ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (UTSU) TO (TATAKU) NO KINOU TO IMI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu
Syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
OLEH
ABDUL BARRY SUTAN PULUNGAN NIM: 100708045
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG
NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (UTSU) TO (TATAKU) NO KINOU TO IMI NO BUNSEKI
SKRIPSI
Skripsi ini Ditujukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu Syarat Ujian Sarjana dalam
Bidang Ilmu Sastra Jepang
Dan telah disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Drs Nandi S
Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum
NIP : 19600822 1988 03 1 002 NIP : 19600919 1988 03 1 001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui Oleh:
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen Sastra Jepang Ketua,
NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga penulis hanturkan kepada Allah SWT,
atas segala rahmat, karunia, kasih sayang dan ridho-Nya, sehingga penulisan
skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa pula shalawat beriring salam kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah memberikan suri tauladan kepada seluruh umat
manusia.
Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan Makna Verba Utsu
dan Tataku dalam Kalimat Bahasa Jepang” ini diajukan untuk memenuhi
persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi
Strata-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak
menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak.
Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra
Jepang Universitas Sumatera Utara yang juga sebagai Dosen Pembimbing
II yang telah memberikan banyak bimbingan dan arahan selama proses
penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam
dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini
dengan sabar dari awal hingga akhir ujian skripsi ini selesai.
4. Tak lupa pula penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Program
Studi S-1 Sastra Jepang yang telah memberikan banyak ilmu kepada
penulis sebagai bekal masa depan dari tahun pertama hingga dapat
menyelesaikan perkuliahan dengan baik.
5. Kepada orang tua penulis, Almarhum H. Rustam Effendy Pulungan dan
Ibunda Hj. Santosa Harahap, yang selalu mendoakan penulis agar selalu
sehat dan memberikan dukungan moral dan material yang tak terhingga
hingga saat ini, yang tak akan mampu penulis untuk membalasnya.
6. Kepada saudara-saudariku, Pinta Rahma Risky Pulungan (kakak),
Nikmagna Rusanty Pulungan (kakak) dan Akbar Anggina Pulungan (adik)
yang selalu mendukung selama ini.
7. Kepada Baim, Rauf, Ridho, Doni, Freico, Tira, Budi, Firmansyah, Pandi,
Lim, Fauzan, Riski, Jefri, Onesi, Diannita, Elvi, Dila Fitria, Savitri, Liska,
serta seluruh teman-teman AOTAKE angkatan 2010 Sastra Jepang S-1
yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Senang bisa belajar
bersama dan mengejar impian bersama selama 4 tahun ini.
8. Dan kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis, bagi
masyarakat luas pada umumnya dan khususnya bagi mahasiswa Sastra Jepang
agar dapat lebih memahami tentang sinonim dalam bahasa Jepang, khususnya
verba Utsu dan Tataku.
Medan, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……….. i
DAFTAR ISI ………....……….. iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……….. 1
1.2 Perumusan Masalah ……… 4
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ………4
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ……….5
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………9
1.6 Metodologi Penelitian ………10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA DAN STUDI SEMANTIK 2.1 Verba ………11
2.1.1 Pengertian dan Ciri-ciri Verba……….11
2.1.2 Jenis-Jenis Verba ……….12
2.1.3 Fungsi Verba ………18
2.1.4 Pengertian Verba Utsu dan Tataku ………...20
2.1.4.1 Verba Utsu ………..20
2.1.4.2 Verba Tataku ………24
2.2 Studi Semantik ………27
2.2.1 Defenisi Semantik……….27
2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik ……….35
2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik ………..38
2.2.2 Kesinoniman ………39
2.2.3 Pilihan Kata ……….40
BAB III ANALISIS MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG 3.1 Verba Utsu ………...42
3.2 Verba Tataku ………47
3.3 Analisis Perbedaan Nuansa Makna Verba Utsu dan Tataku ………..52
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ………56
4.2 Saran ………...57
ABSTRAK
Analisis Fungsi dan Makna Verba Utsu dan Tataku
dalam kalimat Bahasa Jepang
Skripsi ini membahas tentang fungsi dan makna verba Utsu dan Tataku.
Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak kata yang memiliki makna yang sama.
Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan
sebagai kata yang bersinonim. , dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim
tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya nuansa
makna. Misalnya pada kata Utsu dan Tataku dalam bahasa Jepang yang berarti
‘memukul’, karena ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi,
meskipun bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim
yang semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan
ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.
Pembahasan mengenai fungsi kata yang bersinonim Utsu dan Tataku ini
difokuskan kepada analisis perbedaan nuansa makna dari kedua kata yang
bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata Utsu dan Tataku akan dibahas 4
buah kalimat, yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat
pada majalah Nipponia, Days Japan dan komik Ashita no Jyo vol: 10 dan 15
serta artikel yang dikutip dari internetsebagai ruang lingkupnya.
Untuk memperkuat analisis mengenai kata yang bersinonim diatas, maka
akan dibahas pula pendapat-pendapat dari beberapa ahli linguistik yang
berkaitan dengan verba tersebut. Diantaranya yaitu Izuhara Shouji yang
dengan sesuatu, efek dari sebuah situasi, gerakan yang menimbulkan perubahan,
aksi. Penembakan senjata api kecil. Pembalasan. Memberontak ketika lawan
mengatakan hal yang buruk. Serta Kindaichi Haruhiko juga menjelaskan bahwa
Tataku adalah memukul dengan terus menerus. Memukul lagi. Mengalihkan,
lalu menghajar. Memukul sampai jatuh. Menghajar habis-habisan.
Contoh
ke batu karang, yang mana hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Izuhara
Shouji. Namun pada cuplikan kalimat ke 2, pemakaian verba Utsu kurang tepat,
karena pada cuplikan tersebut terkandung nuansa makna amarah serta emosi
untuk mengalahkan lawan. Nuansa makna tersebut justru merupakan nuansa
makna yang seharusnya terkandung dalam verba Tataku.
Untuk contoh kasus kalimat 1 dan 2 verba Tataku, pemakaian verba
Tataku sudah tepat karena sesuai dengan pendapat para pakar yang menyatakan
bahwa verba Tataku mencakup hal-hal yang bernuansa amarah, emosional serta
kontinuitas ketika memukul sesuatu. Pada cuplikan kalimat 1, kata Tataku
menunjukkan sisi emosional seseorang yang ingin memukul jatuh lawannya, serta
pada cuplikan kalimat ke 2 menunjukkan kontinuitas ketika sedang melakukan
tepuk tangan. Verba Tataku cenderung digunakan untuk menggambarkan nuansa
amarah, emosional dan kontinuitas dalam memukul.
Meskipun ke dua verba tersebut memiliki arti yang sama dalam
bahasa Indonesia, namun pemakaiannya tetaplah harus diperhatikan sesuai dengan
situasi dan kondisi kalimat. Maka, penggunaan verba Utsu dan Tataku sebaiknya
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
para kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi
diri. (Chaer, 1994:32). Sedangkan menurut Sutedi (2003:2), bahasa digunakan
sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada
orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam aspek kehidupan
manusia . Sehingga perkembangan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan
manusia mempengaruhi perkembangan suatu bahasa. Dengan demikian, fungsi
bahasa adalah sebagai media untuk menyampaikan makna kepada seseorang, baik
secara lisan maupun tulisan.
Berdasarkan fungsinya, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara
eksternal. Yang dimaksud kajian secara internal adalah pengkajian itu hanya
dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis,
morfologis, sintaksis, dan semantik. Selanjutnya, kajian ini akan menghasilkan
varian-varian bahasa tanpa berkaitan dengan masalah di luar bahasa. Kajian ini
dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan norma atau prosedur yang telah
ada di dalam disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah pengkajian
yang dilakukan terhadap struktur di luar bahasa itu sendiri, misalnya
sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, dan lain-lain (Chaer, 2004:1).
