2. Pengawetan Contoh uji

Bahan pengawet yang digunakan adalah asam borat (H3BO3) dengan konsentrasi :

- 2 % dengan melarutkan 90 gr asam borat dalam 4410 gr air - 4 % dengan melarutkan 180 gr asam borat dalam 4320 gr air - 6 % dengan melarutkan 270 gr asam borat dalam 4230 gr air

Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode perendaman, yaitu contoh uji direndam dalam bahan pengawet selama 1 hari, 2 hari dan 3 hari masing-masing 3 contoh uji untuk setiap perlakuan. Agar contoh uji terendam dan tidak terapung, maka contoh uji tersebut diberi pemberat. Selanjutnya kayu yang telah direndam diangin-anginkan hingga mencapai kadar air kering udara.

3. Pengukuran Retensi

(37)

- Retensi bahan pengawet setiap contoh uji dihitung dengan rumus :

Ba = berat sesudah diawetkan (kg) Bo = berat sebelum diawetkan (kg) R = retensi bahan pengawet (kg/m3) K = konsentrasi larutan (%)

V = volume kayu yang diawetkan (m3)

4. Pengukuran Penetrasi

Pengukuran penetrasi dilakukan setelah contoh uji diangin-anginkan hingga mencapai kadar air kering udara. Contoh uji dipotong-potong masing-masing 5 cm pada bagian ujung dan pangkal.

(38)

1 2 3 4 Keterangan : 1,2,3….,16 = tempat pengukuran penetrasi

= bagian yang tidak terawetkan = bagian yang terawetkan

5. Uji Kubur

- Semua contoh uji dikubur atau ditanam secara acak dengan jarak tanam 0.5 m antar contoh uji dengan membiarkan minimal 10 cm dari bagian ujung kayu terlihat di atas permukaan tanah.

- Setelah lebih kurang 3 bulan contoh uji kayu diambil kembali dan diamati kerusakannya dan organisme yang menyerang (organisme yang tertinggal dalam kayu).

- Contoh uji kemudian dikeringkan dengan kipas sampai kadar air kering udara. - Selanjutnya dilakukan penimbangan (didapat berat akhir), dan diukur kembali

volumenya.

- Pengamatan secara visual terhadap kerusakan yang terjadi. - Identifikasi organisme yang menyerang kayu.

- Perhitungan % kehilangan berat contoh uji dengan rumus:

Kehilangan berat = x100%

(39)

- Penentuan kelas ketahanan contoh uji berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Suranto (2002). Klasifikasi tersebut disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap Persentase Kehilangan Berat Kelas Ketahanan

0 Sangat Tahan

Analisis data dilakukan untuk menghitung retensi dengan menggunakan statistik Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial, dengan menggunakan 2 faktor yaitu : konsentrasi bahan pengawet (2%, 4%, 6%) dan lama perendaman (24 jam, 48 jam dan 72 jam). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Kombinasi perlakuan yang dibuat adalah sebagai berikut :

A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3

Model analisis yang digunakan dalam percobaan ini adalah: Yijk = µ + αi + ßj + (αß)ij + ∑ijk

Yijk = nilai pengamatan pada konsentrasi bahan pengawet ke-i,

perendaman ke-j dan pada ulangan ke-k µ = rata-rata umum

αi = pengaruh akibat konsentrasi ke-i

(40)

(αß)ij = pengaruh interaksi antara konsentrasi ke-i dengan perendaman ke-j

∑ijk = pengaruh acak (galad) percobaan konsentrasi bahan pengawet

ke-i dan lama perendaman ke-j serta pada ulangan ke-k

Selanjutnya dilakukan analisis data dengan uji F. Hipotesis yang digunakan adalah:

Ho : perlakuan tidak bepengaruh nyata pada retensi dan penetrasi asam borat H1 : perlakuan berpengaruh nyata pada retensi dan penetrasi asam borat

Sedangkan kriteria pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji adalah:

F hitung < F tabel, maka Ho diterima F hitung > F tabel, maka H1 diterima

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Anatomi

Secara umum kayu ekaliptus (Eucalyptus urophylla) memiliki ciri-ciri berwarna kuning kecoklatan, corak polos, memiliki tekstur yang agak keras, arah serat lurus sampai berombak, kayunya keras, dan tidak mengkilap. Sedangkan ciri anatomi kayu ekaliptus memiliki pori soliter, baur, berganda radial 2-3, memiliki parenkim paratrakea selubung, dan jari-jarinya sempit dan halus.

