ANALISIS MAKNA VERBA HATTEN SURU,
HATTATSU SURU, DAN SHINPO SURU DALAM KALIMAT
BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (HATTEN SURU,
HATTATSU SURU, SHINPO SURU) NO IMI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang
Oleh
Nikmagna Rusanty Pulungan
080708038
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS MAKNA VERBA HATTEN SURU,
HATTATSU SURU, DAN SHINPO SURU DALAM KALIMAT
BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (HATTEN SURU,
HATTATSU SURU, SHINPO SURU) NO IMI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang
Oleh
Nikmagna Rusanty Pulungan
080708038
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Nandi S
NIP : 19600822 1988 03 1 002 NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum.
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui Oleh :
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,
NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam kepada
Rasulullah SAW, teladan yang terbaik bagi umat manusia.
Skripsi yang berjudul “Analisis Makna Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru,
dan Shinpo Suru dalam Kalimat Bahasa Jepang” ini penulis susun sebagai salah
satu syarat untuk dapat menyelesaikan program Sarjana pada Departemen Sastra
Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan, baik dalam susunan kalimatnya maupun proses
analisisnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi perbaikan skripsi ini agar dapat menjadi skripsi yang lebih bermanfaat dan
lebih sempurna.
Tidak lupa pula pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra
Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai
Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan
3. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I yang telah demikian besar
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis, dan
selalu memberikan nasehat, masukan, dan arahan dengan sabar, sehingga
skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.
4. Bapak/Ibu para dosen pengajar Departemen Sastra Jepang yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.
5. Kepada orang tua penulis, Almarhum H. Rustam Effendy Pulungan dan
Ibunda tercinta, Hj. Santosa Harahap, yang selalu mendoakan penulis agar
selalu sehat, memberikan dukungan moral dan material yang tak terhingga
hingga saat ini, yang tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun juga.
6. Kepada saudara-saudariku, Pinta Rahma Rizky Pulungan (kakak), Abdul
Barry Sutan Pulungan (adik), dan Akbar Anggina Pulungan (adik), yang
selalu mendukung, menemani, dan menjagaku selama ini.
7. Kepada keluarga besar di Batang Toru dan Huta Lambung, Nenek, Uda, Bou,
dan semua saudara-saudara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih untuk dukungan kalian semua.
8. Kepada teman-teman seperjuanganku di stambuk 08, khususnya temanku
yang selalu Jajo-Jajo Sajo : Wilda, Nenk, Winda, Vivin, Dodi, Happy, Daher,
dan juga, Eda, Ndit, Surya, Ardi, Debby, Melin, Cae, Rudi, Asking, Milani,
dan teman-temanku 08 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu,
terima kasih karena sudah bersamaku selama 4 tahun terakhir ini.
9. Teman-temanku di Sciboo, dan juga rekan guru dan murid di Yayasan
Perguruan Tunas Karya, terima kasih karena sudah mau membantu dan
10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis
dan bagi kita semua yang ingin lebih memahami tentang sinonim dalam bahasa
Jepang, khususnya pada verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru.
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….iv
DAFTAR ISI………..vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………..1
1.2 Perumusan Masalah………...4
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………...4
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………...5
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...9
1.6 Metodologi Penelitian………...10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA DAN STUDI SEMANTIK 2.1 Verba……….11
2.1.1 Pengertian Verba……….11
2.1.2 Jenis-Jenis Verba……….12
2.1.4 Pengertian Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru,
dan Shinpo Suru………...19
2.1.4.1 Verba Hatten Suru………...19
2.1.4.2 Verba Hattatsu Suru………...23
2.1.4.3 Verba Shinpo Suru………...27
2.2 Studi Semantik……….29
2.2.1 Defenisi Semantik………...29
2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik………32
2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik………37
2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik………..39
2.2.2 Kesinoniman………40
2.2.3 Pilihan Kata……….42
BAB III ANALISIS MAKNA VERBA HATTEN SURU, HATTATSU SURU, DAN SHINPO SURU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG 3.1 Verba Hatten Suru……….44
3.2 Verba Hattatsu Suru………...51
3.4 Analisis Perbedaan Nuansa Makna………...61
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan………....67
4.2 Saran………..68
DAFTAR PUSTAKA……….69
ABSTRAK
Di dalam bahasa Jepang banyak sekali terdapat kata-kata yang memiliki
kesamaan makna, baik itu kata kerja, kata sifat, kata benda, bahkan partikel. Dua
buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan sebagai
kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan
adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.
Salah satu contoh kata-kata yang bersinonim dalam bahasa Jepang adalah
verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru. Apabila diamati secara sekilas
dari makna leksikalnya, ketiga verba tersebut memiliki makna yang sama yaitu
berkembang. Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim tidak
akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya nuansa
makna. Misalnya pada kata hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru, karena
ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi, meskipun
bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang
semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan
suatu perbedaannya meskipun kecil.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai persamaan dan
perbedaan dari makna verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru, perlu
dilakukan penelitian yang menggunakan metode deskriptif, dengan cara
menganalisis teks-teks berbahasa Jepang yang di dalamnya terdapat kalimat yang
mengandung ketiga verba tersebut. Setelah itu barulah dilakukan pembandingan,
apakah ketiga verba tersebut dapat saling menggantikan posisinya di dalam
Contoh :
1. その後、17-18世紀になると,娯楽用のロボット、つまり
からくり人形が大発展しました
Sono ato, juunana-juhasseiki ni naru to, gorakuyou no robotto, tsumari
karakuri ningyou ga
。
daihattenshimashita
Setelah itu, ketika masuk abad 17-18, robot hiburan seperti boneka Karakuri
berkembang pesat.
