• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (UTSU) TO (TATAKU) NO KINOU TO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu

Syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

OLEH

ABDUL BARRY SUTAN PULUNGAN NIM: 100708045

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (UTSU) TO (TATAKU) NO KINOU TO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini Ditujukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu Syarat Ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Dan telah disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs Nandi S

Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum

NIP : 19600822 1988 03 1 002 NIP : 19600919 1988 03 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui Oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua,

NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada Allah SWT,

atas segala rahmat, karunia, kasih sayang dan ridho-Nya, sehingga penulisan

skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa pula shalawat beriring salam kepada Nabi

Muhammad SAW, yang telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat

manusia.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan Makna Verba Utsu

dan Tataku dalam Kalimat Bahasa Jepang” ini diajukan untuk memenuhi

persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi

Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak

menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra

Jepang Universitas Sumatera Utara yang juga sebagai Dosen Pembimbing

II yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan selama proses

penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam

(5)

dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini

dengan sabar dari awal hingga akhir ujian skripsi ini selesai.

4. Tak lupa pula penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program

Studi S-1 Sastra Jepang yang telah memberikan banyak ilmu kepada

penulis sebagai bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat

menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

5. Kepada orang tua penulis, Almarhum H. Rustam Effendy Pulungan dan

Ibunda Hj. Santosa Harahap, yang selalu mendoakan penulis agar selalu

sehat dan memberikan dukungan moral dan material yang tak terhingga

hingga saat ini, yang tak akan mampu penulis untuk membalasnya.

6. Kepada saudara-saudariku, Pinta Rahma Risky Pulungan (kakak),

Nikmagna Rusanty Pulungan (kakak) dan Akbar Anggina Pulungan (adik)

yang selalu mendukung selama ini.

7. Kepada Baim, Rauf, Ridho, Doni, Freico, Tira, Budi, Firmansyah, Pandi,

Lim, Fauzan, Riski, Jefri, Onesi, Diannita, Elvi, Dila Fitria, Savitri, Liska,

serta seluruh teman-teman AOTAKE angkatan 2010 Sastra Jepang S-1

yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Senang bisa belajar

bersama dan mengejar impian bersama selama 4 tahun ini.

8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi

(6)

Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi

masyarakat luas pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa Sastra Jepang

agar dapat lebih memahami tentang sinonim dalam bahasa Jepang, khususnya

verba Utsu dan Tataku.

Medan, Oktober 2014

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI ………....……….. iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ………4

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ……….5

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………9

1.6 Metodologi Penelitian ………10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA DAN STUDI SEMANTIK 2.1 Verba ………11

2.1.1 Pengertian dan Ciri-ciri Verba……….11

2.1.2 Jenis-Jenis Verba ……….12

2.1.3 Fungsi Verba ………18

2.1.4 Pengertian Verba Utsu dan Tataku ………...20

2.1.4.1 Verba Utsu ………..20

2.1.4.2 Verba Tataku ………24

2.2 Studi Semantik ………27

2.2.1 Defenisi Semantik……….27

(8)

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik ……….35

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik ………..38

2.2.2 Kesinoniman ………39

2.2.3 Pilihan Kata ……….40

BAB III ANALISIS MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG 3.1 Verba Utsu ………...42

3.2 Verba Tataku ………47

3.3 Analisis Perbedaan Nuansa Makna Verba Utsu dan Tataku ………..52

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………56

4.2 Saran ………...57

(9)

ABSTRAK

Analisis Fungsi dan Makna Verba Utsu dan Tataku

dalam kalimat Bahasa Jepang

Skripsi ini membahas tentang fungsi dan makna verba Utsu dan Tataku.

Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak kata yang memiliki makna yang sama.

Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan

sebagai kata yang bersinonim. , dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim

tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya nuansa

makna. Misalnya pada kata Utsu dan Tataku dalam bahasa Jepang yang berarti

‘memukul’, karena ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi,

meskipun bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim

yang semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan

ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.

Pembahasan mengenai fungsi kata yang bersinonim Utsu dan Tataku ini

difokuskan kepada analisis perbedaan nuansa makna dari kedua kata yang

bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata Utsu dan Tataku akan dibahas 4

buah kalimat, yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat

pada majalah Nipponia, Days Japan dan komik Ashita no Jyo vol: 10 dan 15

serta artikel yang dikutip dari internetsebagai ruang lingkupnya.

Untuk memperkuat analisis mengenai kata yang bersinonim diatas, maka

akan dibahas pula pendapat-pendapat dari beberapa ahli linguistik yang

berkaitan dengan verba tersebut. Diantaranya yaitu Izuhara Shouji yang

(10)

dengan sesuatu, efek dari sebuah situasi, gerakan yang menimbulkan perubahan,

aksi. Penembakan senjata api kecil. Pembalasan. Memberontak ketika lawan

mengatakan hal yang buruk. Serta Kindaichi Haruhiko juga menjelaskan bahwa

Tataku adalah memukul dengan terus menerus. Memukul lagi. Mengalihkan,

lalu menghajar. Memukul sampai jatuh. Menghajar habis-habisan.

Contoh

(11)

ke batu karang, yang mana hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Izuhara

Shouji. Namun pada cuplikan kalimat ke 2, pemakaian verba Utsu kurang tepat,

karena pada cuplikan tersebut terkandung nuansa makna amarah serta emosi

untuk mengalahkan lawan. Nuansa makna tersebut justru merupakan nuansa

makna yang seharusnya terkandung dalam verba Tataku.