Kadar Air

Kayu Ekaliptus yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air rata-rata 12,85 (Lampiran 1). Nilai kadar air akan berpengaruh terhadap retensi dan penetrasi bahan pengawet asam borat. Menurut Nicholas (1988), kadar air kayu mempengaruhi keterawetannya. Kenaikan kadar air menurunkan porositas atau volume rongga kayu dan pada kadar air di atas titik jenuh serat tidak memungkinkan untuk memperoleh retensi yang diinginkan. Adanya sejumlah air bebas dalam rongga-rongga sel (lumen) dapat menghambat atau bahkan mencegah peresapan cairan pengawet ke dalam kayu. Kadar air yang digunakan yaitu kadar air kering udara. Hal ini bertujuan agar bahan pengawet dan cairan pelarutnya akan diserap secara bersama-sama.

Kerapatan

(42)

0,66 gr/cm3, dengan rata-rata kerapatan 0,62 gr/cm3. Dari nilai rata-rata kerapatan kayu Eucalyptus urophylla yang diperoleh sebesar 0,62 gr/cm3, sehingga kelas kuat kayu Eucalyptus urophylla adalah kelas kuat II. Dimana kelas kuat II adalah untuk kayu yang memiliki kerapatan antara 0,60-0,90 gr/cm3. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelas Kuat Kayu Berdasarkan Kerapatan/ Berat Jenis Kayu

Kelas Kuat Kerapatan/ Berat Jenis Kayu I Sumber : Kartasudjana dan Abdurrahim (1979)

Retensi

Retensi rata-rata yang diperoleh dari bahan pengawet asam borat terhadap kayu ekaliptus berkisar antara 1,83 kg/m3 sampai dengan 6,38 kg/m3. Nilai tertinggi diperoleh dengan perlakuan perendaman pada 72 jam dengan konsentrasi 6%, sedangkan nilai yang terendah diperoleh pada perendaman 24 jam dengan konsentrasi 2%. Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Retensi Rata-Rata Bahan Pengawet Asam Borat Pada Kayu Ekaliptus Konsentrasi Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 1,83 2,16 4,09

4% 2,01 2,51 5.35

6% 2,77 4,45 6,38

(43)

pula retensi yang diperoleh, kecuali pada konsentrsi 4% dengan lama perendaman 48 jam. Ternyata hasil retensi dengan konsentrasi 6% jauh lebih tinggi di banding dengan konsentrasi 4% dan 2% dengan lama perendaman yang sama, dengan kata lain hal ini menunjukkan semakin lama perendaman dan semakin tinggi konsentrasi bahan pengawet maka semakin besar pula nilai retensinya.

Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan semakin besar nilai rentensi bahan pengawet yang didapat. Sesuai dengan Martawijaya dan Abdurrohim (1984), yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi larutan senyawa asam borat dari 5%-10% dapat menaikkan retensi dan penembusan boron pada tiga jenis kayu percobaan yaitu : jeungjing, karet dan agathis.

Hasil pengujian nilai retensi yang diperoleh dapat dikatakan memenuhi standar. Sesuai dengan pendapat Martawijaya dan Abdurrohim (1984), besarnya retensi bahan pengawet yang larut dalam air untuk pemakaian dibawah atap berkisar antara 3,4-5,6 kg/m3.

Tabel 6.Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung No Jenis Bahan

Sumber : Martawijaya dan Abdurrohim (1984) dalam Djarwanto dan Abdurrahim (2000)

(44)

untuk penggunaan dibawah atap. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suranto (2002) yang menyatakan bahwa bila kayu akan digunakan di dalam ruangan, retensinya dapat kurang dari 8 kg/m3.