Dalam kajian internal bahasa, terdapat empat bidang kajian atau cabang
merupakan cabang linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi bahasa
berdasarkan fungsinya. Morfologi (keitairon) adalah cabang linguistik yang
mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya. Sintaksis (tougoron) adalah
cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur-unsur pembentuk
kalimat. Dan cabang ilmu linguistik internal yang terakhir adalah semantik
(imiron).
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji
tentang makna (Sutedi, 2003:103). Semantik memiliki peranan yang penting,
karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk
menyampaikan suatu makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis
penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata,
ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.
Makna suatu kata biasanya akan berkembang, karena dipengaruhi oleh konteks
atau situasi dalam kalimatnya. Makna yang sama namun nuansa yang berbeda
dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan
semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang
lainnya (Chaer, 1994:297).
Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan
sebagai kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang
menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran
yang lainnya (Chaer, 1994:297). Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran
yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor,
diantaranya nuansa makna. Misalnya pada kata Utsu dan Tataku, karena ada
hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang semuanya sama
persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan suatu
perbedaannya meskipun kecil.
Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba saja,
tetapi juga pada nomina, adjektiva, bahkan pada ungkapan dan partikel pun bisa
terjadi.
Sebagai contoh, pemakaian verba Utsu dan Tataku adalah seperti di bawah
ini.
Contoh :
1. 手を打って人を呼ぶ。
Te wo utte hito wo yobu.
Memanggil orang dengan menepuk tangan . (Izuhara Shouji, 1998:120 )
2. 子供の尻を叩く。
Kodomo no shiri wo tataku. Memukul bokong anak. (Izuhara Shouji, 1998:120)
Melihat kedua contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun
kedua verba tersebut memiliki persamaan makna yaitu sama-sama mengandung
makna ‘memukul’, namun nuansa makna ‘memukul’ yang diberikan tiap-tiap
verba di dalam kalimat terasa berbeda.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai sinonim kata Utsu dan Tataku yang memiliki pengertian yang sama
sebagai verba, yaitu ‘memukul’, tetapi memiliki fungsi yang terasa berbeda, yang
selanjutnya akan penulis bahas dalam skripsi yang berjudul “Analisis Fungsi dan
1.2 Perumusan Masalah
Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai fungsi dan makna dari verba
Utsu dan Tataku yang sama-sama memiliki arti ‘memukul’, tetapi masing-masing
memiliki fungsi yang berbeda dalam penggunaannya, serta belum tentu dapat
saling menggantikan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kesulitan bagi
pembelajar bahasa Jepang untuk menggunakan ataupun menerjemahkan kalimat
ke dalam bahasa Jepang dengan tepat, khususnya bagi kalimat yang memiliki
unsur sinonim di dalamnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Seperti apa fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku dalam bahasa Jepang?
2. Bagaimana perbedaan nuansa makna verba Utsu dan Tataku dalam kalimat
berbahasa Jepang?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan mengenai fungsi kata yang bersinonim yaitu Utsu dan Tataku.
Pembahasannya lebih difokuskan kepada analisis perbedaan nuansa makna dari
kedua kata yang bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata Utsu dan Tataku
akan dibahas 4 buah kalimat, yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang
yang terdapat pada majalah Nipponia, Days Japan dan komik Ashita no Jyo vol:
10 serta artikel berbahasa Jepang lainnya yang dikutip dari internet. Untuk
penulis pada bab II akan mengemukakan fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku
secara umum dalam bahasa Jepang.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam menginterpretasikan
makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis
mencoba mendefenisikan beberapa istilah linguistik, khususnya yang berkenaan
dengan semantik, serta turut disertakan pula apa sebenarnya pengertian dari fungsi
itu sendiri.