.
2. 長いときを経て,民俗的な競技として発達して
Nagai toki o hete, minzokuteki na kyougi toshite
きた相撲は、歴史と
伝統を持つ、日本の生きた「文化遺産」でもあるのだ。
hattatsushite
Melewati waktu yang panjang, sumo sebagai pertandingan secara adat yang
sudah berkembang, memiliki sejarah dan tradisi, juga merupakan
kehidupan/nyawa Jepang (warisan budaya).
kita sumou wa,
rekishi to dentou o motsu, Nihon no ikita (bunka isan) de mo aru no da.
3. 時代を超えて進歩する
Jidai o koete
機械技術。
shinpo suru
Teknik mesin yang berkembang melewati zaman.
kikai gijutsu.
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa verba hatten suru, hattatsu
suru, dan shinpo suru memiliki makna yang sama yaitu berkembang, akan tetapi
masing-masing kata berbeda penggunaannya di dalam kalimat. Hatten suru adalah
berkembang dalam arti lebih meluas, membesar dan populer, dan biasa digunakan
untuk hal-hal yang berkaitan dengan dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal
untuk hal-hal positif maupun negatif. Hattatsu suru adalah berkembang dalam arti
lebih berkualitas, dan biasa digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
dengan jasmani dan rohani, intelegensi, saraf motoris, ilmu pengetahuan, seni,
sarana pengangkutan, kota, kebudayaan, peradaban, pendidikan. Sedangkan
shinpo suru adalah berkembang dalam arti lebih maju, dan biasa digunakan untuk
hal-hal yang berkaitan dengan teknik, ilmu pengetahuan, dan ilmu kedokteran.
Dengan demikian, pemakaian dari verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo
suru harus disesuaikan dengan situasi dan konteks kalimat, serta harus
memperhatikan nuansa makna dan ketepatan pilihan kata dari ketiga verba
tersebut, agar dapat menerjemahkan ataupun membuat kalimat ke dalam bahasa
Jepang dengan baik dan benar. Selain itu, ternyata dalam situasi dan nuansa
tertentu, antara verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru, dapat saling
要旨
日本語の中で、同じ意味を持っている語彙がたくさんある。例えば、
動詞、形容詞、名詞、助詞もそうである。同じ意味を持っている二つとか
三つ以上の語彙は類義語だと言われる。類義語は一つの言葉と他の言葉の
間に意味の同等があるという意味論の関係である。
日本語の中での類義語の例の一つは「発展する」、「発達する」、
「進歩する」の動詞である。辞書的意味からチラリと見ると、その三つの
動詞は同じ意味を持っていて、インドネシア語で「berkembang」だという
意味である。しかし、意味論の中で、二つとか三つの類義語の語彙は絶対
同じじゃないと決まっていえる。このことは色々な原因があるからで、そ
の一つの中では意味特徴の原因である。例えば、「発展する」、「発達す
る」、「進歩する」の動詞の中で、同じ意味を持っているので、類義語だ
と言われる。しかし、たとえ類義語でも、特別な状況で小さい相違でも必
ずあり、そっくり意味を持っている類義語はないからである。
「発展する」、「発達する」、「進歩する」の動詞の意味の相違と
同等について具体的な説明を得るために、デスクリティブの研究方法を使
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran,
hasrat, dan keinginan kepada orang lain dan berperan dalam perkembangan
berbagai macam aspek kehidupan manusia (Sutedi, 2003:2). Sehingga
perkembangan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan manusia mempengaruhi
perkembangan suatu bahasa. Dengan demikian, fungsi bahasa adalah sebagai
media untuk menyampaikan makna kepada seseorang, baik secara lisan maupun
tulisan, serta sebagai media dalam perkembangan berbagai aspek kehidupan
manusia.
Berdasarkan fungsinya, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara
eksternal. Yang dimaksud kajian secara internal adalah pengkajian itu hanya
dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis,
morfologis, sintaksis, dan semantik. Selanjutnya, kajian ini akan menghasilkan
varian-varian bahasa tanpa berkaitan dengan masalah di luar bahasa. Kajian ini
dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan norma atau prosedur yang telah
ada di dalam disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah pengkajian
yang dilakukan terhadap struktur di luar bahasa itu sendiri, misalnya
sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, dan lain-lain.
Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, dalam kajian
internal bahasa, terdapat empat bidang kajian atau cabang linguistik yaitu fonologi,
linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi bahasa berdasarkan fungsinya.
Morfologi (keitairon) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang kata dan
proses pembentukannya. Sintaksis (tougoron) adalah cabang linguistik yang
mengkaji tentang struktur dan unsur-unsur pembentuk kalimat. Dan cabang ilmu
linguistik internal yang terakhir adalah semantik (imiron).
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji
tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang
digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu makna.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan
dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa,
pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.
Makna suatu kata biasanya akan berkembang, karena dipengaruhi oleh
konteks atau situasi dalam kalimatnya. Makna yang sama namun nuansa yang
berbeda dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah
hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan
bahasa yang lainnya (Chaer, 2007:297).
Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan
sebagai kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang
menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran
yang lainnya (Chaer, 2007:267). Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran
yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor,
diantaranya nuansa makna. Misalnya pada kata hatten suru dan hattatsu suru,
karena ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi, meskipun
semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan
suatu perbedaannya meskipun kecil.
Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba saja,
tetapi juga pada nomina, adjektiva, bahkan pada ungkapan dan partikel pun bisa
terjadi. Hal ini banyak sekali ditemukan dalam bahasa Jepang sehingga menjadi
salah satu penyebab sulitnya mempelajari bahasa Jepang. Oleh karena itu,
penganalisaan terhadap perbedaan dan persamaan makna sinonim dalam bahasa
Jepang perlu dilakukan.
Sebagai contoh, pemakaian verba Hatten Suru, Hattatsu Suru dan Shinpo
Suru adalah seperti di bawah ini.
Contoh :
1. 小さな事件が戦争に発展した。
Chiisana jiken ga sensou ni hattenshita.
Peristiwa kecil berkembang
(Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988:290) menjadi perang.
2. 日本は鉄道が発達している。
Nihon wa tetsudoo ga hattatsu shite iru.
Perkeretaapian berkembang
(Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988:290) maju di Jepang.
3. 医学は大々的進歩を遂げた。
Igaku wa daidaiteki ni shinpo o togeta.
Ilmu kedokteran sudah mengalami perkembangan
( Kamus Jepang-Indonesia, 1994:927)
secara besar-besaran.
Melihat ketiga contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun
ketiga verba tersebut memiliki persamaan makna yaitu sama-sama mengandung
makna ‘berkembang’, namun nuansa makna ‘berkembang’ yang diberikan
Setelah melihat uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai sinonim kata Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru
yang memiliki pengertian yang sama sebagai verba, yaitu ‘berkembang’, yang
selanjutnya akan penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Makna
Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru dalam Kalimat Bahasa
Jepang”.
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai makna dari verba Hatten
Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru yang sama-sama memiliki arti
‘berkembang’, tetapi masing-masing kemungkinan memiliki perbedaan dalam
penggunaannya, serta belum tentu dapat saling menggantikan. Hal inilah yang
menyebabkan munculnya kesulitan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk
menggunakan atau menerjemahkan kalimat ke dalam bahasa Jepang dengan tepat,
khususnya bagi kalimat yang memiliki unsur sinonim di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa makna kata Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru?
2. Apa perbedaan nuansa makna verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo
Suru dalam kalimat berbahasa Jepang?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup
pembahasan mengenai penggunaan kata yang bersinonim yaitu Hatten Suru,
makna dari ketiga kata yang bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata
Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru akan dibahas 5 buah contoh kalimat,
yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada beberapa
majalah atau tabloid bahasa Jepang seperti Nipponia, Nyuusu Ga Wakaru, Jica’s
World, dan artikel-artikel berbahasa Jepang lainnya.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam menginterpretasikan
makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis
mencoba mendefenisikan beberapa istilah linguistik, khususnya yang berkenaan
dengan semantik.
Ilmu linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Ilmu linguistik
itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan juga seluk-beluk bahasa
pada umumnya. Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah semantik atau
kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani
yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambang. Kata kerjanya adalah
“semaino” yang berarti menandakan atau melambangkan. Makna adalah
pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik. Tanda
linguistik bisa berupa kata atau leksem maupu n morfem. Sutedi (2003:114)
berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata
imi (意味) dan igi (意義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa
(tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan
Kosakata (goi) merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus
diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dalam
bahasa Jepang, baik itu ragam lisan maupun tulisan. Goi dapat diklasifikasikan
menjadi sepuluh kelas kata yaitu verba (doushi), adjektiva-I (keiyoushi),
adjektiva-Na (keiyoudoushi), nomina (meishi), pronomina (rentaishi), adverbial
(fukushi), interjeksi (kandoushi), konjugasi (setsuzokushi), verba bantu (jodoushi),
dan partikel (joshi), (Sudjianto, 2004:98). Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo
Suru yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam golongan
verba (doushi).
Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian
verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini
dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi
dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.
Sedangkan menurut Sutedi (2003:42) verba adalah kata kerja yang berfungsi
sebagai predikat dalam kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou), dan bisa
berdiri sendiri.
Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis makna verba Hatten Suru,
Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru yang memiliki makna yang hampir sama (mirip)
tetapi berbeda cara penggunaannya di dalam kalimat. Hal ini menyangkut tataran
bidang linguistik yaitu semantik. Objek kajian semantik antara lain makna kata,
relasi makna, makna frase, dan makna kalimat. Lalu objek kajian yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas ini adalah relasi makna khususnya
sinonim, karena dalam hal ini verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267).
Dua buah ujaran atau lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama.
Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor
tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan
faktor nuansa makna. Dalam bahasa Jepang sinonim disebut dengan ruigigo.
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan kerangka teori berdasarkan
pendapat para pakar. Menurut Koizumi, semantik (imiron) adalah
mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut Sutedi (2003:103)
semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Kata
semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang
linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam bahasa.
Menurut Ferdinand De Saussure dalam Chaer (2007:287) makna adalah
‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda
linguistik. Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat
berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang
terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer,
2007:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi
makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna
(antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).
Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Sinonim adalah
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan
ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Dua buah ujaran atau
lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini
terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah,
faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.
Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula
yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk
menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan
dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari
kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal
pemilihan kata. Menurut Websters dalam Bagus (2009:7), diction diuraikan
sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness.
Jadi, diksi membahas penggunaan kata terutama pada soal kebenaran, kejelasan,
dan keefektifan. Sedangkan menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi
adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan
yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar. Oleh karena itu, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut
sinonim harus dapat dipilih dengan baik sesuai dengan situasi dan konteks
Selanjutnya menurut Parera (2004:46) secara umum teori makna dibedakan
atas :
1. Teori Referensial atau Korespondensi.
2. Teori Kontekstual
3. Teori Mentalisme
4. Teori Formalitas
Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori
makna yang dipergunakan adalah teori kontekstual. Teori makna kontekstual
adalah sebuah makna leksem atau kata yang berbeda dalam satu konteks,
termasuk juga dapat berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994 : 2001), atau
dengan kata lain makna kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan
antar ujaran dan situasi yang memakai ujaran tersebut. Berdasarkan teori makna
kontekstual tersebut, maka penulis akan menginterpretasikan makna verba Hatten
Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru sesuai dengan konteks kalimatnya, serta
melihat ketepatan pemilihan ketiga kata bersinonim tersebut dalam kalimat.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui makna kata Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru.
2. Untuk mengetahui perbedaan nuansa makna verba Hatten Suru, Hattatsu
Suru, dan Shinpo Suru dalam kalimat berbahasa Jepang.
1.5.2 Manfaat Penelitian.
1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami
makna verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru.
2. Dapat dijadikan masukan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk memahami
penggunaan verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru.
3. Dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian mengenai kata bersinonim
lainnya.
1.6 Metodologi penelitian
Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan penelitiannya. Metode penelitian sangat mempengaruhi
keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus menentukan metode
yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.
Sudjana dan Ibrahim (2001:172) mengemukakan bahwa metodologi
penelitian menjelaskan bagaimana prosedur penelitian itu dilaksanakan, artinya
cara bagaimana memperoleh data empiris untuk menjawab pertanyaan penelitian
atau menguji hipotesis.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Isyandi (2003:13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu metode
penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
Data-data yang diperoleh adalah melalui penelitian pustaka (Library Research). Dalam
hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang
berhubungan dengan tata bahasa, baik itu buku berbahasa Jepang, maupun yang
berbahasa Indonesia, khususnya buku-buku yang relevan dengan pembahasan
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA
DAN STUDI SEMANTIK
2.1 Verba
2.1.1 Pengertian Verba
Sebelum menelaah fungsi verba bahasa Jepang secara umum dan
pemakaian verba Hatten Suru, Hattatsu Suru dan Shinpo Suru, penulis akan
menjelaskan pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa
verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang
disebut juga kata kerja.
Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila
dilihat dari kanjinya yaitu :
動 : ugoku, dou : bergerak
詞 : kotoba, shi : kata
動詞 : doushi : kata yang bermakna bergerak
Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu
kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi,
2003:42).
Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan
pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang,
sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat
menjadi predikat.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata yang
menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou),
dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.
2.1.2 Jenis-Jenis Verba
Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke
dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.
1. Kelompok I
Kelompok ini disebut dengan 五 段 動 詞 (godan-doushi), karena
kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang,
yaitu (あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (う,
つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).
Contoh :
a. 会う a-u (bertemu)
b. 待つ ma-tsu (menunggu)
c. 帰る kae-ru (pulang)
e. 死ぬ shi-nu (mati)
f. 飲む no-mu (minum)
g. 書く ka-ku (menulis)
h. 急ぐ iso-gu (bergegas)
i. 話す hana-su (berbicara)
2. Kelompok II
Kelompok ini disebut dengan 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena
perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah
verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidan-doushi, dan verba
yang berakhiran (い-る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi.
Contoh :
a. 出る d-eru (keluar)
食べる tab-eru (makan)
b. 見る m-iru (melihat)
3. Kelompok III
Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak
beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari
dua verba berikut.
a. カ変動詞 (kahendoushi)
Contoh : 来る kuru (datang)
b. サ変動詞 (sahendoushi)
Contoh : するsuru (melakukan)
Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata
benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「する ‘suru’」, namun meishi yang
dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata
yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.
Contoh :
a. 勉強する benkyou suru (belajar)
b. 食事する shokuji suru (makan)
c. 買い物する kaimono suru (belanja)
Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) mengklasifikasikan
1. Jidoushi (自動詞 ‘verba intransitif’)
Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita. Jika
dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna ‘kata yang bergerak
sendiri’.
Contoh :
a. 起きる okiru (bangun)
b. 閉まる shimaru (tertutup)
c. 出る deru (keluar)
2. Tadoushi (他動詞 ‘verba transitif’)
Tadoushi merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba tadoushi
merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain,
atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.
Contoh :
a. 起こす okosu (membangunkan)
b. 閉める shimeru (menutup)
3. Shodoushi (所動詞)
Karena verba shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan
pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif
dan kausatif.
Contoh :
a. 見える mieru (terlihat)
b. 聞こえる kikoeru (terdengar)
Namun selain jenis-jenis doushi seperti di atas, Terada Takanao dalam
Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi
dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.
1. Fukugou doushi (複合動詞)
Fukugou doushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah kata
atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.
