• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku, Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku, Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

ANALISIS PEMAKAIAN VERBA HATARAKU, TSUTOMERU, DAN SHIGOTO SURU DALAM KALIMAT

BAHASA JEPANG

(DITINJAU DARI SEGI SEMANTIK)

IMIRON KARA MITA NIHONGO NO BUN NI OKERU (HATARAKU,

TSUTOMERU, SHIGOTO SURU) NO TSUKAIKATA NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh:

Meriam Emma Simanjuntak 050708013

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(2)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

ANALISIS PEMAKAIAN VERBA HATARAKU, TSUTOMERU, DAN SHIGOTO SURU DALAM KALIMAT

BAHASA JEPANG

(DITINJAU DARI SEGI SEMANTIK)

IMIRON KARA MITA NIHONGO NO BUN NI OKERU (HATARAKU,

TSUTOMERU, SHIGOTO SURU) NO TSUKAIKATA NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh:

MERIAM EMMA SIMANJUNTAK

050708013

Pembimbing I Pembimbing II

M. Pujiono, SS.,M.Hum Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. NIP : 19691011 2002121001 NIP: NIP : 19580704 1984121001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Disetujui Oleh :

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua,

(4)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

PENGESAHAN Diterima Oleh

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra pada Fakultas Sastra

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra Dekan,

Prof. Syaifuddin, M.A.,Ph.D. NIP : 19650909 1994031004

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan 1 Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. ( )

2 M. Pujiono, SS.,M.Hum ( )

(5)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan rahmat, berkat dan keteguhan hati kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, dan

Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik)”

merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan program Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini mungkin masih banyak kekurangan atau kesalahan, baik penyusunan kalimatnya maupun pemecahan masalahnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga skripsi ini lebih bermanfaat dan lebih sempurna.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

(6)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

3. Bapak M. Pujiono, SS.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis untuk lebih teliti dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen dan Staff Pegawai Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, khususnya para Dosen dan Staff Pegawai di Departemen Sastra Jepang. 5. Kepada keluarga ku yang terkasih dan tercinta, Bapak dan Ibunda ku (D.T

Simanjuntak/F. br Silitonga) yang ku tahu selalu menjaga dan melindungi ku dari atas sana. Buat kak Les, bang Simon yang selalu mendukung, mengingatkan, membimbing dan mangarahkan selama ini, semoga Tuhan memberkati kalian selalu.

6. Buat Keluarga Tante dan Inanguda yang kepeduliannnnya selalu menginspirasi penulis, buat kakak dan abang sepupu yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih.

7. Buat sahabat-sahabat yang telah melalui 4 tahun kebersamaan dan meskipun kurang dari itu seperti telah saling mengenal bertahun-tahun gank goon’ feat eve: dewi, ocha, rani, debby, eva terimakasih untuk doa, dukungan, dan semangatnya. Bagaimana hari-hari berlalu yang ku lalui semua berarti karena kalian ada. Buat teman-teman stambuk 2005 :echi, devi, hani, herti, ira, juwi, lisbet, vika, nurul, dianita, dian eka, refin, aisyah, liza, chatty, thori, yanti, k’rahma, yuyun, bul, gunawan, zuki, kalvin terimakasih karena telah mengisi hari-hari ku selama lebih kurang 4 tahun terakhir ini.

(7)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, November 2009 Penulis

(8)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

ABSTRAK

Bahasa Jepang memiliki keanekaragaman verba diantaranya adalah verba

hataraku dan verba tsutomeru dan shigoto suru. Apabila diamati secara sekilas

dari makna leksikalnya kedua verba tersebut memiliki makna yang serupa, dimana dalam berbagai kesempatan dikenal memiliki makna “ bekerja “ hal tersebut dapat dikatakan bersinonim karena mengandung informasi yang sama namun demikian keduanya tidak benar-benar sama.

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran yang jelas tentang makna verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru dalam kalimat berbahasa Jepang serta persamaan dan perbedaan maknanya sedangkan dalam penyelesaiannya penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif dan data yang dikumpulkan menggunakan metode dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Makna gramatikal verba hataraku dalam kalimat menyatakan :

- Kemauan untuk bekerja.

- Bekerja di perusahaan dan sebagainya.

- Menggerakkan jiwa / semangat.

- Efek yang timbul bukan berasal dari kemauan diri sendiri.

(9)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

- Pengabdian.

- Bekerja di perusahaan dan sebagainya.

3. Makna gramatikal verba shigoto suru dalam kalimat menyatakan:

- Bekerja/mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan.

- Bekerja di dalam masyarakat atau keluarga.

- Bekerja dengan tidak membutuhkan keahlian tertentu.

4. Persamaan verba hataraku dan tsutomeru.

- Sama – sama bermakna bekerja di perusahaan dan sebagainya.

- Dalam pemakaiannya diikuti oleh subjek perorangan.

5. Persamaan verba hataraku dan shigoto suru.

- Sama-sama bekerja dengan mengutamakan kegiatan fisik.

- Sama-sama menggunakan partikel ~ de untuk menunjukkan tempat.

6. Perbedaan verba hataraku dan tsutomeru:

Verba hataraku

- Pemakaiannya selalu diikuti oleh partikel ~ de untuk menunjukkan tempat.

(10)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Verba tsutomeru

- Pemakaiannya selalu di ikuti oleh partikel ~ ni untuk menunjukkan tempat.

- Verba tsutomeru lebih mengacu pada pekerjaan yang tidak begitu memerlukan aktifitas fisik.

7. Perbedaan verba tsutomeru dan shigoto suru:

Verba tsutomeru

- Pemakaiannya selalu di ikuti oleh partikel ~ ni untuk menunjukkan tempat.

- Verba tsutomeru mengacu pada bekerja di kantor pemerintah atau perusahaan.