Adapun kelebihan bahan pengawet asam borat yaitu harganya relatif murah sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk digunakan oleh masyarakat untuk bahan pengawet. Meskipun demikian, bahan pengawet ini mudah luntur, oleh sebab itu bahan pengawet ini hanya dianjurkan untuk digunakan dalam pengawetan kayu untuk konstruksi rumah. Sedangkan kekurangannya yaitu pengawet ini bersifat korosi terhadap paku atau besi.

Hasil analisis keragaman pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa konsentrasi asam borat tidak berpengaruh terhadap nilai retensi asam borat, tetapi lama perendaman berpengaruh terhadap nilai retensi asam borat. Sedangkan perlakuan interaksi antara konsentrasi dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap nilai retensi asam borat.

Hasil uji Duncan pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman 72 jam tidak berbeda nyata dengan lama perendaman 48 jam. Sedangkan pada lama perendaman 48 jam berbeda nyata dengan lama perendaman 24 jam.

Penetrasi

(45)

Tabel 7. Nilai Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Ekaliptus Konsentrasi Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

2% 3,03 3,33 3,67

4% 3,67 5,01 5,21

6% 3,94 5,08 6,62

Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa penambahan konsentrasi larutan asam borat 2% menjadi 4% dan 6% dapat meningkatkan nilai penetrasi pada perendaman selama 24 jam, 48 jam, dan 72 jam.

Gambar 2. Penetrasi pada Kayu Ekaliptus

Standar Nasional Indonesia (Anonim, 1994) menyatakan persyaratan penetrasi yang paling dangkal adalah 5 mm. Berdasarkan persyaratan penetrasi tersebut pada penelitian ini standar tersebut dapat dicapai pada konsentrasi 4% dan 6% dengan lama perendaman 48 jam dan 72 jam. Sedangkan pada konsentrasi 2% hasil penetrasi belum memenuhi standar, namun dapat juga dilihat bahwa nilai yang ditunjukkan sudah hampir mendekati standar. Untuk lebih jelasnya penetrasi bahan pengawet asam borat pada kayu Ekaliptus dapat dilihat pada Gambar 2.

(46)

menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi atau penambahan lama perendaman juga dapat meningkatkan nilai penetrasi. Namun, pada perlakuan interaksi konsentrasi dan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi bahan pengawet asam borat.

Hasil uji Duncan pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi 6% tidak berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 4%, sedangkan

perlakuan konsentrasi 4% berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 2%. Hasil uji Duncan pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa perlakuan lama

perendaman 72 jam tidak berbeda nyata terhadap lama perendaman 48 jam. Namun lama perendaman 48 jam berbeda nyata terhadap lama perendaman 24 jam. Hal ini didukung dengan nilai penetrasi berdasarkan lama perendaman yang semakin meningkat dengan bertambahnya lama perendaman yang dilakukan. Hasil yang paling baik dapat dilihat pada lama perendaman 72 jam dengan konsentrasi 6% dengan penetrasi sebesar 7,90 mm dan hasil ini sudah memenuhi standar untuk penggunaan di bawah atap. Nilai penetrasi lain yang memenuhi standar terdapat di perlakuan dengan konsentrasi 4% dan 6%.

Metode pengawetan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan perendaman. Kayu yang diteliti harus diberi pemberat agar tidak mengapung. Jarak yang digunakan antar kayu harus cukup lebar untuk memberi peluang bagi sirkulasi bahan pengawet dan memberi jalan bagi udara yang keluar dari dalam kayu. Menurut Suranto (2002), meresapnya bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama sampai dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman.