Contoh :
a. 話し合う berunding (doushi + doushi)
b. 調査する menyelidiki (meishi + doushi)
2. Haseigo toshite no doushi (派生語としての動詞)
Haseigo toshite no doushi merupakan verba yang memakai prefiks atau doushi
yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara menambahkan sufiks. Kata-kata
tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.
Contoh :
a. さ迷う samayou (mondar-mandir)
b. ぶん殴る bunnaguru (melayangkan tinju)
c. 寒がる samugaru (merasa kedinginan)
3. Hojo doushi (補助動詞)
Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini
menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba
bantu –iru.
Contoh :
a. ある aru (ada ‘benda mati’)
b. いる iru (ada ‘makhluk hidup’)
c. もらう morau (menerima)
2.1.3 Fungsi Verba
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub bab 2.1.1
‘Pengertian Verba’), pada umumnya verba bahasa Jepang berfungsi sebagai
predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak di akhir kalimat.
Contoh :
1. 私はご飯を食べる。
Watashi wa gohan o
Saya makan nasi.
taberu.
2. 友達と一緒に公園を散歩する。
Tomodachi to isshoni kouen o
Saya berjalan-jalan bersama teman di taman.
sanposuru.
Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian
sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzokugo
(Sudjianto, 2004:151).
Contoh :
1. 先生に日本語を教えてもらう
Sensei ni nihongo o
。
Saya belajar bahasa Jepang dari guru.
oshiete morau.
Karendaa ni konshuu no sukejuuru ga
Di kalender tertulis rencana minggu ini.
kaite aru.
Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah
kalimat (Sudjianto, 2004:149).
Contoh :
1. 私はチーズがある
Watashi wa chiizu ga
ケーキが大好きだ。
aru
Saya paling suka kue yang ada kejunya.
keeki ga daisuki da.
2. これは母が作った
Kore wa haha ga
料理だ。
tsukutta
Ini adalah masakan buatan ibu.
ryouri da.
2.1.4 Pengertian Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru dan Shinpo Suru
2.1.4.1 Verba Hatten Suru
Verba Hatten Suru adalah verba yang termasuk ke dalam verba
kelompok III atau サ変動詞 (sahendoushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang
pengertian atau makna dari verba Hatten Suru.
a. Nomoto Kikuo (1988:290) menyebutkan bahwa Hatten Suru adalah keadaan
menjadi lebih maju dan makmur, hal yang berkembang ke tingkat yang lebih
Contoh :
小さな事件が戦争に発展した
Chiisana jiken ga sensou ni
。
hattenshita
Persoalan kecil berkembang menjadi perang.
.
b. Izuhara Shoji (1993:176) mengemukakan bahwa :
「発展する」は「恨み・話・殺人事件・思わぬ方」・「工業・都
市・事業・会・交通」など、事件・悪い話などはマイナスの方向
に進むが, 物事の範囲が量的に拡大し、量が質に転換して、よ
り進んだプラスの段階に入ること。
Hatten suru wa (urami, hanashi, sastsujin jiken, omowanukata),
(kougyou, toshi, jigyou, kai, koutsuu) nado, jiken, warui hanashi nado
wa mainasu no houkou ni susumuga, monogoto no hani ga ryouteki ni
kakudaishi, ryou ga shitsu ni tenkanshite, yori susunda purasu no dankai
ni hairu koto.
Hatten Suru adalah (dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal yang tak
diduga, industri, kota, usaha, pertemuan, lalu lintas), peristiwa, cerita buruk
dan sebagainya yang terkadang maju ke arah negatif, akan tetapi ruang
lingkup membesar secara kuantitas, kuantitas berubah menjadi kualitas, dan
Contoh :
恨みに発展する
Urami ni
。
hattenshita
Berkembang menjadi dendam.
.
c. Sakata Yukiko (1995:780)menyebutkan bahwa :
「発展する」はものごとの勢いが盛んになって、のびひろがる
こと。
Hatten suru wa monogoto no ikioi ga sakan ni natte, nobihirogaru koto.
Hatten Suru adalah perkembangan sesuatu yang menjadi populer dan meluas.
Contoh :
会社の事業を発展させる
Kaisha no jigyou wo
ために、海外に支店を出す。
hattensaseru
Agar usaha perusahaan dapat berkembang, membuka kantor cabang di luar
negeri.
tame ni, kaigai ni shiten wo dasu.
d. Kindaichi Harugao (1978:1577) menyebutkan bahwa :
「発展する」は:
-(勢いなどが)のびひろがっていくこと。さかえていくこと。
-(俗)手広く活躍すること。
Hatten suru wa :
- (ikioi nado ga) nobihirogatte iku koto. Sakaete iku koto.
- tsugi no (takai) dankai e utsutte iku koto.
- (zoku) tebiroku katsuyou suru koto.
Hatten Suru adalah perkembangan yang meluas dan berjaya, perpindahan ke
tingkat selanjutnya yang lebih tinggi, hal duniawi yang bergerak meluas.
Contoh :
町が発展する
Machi ga
。
hattensuru
Kota sedang berkembang. .
e. Ogiwara Chikako (2006:168) menyebutkan bahwa :
「発展する」:あるものがもっと大きくなったり広がったり盛ん
になったりする。
Hatten suru : arumono ga motto ookiku nattari hirogattari sakan ni
nattari suru
Hatten Suru adalah sesuatu yang menjadi lebih besar, luas, dan populer.
Contoh :
Wadai ga hattensuru
Pembicaraan menjadi berkembang.