Ilmu linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Ilmu linguistik
itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan juga seluk-beluk bahasa
pada umumnya. Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah semantik atau
kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani
yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambang. Kata kerjanya adalah
“semaino” yang berarti menandakan atau melambangkan (Chaer, 2002:2). Makna
adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik.
Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupun morfem.
Kosakata (goi) merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus
diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dalam
bahasa Jepang, baik itu ragam lisan maupun tulisan. Goi dapat diklasifikasikan
menjadi sepuluh kelas kata yaitu verba (doushi), adjektiva-I (keiyoushi),
adjektiva-Na (keiyoudoushi), nomina (meishi), pronomina (rentaishi), adverbial
dan partikel (joshi), (Dahidi dan Sudjianto, 2007:98). Utsu dan Tataku yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam golongan verba (doushi).
Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2007:149) menyebutkan pengertian
verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini
dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi
dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.
Sedangkan menurut Sutedi (2003:42) verba adalah kata kerja yang berfungsi
sebagai predikat dalam kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou), dan
bisa berdiri sendiri.
Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis makna verba Utsu dan
Tataku yang memiliki makna yang hampir sama (mirip) tetapi berbeda cara
penggunaannya di dalam kalimat. Hal ini menyangkut tataran bidang linguistik
yaitu semantik. Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna,
makna frase, dan makna kalimat. Lalu objek kajian yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas ini adalah relasi makna khususnya sinonim,
karena dalam hal ini verba Utsu dan Tataku adalah kata-kata yang bersinonim.
Dalam bahasa Jepang sinonim disebut ruigigo. Sinonim adalah hubungan
semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran
dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:267). Dua buah ujaran atau lebih yang
bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini terjadi karena
berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor
keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 322), fungsi merupakan:
(besaran yang berhubungan), 4. Kegunaan suatu hal, 5. Linguistik (peran sebuah
unsur bahasa dalam satuan sintaksis yang lebih luas).
2. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori atau pendekatan semantik
menurut Sutedi, dan konsep makna menurut Ferdinand De Saussures. Menurut
Sutedi (2003:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji
tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti
dalam bahasa.
Menurut Ferdinand De Saussure dalam Chaer (1994:287) makna adalah
‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda
linguistik. Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat
berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang
terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer,
1994:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi
makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna
(antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).
Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
‘onama’ yang berarti nama, dan ‘syn’ yang berarti sama. Maka secara harfiah kata
sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’ (Chaer, 2002:82).
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994:267). Dua
Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor
tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan
faktor nuansa makna.
Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula
yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk
menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan
dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari
kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal
pemilihan kata. Menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar. Oleh karena itu, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut
sinonim harus dapat dipilih dengan baik sesuai dengan situasi dan konteks
kalimatnya.
Selanjutnya menurut Parera (2004:46) secara umum teori makna dibedakan atas :
1. Teori Referensial atau Korespondensi.
2. Teori Kontekstual
3. Teori Mentalisme
4. Teori Formalitas
Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori
makna yang dipergunakan adalah teori kontekstual. Teori makna kontekstual
termasuk juga dapat berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994 : 290), atau
dengan kata lain makna kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan
antar ujaran dan situasi yang memakai ujaran tersebut. Berdasarkan teori makna
kontekstual tersebut, maka penulis akan menginterpretasikan makna verba Utsu
dan Tataku sesuai dengan konteks kalimatnya, serta melihat ketepatan pemilihan
kedua kata bersinonim tersebut dalam kalimat.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui fungsi dan makna kata Utsu dan Tataku.
2. Untuk mengetahui perbedaan nuansa makna verba Utsu dan Tataku dalam
kalimat berbahasa Jepang.
2. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami
makna verba Utsu dan Tataku.
2. Dapat dijadikan masukan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk memahami
penggunaan verba Utsu dan Tataku.
3. Dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian mengenai kata bersinonim
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek
yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan atau upaya untuk menerangkan suatu
fenomena yang terjadi (Ruseffendy, 1994:4). Metode penelitian sangat
mempengaruhi keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus
menentukan metode yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Isyandi (2003:13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu metode
penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan
akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.