Untuk contoh kasus kalimat 1 dan 2 verba Tataku, pemakaian verba

Tataku sudah tepat karena sesuai dengan pendapat para pakar yang menyatakan

bahwa verba Tataku mencakup hal-hal yang bernuansa amarah, emosional serta

kontinuitas ketika memukul sesuatu. Pada cuplikan kalimat 1, kata Tataku

menunjukkan sisi emosional seseorang yang ingin memukul jatuh lawannya, serta

pada cuplikan kalimat ke 2 menunjukkan kontinuitas ketika sedang melakukan

tepuk tangan. Verba Tataku cenderung digunakan untuk menggambarkan nuansa

amarah, emosional dan kontinuitas dalam memukul.

Meskipun ke dua verba tersebut memiliki arti yang sama dalam

bahasa Indonesia, namun pemakaiannya tetaplah harus diperhatikan sesuai dengan

situasi dan kondisi kalimat. Maka, penggunaan verba Utsu dan Tataku sebaiknya

(12)
(13)
(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh

para kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi

diri. (Chaer, 1994:32). Sedangkan menurut Sutedi (2003:2), bahasa digunakan

sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada

orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam aspek kehidupan

manusia . Sehingga perkembangan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan

manusia mempengaruhi perkembangan suatu bahasa. Dengan demikian, fungsi

bahasa adalah sebagai media untuk menyampaikan makna kepada seseorang, baik

secara lisan maupun tulisan.

Berdasarkan fungsinya, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara

eksternal. Yang dimaksud kajian secara internal adalah pengkajian itu hanya

dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis,

morfologis, sintaksis, dan semantik. Selanjutnya, kajian ini akan menghasilkan

varian-varian bahasa tanpa berkaitan dengan masalah di luar bahasa. Kajian ini

dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan norma atau prosedur yang telah

ada di dalam disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah pengkajian

yang dilakukan terhadap struktur di luar bahasa itu sendiri, misalnya

sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, dan lain-lain (Chaer, 2004:1).

Dalam kajian internal bahasa, terdapat empat bidang kajian atau cabang

(15)

merupakan cabang linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi bahasa

berdasarkan fungsinya. Morfologi (keitairon) adalah cabang linguistik yang

mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya. Sintaksis (tougoron) adalah

cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur-unsur pembentuk

kalimat. Dan cabang ilmu linguistik internal yang terakhir adalah semantik

(imiron).

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji

tentang makna (Sutedi, 2003:103). Semantik memiliki peranan yang penting,

karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk

menyampaikan suatu makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis

penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata,

ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.

Makna suatu kata biasanya akan berkembang, karena dipengaruhi oleh konteks

atau situasi dalam kalimatnya. Makna yang sama namun nuansa yang berbeda

dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan

semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang

lainnya (Chaer, 1994:297).

Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan

sebagai kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang

menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran

yang lainnya (Chaer, 1994:297). Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran

yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor,

diantaranya nuansa makna. Misalnya pada kata Utsu dan Tataku, karena ada

(16)

hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang semuanya sama

persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan suatu

perbedaannya meskipun kecil.

Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba saja,

tetapi juga pada nomina, adjektiva, bahkan pada ungkapan dan partikel pun bisa

terjadi.

Sebagai contoh, pemakaian verba Utsu dan Tataku adalah seperti di bawah

ini.

Contoh :

1. 手を打って人を呼ぶ。

Te wo utte hito wo yobu.

Memanggil orang dengan menepuk tangan . (Izuhara Shouji, 1998:120 )

2. 子供の尻を叩く。

Kodomo no shiri wo tataku. Memukul bokong anak. (Izuhara Shouji, 1998:120)

Melihat kedua contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun

kedua verba tersebut memiliki persamaan makna yaitu sama-sama mengandung

makna ‘memukul’, namun nuansa makna ‘memukul’ yang diberikan tiap-tiap

verba di dalam kalimat terasa berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai sinonim kata Utsu dan Tataku yang memiliki pengertian yang sama

sebagai verba, yaitu ‘memukul’, tetapi memiliki fungsi yang terasa berbeda, yang

selanjutnya akan penulis bahas dalam skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan

(17)

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai fungsi dan makna dari verba

Utsu dan Tataku yang sama-sama memiliki arti ‘memukul’, tetapi masing-masing

memiliki fungsi yang berbeda dalam penggunaannya, serta belum tentu dapat

saling menggantikan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kesulitan bagi

pembelajar bahasa Jepang untuk menggunakan ataupun menerjemahkan kalimat

ke dalam bahasa Jepang dengan tepat, khususnya bagi kalimat yang memiliki

unsur sinonim di dalamnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Seperti apa fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku dalam bahasa Jepang?

2. Bagaimana perbedaan nuansa makna verba Utsu dan Tataku dalam kalimat

berbahasa Jepang?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan mengenai fungsi kata yang bersinonim yaitu Utsu dan Tataku.

Pembahasannya lebih difokuskan kepada analisis perbedaan nuansa makna dari

kedua kata yang bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata Utsu dan Tataku

akan dibahas 4 buah kalimat, yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang

yang terdapat pada majalah Nipponia, Days Japan dan komik Ashita no Jyo vol:

10 serta artikel berbahasa Jepang lainnya yang dikutip dari internet. Untuk

(18)

penulis pada bab II akan mengemukakan fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku

secara umum dalam bahasa Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam menginterpretasikan

makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis

mencoba mendefenisikan beberapa istilah linguistik, khususnya yang berkenaan

dengan semantik, serta turut disertakan pula apa sebenarnya pengertian dari fungsi

itu sendiri.

Ilmu linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Ilmu linguistik

itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan juga seluk-beluk bahasa

pada umumnya. Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah semantik atau

kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani

yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambang. Kata kerjanya adalah

“semaino” yang berarti menandakan atau melambangkan (Chaer, 2002:2). Makna

adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik.

Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem.