.
2.1.4.2 Verba Hattatsu Suru
Verba Hattatsu Suru adalah verba yang termasuk ke dalam verba
kelompok III atau サ変動詞 (sahendoushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang
pengertian atau makna dari verba Hattatsu Suru.
a. Nomoto Kikuo (1988:290) menyebutkan bahwa Hattatsu Suru adalah
berkembang menurut proses tertentu, meningkat dan meninggi dalam segi mutu,
tumbuh membesar atau lebih berfungsi untuk organ makhluk hidup dan
organisasi.
Contoh :
スポーツ選手は筋肉が発達している
Supootsu senshu wa kinniku ga
。
hattatsu shiteiru
Olahragawan ototnya berkembang dengan baik.
.
b. Izuhara Shoji (1993:176)mengemukakan bahwa :
「発達する」は「心身・知能・運動神経・学問・科学・芸術・交
通機関・都市・文化・文明・教育」など、物事の成長段階を示す一
定の基準や標準に従って、質的な変化を遂げていくこと。
Hattatsu suru wa (shinshin, chinou, undou shinkei, gakumon, kagaku,
seichou dankai o shimesu ittei no kijun ya hyojun ni shitagatte, shitsuteki
na henka o togete iku koto.
Hattatsu Suru adalah menunjukkan tingkat pertumbuhan sesuatu menurut
patokan dan standar tertentu, dan mengalami perubahan secara kualitas untuk
hal-hal yang berkaitan dengan jasmani dan rohani, intelegensi, saraf motoris,
ilmu pengetahuan, seni, sarana pengangkutan, kota, kebudayaan, peradaban,
pendidikan dan lain sebagainya.
Contoh :
発達した
筋肉。
Hattatsushita
Otot yang sudah berkembang.
kinniku.
c. Sakata Yukiko (1995:780)menyebutkan bahwa :
「発達する」は:
- 物事や人の心、体が完全な形に近づくように変化していく
こと。
- 勢いよく、大きくなっていくこと。
Hattatsu suru wa :
- monogoto ya hito no kokoro, karada ga kanzen na katachi ni
- ikioi yoku, ookiku natte iku koto.
Hattatsu Suru adalah perubahan mendekati bentuk sempurna untuk tubuh,
jiwa seseorang dan berbagai hal, serta sesuatu yang membesar dengan penuh
semangat.
Contoh :
交通が発達して
Koutsuu ga
便利になる。
hattatsushite
Lalu lintas berkembang menjadi lebih praktis.
benri ni naru.
d. Kindaichi Harugao (1978:1576)menyebutkan bahwa :
「発達する」は:
- 規模が大きくなり、内容が十分にととのった段階に達する
こと。
- 身体・精神が成長した状態や物事が進展した状態などに言う。
Hattatsu suru wa :
- kibo ga ookiku nari, naiyou ga juubun ni totonatta dankai ni tassuru
koto.
- shintai, seishin ga seichoushita joutai ya monogoto ga shintenshita
Hattatsu Suru adalah skala yang membesar, isi yang cukup mencapai tingkat
yang teratur, dan juga digunakan untuk menunjukkan keadaan jasmani dan
rohani yang telah tumbuh.
Contoh :
骨格が発達する
Kokkaku ga
。
hattatsusuru
Kerangka tubuh berkembang.
.
e. Ogiwara Chikako (2006:52) menyebutkan bahwa :
「発達する」:心や体が成長していく。物事や能力が大きくなっ
たり先に進んだりする。
Hattatsu suru : kokoro ya karada ga sichoushite iku. Monogoto ya
nouryoku ga ookiku nattari saki ni susundari suru.
Hattatsu Suru adalah tumbuh kembang jiwa dan raga, sesuatu hal dan
kemampuan yang tumbuh membesar dan maju.
Contoh :
心身が発達する
Shinshin ga
。
hattatsusuru
Jiwa dan raga berkembang.
2.1.4.3 Verba Shinpo Suru
Verba Shinpo Suru adalah verba yang termasuk ke dalam verba
kelompok III atau サ変動詞 (sahendoushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang
pengertian atau makna dari verba Shinpo Suru.
a. Nomoto Kikuo (1988:1028) menyebutkan bahwa Shinpo Suru adalah
berkembang atau mengalami kemajuan,.
Contoh :
20世紀に入って宇宙科学は長足の進歩
Nijusseiki ni haitte uchuu kagaku wa chousoku no
を遂げた。
shinpo
Ilmu pengetahuan alam semesta mencapai kemajuan/perkembangan yang
sangat pesat sesudah menginjak abad 20.
o togeta.
b. Izuhara Shoji (1993:176) mengemukakan bahwa :
「進歩する」は「退歩する」に対応し、「技術・医学・科学」物
事がよりよい・望ましい方向へ次第に進んでいくこと。
Shinpo suru wa (taiho suru) ni taioushi, (gijutsu, igaku, kagaku)
monogoto ga yori yoi, nozomashii houkou e shidai ni susunde iku koto.
Shinpo Suru adalah lawan kata dari taihosuru (kemunduran), yaitu segala hal
yang menjadi lebih baik, dan semakin maju ke arah yang diharapkan,
Contoh :
世界は日々進歩する
Sekai wa hibi
。
shinposuru
Hari-hari dunia berkembang.