Data-data yang diperoleh adalah melalui penelitian pustaka (Library Research). Dalam
hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang
berhubungan dengan tata bahasa, baik itu buku berbahasa Jepang, maupun yang
berbahasa Indonesia, khususnya buku-buku yang relevan dengan pembahasan
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN
2.1 Verba
2.1.1 Pengertian Verba
Sebelum membahas fungsi verba bahasa Jepang secara umum dan
pemakaian verba Utsu dan Tataku, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan
pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa
verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang
disebut juga kata kerja.
Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Menurut Situmorang
(2010: 9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu :
動 : ugoku, dou : bergerak
詞 : kotoba, shi : kata
動詞 : doushi : kata yang bermakna gerakan
Situmorang (2010: 9) juga menjelaskan bahwa doushi memiliki ciri-ciri yaitu :
a. Dapat berdiri sendiri
b. Berkonjugasi / mengalami perubahan bentuk
c. Bermakna sesuatu kegiatan, keberadaan, atau perubahan keadaan
Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu
kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri. Nomura
dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau
doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai
untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi dapat
mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata yang
menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou),
dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.
2.1.2 Jenis-Jenis Verba
Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke
dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.
1. Kelompok I
Kelompok ini disebut dengan 五 段 動 詞 (godan-doushi), karena
kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang,
yaitu (あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (う,
つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).
Contoh :
b. 待つ: ma-tsu (menunggu)
c. 帰る: kae-ru (pulang)
d. 飛ぶ: to-bu (terbang)
e. 死ぬ: shi-nu (mati)
f .読む: yo-mu (membaca)
g. 書く: ka-ku (menulis)
h. 泳ぐ: oyo-gu (berenang)
i. 話す: hana-su (berbicara)
2. Kelompok II
Kelompok ini disebut dengan 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena
perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah
verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidan-doushi, dan verba
yang berakhiran (い-る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi.
Contoh :
a. 出る d-eru (keluar)
食べる tab-eru (makan)
起きる ok-iru (bangun)
3. Kelompok III
Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak
beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari
dua verba berikut.
a. カ変動詞 (kahendoushi)
Contoh : 来る kuru (datang)
b. サ変動詞 (sahendoushi)
Contoh : するsuru (melakukan)
Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata
benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「する ‘suru’」, namun meishi yang
dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata
yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.
Contoh :
a. 勉強する benkyou suru (belajar)
b. 食事する shokuji suru (makan)
c. 買い物する kaimono suru (belanja)
1. Jidoushi (自動詞 ‘verba intransitif’)
Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita.
Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna ‘kata yang
bergerak sendiri’.
Contoh :
a. 起きる okiru (bangun)
b. 閉まる shimaru (tertutup)
c. 出る deru (keluar)
2. Tadoushi (他動詞 ‘verba transitif’)
Tadoushi merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba
tadoushi merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak
lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.
Contoh :
a. 起こす okosu (membangunkan)
b. 閉める shimeru (menutup)
c. 出す dasu (mengeluarkan)
Karena verba shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan
pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif
dan kausatif.
Contoh :
a. 見える mieru (terlihat)
b. 聞こえる kikoeru (terdengar)
Namun selain jenis-jenis doushi seperti di atas, Terada Takanao dalam
Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi
dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.
1. Fukugou doushi (複合動詞)
Fukugou doushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah
kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu
kata.
Contoh :
a. 話し合う hanashi au berunding (doushi + doushi)
b. 調査する chousa suru menyelidiki (meishi + doushi)
c. 近寄る chikayoru mendekati (keiyoushi + doushi)
Haseigo toshite no doushi merupakan verba yang memakai prefiks atau
doushi yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara menambahkan sufiks.
Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.