Kosakata (goi) merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus

diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dalam

bahasa Jepang, baik itu ragam lisan maupun tulisan. Goi dapat diklasifikasikan

menjadi sepuluh kelas kata yaitu verba (doushi), adjektiva-I (keiyoushi),

adjektiva-Na (keiyoudoushi), nomina (meishi), pronomina (rentaishi), adverbial

(19)

dan partikel (joshi), (Dahidi dan Sudjianto, 2007:98). Utsu dan Tataku yang akan

dibahas dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam golongan verba (doushi).

Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2007:149) menyebutkan pengertian

verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini

dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi

dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Sedangkan menurut Sutedi (2003:42) verba adalah kata kerja yang berfungsi

sebagai predikat dalam kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou), dan

bisa berdiri sendiri.

Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis makna verba Utsu dan

Tataku yang memiliki makna yang hampir sama (mirip) tetapi berbeda cara

penggunaannya di dalam kalimat. Hal ini menyangkut tataran bidang linguistik

yaitu semantik. Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna,

makna frase, dan makna kalimat. Lalu objek kajian yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dibahas ini adalah relasi makna khususnya sinonim,

karena dalam hal ini verba Utsu dan Tataku adalah kata-kata yang bersinonim.

Dalam bahasa Jepang sinonim disebut ruigigo. Sinonim adalah hubungan

semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran

dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:267). Dua buah ujaran atau lebih yang

bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini terjadi karena

berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor

keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 322), fungsi merupakan:

(20)

(besaran yang berhubungan), 4. Kegunaan suatu hal, 5. Linguistik (peran sebuah

unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas).

2. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori atau pendekatan semantik

menurut Sutedi, dan konsep makna menurut Ferdinand De Saussures. Menurut

Sutedi (2003:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji

tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang

digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti

dalam bahasa.

Menurut Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994:287) makna adalah

‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda

linguistik. Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat

berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang

terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer,

1994:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi

makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna

(antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan

ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).

Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu

onama’ yang berarti nama, dan ‘syn’ yang berarti sama. Maka secara harfiah kata

sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’ (Chaer, 2002:82).

Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna

antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:267). Dua

(21)

Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor

tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan

faktor nuansa makna.

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula

yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk

menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan

dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari

kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal

pemilihan kata. Menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi adalah

kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat

pendengar. Oleh karena itu, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut

sinonim harus dapat dipilih dengan baik sesuai dengan situasi dan konteks

kalimatnya.

Selanjutnya menurut Parera (2004:46) secara umum teori makna dibedakan atas :

1. Teori Referensial atau Korespondensi.

2. Teori Kontekstual

3. Teori Mentalisme

4. Teori Formalitas

Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori

makna yang dipergunakan adalah teori kontekstual. Teori makna kontekstual

(22)

termasuk juga dapat berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994 : 290), atau

dengan kata lain makna kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan

antar ujaran dan situasi yang memakai ujaran tersebut. Berdasarkan teori makna

kontekstual tersebut, maka penulis akan menginterpretasikan makna verba Utsu

dan Tataku sesuai dengan konteks kalimatnya, serta melihat ketepatan pemilihan

kedua kata bersinonim tersebut dalam kalimat.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku.

2. Untuk mengetahui perbedaan nuansa makna verba Utsu dan Tataku dalam

kalimat berbahasa Jepang.

2. Manfaat Penelitian.

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami

makna verba Utsu dan Tataku.

2. Dapat dijadikan masukan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk memahami

penggunaan verba Utsu dan Tataku.

3. Dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian mengenai kata bersinonim

(23)

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek

yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan atau upaya untuk menerangkan suatu

fenomena yang terjadi (Ruseffendy, 1994:4). Metode penelitian sangat

mempengaruhi keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus

menentukan metode yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.

Isyandi (2003:13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu metode

penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan

akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.

Data-data yang diperoleh adalah melalui penelitian pustaka (Library Research). Dalam

hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang

berhubungan dengan tata bahasa, baik itu buku berbahasa Jepang, maupun yang

berbahasa Indonesia, khususnya buku-buku yang relevan dengan pembahasan

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN

2.1 Verba

2.1.1 Pengertian Verba

Sebelum membahas fungsi verba bahasa Jepang secara umum dan

pemakaian verba Utsu dan Tataku, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan

pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa

verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang

disebut juga kata kerja.

Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Menurut Situmorang

(2010: 9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu :

動 : ugoku, dou : bergerak

詞 : kotoba, shi : kata

動詞 : doushi : kata yang bermakna gerakan

Situmorang (2010: 9) juga menjelaskan bahwa doushi memiliki ciri-ciri yaitu :

a. Dapat berdiri sendiri

b. Berkonjugasi / mengalami perubahan bentuk

c. Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan, atau perubahan keadaan

(25)

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu

kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri. Nomura

dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau

doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai

untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat

mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat

mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata yang

menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou),

dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke

dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan 五 段 動 詞 (godan-doushi), karena

kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang,

yaitu (あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (う,

つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).

Contoh :

(26)

b. 待つ: ma-tsu (menunggu)

c. 帰る: kae-ru (pulang)

d. 飛ぶ: to-bu (terbang)

e. 死ぬ: shi-nu (mati)

f .読む: yo-mu (membaca)

g. 書く: ka-ku (menulis)

h. 泳ぐ: oyo-gu (berenang)

i. 話す: hana-su (berbicara)

2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena

perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah

verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidan-doushi, dan verba

yang berakhiran (い-る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi.

Contoh :

a. 出る d-eru (keluar)

食べる tab-eru (makan)

(27)

起きる ok-iru (bangun)

3. Kelompok III

Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak

beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari

dua verba berikut.

a. カ変動詞 (kahendoushi)

Contoh : 来る kuru (datang)

b. サ変動詞 (sahendoushi)

Contoh : するsuru (melakukan)

Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata

benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「するsuru’」, namun meishi yang

dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata

yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.