Verba shigoto suru

- Pemakaiannya selalu diikut i oleh partikel ~ de untuk menunjukkan tempat.

(11)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

,

bekerja

1.

2.

3.

METODE DESKRIPTIF EKSPLORATIF

METODE DOKUMENTASI

1.

-

-

(12)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

2.

-

-

3.

-

-

4.

-

-

-

(13)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...……….i

ABSTRAK DAFTAR ISI………...………....iv

BAB I PENDAHULUAN………….……...……..………...1

1.1 Latar Belakang Masalah………...…..………...……1

1.2 Perumusan Masalah………...………...…….5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………...……...……...6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……...……...………6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian……...…....…...11

1.6 Metodologi Penelitian…………...………...……....………11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA BAHASA JEPANG, PENGERTIAN DAN PEMAKAIAN VERBA HATARAKU, TSUTOMERU DAN SHIGOTO SURU SERTA DEFINISI SEMANTIK………...…………..…13

2.1 Pengertian Verba…………..……...………...13

2.2 Jenis-Jenis Verba…………...………...14

2.3 Fungsi Verba………...………...………..21

2.4 Pengertian Verba Hataraku, Tsutomeru dan Shigoto Suru... 23

2.4.1 Verba Hataraku………...….……...………..….23

2.4.2 Verba Tsutomeru………….……...………….………...24

2.4.3 Verba Shigoto suru…………...……...………….…...26

(14)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

2.5.1 Defenisi Semantik...…...…...……….………...…....27

2.5.1.1 Jenis-jenis Makna dalam Semantik…...…....30

2.5.1.2 Perubahan Makna dalam Semantik...……...…...33

2.5.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik...…...…...35

2.5.2 Kesinoniman...……....……...………...35

BAB III ANALISIS PEMAKAIAN VERBA HATARAKU, TSUTOMERU DAN SHIGOTO SURU...39

3.1 Verba Hataraku...39

3.2 Verba Rsutomeru...42

3.3 Verba Shigoto suru...45

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...48

4.1 Kesimpulan...48

4.2 Saran...50

(15)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Maka yang dilambangkan adalah suatu pengertian, suatu konsep, ide atau pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi tersebut, karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna itu didalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan, wacana.

Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa merupakan suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer (manasuka). Maksud dari mana suka di sini adalah tidak ada hubungan wajib antara lambang sebagai hal yang menandakan yang berwujud kata dengan benda atau konsep yang ditandai, yaitu referen dari kata tersebut. Hal ini dikarenakan kearbitreran (sifat mana suka) lambang bahasa tersebut.

(16)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Bahasa itu bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa itu sangat beragam, dan bahasa itu sendiri digunakan untuk keperluan yang beragam-ragam pula. Sehingga kita banyak mengenal bahasa asing selain bahasa ibu. Dalam mempelajari suatu bahasa, tidak pernah terlepas dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam bahasa, yang lazimnya diistilahkan dengan tata bahasa. Tata bahasa dari setiap bahasa di dunia ini berlainan antara satu dengan yang lainnya.

Sehubungan dengan itu Situmorang (1997:1) juga menyatakan bahwa tata

bahasa tersebut mempunyai unit-unit tata bahasa, yang terdiri dari bunsh

(paragraf), bun (kalimat), bunsetsu (penggalan kalimat) dan tango

(kata).

Kitahara Yasuo dalam sudjianto (1996:22) mengemukakan :

“Tata bahasa adalah suatu fenomena yang umum pada waktu menyusun kalimat, secara teoritis merupakan suatu sistem tentang bentuk kata, urutan kata, dan fungsi kata dalam kalimat”.

(17)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Bahasa yang kita gunakan diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat

yang dalam bahasa jepang disebut (bun). Bentuk kalimat sangat bervariasi dan

tidak ada aturan-aturan yang khusus. Predikat dalam kalimat merupakan bagian yang terpenting karena dengan adanya predikat maka bentuk, fungsi, dan makna kalimat akan berbeda-beda. Biasanya jenis kata yang mengisi unsur jabatan ini adalah verba.

Verba dalam bahasa jepang disebut dengan (doushi). Verba adalah

kata kerja yang bisa berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri. Selain itu di dalam bahasa jepang juga banyak memiliki verba yang memiliki pengertian yang sama (mirip) tetapi berbeda cara penggunaannya dalam kalimat. Contohnya verba hataraku,

tsutomeru dan shigoto suru. Dalam bahasa jepang apabila terjadi peletakkan atau

penggunaan kata yang salah dalam mengungkapkan kata ‘bekerja’ dalam kalimat maka akan terjadi kerancuan. Karena itu sangat penting untuk mempelajari tata bahasa (gramatika) bahasa jepang yang baik dan benar demi menghindari penggunaan kata-kata yang salah dari kata-kata yang memiliki hubungan kesinoniman dalam bahasa jepang pada saat ingin mengungkapkan informasi atau menjalin suatu komunikasi yang baik dengan orang jepang khususnya dan pembelajar bahasa jepang pada umumnya.

(18)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Contoh : 1.

Ani wa kaisha de hataraite iru.

Kakak (lk) bekerja di perusahaan.

(Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988:287).

2. 30

Watashi wa san juu nen mo onaji kaisha ni tsutometeiru.

Saya bekerja selama tigapuluh tahun pada perusahaan yang sama. (Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988:1272).

3.

Kare wa shigoto ni sei wo dasu.

Dia bekerja

Kata-kata yang memiliki persamaan makna namun memiliki perbedaan nuansa yang diberikan dalam tiap kalimat disebut dengan relasi (hubungan)

dengan tekun.

(Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988: 1011).

(19)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

makna. Lalu yang dimaksud dengan makna disini adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Persamaan makna atau relasi makna ini dapat disebut juga dengan sinonim.

Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan ujaran yang lain. Akan tetapi dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya nuansa makna (Chaer, 1996:297). Pembahasan ini akan lebih diarahkan kepada analisis perbedaan nuansa makna dari penggunaan verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru di dalam kalimat dan bagaimana ketiga verba tersebut tidak dapat dengan mudah dipertukarkan antara satu dengan yang lain didalam kalimat bahasa jepang. Dengan demikian pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan linguistik terutama dalam bidang semantik.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini mencoba menjelaskan masalah dan perbedaan verba

hataraku, tsutomeru dan shigoto suru yang memiliki kemiripan makna (sinonim)

yaitu ‘bekerja’ tetapi masing-masing verba tersebut perbedaan dalam penggunaannya dalam kalimat dan belum tentu dapat saling menggantikan. Oleh sebab itu munculah kesulitan pada pembelajar bahasa jepang untuk memahaminya.

Maka penulis dapat merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

(20)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

2. Apa pengertian dan pemakaian verba hataraku, tsutomeru dan shigoto

suru dalam kalimat bahasa jepang ?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘bekerja’. Namun ketiga verba tersebut tidak dapat digunakan begitu saja karena harus disesuaikan dengan kondisi atau situasi yang tepat pada sebuah kalimat. Sebelum membahas inti permasalahan, penulis perlu menjelaskan pula pengertian serta jenis verba dalam bahasa jepang. Oleh karena itu, penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Pengertian, jenis dan fungsi verba dalam bahasa jepang.

2. Pengertian dan pemakaian verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Fokus dari penelitian ini adalah analisis pemakaian verba hataraku,

tsutomeru dan shigoto suru serta perbedaannya. Untuk itu penulis

(21)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dengan bahasa jepang. Baik itu ragam lisan maupun tulisan. Kosa kata dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh kelas kata yaitu verba (doushi), adjektiva-I (keiyoushi), adjektiva-Na (keiyoudoushi), nomina (meishi), prenomina (rentaishi), adverbia (fukushi), interjeksi (kandoushi), konjugasi (setsuzokushi), verba bantu (jodoushi), dan partikel (joshi), (sudjianto, 2004:98). Hataraku, tsutomeru dan

shigoto suru yang akan di bahas dalam penelitian ini termasuk kedalam verba

(doushi). Dalam penelitian ini verba (doushi) adalah satu kelas kata dalam bahasa jepang, yang sama dengan adjektiva-i dan adjektiva-na menjadi salah satu jenis

yougen. Yougen adalah kelas kata yang termasuk kelompok jiritsugo yang dapat

mengalami perubahan dan dapat menjadi predikat. Jiritsugo adalah kelompok kelas kata yang dapat berdiri sendiri, dapat membuat sebuah bunsetsu dan diantaranya ada yang dapat membentuk sebuah kalimat tanpa sokongan kata lain.

Bahasa yang kita gunakan diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat dan predikat dalam sebuah kalimat merupakan bagian yang terpenting. Jenis kata yang mengisi unsur jabatan ini adalah verba. Hal yang sama pula dengan bahasa jepang. Contohnya, hataraku ditempatkan sebagai predikat dalam sebuah kalimat sesuai dengan situasi pemakainya. Karena itu sangat penting untuk mempelajari tata bahasa yang baik dan benar. Kitahara Yasuo dalam Sudjianto (1996:22) mengemukakan:

(22)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Demikian halnya dengan bahasa jepang apabila kita ingin berkomunikasi dengan masyarakat jepang, kita harus dapat menguasai bahasa tersebut.

Di dalam sebuah kalimat predikat merupakan bagian yang terpenting. Lalu jenis kata yang biasanya mengisi unsur jabatan ini adalah verba. Verba adalah salah satu jenis kelas kata dalam bahasa jepang yang disebut dengan doushi, kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat (Noumura, 1992:158). Verba juga adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42). Disini verba mengalami perubahan bentuk (katsuyou) tergantung pada kategori gramatikalnya antara lain tingkat kehalusannya (teineisa), bentuk positif dan negatif (mitomekata), diatesis (tai), aspek (sou), kala atau tense (jisei) dan modalitas (hou). Berbeda dengan bahasa indonesia, pada bahasa jepang verba yang menduduki unsur predikat biasanya berada pada akhir kalimat.

Dalam penelitian ini penulis ingin menjelaskan verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru yang memiliki makna yang hampir sama (mirip) tetapi berbeda cara penggunaanya dalam kalimat yang di ambil dari Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar edisi Bahasa Indonesia oleh Nomoto Kikuo. Yaitu verba hataraku adalah verba yang memiliki makna [bekerja] mengerjakan pekerjaan (khusus bekerja dengan menggerakkan badan), (Nomoto Kikuo 1988:287), sedangkan verba tsutomeru yang memiliki makna bekerja pada perusahaan, kantor pemerintahan dsb, (Nomoto Kikuo 1988:1272). Lain halnya dengan verba shigoto

(23)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Kikuo, 1988:1011). Hal ini menyangkut tataran bidang linguistik yaitu semantik. Semantik adalah salah satu cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang makna. Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam sebuah ideom, dan makna kalimat. Lalu objek kajian yang yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas ini adalah relasi makna khususnya sinonim. Dalam hal ini verba hataraku,

tsutomeru dan shigoto suru adalah kata-kata yang bersinonim. Sinonim adalah

hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainya. Dalam bahasa jepang sinonim disebut juga dengan ruigo.

Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan, maka makna bahasa itu menjadi bermacam-macam pula bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda, antara lain makna gramatikal, makna leksikal, makna denotatif, makna konotatif, makna dasar, makna perluasan, makna referensial, makna non-referensial, makna asosiatif, makna konseptual, makna asosiatif, makna kata, makna istilah, makna idiom, dan makna peribahasa. Dalam hal ini, makna yang berkaitan dengan permasalahan ini adalah makna kontekstual. Makna kontekstual adalah makna sebuah kata atau leksem yang berada dalam suatu konteks.

2. Kerangka Teori

(24)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

makna (Sutedi, 2003:103). Menurut Ferdinand de Saussure, makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik.

Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2003:297). Relasi semantik ini dapat menyatakan kesamaan makna atau yang disebut sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satu satuan ujaran lainnya yang dalam bahasa jepang disebut ruigo (Chaer, 2003:297). Selanjutnya, menurut Parera (1990:16) secara umum teori makna dibedakan atas:

1. Teori Referensial atau Korespondensi 2. Teori Kontekstual

3. Teori Mentalisme 4. Teori Formalitas

Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik diatas, teori makna yang dipergunakan adalah teori kontekstual. Teori makna kontekstual adalah sebuah makna leksem atau kata yang berbeda dalam satu konteks , termasuk juga berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994:2001), atau dengan kata lain makna kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan antar ujaran dan situasi yang memakai ujaran tersebut.

(25)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

bahasa jepang, sama dengan adjektiva-i dan adjektiva-na dan menjadi salah satu jenis yougen. Kelas kata ini biasanya menduduki predikat dalam kalimat, menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan sesuatu. Verba juga adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42).

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

a.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui secara lebih mendalam mengenai arti, jenis dan fungsi verba dalam bahasa jepang.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengertian dan pemakaian verba hataraku,

tsutomeru dan shigoto suru dalam konteks kalimat bahasa jepang.

b. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Menambah referensi yang berkaitan dengan linguistik

2. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca akan pengetahuan tentang verba bahasa jepang., khususnya pengertian dan pemakaian verba

hataraku, tsutomeru dan shigoto suru dalam konteks kalimat bahasa

jepang.

(26)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif (descriptive research) yang berupa penjelasan atau pemaparan. Isyandi (2003:13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifa-sifat populasi atau daerah tertentu. Data-data yang diperoleh melalui metode kepustakaan (library research). Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis buku, referensi serta data-data yang yang relevan dengan topik permasalahan yang akan di angkat baik buku berbahasa Indonesia, Jepang dan Inggris, khususnya buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan verba bahasa jepang dan buku-buku yang relevan dengan pembahasan skripsi ini. Penulis juga menggunakan metode terjemahan, yaitu menterjemahkan pesan atau amanat yang terdapat dalam sumber yang berbahasa jepang atau inggris (bahasa sumber) kedalam bahasa indonesia (bahasa sasaran) dengan mencari padanan terdekat yaitu segi makna dan gaya bahasa (Malo, 1985:97).

Setelah menganalisis data, dilanjutkan dengan membaca buku-buku bahasa jepang Nihon Go Chuukyuu Doukai Nyuumon, Shokkyu Nihongo

Mondaishuu 20 Tema yang ditulis dalam bahasa jepang. Kemudian mencari,

(27)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA BAHASA JEPANG, PENGERTIAN DAN PEMAKAIAN VERBA HATARAKU, TSUTOMERU

DAN SHIGOTO SURU SERTA DEFINISI SEMANTIK

2.1 Pengertian Verba

Ada beberapa definisi verba antara lain menerangkan tentang pemakaiannya di dalam konteks kalimat dan juga pengklasifikasiannya antara lain disebutkan di bawah ini, dimana penulis mencoba mengemukakan definisi verba bahasa jepang.

Sebelum menelaah fungsi verba bahasa jepang secara umum dan pemakaian verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru, penulis akan menerangkan pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber. Dalam bahasa Jepang mempunyai batasan atau definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli linguistik.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja (2005:1260).

Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila dilihat dari kanjinya:

(28)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

: kotoba, shi = kata

: doushi = kata yang bermakna gerak

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi,2003:42).

Nomura dan Koike berpendapat hampir sama dengan definisi Sutedi, mereka mengatakan bahwa verba (doushi) adalah satu kelas kata dalam bahasa jepang, sama dengan adjektiva-i dan adjektiva-na menjadi menjadi salah satu jenis yougen. Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan (katsuyou) dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat (Noumura dalam Sudjianto,2004:149).

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah satu kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.2 Jenis-jenis Verba

Dalam buku Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang (Dedi Sutedi,2003:47) verba dalam bahasa jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada bentuk konjugasinya.

(29)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Kelompok ini disebut dengan ( godan-doushi) Karena kelompok

ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang,

yaitu ( , , , , , ‘a-i-u-e-o’). Cirinya yaitu verba yang berakhiran

(gobi) huruf ( , , , , , , , , ‘u-tsu-ru-ku-gu-su-bu-mu-nu’).

Contoh:

1. omo-u [berpikir]

2. mo-tsu [membawa]

3. to-ru [mengambil]

4. ka-ku [menulis]

5. oyo-gu [berenang]

6. saga-su [mencari]

7. yo-bu [memanggil]

(30)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

9. shi-nu

b. Kelompok II

Kelompok ini disebut dangan ( ichidan-doushi), karena

perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini

adalah yang berakhiran suara ( - ‘e-ru’) disebut kami ichidan-doushi atau yang berakhiran ( - ‘i-ru’) disebut shimo ichidan-doushi.

Contoh:

1. de-ru [keluar]

2. oki-ru [bangun]

3. kae-ru [pulang]

4. tate-ru [mendirikan]

c. Kelompok III

Verba kelompok Kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak

beraturan, sehingga di sebut (henkaku-doushi). Diantaranya terdiri

dari dua verba, yaitu Contoh:

[mati]

(31)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

2. ku-ru [datang]

d.