Contoh :
a. さ迷う samayou (mondar-mandir)
b. ぶん殴る bunnaguru (melayangkan tinju)
c. 寒がる samugaru (merasa kedinginan)
3. Hojo doushi (補助動詞)
Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini
menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba
bantu –iru.
Contoh :
a. ある aru (ada ‘benda mati’)
b. いる iru (ada ‘makhluk hidup’)
2.1.3 Fungsi Verba
Sebelum membahas lebih lanjut tentang fungsi dari verba, penulis
merasa penting untuk terlebih dahulu menjelaskan apa makna dari kata ‘fungsi’
itu sendiri. Menurut KBBI (2005: 322), fungsi adalah 1. jabatan (pekerjaan) yang
dilakukan 2. Faal (kerja suatu bagian tubuh) 3. Matematik (besaran yang
berhubungan) 4. Kegunaan suatu hal 5. Linguistik : peran sebuah unsur bahasa
dalam satuan sintaksis yang lebih luas (seperti nomina yang berperan sebagai
subjek). Kemudian, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub
bab 2.1.1 ‘Pengertian Verba’), pada umumnya verba bahasa Jepang berfungsi
sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak di akhir kalimat.
Contoh :
1. 私はご飯を食べる。
Watashi wa gohan o
Saya makan nasi.
taberu.
2. 友達と一緒に公園を散歩する。
Tomodachi to isshoni kouen o
Saya berjalan-jalan bersama teman di taman. sanposuru.
Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian
sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzokugo
Contoh :
Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah
2.1.4 Pengertian Verba Utsu dan Tataku
2.1.4.1 Verba Utsu
Verba Utsu adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok I atau 五 段 動 詞 (godan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang pengertian atau
makna dari verba Utsu.
a. Izuhara Shoji (1998: 120) mengemukakan bahwa :
「打つ」は何かに物を強く当てた結果、ある状況に効果。変化を生む
動作。作用。銃器の発射。仕返し。相手が悪いと言い立て、賊。
Utsu wa nanika ni mono wo tsuyoku ateta kekka, aru joukyou ni kouka. Henka
wo umu dousa. Sayou . Juuki no hassha. Shikaeshi . Aite ga warui to ii tate, zoku.
Utsu adalah hasil dari menubrukkan benda secara kuat dengan sesuatu, efek dari
sebuah situasi, gerakan yang menimbulkan perubahan, aksi. Penembakan senjata
api kecil. Pembalasan. Memberontak ketika lawan mengatakan hal yang buruk.
Utsu adalah menubrukkan benda dengan sesuatu secara kuat.
Contoh:
頭を打つ
Atama wo 。
Memukul kepala. utsu
c. Kai Bukurou (1998: 114)menyebutkan bahwa :
「打つ」は 強く当てる、打てば響く。「叩くような動作で仕事をす
ることから」耕す。金属を鍛えて作る。投げて魚を取る。
Utsu wa tsuyoku ateru , uteba hibiku. (tataku youna dousa de shigoto wo suru
koto kara) tagayasu. Kinzoku wo kikaete tsukuru. Nagete sakana wo toru.
Utsu adalah menubrukkan dengan kuat, apabila dipukul menggema. Mencangkul
(karena melakukan pekerjaan seperti memukul-mukul). Menggembleng logam.
Melempar lalu menangkap ikan.
Contoh :
彼は柱で頭を打った。
Kare wa hashira de atama wo utta .
d. Kindaichi Haruhiko (1978: 160)
打つは:
Utsu adalah
1. 物を他の物に瞬間的に強く当てる。
Utsu wa mono wo hoka no mono ni shunkanteki ni tsuyoku ateru
Menubrukkan sesuatu benda ke benda lain dengan kuat secara seketika
2. 比喩的に打つ。1 ような感じを与える(瞬間的に)強い刺激
を与える。
Hiyuteki ni utsu. 1 youna kanji wo ataeru (shunkanteki ni) tsuyoi shigeki
wo ataeru
Pukulan perumpamaan . memberikan rasa yang sama dengan nomor 1
(seketika) memberikan rangsangan
3. 心に強い衝撃を与える。強く感動させる。
Kokoro ni tsuyoi shougeki wo ataeru. Tsuyoku kandousaseru
Contoh :
雨に打たれた畑の土が下駄の歯にすぐたまる。
Ame ni utareta
Tanah kebun yang
hata no tsuchi ga geta no ha ni sugu tamaru.