Contoh :

a. 勉強する benkyou suru (belajar)

b. 食事する shokuji suru (makan)

c. 買い物する kaimono suru (belanja)

(28)

1. Jidoushi (自動詞 ‘verba intransitif’)

Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita.

Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna ‘kata yang

bergerak sendiri’.

Contoh :

a. 起きる okiru (bangun)

b. 閉まる shimaru (tertutup)

c. 出る deru (keluar)

2. Tadoushi (他動詞 ‘verba transitif’)

Tadoushi merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba

tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak

lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh :

a. 起こす okosu (membangunkan)

b. 閉める shimeru (menutup)

c. 出す dasu (mengeluarkan)

(29)

Karena verba shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan

pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif

dan kausatif.

Contoh :

a. 見える mieru (terlihat)

b. 聞こえる kikoeru (terdengar)

Namun selain jenis-jenis doushi seperti di atas, Terada Takanao dalam

Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi

dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah

kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu

kata.

Contoh :

a. 話し合う hanashi au berunding (doushi + doushi)

b. 調査する chousa suru menyelidiki (meishi + doushi)

c. 近寄る chikayoru mendekati (keiyoushi + doushi)

(30)

Haseigo toshite no doushi merupakan verba yang memakai prefiks atau

doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara menambahkan sufiks.

Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

a. さ迷う samayou (mondar-mandir)

b. ぶん殴る bunnaguru (melayangkan tinju)

c. 寒がる samugaru (merasa kedinginan)

3. Hojo doushi (補助動詞)

Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini

menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba

bantu –iru.

Contoh :

a. ある aru (ada ‘benda mati’)

b. いる iru (ada ‘makhluk hidup’)

(31)

2.1.3 Fungsi Verba

Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi dari verba, penulis

merasa penting untuk terlebih dahulu menjelaskan apa makna dari kata ‘fungsi’

itu sendiri. Menurut KBBI (2005: 322), fungsi adalah 1. jabatan (pekerjaan) yang

dilakukan 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh) 3. Matematik (besaran yang

berhubungan) 4. Kegunaan suatu hal 5. Linguistik : peran sebuah unsur bahasa

dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai

subjek). Kemudian, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub

bab 2.1.1 ‘Pengertian Verba’), pada umumnya verba bahasa Jepang berfungsi

sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak di akhir kalimat.

Contoh :

1. 私はご飯を食べる。

Watashi wa gohan o

Saya makan nasi.

taberu.

2. 友達と一緒に公園を散歩する。

Tomodachi to isshoni kouen o

Saya berjalan-jalan bersama teman di taman. sanposuru.

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian

sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzokugo

(32)

Contoh :

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah

(33)

2.1.4 Pengertian Verba Utsu dan Tataku

2.1.4.1 Verba Utsu

Verba Utsu adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五 段 動 詞 (godan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau

makna dari verba Utsu.

a. Izuhara Shoji (1998: 120) mengemukakan bahwa :

「打つ」は何かに物を強く当てた結果、ある状況に効果。変化を生む

動作。作用。銃器の発射。仕返し。相手が悪いと言い立て、賊。

Utsu wa nanika ni mono wo tsuyoku ateta kekka, aru joukyou ni kouka. Henka

wo umu dousa. Sayou . Juuki no hassha. Shikaeshi . Aite ga warui to ii tate, zoku.

Utsu adalah hasil dari menubrukkan benda secara kuat dengan sesuatu, efek dari

sebuah situasi, gerakan yang menimbulkan perubahan, aksi. Penembakan senjata

api kecil. Pembalasan. Memberontak ketika lawan mengatakan hal yang buruk.

(34)

Utsu adalah menubrukkan benda dengan sesuatu secara kuat.

Contoh:

頭を打つ

Atama wo

Memukul kepala. utsu

c. Kai Bukurou (1998: 114)menyebutkan bahwa :

「打つ」は 強く当てる、打てば響く。「叩くような動作で仕事をす

ることから」耕す。金属を鍛えて作る。投げて魚を取る。

Utsu wa tsuyoku ateru , uteba hibiku. (tataku youna dousa de shigoto wo suru

koto kara) tagayasu. Kinzoku wo kikaete tsukuru. Nagete sakana wo toru.

Utsu adalah menubrukkan dengan kuat, apabila dipukul menggema. Mencangkul

(karena melakukan pekerjaan seperti memukul-mukul). Menggembleng logam.

Melempar lalu menangkap ikan.

Contoh :

彼は柱で頭を打った。

Kare wa hashira de atama wo utta .

(35)

d. Kindaichi Haruhiko (1978: 160)

打つは:

Utsu adalah

1. 物を他の物に瞬間的に強く当てる。

Utsu wa mono wo hoka no mono ni shunkanteki ni tsuyoku ateru

Menubrukkan sesuatu benda ke benda lain dengan kuat secara seketika

2. 比喩的に打つ。1 ような感じを与える(瞬間的に)強い刺激

を与える。

Hiyuteki ni utsu. 1 youna kanji wo ataeru (shunkanteki ni) tsuyoi shigeki

wo ataeru

Pukulan perumpamaan . memberikan rasa yang sama dengan nomor 1

(seketika) memberikan rangsangan

3. 心に強い衝撃を与える。強く感動させる。

Kokoro ni tsuyoi shougeki wo ataeru. Tsuyoku kandousaseru

(36)

Contoh :

雨に打たれた畑の土が下駄の歯にすぐたまる。

Ame ni utareta

Tanah kebun yang

hata no tsuchi ga geta no ha ni sugu tamaru.

diguyur

ke tanah.

hujan membuat penunjang bakiak langsung terendam

2.1.4.2 Verba Tataku

Verba Tataku juga adalah verba yang termasuk ke dalam verba

kelompok I atau 五 段動 詞 (godan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang

pengertian atau makna dari verba Tataku.

a. Izuhara Shoji (1998: 120) :