Verba kelompok ini merupakan verba yang terbentuk dari kata benda+ verba

suru ‘meishi’ + ‘suru’ , namun meishi yang dapat

ditambahkan dengan verba suru disini terbatas pada kata-kata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan didalamnya.

Contoh:

1. kaimono suru (berbelanja)

2. chuumon suru (memesan)

3. undou suru (berolahraga)

Seiichi makino dan Michio Tsutsui dalam buku A Dictionary Of Basic Japanese Grammar (1997:582-584) mengklasifikasikan verba secara semantik menjadi lima jenis, yaitu:

1. Verba Stative (yang menyatakan ‘diam/tetap’)

Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu -iru.

Contoh:

1. iru [ada]

(32)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

3. iru [membutuhkan]

2. Verba Continual (yang menyatakan ‘selalu, terus-menerus’)

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu -iru untuk menunjukkan aspek pergerakan.

Contoh:

1. kaku [menulis] kaite iru [sedang menulis]

2. taberu [makan] tabete iru [sedang makan]

3. suru [melakukan] shite iru[sedang melakukan]

3. Verba Puntual (yang menyatakan ‘tepat pada waktunya’)

Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu [iru] untuk menunjukan

tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda.

Contoh:

1. shiru [tahu] shitte iru [mengetahui]

2. utsu [pukul] utte iru [memuku li]

(33)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk kesanggupan. Verba ini diklasifikasikan menjadi verba yang berkenaan dengan emosi atau perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan emosi atau perasaan .

Contoh:

1. tanoshimu [menikmati, berkenaan dengan perasan]

2. kikoeru [terdengar, tidak berkenaan dengan perasaan]

5. Verba Movement (yang menyatakan ‘pergerakan’) Verba ini menunjukan gerakan.

Contoh:

1. aruku [berjalan]

2. kuru [datang]

Dalam buku pengantar bahasa jepang linguistik Bahasa Jepang (Shimizu, 2000:45) verba dalam bahasa jepang dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Jidoushi ( ’verba intasitif’)

Verba ini merupakan verba yang tidak di sertai dengan objek penderita. Pengertian dilihat dari huruf kanjinya yang bermakna ‘kata yang bergerak sendiri’, Contoh:

(34)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

b. okiru [bangun]

c. neru [tidur]

d. shimeru [tertutup]

e. deru [keluar]

f. nagareru [mengalir]

2. Tadoushi ( verba transitif)

Verba yang memiliki objek penderita. Pengertian dilihat dulu dari huruf kanjinya yang bermakna namun ‘kata yang digerakkan yang lain’, jadi ada gerakan dari subjek.

Contoh:

a. okosu [membangunkan]

b. nekasu [menidurkan]

c. shimeru [menutup]

(35)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

e. nagasu [mengalirkan]

3. Shodoushi

Oleh karena merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pembicara, maka tidak dapat diubah kedalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyougen). Diantara verba-verba yang termasuk kelompok ini, kelompok doushi yang memiliki makna

potensial seperti ikeru dan kikeru disebut (kanou doushi) ‘verba potensial’.

Contoh:

a. mieru [terlihat]

b. kikoeru [terdengar]

c. ikeru [dapat pergi]

2.3 Fungsi Verba

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub bab 2.1 ‘Pengertian Verba’), pada umumnya verba berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak diakhir kalimat.

(36)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

1.

Watashi wa ongaku wo kiku.

Saya mendengarkan musik.

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzukugo (Sudjianto, 2004:159).

Contoh:

1.

Karenda ni kongetsu no sukejuru ga kaite aru.

Di kalender tertulis rencana bulan ini.

2.

Sensei ni nihongo wo oshiete morau

Saya belajar bahasa jepang dari guru.

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainya pada sebuah kalimat, dalam bentuk kamus selalu di akhiri dengan vokal /u/ (Sudjianto, 2004:149).

Contoh:

1.

(37)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Saya ingin rumah yang ada kolam renangnya.

2.

Kore wa haha no tsukuru ryouri da.

Ini adalah masakan buatan ibu.

2.4 Pengertian Verba Hataraku, Tsutomeru Dan Shigoto Suru 2.4.1 Verba Hataraku

Verba hataraku adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I (godan doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian dan

pemakaian dari verba hataraku sebagai berikut:

a. Nomoto Kikuo dalam buku Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar Edisi Bahasa Indonesia:

Hataraku : Mengerjakan pekerjaan (khusus dengan menggerakkan badan),

(1988:287) Contoh:

Ani wa kaisha de hataraite iru.

Kakak (lk) bekerja

Hataraku memiliki arti bekerja menggunakan tubuh atau kepala (pikiran)

(1993:443).

di perusahaan.

b. Izuhara Shoji dalam buku ruigo rikai jiten mengatakan bahwa:

(38)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Contoh:

Chichi wa tokai de hatarakimasu.

Ayah bekerja di kota.

c. Sakata Yukiko dalam Kamus Informative Japanese dictionary mengatakan bahwa :

Terjemahannya:

Hataraku adalah bekerja dengan menggerakkan seluruh tubuh (1995:776).

Contoh:

Haha wa koujou de hataraite iru.

Ibu bekerja

Contoh:

di pabrik.

2.4.2 Verba Tsutomeru

Verba Tsutomeru adalah verba yang termasuk ke dalam kelompok II

(ichidan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian dan

pemakaian dari verba tsutomeru sebagai berikut:

a. Nomoto Kikuo dalam buku Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar Edisi Bahasa Indonesia:

(39)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010. San juu nen mo onaji kaisha ni tsutomete iru.