diguyur
ke tanah.
hujan membuat penunjang bakiak langsung terendam
2.1.4.2 Verba Tataku
Verba Tataku juga adalah verba yang termasuk ke dalam verba
kelompok I atau 五 段動 詞 (godan-doushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang
pengertian atau makna dari verba Tataku.
a. Izuhara Shoji (1998: 120) :
「叩く」は 一度か連続して手か道具で、間接的効果を狙って垂直に対
象を打つ。「ポンと肩 や腕を叩く」など、一度きりの軽い物から「ドア、
ドラム、わら、手、お母さんの肩、子供の尻、鞭で馬」を叩くなど。攻撃
することが目的ではなく、相手に注意を与える。
(Tataku) wa ichido ka renzokushite te ka dougu de, kansetsu teki kouka
wo neratte suichoku ni taishou wo utsu. (pon to kata ya ude wo tataku) nado,
ichido kiri no karui mono kara (doa, doramu, wara, te, okaasan no kata, kodomo
no shiri, muchi de uma) wo tataku nado. Kougeki suru koto ga mokuteki
Tataku adalah memukul objek satu kali atau pun berkali-kali dengan tangan
atau alat, membidik efek yang langsung maupun tidak langsung. (menepuk bahu
ataupun lengan) dan lain sebagainya, memukul sekali saja dengan benda yang
ringan (pintu, drum, jerami, tangan, pundak ibu, bokong anak kecil, dan
mencambuk kuda) dan lain sebagainya. Bukan bermaksud untuk menyerang, tapi
hanya sebagai peringatan saja.
Contoh :
誰かに殴られて、気絶して叩いても起きない。
Dareka ni nagurarete, kizetsushite tataite
Dipukul oleh seseorang sampai pingsan dan setelah ditepuk-tepuk pun
tidak sadarkan diri juga .
mo okinai.
b. Susumu Ono (1985: 593) menyebutkan bahwa:
叩くは続けて打つ。肩、門、戸 を叩く。
Tataku wa tsuzukete utsu. Kata ,mon, ko wo utsu.
Tataku adalah memukul dengan berkelanjutan atau terus-menerus. Memukul
pundak, gerbang ataupun pintu.
Contoh :
雨や風が戸を叩く。
c. Kai Bukurou (1998: 849) menyatakan bahwa:
叩くは:続けて打つ、非難する、厳しく仕込む、値切る、盛んにしゃ
べる。
Tataku wa : tsuzukete utsu, hinan suru, kibishiku shikomu, negiru, sakan ni
shaberu.
Tataku adalah: memukul terus-menerus, mencela, mendidik dengan keras, tawar
menawar, banyak bicara.
Contoh :
今度確実に叩きつぶして見せる。
Kondo kakujitsu ni tataki
Lain kali pasti akan kuhajar dia.
tsubushite miseru.
d. Kindaichi Haruhiko ( 1978: 1186) mengemukakan bahwa:
叩くは 続けて打つ。また打つ。転じて、やっつける。たたきのめす。
出し尽くす。
Tataku wa tsuzukete utsu. Mata utsu. Tenjite , yattsukeru. Tatakinomesu .
Dashitsukusu .
Tataku adalah memukul dengan terus menerus. Memuku l lagi. Mengalihkan, lalu
Contoh :
この花屋の門を叩いて。
Kono hanaya no mon wo tataite
Mengetuk pintu masuk toko bunga .
2.2 Studi Semantik
2.2.1 Defenisi Semantik
Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang
mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa
yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu
makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang
berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun
bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.