.
c. Sakata Yukiko (1995:464)menyebutkan bahwa :
「進歩する」は物事がいい方向に進んでいくこと。
Shinpo suru wa monogoto ga ii houkou ni susunde iku koto.
Shinpo Suru adalah segalanya menjadi maju ke arah yang baik.
Contoh :
科学技術が
Kagaku gijutsu ga
進歩する。
shinposuru
Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang.
.
d. Kindaichi Harugao (1978:998)menyebutkan bahwa :
「進歩する」は物事がだんだんよくなること。
Shinpo suru wa monogoto ga dandan yoku naru koto.
Contoh :
科学の進歩
Kagaku no
。
shinpo
Perkembangan ilmu pengetahuan.
.
2.2 Studi Semantik
2.2.1 Defenisi Semantik
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang
mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa
yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu
makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang
berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun
bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.
Sutedi (2003:103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain
adalah makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar
satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan
makna kalimat (bun ni imi).
1. Makna kata satu per satu (go no imi)
Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena
komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang,
komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh
lawan bicaranya.
Dalam bahasa Jepang, banyak sekali terdapat sinonim (ruigigo) yang
sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu per satu.
Ditambah masih minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa
Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan
dari setiap sinonim tersebut.
2. Relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei)
Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan
dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya,
pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara),「言う ‘iu’」(berkata),「しゃべる
‘shaberu’」(ngomong), dan「食べる ‘taberu’」(makan), dapat dikelompokkan
ke dalam 「 言 葉 を 発 す る ‘kotoba o hassuru’」(bertutur) untuk tiga verba
pertama, sedangkan taberu tidak termasuk ke dalamnya. Contoh lainnya, misalnya
hubungan makna antara kata 「話す ‘hanasu’」dan「言う ‘iu’」,「高い ‘takai’」
(tinggi) dan「低い ‘hikui’」(rendah),「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan「犬
‘inu’」(anjing) akan berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan
sinonim (hanasu dan iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui),
sedangkan pasangan terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan
3. Makna frase dalam satu idiom (ku no imi)
Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah
rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa
Jepang ungkapan 「本を読む ‘hon o yomu’」(membaca buku),「靴を買う
‘kutsu o kau’」(membeli sepatu), dan「腹が立つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri
= marah) merupakan suatu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat
dipahami cukup dengan menhetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah
dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi,
frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk
frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan
strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak
mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).
Lain halnya dengan frase「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna,
yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara
idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa
Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang
bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.
4. Makna kalimat (bun ni imi)
Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.
Misalnya, pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya
memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o
ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat
karena itu, makna kalimat ditentukan oeh kata yang menjadi unsur kalimat
tersebut.
Lain halnya dengan kalimat ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o
matte iru’, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa]
[Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada
dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang
berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa
dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.
2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik
Menurut Chaer (2002:59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu
memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara
lain sebagai berikut.
a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan
makna gramatikal.
b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan
menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.
c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan
menjadi makna denotatif dan makna konotatif.
d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan
e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna
konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.
Berikut akan dibahas pengertian makna-makna tersebut satu per satu.
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Menurut Chaer (2002:60) makna leksikal adalah makna yang sesuai
dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut
Sutedi (2003:106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai
dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur
gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Makna
leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 「辞書的意味 ‘jishoteki imi’」atau
「語彙的意味 ‘goiteki imi’ 」. Dalam bahasa Jepang misalnya kata「猫 ‘neko’」
dan「学校 ‘gakkou’」. Makna leksikal dari kata kucing adalah hewan berkaki
empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata
sekolah adalah bangunan tempat para siswa belajar.
Makna gramatikal menurut Chaer (2002:63) adalah makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut
Sutedi (2003:107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses
gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 「文 法 的 意 味 ‘bunpouteki
imi’」. Dalam bahasa Jepang,「助詞 ‘joshi’」(partikel) dan「助動詞 ‘jodoushi’」
(kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab
memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 「忙しい ‘isogashii’」
dan「食べる ‘taberu’」. Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe) memiliki makna
leksikal yaitu ‘sibuk’ dan ‘makan’, sedangkan gobi-nya, yaitu{い/ i}dan{る/
ru}sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai dengan konteks
gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel「に ‘ni’」, yang secara leksikal tidak
jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat
seperti : 「 メ ダ ン に 住 ん で い る ‘Medan ni sunde iru’」yang bermakna
‘tinggal di
2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Medan’.
Menurut Chaer (2002:63), perbedaan makna referensial dan makna
nonreferensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila
kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata
itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata
itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna
nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial
karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai
referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang
bermakna nonreferensial.
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Chaer (2002:65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman
lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual
objektif, dan sering disebut dengan istilah ‘makna sebenarnya’. Sedangkan
menurut Sutedi (2003:107), makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan
dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan
analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan
「明示的意味 ‘meijiteki imi’」atau「外延 ‘gaien’」.
Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (2002:67) adalah makna
tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Selanjutnya menurut Sutedi (2003:107), makna konotatif disebut「暗示的意味
‘anjiteki imi’」atau「内包 ‘naihou’」, yaitu makna yang ditimbulkan karena
perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata「父
‘chichi’」dan「 親 父 ‘oyaji’」kedua-duanya memiliki makna denotatif yang
sama, yaitu ayah, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata ‘chichi’
terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata ‘oyaji’ terkesan lebih dekat
dan akrab. Contoh lainnya adalah kata「化粧室 ‘keshou-shitsu’」dan「便所
‘benjo’」. Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar
kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. ‘Keshou-shitsu’ terkesan bersih,
4. Makna Umum dan Makna Khusus
Chaer (2002:71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum
memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan
makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas.
Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata
besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas
dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar,
raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase ‘Tuhan yang maha Agung’
dapat diganti dengan ‘Tuhan yang maha Besar’ ; frase ‘rapat akbar’ dapat diganti
dengan ‘rapat besar’ ; frase ‘hari raya’ dapat diganti dengan ‘hari besar’ ; dan
frase ‘film kolosal’ dapat diganti dengan ‘film besar’. Sebaliknya, frase ‘rumah
besar’ tidak dapat diganti dengan ‘rumah agung’, ‘rumah raya’ ataupun ‘rumah
kolosal’.
5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik
Menurut Chaer (2002:72), makna konseptual adalah makna yang sesuai
dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas
dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan
makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah
kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.
Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’ ; kata
merah berasosiasi dengan makna ‘berani’ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan
Sedangkan makna idiomatic menurut Chaer (2002:75) adalah makna
sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna
leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah
pada frase ‘membanting tulang’ dan ‘meja hijau’. ‘Membanting tulang’ adalah
sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan ‘meja hijau’ adalah sebuah
leksem dengan makna ‘pengadilan’.
2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik
Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara
lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan
dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi
(2003:108).
a. Dari yang konkrit ke abstrak
Kata 「頭 ‘atama’」(kepala),「腕 ‘ude’」(lengan), serta「道 ‘michi’」
(jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika
digunakan seperti berikut ini.
頭がいい atama
腕が上がる
ga ii (kepandaian)
ude
日本語教師への道 nihongo-kyoushi e no
ga agaru (kemampuan)
b. Dari ruang ke waktu
Kata 「前 ‘mae’」(depan), dan「長い ‘nagai’」(panjang), yang menyatakan
arti ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.
三年前 sannen mae (yang lalu)
長い時間 nagai
c. Perubahan penggunaan indera
jikan (lama)
Kata 「大きい ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indera penglihatan
(mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada「大きい声
‘ookii koe’」(suara keras). Kemudian pada kata「甘い ‘amai’」(manis) dari
indera perasa menjadi karakter seperti dalam「 甘 い 子 ‘amai ko’」(anak
manja).
d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi
Kata 「 着 物 ‘kimono’」yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,
digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum「 服 ‘fuku’」dan
sebagainya.
e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi
Kata 「花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan「卵 ‘tamago’」(telur secara
umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam
花見 hana
卵を食べる
-mi (bunga Sakura)
tamago
f. Perubahan nilai positif
o taberu (telur ayam)
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah
kata 「僕 ‘boku’」(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan,
tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.
g. Perubahan nilai negatif
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah
kata 「 貴 様 ‘kisama’ 」 (kamu) yang dulu sering digunakan untuk
menunjukkan kata「 あ な た ‘anata’」(anda) , tetapi sekarang digunakan
hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya
perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.
2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik
Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari
bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 2002:11). Bagi
seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat
praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan
memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat
Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti
mereka yang belajar di Fakultas Sastra ataupun Fakultas Ilmu Budaya,
pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat
menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi
seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi
manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan
sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat
praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang
lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan
atau memiliki kemiripan arti.
2.2.2 Kesinoniman
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang,
seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi
makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007:297). Satuan bahasa disini dapat
berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan
makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim),
kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).
Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan
satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut
memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim
satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Akan tetapi
meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan
tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam
konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.
Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor
tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan
faktor nuansa makna.
Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 「 類 義 語
‘ruigigo’」. Menurut Sutedi (2003:115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang
memiliki relasi atau hubungan kesinoniman「類義関係 ‘ruigi-kankei’」dapat
ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap
kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti
‘naik’, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.
のぼる:下から上へ或経路に焦点を合わせて
Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru
移動する
Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui
あがる:下から上へ到達点に焦点を合わせて
Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru
移動する
Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan
Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 「焦点
‘shouten’」gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan「到達
noboru menekankan pada jalan yang dilalui「経路 ‘keiro’」dari gerak tersebut
(proses).
2.2.3 Pilihan Kata
Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula
yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk
menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan
dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari
kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal
pemilihan kata. Menurut Websters dalam Bagus (2009:7), diction diuraikan
sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness.
Jadi, diksi membahas penggunaan kata terutama pada soal kebenaran, kejelasan,
dan keefektifan. Sedangkan menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi
adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan
yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar.
Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan,
kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna
yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan
pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai
dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang
lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan
Berdasarkan konsep dari pilhan kata di atas, kata yang maknanya hampir
sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan
situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna
BAB III
ANALISIS MAKNA VERBA
HATTEN SURU, HATTATSU SURU DAN SHINPO SURU
DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG
Sebelumnya pada Bab II penulis telah memaparkan mengenai verba hatten
suru, hattatsu suru dan shinpo suru. Maka pada Bab III ini penulis mencoba
menganalisis makna verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru yang
diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada beberapa
majalah atau tabloid seperti Nipponia, Jica’s World, Nyuusu Ga Wakaru, dan
artikel-artikel berbahasa Jepang lainnya, sesuai dengan beberapa pendapat dari
beberap