Bekerja selama tiga puluh tahun pada perusahaan yang sama juga.

b. Izuhara Shoji dalam buku ruigo rikai jiten mengatakan bahwa:

Terjemahannya:

Tsutomeru memiliki arti bekerja yang telah ditetapkan untuk memperoleh

uang dengan menjadi satu anggota dalam satu organisasi (1993:43). Contoh:

Watashi wa gikan toshite tsutomeru.

Saya bekerja sebagai seorang teknisi.

c. Sakata Yukiko dalam Kamus Informative Japanese dictionary mengatakan bahwa :

Tsutomeru adalah bekerja di kantor pemerintah atau perusahaan dsb, serta

menerima gaji yang tetap (1995:610). Contoh:

(40)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Ani wa fudousan kaisha ni tsutomete iru. Kakak(lk) bekerja di perusahaan real estate.

2.4.3 Verba Shigoto suru

a. Nomoto Kikuo dalam buku Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar Edisi Bahasa Indonesia:

Shigoto suru: kerja, bekerja, sesuatu yang perlu di kerjakan (1988:1011).

Contoh:

Imouto wa kaji wo shigoto shite iru.

Adik(pr) sedang mengerjakan

Terjemahan:

pekerjaan rumah.

b. Izuhara Shoji dalam buku ruigo rikai jiten mengatakan bahwa:

Shigoto wa [shokugyou] to onaji imi de tsukawareru koto mo aru ga,

[shokugyou] ga keisatsukan toka kaishain toka iu sono shurui wo iu noni

taishite, shigoto wa kotsuuseiritoka eigyou toka iu, sono naiyo wo sasu koto

(41)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Shigoto memiliki arti yang sama dengan shokugyou tetapi shokugyou merujuk pada jenis pekerjaan seperti polisi atau karyawan perusahaan sedangkan

shigoto seperti banyak mengacu pada hal mengendalikan lalu lintas atau

menjalankan sesuatu pekerjaan (1993:442).

Contoh:

Kaisha de iro iro n a koto wo shigoto shimasu.

Melakukan berbagai macam pekerjaan

2.5.1 Definisi Semantik

di perusahaan.

c. Sakata Yukiko dalam Kamus Informative Japanese dictionary mengatakan bahwa :

Terjemahannya:

Shigoto suru adalah bekerja dalam masyarakat atau rumah tangga dengan

menggunakan tubuh ataupun pikiran (1995:398). Contoh:

Ichi nichi no shigoto wo oete terebi wo miru.

Menonton televisi begitu pekerjaan selesai.

(42)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik (gengogaku) yang mengkaji tentang makna.dibandingkan dengan cabang linguistik yang lainnya, semantik memegang peranan penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunkasi tiada lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Misalnya, seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicaranya bisa memahamiapa yang dimaksud, karena ia bisa menyerap makna yang disampaikan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah struktur kalimat, kosa kata, atauoun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari makna.

objek kajian semantik antara lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam suatu idiom (ku no imi) dan makna kalimat (bun no imi).

1. Makna kata satu persatu

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

(43)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

2. Hubungan antar makna kata dengan kata yang lainnya (relasi makna)

Relasi makna adalah hubungan antara dua atau lebih kata sehubungan dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya

pada verba ‘hanasu’ (berbicara), ‘iu’ (berkata),

‘shaberu’ (ngomong), dan ‘taberu’ (makan), ke tiga verba pertama

dikelompokkan ke dalam ‘kotoba o hassuru’ (bertutur),

sedangkan taberu tidak termasuk kedalamnya. Contoh lainnya misalnya hubungan makna antara kata ‘hanasu’ dan ‘iu’ , ‘takai’

(tinggi), ‘hikui’ (rendah), ‘doubutsu’ (binatang), dan ‘inu’ (anjing) akan berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan

sinonim (hanasu dan iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui) sedangkan pasangan terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan

inu).

3. Makna frase

Merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa jepang ungkapan

‘hon o yomu’ (membaca buku), ‘kutsu o kau’ (membeli

sepatu), dan ‘hara ga tatsu’ (perut berdiri = marah) merupakan

(44)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

meskipun seseorang memahami makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara diomatikalnya (kan-youteki imi).

Lain halnya dengan frase “ashi o arau” , terdapat dua makna frase di dalamnya, yaitu: secara leksikal (mojidoori no imi), yakni (mencuci kaki), dan juga secara ideomatikal (kan-youteki imi) yakni (berhenti berbuat jahat). Jadi, dalam bahasa jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada fase yang bermakna secara ideomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna kedua-duanya.

4. Makna kalimat

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya, kalimat “watashi wa yamada san ni megane o ageru” (saya memberi kaca mata pada Yamada) dengan kalimat “watashi wa yamada san ni tokei

Lain halnya dengan kalimat “watashi Yamada san to Tanaka san o matte

iru”, terkandung dua makna, yaitu [watashi wa] [Yamada san to Tanaka san o]

[matte iru] (saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan [watashi wa] [Yamada san

to isshoni] [Tanakan san o] [matte iru] (saya bersama Yamada menunggu Tanaka).

Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

o

ageru” (saya memberi jam pada Yamada), jika dilihat dari strukturnya kalimat

(45)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

2.5.1.1 Jenis Makna dalam Semantik 1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan

‘jishoteki imi’ atau ‘goiteki imi’ . Makna leksikal adalah

makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. misalnya, kata ‘neko’ dan kata

‘gakkou’ memiliki makna leksikal (kucing) dan (sekolah).