「叩く」は 一度か連続して手か道具で、間接的効果を狙って垂直に対

象を打つ。「ポンと肩 や腕を叩く」など、一度きりの軽い物から「ドア、

ドラム、わら、手、お母さんの肩、子供の尻、鞭で馬」を叩くなど。攻撃

することが目的ではなく、相手に注意を与える。

(Tataku) wa ichido ka renzokushite te ka dougu de, kansetsu teki kouka

wo neratte suichoku ni taishou wo utsu. (pon to kata ya ude wo tataku) nado,

ichido kiri no karui mono kara (doa, doramu, wara, te, okaasan no kata, kodomo

no shiri, muchi de uma) wo tataku nado. Kougeki suru koto ga mokuteki

(37)

Tataku adalah memukul objek satu kali atau pun berkali-kali dengan tangan

atau alat, membidik efek yang langsung maupun tidak langsung. (menepuk bahu

ataupun lengan) dan lain sebagainya, memukul sekali saja dengan benda yang

ringan (pintu, drum, jerami, tangan, pundak ibu, bokong anak kecil, dan

mencambuk kuda) dan lain sebagainya. Bukan bermaksud untuk menyerang, tapi

hanya sebagai peringatan saja.

Contoh :

誰かに殴られて、気絶して叩いても起きない。

Dareka ni nagurarete, kizetsushite tataite

Dipukul oleh seseorang sampai pingsan dan setelah ditepuk-tepuk pun

tidak sadarkan diri juga .

mo okinai.

b. Susumu Ono (1985: 593) menyebutkan bahwa:

叩くは続けて打つ。肩、門、戸 を叩く。

Tataku wa tsuzukete utsu. Kata ,mon, ko wo utsu.

Tataku adalah memukul dengan berkelanjutan atau terus-menerus. Memukul

pundak, gerbang ataupun pintu.

Contoh :

雨や風が戸を叩く。

(38)

c. Kai Bukurou (1998: 849) menyatakan bahwa:

叩くは:続けて打つ、非難する、厳しく仕込む、値切る、盛んにしゃ

べる。

Tataku wa : tsuzukete utsu, hinan suru, kibishiku shikomu, negiru, sakan ni

shaberu.

Tataku adalah: memukul terus-menerus, mencela, mendidik dengan keras, tawar

menawar, banyak bicara.

Contoh :

今度確実に叩きつぶして見せる。

Kondo kakujitsu ni tataki

Lain kali pasti akan kuhajar dia.

tsubushite miseru.

d. Kindaichi Haruhiko ( 1978: 1186) mengemukakan bahwa:

叩くは 続けて打つ。また打つ。転じて、やっつける。たたきのめす。

出し尽くす。

Tataku wa tsuzukete utsu. Mata utsu. Tenjite , yattsukeru. Tatakinomesu .

Dashitsukusu .

Tataku adalah memukul dengan terus menerus. Memuku l lagi. Mengalihkan, lalu

(39)

Contoh :

この花屋の門を叩いて。

Kono hanaya no mon wo tataite

Mengetuk pintu masuk toko bunga .

2.2 Studi Semantik

2.2.1 Defenisi Semantik

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang

mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa

yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu

makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang

berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun

bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.

Sutedi (2003: 103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara

lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei)

antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no

imi) dan makna kalimat (bun ni imi).

1. Makna kata satu per satu (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena

(40)

komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh

lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang, banyak sekali terdapat sinonim (ruigigo) yang

sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu per satu.

Ditambah masih minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa

Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan

dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei)

Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan

dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya,

pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara),「言う ‘iu’」(berkata) dan「しゃべる

shaberu’」(ngomong), dapat dikelompokkan ke dalam 「言葉を発する ‘kotoba

o hassuru’」(bertutur) . Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata

「 話 す ‘hanasu’」dan「 言 う ‘iu’」,「 高 い ‘takai’」(tinggi) dan「 低 い

hikui’」(rendah),「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan「犬 ‘inu’」(anjing) akan

berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan sinonim (hanasu dan

iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui), sedangkan pasangan

terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan inu).

3. Makna frase dalam satu idiom (ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah

rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa

(41)

kutsu o kau’」(membeli sepatu), dan「腹が立つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri

= marah) merupakan suatu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat

dipahami cukup dengan menhetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah

dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi,

frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk

frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan

strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak

mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).

Lain halnya dengan frase「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna,

yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara

idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa

Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang

bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna kalimat (bun ni imi)

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.

Misalnya, pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya

memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o

ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat

tersebut adalah sama, yaitu ‘A wa B ni C o ageru’, tetapi maknanya berbeda. Oleh

karena itu, makna kalimat ditentukan oeh kata yang menjadi unsur kalimat

(42)

Lain halnya dengan kalimat ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o

matte iru’, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa]

[Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada

dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang

berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa

dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik

Menurut Chaer (2002: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu

memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara

lain sebagai berikut.

a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan

makna gramatikal.

b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan

menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.

c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan

menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan

makna khusus.

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna

konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

(43)

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (2002: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai

dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau

makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut

Sutedi (2003: 106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai

dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur

gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Makna

leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 「辞書的意味 ‘jishoteki imi’」atau

「 語 彙 的 意 味 ‘goiteki imi’ 」. Dalam bahasa Jepang misalnya kata「 猫

neko’」dan「学校 ‘gakkou’」. Makna leksikal dari kata kucing adalah hewan

berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari

kata sekolah adalah bangunan tempat para siswa belajar.