(47)

Uji Kubur

Berdasarkan hasil pengujian selama 100 hari yang dilakukan terhadap contoh uji berupa kayu ekaliptus yang telah diawetkan dengan asam borat dan yang tidak diawetkan diperoleh persen kehilangan berat sebesar 0,11% hingga 0,52%. Untuk lebih jelasnya hasil ketahanan kayu ekaliptus terhadap serangan rayap tanah dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Ketahanan Kayu Ekaliptus Terhadap Serangan Rayap Tanah Konsentrasi Lama Perendaman Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan

0% (kontrol) 0,52 Sangat tahan

Contoh uji yang tidak diberi perlakuan pengawetan (kontrol) mendapatkan serangan rayap tanah yang paling tinggi, dapat dilihat dari persentase kehilangan berat yang dialami yaitu sebesar 0,52%. Sedangkan contoh uji berikutnya yang mengalami persentase kehilangan berat adalah contoh uji yang diberi perlakuan pengawetan dengan konsentrasi 2% dengan lama perendaman 24 jam, disusul dengan contoh uji dengan konsentrasi 4% lama perendaman 24 jam dan yang mengalami persentase kehilangan berat paling kecil adalah contoh uji dengan perlakuan pengawetan konsentrasi 6% dengan lama perendaman 72 jam.

(48)

tahan kayu terhadap serangan rayap tanah. Hal ini terlihat pada beberapa contoh uji lainnya yang tidak terserang rayap sehingga hanya sedikit mengalami kehilangan berat (Gambar 3). Contoh uji tersebut diberi perlakuan pengawetan dengan konsentrasi bahan pengawet dan lama perendaman yang lebih tinggi. Namun demikian, contoh uji merupakan kayu yang tahan terhadap serangan rayap meskipun tidak diberi perlakuan pengawetan. Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase kehilangan berat yang menunjukkan kelas ketahanan yang tinggi (sangat tahan) setelah diuji selama 100 hari dengan persentase kehilangan berat sebesar 0,52%.

Gambar 3. Hasil Uji Kubur

(49)

pada Gambar 4. Dalam pengujian, kayu yang digunakan adalah kayu yang telah diawetkan sehingga kayu tersebut mengandung racun bagi serangga selain itu ternyata kayu ekaliptus juga memiliki ketahanan terhadap serangan rayap sesuai dengan hasil pengujian yang telah dilakukan, sehingga kayu ekaliptus dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan kayu untuk konstruksi dan lainnya.

Gambar 4. Sarang Rayap Tanah

Rayap yang menempel pada contoh uji ketika diangkat setelah 100 hari adalah rayap dengan jenis Macrotermes gilvus (Gambar 5). Kerusakan yang ditimbulkan oleh rayap ini tidak begitu tampak pada kayu ekaliptus. Menurut Hunt and Garrat, 1986 dalam Tambunan dan Nandika,1989, jenis-jenis rayap tanah di Indonesia adalah dari famili Termitidae. Mereka bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Contoh-contoh Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus), Odontotermes spp. dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang

(50)
(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kayu ekaliptus umur 7 tahun masih awet secara alami setelah pengujian terhadap rayap tanah selama 100 hari.

2. Besarnya retensi bahan pengawet asam borat (H3BO3) pada kayu ekaliptus umur 7 tahun berkisar antara 1,83 kg/m3 sampai dengan 6,38 kg/m3, sedangkan penetrasinya berkisar antara 3,03 mm sampai dengan 6,62 mm. Lama perendaman berpengaruh nyata terhadap retensi dan penetrasi, sedangkan konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap retensi, tetapi berpengaruh nyata terhadap penetrasi.

3. Dari hasil retensi dan penetrasi, maka kayu ekaliptus umur 7 tahun termasuk

kayu yang mudah untuk diawetkan.

Saran

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1994. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. SNI. 03-3528-94. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Borror, D. J., C. A. Triplehorn, dan N. F. Johnson. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Buku Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1980. Pedoman Pembuatan Hutan

Tanaman. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta. Duljapar, K. 2001. Pengawetan Kayu. Penebar Swadaya. Jakarta.

Haygreen, J. G. dan Bowyer. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Suatu Pengantar Terjemahan Hadikusumo, S. A dan Prawirohatmodjo, S. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hunt, G. M, dan Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan Jusuf, M. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo.