Makna gramatikal dalam bahasa jepang disebut ‘bunpouteki

imi’ yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Dalam bahasa

jepang ‘joshi’ (partikel) dan ‘jodoushi’ (kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva memliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata ‘isogashii’ dan

‘taberu’ , bagian gokan: [isogashi] dan [tabe] bermakna leksikal (sibuk) dan

(memakan), sedangkan gobi-nya yaitu ‘i’ dan ‘ru’ sebagai makna

gramatikalnya. Partikel ‘ni’ secara leksikal tidak jelas maknanya tetapi

baru jelas kalau digunakan dalam kalimat seperti

‘Bandon ni sunde iru’ (tinggal di Bandung)

(46)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Makna denotatif dalam bahasa jepang disebut ‘meijiteki

imi’ atau ‘gaien’ . Makna denotatif adalah makna yang berkaitan

dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan

dengan analisis komponen makna. makna konotatif disebut dengan

‘anjiteki imi’ atau ‘naihou’ , yaitu makna yang ditimbulkan karena

perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya, pada kata ‘chichi’ dan ‘oyaji’ kedua-duanya memiliki makna yang sama

yaitu (ayah).

Makna denotatif dari kedua kata tersebut sama, karena merujuk pada referent yang sama, tetapi nilai rasa berbeda. Kata ‘chichi’ digunakan lebih formal dan lebih halus, sedangkan ‘oyaji’ terkesan lebih dekat dan lebih akrab. contoh

lainnya kata ‘keshou shitsu’ dan ‘benjo ’ merujuk pada hal

yang sama, yaitu (kamar kecil). Tetapi, kesan dan nilai rasanya berbeda, ‘keshou

shitsu’ terkesan ‘bersih’ sedangkan ‘benjo’ terkesan ‘kotor’ dan ‘bau’.

3. Makna Dasar dan Makna Perluasan

Makna dasar disebut dengan ‘kihongi’ merupakan makna asli

yang di miliki oleh suatu kata. Makna asli yang dimaksud yaitu makna bahasa yang digunakan pada masa sekarang ini. Hal ini perlu ditegaskan karena berbeda dengan ‘gengi’ (makna asal), mengingat dalam bahsa jepang modern banyak sekali makna asal suatu kata yang sudah berubah dan tidak digunakan lag. makna dasar terkadang disebut juga sebagai makna pusat (core) atau makna

(47)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Makna perluasan ‘tengi’ merupakan makna yang mucul sebagai

hasil perluasan dari kata dasar, diantaranya akibat penggunaan secara kiasan (majas/hiyu). Perubahan makna suatu kata terjadi karena berbagai faktor, seperti perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; atau pengaruh bahasa asing.

2.5.1.2 Perubahan Makna dalam Semantik

Beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa jepang diantaranya sebagai berikut:

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata ‘atama’ (kepala) ‘ude’ (lengan) serta ‘michi’

(jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut:

atama ga ii (kepandaian)

ude ga agaru (kemapuan)

nihongo kyoushi e no michi (cara/petunjuk)

b. Dari ruang ke waktu

Kata ‘mae’ (depan) dan ‘nagai’ (panjang) yang menyatakan arti (ruang), berubah menjadi (waktu) seperti pada contoh berikut:

san nen mae (yang lalu)

(48)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

c. Perubahan penggunaan indera

Kata ‘ookii’ (besar) semula diamati dengan indera penglihatan

(mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada

‘ookii koe’ (suara keras); kata ‘amai’ (manis) dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam ‘amai ko’ (anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/generalisasi

Kata ‘kimono’ yang semula berarti (pakaian tradisional Jepang),

digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum ‘fuku’ dan

sebagainya.

e. Dari yang umum ke khusus/spesialisasi

Kata ‘hana’ (bunga secara umum) dan ‘tamago’ (telur secara

umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut:

hana-mi (bunga sakura)

tamago o taberu (telur ayam)

f. Perubahan nilai positif

(49)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

g. Perubahan nilai negatif

Misalnya pada kata ‘kisama’ (kamu) dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata ‘anata’ (anda), tetapi sekarang digunakan

hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.5.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 1994:11). Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

(50)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata dalam bahasa yang makna katanya berdekatan atau mirip.

2.5.2 Kesinoniman

Relasi Makna dan Hubungan Kesinoniman

Dalam bahasa jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi

( ) dan igi ( ). Kata imi digunakan untuk menyatakan makan hatsuwa

(tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud dari langue. Oleh karena itu, dikatakan bahwa makna dari hatsuwa merupakan objek kajian pragmatik sedangkan makna dari bun adalah objek kajian semantik (Sutedi, 2003:114).

(51)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

bagaimanapun juga subjeknya adalah uma (kuda) dan tidak dapat diganti dengan binatang yang lainnya. Sehingga subjek uma (kuda) merupakan imitokucho dari kata inanaku.

Jika suatu imitokucho terdapat dalam beberapa kata, maka kata-kata tersebut dapat digolongkan ke dalam satu medan makna yang sama, atau disebut

memiliki relasi makna (go to go no imi kankei). Misalnya,

untuk imitokuchou [kotoba o hassuru (bertutur)] terkandung dalam

verba ‘hanasu’ (berbicara), ‘iu’ (berkata),

‘shaberu’ (ngomong), ‘noberu’ (mengutarakan), ‘kataru’

(bercerita), ‘sasayaku’ (berbisik), ‘tsubuyaku’ (menggerutu),

‘donaru’ menghardik, ‘wameku’ (berteriak).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu kata atau lebih maka akan terjadi relasi makna atau hubungan kesisoniman atau

dalam bahasa jepang disebut juga dengan go to go no imi

kankei yang bila dilihat secara kata perkata dan kanjinya.

Sehingga bila dua kata atau lebih yang mempunyai salah satu imitokucho yang sama, bisa dikatakan sebagai kata yang bersinonim. Akan tetapi meskipun bersinonim hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang semuanya sama persis, dalam konteks tertentu akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.