Makna gramatikal menurut Chaer (2002: 63) adalah makna yang muncul

sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut

Sutedi (2003: 107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses

gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 「 文 法 的 意味 ‘bunpouteki

imi’」. Dalam bahasa Jepang,「 助 詞 ‘joshi’」(partikel) dan「 助 動 詞

jodoushi’」(kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna

gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba

dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 「忙しい

isogashii’」dan「 食 べ る ‘taberu’」. Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe)

(44)

dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel「に ‘ni’」, yang

secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika

digunakan dalam kalimat seperti : 「メダンに住んでいる ‘Medan ni sunde

iru’」yang bermakna ‘tinggal di

2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial Medan’.

Menurut Chaer (2002: 63), perbedaan makna referensial dan makna

nonreferensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila

kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata

itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata

itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna

nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial

karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang

disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai

referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang

bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Chaer (2002: 65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada

dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini

lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi

menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman

lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual

objektif, dan sering disebut dengan istilah ‘makna sebenarnya’. Sedangkan

(45)

dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan

analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan

「明示的意味 ‘meijiteki imi’」atau「外延 ‘gaien’」.

Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (2002: 67) adalah makna

tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.

Selanjutnya menurut Sutedi (2003: 107), makna konotatif disebut「暗示的意味

anjiteki imi’」atau「内包 ‘naihou’」, yaitu makna yang ditimbulkan karena

perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata「父

chichi’」dan「 親 父 ‘oyaji’」kedua-duanya memiliki makna denotatif yang

sama, yaitu ayah, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata ‘chichi

terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata ‘oyaji’ terkesan lebih dekat

dan akrab. Contoh lainnya adalah kata「化粧室 ‘keshou-shitsu’」dan「便所

benjo’」. Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar

kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. ‘Keshou-shitsu’ terkesan bersih,

sedangkan ‘benjo’ terkesan kotor dan bau.

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Chaer (2002: 71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum

memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan

makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas.

Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata

besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas

(46)

raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase ‘Tuhan yang maha

Agung’ dapat diganti dengan ‘Tuhan yang maha Besar’ ; frase ‘rapat akbar’ dapat

diganti dengan ‘rapat besar’ ; frase ‘hari raya’ dapat diganti dengan ‘hari besar’ ;

dan frase ‘film kolosal’ dapat diganti dengan ‘film besar’. Sebaliknya, frase

rumah besar’ tidak dapat diganti dengan ‘rumah agung’, ‘rumah raya’ ataupun

rumah kolosal’.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (2002: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai

dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas

dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa

sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan

makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah

kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.

Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’ ; kata

merah berasosiasi dengan makna ‘berani’ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan

makna ‘indah’.

Sedangkan makna idiomatic menurut Chaer (2002: 75) adalah makna

sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna

leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah

pada frase ‘membanting tulang’ dan ‘meja hijau’. ‘Membanting tulang’ adalah

sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan ‘meja hijau’ adalah sebuah

(47)

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara

lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan

dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi

(2003: 108).

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 「頭 ‘atama’」(kepala),「腕 ‘ude’」(lengan), serta「道 ‘michi’」(jalan)

yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti

berikut ini.

ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

三年前 sannen mae (tiga tahun yang lalu)

(48)

c. Perubahan penggunaan indera

Kata 「大きい ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata),

berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada「大きい声 ‘ookii koe’」

(suara keras). Kemudian pada kata「甘い ‘amai’」(manis) dari indera perasa

menjadi karakter seperti dalam「甘い子 ‘amai ko’」(anak manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Kata 「 着 物 ‘kimono’」yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,

digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum「 服 ‘fuku’ 」 dan

sebagainya.

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 「 花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan「 卵 ‘tamago’」(telur secara

umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam

penggunaan berikut.

花見 hana

卵を食べる

-mi (bunga Sakura)

tamago

f. Perubahan nilai positif

o taberu (telur ayam)

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah

kata 「僕 ‘boku’」(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi

sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan

(49)

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah

kata 「貴様 ‘kisama’」(kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan

kata「あなた ‘anata’」(anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang

yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari

yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari

bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 2002: 11). Bagi

seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia

persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat

praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan

memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat

dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti

mereka yang belajar di Fakultas Sastra ataupun Fakultas Ilmu Budaya,

pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat

menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi

seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi

manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan

sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat

(50)

lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan

atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2 Kesinoniman

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang,

seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara

sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi

makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu

dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa disini

dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan

kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna

(hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna

(redundansi).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan

satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut

memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim

adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu

satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 267). Akan tetapi

meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan

tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam

konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.

Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor

tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan

(51)

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 「 類 義 語

ruigigo’」. Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang

memiliki relasi atau hubungan kesinoniman「類義関係 ‘ruigi-kankei’」dapat

ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap

kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti

‘naik’, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

のぼる:下から上へ或経路に焦点を合わせて

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru 移動する

Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui

あがる:下から上へ到達点に焦点を合わせて

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru 移動する

Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 「焦点

shouten’」gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan「到達

点 ‘toutatsuten’」dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan

noboru menekankan pada jalan yang dilalui「経路 ‘keiro’」dari gerak tersebut

(proses).

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula

yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk

(52)

kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal

pemilihan kata. Menurut Keraf (2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah

kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai

(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat

pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan,

kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna

yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan

pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai

dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang

lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan

dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.

Berdasarkan konsep dari pilhan kata di atas, kata yang maknanya hampir

sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan

situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna

(53)

BAB III

ANALISIS MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

Sebelumnya pada Bab II penulis telah memaparkan mengenai verba Utsu dan

Tataku. Maka pada Bab III ini penulis mencoba menganalisis makna verba Utsu

dan Tataku yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat

pada beberapa majalah,tabloid dan komik seperti Nipponia, Japan Days, Komik

Ashita no Jyo vol : 10 serta artikel berbahasa Jepang lainnya yang dikutip dari

internet, sesuai dengan pendapat dari beberapa ahli linguistik yang telah

dipaparkan sebelumnya.