Kartasudjana, I. dan Abdurrahim, M. 1979. Kayu Perdagangan Indonesia Sifat dan Kegunaannya. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Martawijaya, A. 1994. Keawetan Kayu. Alih Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Pengujian Kayu Lapis Dan Kayu Olahan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan Dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Departeman Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A. dan S. Abdurrohim. 1984. Spesifikasi Pengawetan Kayu untuk

Perumahan. Edisi ketiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Nicholas, D. D. 1988. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu Dan Pencegahannya Dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawetan. Jilid II. Universitas Airlangga. Surabaya.

(53)

Purba, R. 1999. Pengaruh Efektif Mikroorganisme-4 Terhadap Dekomposisi Serasah Eucalyptus urophylla. Skripsi Mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Simalungun. Pematang Siantar. (Tidak Dipublikasikan).

Suranto, S. 2002. Pengawetan Kayu Bahan Dan Metode. Kanisius. Yogyakarta. Tambunan, B. dan D. Nandika. 1989. Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor.

(54)

Lampiran 1. Kadar Air Kayu Sebelum Proses Pengawetan

Lampiran 2. Kerapatan Kayu Ekaliptus

Kayu Berat (gram) Volume (cm3) Kerapatan (gr/cm3)

1 182,7 299,18 0,61

2 203,8 339,77 0,59

3 176,8 266,75 0,66

Kerapatan Rata-rata 0,62

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Retensi (kg/m3) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Ekaliptus

Konsentrasi Ulangan Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

(55)

Lampiran 5. Hasil Uji Jarak Duncan Retensi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Ekaliptus pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai Rataan Nilai

24 jam 6,62 C

48 jam 8,95 B

72 jam 10,33 AB

Lampiran 6. Hasil Perhitungan Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Ekaliptus

Konsentrasi Ulangan Lama Perendaman

24 jam 48 jam 72 jam

Lampiran 7. Analisis Keragaman Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

SK DB JK KT F-Hit F-Tabel

Lampiran 8. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Ekaliptus pada Selang Kepercayaan 95%

Konsentrasi Nilai rataan Nilai

2% 6,68 C

4% 9,26 B

(56)

Lampiran 9. Hasil Uji Jarak Duncan Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat pada Kayu Ekaliptus pada Selang Kepercayaan 95%

Lama Perendaman Nilai Rataan Nilai

(57)

Lampiran 10. Data Hasil Ketahanan Kayu Ekaliptus Terhadap Serangan Rayap Tanah Selama 100 Hari (Lanjutan)

Rata-rata 0,15

1 194,0 0,2 0,11 Sangat Tahan 6% 72 jam 2 168,8 0,3 0,17 Sangat Tahan

3 179,1 0,1 0,05 Sangat Tahan

Rata-rata 0,11

1 148,9 0,4 0,27 Sangat Tahan

Kontrol 2 187,9 0,6 0,32 Sangat Tahan 3 164,3 1,6 0,96 Sangat Tahan

(58)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 23 Juni 1985 dari Ayah Langsir Sitepu dan Ibu Nor Br Sembiring. Penulis merupakan putra bungsu dari 3 bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 060892 Medan pada tahun 1998, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) di SLTPN 31 Medan tahun 2001, dan tamat Sekolah Menengah Umum (SMU) di SMUN 15 Medan tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.

Penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), tepatnya di Natal dan Sopotinjak. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 20 hari.

(59)

M.Si, Praktikum Hama dan Penyakit Hasil Hutan (HPHH) dan Praktikum Pengawetan Kayu tahun ajaran 2007/2008 dibawah bimbingan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP, Praktikum Struktur dan Sifat Kayu (SSK) dan Praktikum Anatomi Kayu tahun ajaran 2008/2009 dibawah bimbingan Ibu Ridwanti Batubara, S.Hut, MP.