Perbedaan dari dua atau lebih kata yang memiliki hubungan kesinoniman

‘ruigi kankei’ dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis

(52)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

noboru kedua-duanya berarti (naik) dapat ditemukan perbedaannya seperti

berikut:

: [ ] ( ) ( )

Noboru : (berpindah) (dari bawah keatas) (fokus: jalan yang dilalui)

[ ] ( ) ( )

Agaru : (berpindah) (dari bawah keatas) (fokus: tempat tujuan).

Jadi perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus

‘shouten’ gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan

‘’tuotatsuten dalam arti tibanya ditempat tujuan tersebut (hasil),

sedangkan noboru menekankan pada jalan yang dilalui ‘keiro’ dari

(53)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

BAB III

ANALISIS PEMAKAIAN VERBA HATARAKU, TSUTOMERU DAN SHIGOTO SURU

Sebelumnya penulis telah memaparkan verba hataraku, tsutomeru dan

shigotosuru pada Bab II. Maka pada Bab III ini penulis mencoba menganalisa

pemakaian verba hataraku, tsutomeru dan shigoto suru. Yang terdapat dalam

dan sesuai dengan

beberapa pendapat dari beberapa ahli linguistik yang telah dipaparkan sebelumnya.

3.1. Verba Hataraku Contoh: (1)

(Nihon Go Chuukyuu Doukai Nyuumon, 2002: 83).

Sou iu koku de wa nichiyoubi ni hataraku koto wa warui koto na no

desu.

(54)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

Analisis:

Pada contoh (1), kalimat di atas diambil dari wacana yang berjudul

”. Pemakaian verba hataraku pada kalimat diatas sudah tepat, karena

sesuai dengan teori (izuhara shouji, 1993: 443) yang mengatakan bahwa verba

hataraku adalah hal bekerja dengan menggunakan tubuh atau pikiran. Karena

hal bekerja yang ingin disampaikan dalam kalimat diatas bersifat umum atau secara garis besar mendeskripsikan ‘bekerja pada hari minggu tersebut adalah hal yang buruk’. Bekerja yang di maksud dalam kalimat diatas bisa saja sebagai pelayan toko, cleaning service atau bahkan karyawan sebuah perusahaan.

Contoh: (2)

(Nihon Go Chuukyuu Doukai Nyuumon, 2002: 135).

Teashi wo tsukatte shigoto wo suru dake denaku, jinkouchinou

wo hatarakasetari, onsei ya kotoba wo aru teido rikai suru robotto

mo arimasu.

Tidak hanya pekerjaan yang menggunakan kaki dan tangan, bahkan bekerja

Pada contoh (2), kalimat di atas diambil dari wacana yang berjudul “ ”. Pemakaian verba hataraku pada kalimat diatas sudah tepat,

karena sesuai dengan teori (izuhara shouji, 1993: 443) yang mengatakan bahwa yang membutuhkan keterampilan dan robot yang dapat mengerti tingkat kata dan suara pun ada.

(55)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

verba hataraku adalah hal bekerja dengan menggunakan tubuh atau pikiran. Dimana dalam kalimat diatas mengacu pada bekerja yang membutuhkan keterampilan yang pasti melibatkan pikiran tidak hanya anggota tubuh sesuai dengan teori yang diungkapkan sebelumnya.

Contoh: (3)

(Nihon Go Chuukyuu Doukai Nyuumon, 2002: 42).

Kissaten de wa otoko no hito ga hitori, hataraite ite, sono hito ga

watashi ni shigoto wo oshiete kuremashita.

Ada seorang laki-laki yang bekerja di kafeteria, orang itu lah yang mengajari saya bekerja.

Analisis:

Pada contoh (3), kalimat di atas diambil dari wacana yang berjudul

”. Pemakaian verba hataraku pada kalimat diatas sudah

tepat, karena sesuai dengan teori (Sakata Yukiko, 1995:776) yang mengatakan bahwa verba hataraku adalah bekerja dengan menggerakkan seluruh tubuh. Karena laki-laki tersebut tidak di beritahukan secara spesifik apa pekerjaannya sehingga verba hataraku dapat digunakan disini karena mencakup segala macam pekerjaan yang menggerakan dan menggunakan anggota tubuh secara umum.

(56)

Meriam Emma Simanjuntak : Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku,

Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki, 2010.

(kiat sukses ujian kemampuan bahasa jepang level 2, 2003:174)

Kare wa hataraku bakari ka benkyou mo tsuzukeru.

Dia tidak hanya bekerja saja, belajarpun masih berlanjut.

Analisis:

Pada contoh (4), kalimat di atas diambil dari contoh kalimat kumpulan soal-soal ujian level 2 kemampuan bahasa jepang teori gakushudo. Pemakaian verba hataraku pada kalimat diatas sudah tepat, karena sesuai dengan teori (Sakata Yukiko, 1995:776) yang mengatakan bahwa verba hataraku adalah bekerja dengan menggerakkan seluruh tubuh. Karena dalam kalimat diatas tidak disebutkan pekerjannya secara lebih rinci, hanya pekerjaan secara umum lebih mungkin lagi pekerjaan paruh waktu disamping kegiatan belajarnya.

3.2. Verba Tsutomeru Contoh: (1)

(Nihon Go Chuukyuu Doukai Nyuumon, 2002: 14).

Daigaku wo sotsugyoushite kara, ginkou ni 1 nen gurai tsutomete,

sorekara shougakkou no sensei wo shimashita.

Referensi

Dokumen terkait

tersebut sesuai dengan nuansa makna dari verba Utsu yang menyatakan bahwa. verba Utsu memiliki nuansa makna

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya

tasukeru sudah tepat karena sesuai dengan pendapat para pakar yang menyatakan bahwa verba tasukeru mencakup hal-hal yang bernuansa meminjamkan tenaga untuk orang

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sinonim kata Utsu dan Tataku yang memiliki pengertian yang sama sebagai verba,