3.1 Verba Utsu Cuplikan 1 :

展望台から望む眼下のはるか先、大断崖が激しく波に打たれるのが

見え, 思わず足がすくむ。(Nipponia No. 33, 2005: 31)

Tenboudai kara nozomu ganka no harukasaki, daidangai ga hageshiku

name ni utareru

Dari menara pengawas melihat kearah bawah, terlihatlah tebing yang sangat terjal

itu dihantam oleh ombak, dan tanpa sadar kaki menjadi gemetar. no ga mie, omowazu ashi ga sukumu.

Analisis:

Kalimat pada cuplikan 1 di atas diambil dari wacana yang berjudul: 陸中

(54)

pada cuplikan di atas adalah dihantam atau ditubruk dengan keras, dan pemakaian

verba Utsu pada cuplikan di atas sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan

bahwa tebing karang yang terjal dihantam dengan sangat kerasnya oleh ombak

sehingga membuat kaki gemetar. Meskipun Utsu pada cuplikan diatas tidak

memiliki arti ‘pukul atau memukul’, namun makna kata ‘hantam atau dihantam’

yang tertera pada arti dari cuplikan di atas telah mewakili padanan makna yang

sesuai dengan verba Utsu tersebut. Cuplikan ini sudah tepat karena sesuai dengan

pendapat dari Izuhara Shouji yang mengemukakan bahwa Utsu adalah hasil dari

menubrukkan benda secara kuat dengan sesuatu.

Cuplikan 2:

Koto, Kyooto ni yaku ichinenkang taizai. Eikaiwagakkou de eigo wo oshienagara,

otera ya jinja wo meguri aruki, nihon no dentou budou de aru iaidou ( katana wo

nuki, hito uchi

Kota tua, saya telah tinggal di Kyoto selama 1 tahun. Sambil mengajar bahasa

Inggris di sekolah percakapan bahasa Inggris, saya berkeliling ke kuil Budha dan

kuil Shinto, dan saya belajar bahwa di Jepang ada tradisi militer yang terjadi

secara kebetulan, yaitu (keahlian melepas pedang, membunuh musuh

dengan

de teki wo kiri, sugu ni katana wo saya ni modosu kenjutsu) wo

mananda.

(55)

Analisis :

Cuplikan ke 2 di atas dikutip dari wacana yang berjudul 国際ビジネスに

真剣勝負で立ち向かう( Kokusai Bijinesu Ni Shinkenshoubu De Tachi Mukau)

yang berarti Menghadapi Bisnis Internasional Dengan Pedang Yang Tajam

( sepenuh hati ). Cuplikan ini dikutip berdasarkan pengalaman seorang guru

Bahasa Inggris di Jepang bernama Michael Henry yang berasal dari Kanada, yang

menjalankan bisnis di Jepang. Dia menceritakan bahwasanya di Jepang, ketika

menjalankan bisnis, haruslah dijalankan dengan sepenuh hati, jangan takut untuk

mengambil resiko, namun tetap harus dengan perhitungan yang matang. Dan dia

mengibaratkan seperti tradisi militer Jepang yang biasa dilakukan oleh para

samurai yaitu mengeluarkan pedang dan mengalahkan lawan dengan sekali pukul,

lalu mengembalikan pedang ke sarungnya.

Pemakaian verba Utsu pada cuplikan di atas sudah benar, karena

pemakaian Utsu pada cuplikan tersebut telah sesuai dengan pendapat dari Izuhara

Shouji yang menyatakan bahwa Utsu adalah hasil dari menubrukkan benda secara

kuat dengan sesuatu dan juga merupakan gerakan yang menimbulkan perubahan,

aksi. Kata ‘menaklukkan musuh dengan sekali pukul’ menunjukkan bahwa ada

gerakan atau aksi yang menimbulkan suatu perubahan, dimana dengan pukulan

tersebut, kondisi lawan yang mungkin tadinya berimbang atau belum kalah,

berubah menjadi kalah ataupun sudah dikalahkan.

Cuplikan 3 :

「ロンクラ」と呼ばれる 競技に 参加する カヤポ 族。木の重い 棒で

(56)

(Ronkura) to yobareru kyougi ni sankasuru Kayapo zoku. Ki no omoi bou de

kokonatsu sei no booru wo utsu

Disebut pertandingan (Ronkura) oleh para suku Kayapo yang ikut

bermain.

, hokkee no isshuu no youna kyougi de aru.

Memukul bola yang terbuat dari kelapa dengan menggunakan batang

kayu yang berat, mirip semacam pertadingan hoki.

Analisis :

Cuplikan 3 di atas dikutip dari wacana yang berjudul 先住民の誇りの

ために (Senjuumin no Hokori no Tameni) yang berarti Demi Kebanggaan Rakyat

Pribumi. Pada cuplikan ini diceritakan bahwa Nopember 2011 di Porto Seguro

(Brasil) diadakan sebuah Olimpiade Pribumi suku Kayapo. Suku Kayapo

(Portugis: Caiapo) merupakan penduduk Indian asli Mato Grosso dan Parā di

Brasil. Pada olimpiade ini, diadakan pertandingan semacam Hoki yang mereka

sebut dengan Ronkura. Permainan ini menggunakan buah kelapa sebagai bolanya.

Pemakaian verba Utsu pada cuplikan di atas sudah benar. Pada cuplikan di

atas menjelaskan bahwasanya dalam permainan tersebut, mereka memukul bola

menggunakan kayu selama pertandingan, hal itu sesuai dengan pendapat yang

disampaikan oleh Kindaichi bahwasanya Utsu adalah menubrukkan sesuatu benda

dengan benda lain secara seketika. Dalam hal ini menubrukkan kayu besar ke

kelapa sebagai bola didalam permainan tersebut.