(60)

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Lokasi pengambilan sampel penelitian dilakukan di areal hutan tanaman pada tegakan Eucalyptus sp HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Sektor Aek Nauli. Secara administrasi pemerintahan sektor Aek Nauli termasuk dalam wilayah Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara dan termasuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) IV Simalungun, Dinas Kehutanan Propinsi Istimewa I Sumatera Utara. Aek Nauli meliputi 5 kecamatan yaitu: Dolok Panribuan, Tanah Jawa, Sidamanik, G. Sipangan Bolon, dan Jorlang Hataran.

Luas Areal

Dalam rangka penyediaan bahan baku industri PT. Toba Pulp Lestari diberi Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) Pinus berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 236/KPTS-IV/1984 sebagai sumber bahan baku jangka pendek dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) sesuai SK Menteri Kehutanan No. 493/KPTS-II/1992 seluas 269.060 Ha sebagai sumber bahan baku jangka panjang. PT. Toba Pulp Lestari terletak di Desa Sosor Ladang, Porsea yang terletak 220 km dari kota Medan.

Sektor Aek Nauli terdiri dari beberapa estete (blok kerja) yaitu: 1. Estete Aek Nauli

(61)

4. Estete Rondang 5. Estete Huta Tonga

Untuk sektor Aek Nauli berdasarkan audit dan kajian lapangan terdapat 2 jenis tanaman Ekaliptus yang potensial dikembangkan dan dimanfaatkan untuk penanaman dengan jenis tanaman E. grandis dan E. urophylla.

Iklim

Sektor Aek Nauli memiliki curah hujan rata-rata 2.340 mm/thn, dengan tipe iklim A (sangan basah) dimana bulan tertinggi adalah Desember dan bulan terendah adalah Juni. Suhu udara rata-rata adalah 19,8°C dengan suhu maksimum 23,0°C dan suhu minimum 16,8°C. Kelembaban relatif berkisar antara 49,6%-75,8% dengan rata-rata 62,7%.

Keadaan Topografi, Geologi, dan Tanah

Keadaan topografi secara umum dapat diklasifikasikan atas areal datar, bergelombang, dan berbukit. Sektor Aek Nauli mempunyai kelas kelerengan berturut-turut yaitu 0%-8% (datar) dengan luas 5.963,6 Ha; 8%-15% (landai) dengan luas 5.458,1 Ha; 15%-25% (bergelombang) dengan luas 7.139,3 Ha; 25%-40% (curam) dengan luas 3.047,7 Ha; dan >25%-40% (sangat curam) dengan luas 927,3 Ha.

(62)

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Keawetan Kayu
Tabel 3. Klasifikasi Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap Persentase Kehilangan Berat Kelas Ketahanan
Tabel 4. Kelas Kuat Kayu Berdasarkan Kerapatan/ Berat Jenis Kayu
Tabel 6.Persyaratan Retensi Bahan Pengawet untuk Kayu Perumahan dan Gedung
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pengiriman data (settlement) adalah pengiriman data transaksi pembayaran Tiket Elektronik ke Penerbit untuk mengkreditkan jumlah dana hasil transaksi pembayaran

Adapun tujuan penulis dalam penelitian ilmiah ini adalah dalam pengambilan keputusan menerima atau menolak pesanan jika harga jual perunit suatu pesanan khusus lebih besar

26 Tahun 1999 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada. Departemen Kehakiman sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir

• Be familiar with the main SDLC approaches—the traditional waterfall cycle, prototyping, rapid application development, phased development, and business process redesign.. •

Maka MI Muhammadiyah Program Khusus Kartasura mengambil langkah untuk menerapkan metode pembelajaran outing class agar semua peserta didik dapat memahami apa materi

Mengungkapkan makna dan langkah retorika dalam esei pendek sederhana dengan menggunakan ragam bahasa tulis secara akurat, lancar dan berterima untuk

Sedangkan pada penelitian ini variabel bebasnya ialah variabel bebasnya ialah paritas, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, persepsi, sosial budaya, dukungan

Anyway, although some attention has been given to both GIS applications somehow promoting public participation (e.g. Hall et al., 2010) and field-data collection using