Cuplikan 4

あいつの 顔面 を 思いきり 打つまでは、顔面 を 打てる という 証拠

(57)

Aitsu no ganmen wo omoikiri utsu made wa, ganmen wo uteru

Sampai aku

to iu shouko wo

miseru made wa taosarenai.

memuku l wajahnya sekuat tenaga, sampai aku bisa membuktikan

kalau aku bisa memukul wajahnya, aku tidak boleh tumbang.

Analisis

Cuplikan kalimat tersebut dikutip dari komik Ashita no Jyo vol. 10

karangan Komori Chouyuu dan Chiba Tetsuya. Komik ini menceritakan tentang

Jyo yang merupakan atlit tinju. Cuplikan di atas dikutip ketika Jyo sedang

bertarung diatas ring melawan Taiga Ozaki. Makna verba Utsu pada kalimat

tersebut pada dasarnya adalah memukul, namun pemakaiannya kurang tepat.

Karena pada wacana tersebut tersirat nuansa yang menggebu dari Jyo untuk

memukul wajah Taiga sekuat tenaga dan menjatuhkannya dalam pertarungan.

Sehingga pemakaian verba Utsu kurang tepat, karena verba Utsu tidak mencakup

terhadap hal-hal yang memiliki nuansa emosional, amarah, ambisi, hasrat untuk

menjatuhkan atau mengalahkan seperti yang tertera didalam kutipan wacana di

atas. Verba yang tepat untuk digunakan pada kalimat diatas adalah Tataku, karena

sesuai dengan pendapat Kindaichi yang menyebutkan bahwa Tataku adalah

memukul dengan terus menerus. Memuku l lagi. Mengalihkan, lalu menghajar.

(58)

3.2 Verba Tataku

Makka ni ureta tomato mitee ni yo, kechappu wo kabutta mitee ni yo. Tataki

Terlihat seperti tomat merah yang dijual, seperti tersiram kecap. Akan kubuktikan

pada kondisi ini, aku bisa

tsubusu koto datte dekiru tte tokoro wo, kono ba de misete yaraa.

menghajarnya

Analisis

.

Cuplikan ini diambil dari komik Ashita no Jyo Vol 10. Kalimat ini

diucapkan oleh Jyo (tokoh utama) ketika sedang dihajar sampai babak belur oleh

lawan tandinggnya Taiga Ozaki. Situasi yang terjadi adalah Jyo dipukul

habis-habisan sehingga ia mengumpamakan dirinya yang sudah babak belur seperti

tomat merah dan seperti tersiram kecap seperti yang ia katakan pada cuplikan di

atas.

Pemakaian verba Tataku pada cuplikan di atas dirasa tepat. Karena

sesuai yang dikatakan oleh Kindaichi bahwasanya Tataku adalah memukul

dengan terus menerus. Memukul lagi. Mengalihkan, lalu menghajar. Memukul

sampai jatuh. Menghajar habis-habisan. Yang mana kata-kata seperti ‘tomat

merah’ dan ‘tersiram kecap’ tersebut menggambarkan kondisi wajah Jyo yang

(59)

dan babak belur layaknya tomat merah dan tersiram kecap, namun ia ingin

membuktikan meskipun dengan kondisi yang sudah babak belur, ia masih bisa

menghajar lawan tandingnya.

Cuplikan 2

タイガー、あの虫類の面を今度こそ確実に叩き

( Ashita no Jyo Vol 10. 1971: 178)

つぶして見せるっ

Taiga~~. Ano chuurui no tsura wo kondo koso kakujitsu ni tataki

Taiga~. Lain kali pasti akan ku

tsubushite

miseru.

hajar

Analisis

wajah serangga itu.

Cuplikan tersebut diambil dari komik yang sama seperti pada cuplikan

ke 1 di atas. Kata-kata ini diucapkan oleh Jyo ketika ia mengalami kekalahan

TKO pada pertandingan melawan Taiga. Kekalahan Jyo dikarenakan sang pelatih

melemparkan handuk putih ketengah ring tinju yang berarti menyerah saat

pertandingan memasuki ronde akhir, dan kemenangan menjadi milik Taiga.

Ketidakpuasan Jyo terlihat jelas pada kutipan kata-kata tersebut dengan

mengatakan “kuhajar wajah serangga itu”. Kata-kata yang penuh dengan emosi,

dan rasa amarah. Oleh karena itu, penggunaan verba Tataku pada cuplikan kalimat

di atas sudah tepat karena sesuai dengan pendapat dari Kai Bukurou yang

Gambar

Tabel 1. Pemakaian Verba Utsu
Tabel 2. Pemakaian Verba Tataku

Referensi

Dokumen terkait

Sedang menurut Kridalaksana (2008:67), fungsi adalah: (1) beban makna suatu kesatuan bahasa; (2) hubungan antara satu satuan dengan unsur- unsur gramatikal,

tersebut dapat digunakan untuk menyatakan penggunaan benda mati dalam arti mengkonsumsi (uang dan lain-lainnya), kedua verba tersebut dapat juga digunakan untuk

Analisis Makna Verba Hattensuru, Hattatsusuru Dan Shinposuru Dalam Kalimat Bahasa Jepang.. (Skripsi) : Medan :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya

Skripsi Program Studi Sastra Jepang Universitas Komputer Indonesia Bandung, Fakultas Sastra : Tidak Dipublikasikan.. Kushartanti, Untung

Pada kalimat (1) dan (2) verba okuru, pemakaian verba okuru sudah tepat karena mendeskripsikan nuansa makna memindahkan barang/orang dari satu tempat ke tempat yang lain,

Dengan demikian kata kanari mempunyai makna secara umum adalah sesuatu bagian yang. seharusnya mirip atau mendekati dengan bagian yang lain, maksudnya intensitas

Berdasarkan contoh kalimat diatas, secara umum verba shikaru dan okoru tersebut bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki kemiripan arti “marah”, tetapi dalam