Sutedi (2003: 103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara
lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei)
antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no
imi) dan makna kalimat (bun ni imi).
1. Makna kata satu per satu (go no imi)
Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena
komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh
lawan bicaranya.
Dalam bahasa Jepang, banyak sekali terdapat sinonim (ruigigo) yang
sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu per satu.
Ditambah masih minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa
Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan
dari setiap sinonim tersebut.
2. Relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei)
Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan
dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya,
pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara),「言う ‘iu’」(berkata) dan「しゃべる
‘shaberu’」(ngomong), dapat dikelompokkan ke dalam 「言葉を発する ‘kotoba
o hassuru’」(bertutur) . Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata
「 話 す ‘hanasu’」dan「 言 う ‘iu’」,「 高 い ‘takai’」(tinggi) dan「 低 い
‘hikui’」(rendah),「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan「犬 ‘inu’」(anjing) akan
berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan sinonim (hanasu dan
iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui), sedangkan pasangan
terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan inu).
3. Makna frase dalam satu idiom (ku no imi)
Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah
rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa
‘kutsu o kau’」(membeli sepatu), dan「腹が立つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri
= marah) merupakan suatu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat
dipahami cukup dengan menhetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah
dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi,
frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk
frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan
strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak
mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).
Lain halnya dengan frase「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna,
yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara
idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa
Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang
bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.
4. Makna kalimat (bun ni imi)
Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.
Misalnya, pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya
memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o
ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat
tersebut adalah sama, yaitu ‘A wa B ni C o ageru’, tetapi maknanya berbeda. Oleh
karena itu, makna kalimat ditentukan oeh kata yang menjadi unsur kalimat
Lain halnya dengan kalimat ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o
matte iru’, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa]
[Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada
dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang
berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa
dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.
2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik
Menurut Chaer (2002: 59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu
memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara
lain sebagai berikut.
a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan
makna gramatikal.
b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan
menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.
c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan
menjadi makna denotatif dan makna konotatif.
d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan
makna khusus.
e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna
konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.
1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Menurut Chaer (2002: 60) makna leksikal adalah makna yang sesuai
dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau
makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut
Sutedi (2003: 106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai
dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur
gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Makna
leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 「辞書的意味 ‘jishoteki imi’」atau
「 語 彙 的 意 味 ‘goiteki imi’ 」. Dalam bahasa Jepang misalnya kata「 猫
‘neko’」dan「学校 ‘gakkou’」. Makna leksikal dari kata kucing adalah hewan
berkaki empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari
kata sekolah adalah bangunan tempat para siswa belajar.
Makna gramatikal menurut Chaer (2002: 63) adalah makna yang muncul
sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut
Sutedi (2003: 107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses
gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 「 文 法 的 意味 ‘bunpouteki
imi’」. Dalam bahasa Jepang,「 助 詞 ‘joshi’」(partikel) dan「 助 動 詞
‘jodoushi’」(kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna
gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba
dan adjektiva memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 「忙しい
‘isogashii’」dan「 食 べ る ‘taberu’」. Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe)
dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel「に ‘ni’」, yang
secara leksikal tidak jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika
digunakan dalam kalimat seperti : 「メダンに住んでいる ‘Medan ni sunde
iru’」yang bermakna ‘tinggal di
2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial Medan’.
Menurut Chaer (2002: 63), perbedaan makna referensial dan makna
nonreferensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila
kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata
itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata
itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna
nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial
karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang
disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai
referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang
bermakna nonreferensial.
3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Chaer (2002: 65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada
dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini
lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi
menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman
lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual
objektif, dan sering disebut dengan istilah ‘makna sebenarnya’. Sedangkan
dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan
analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan
「明示的意味 ‘meijiteki imi’」atau「外延 ‘gaien’」.
Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (2002: 67) adalah makna
tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Selanjutnya menurut Sutedi (2003: 107), makna konotatif disebut「暗示的意味
‘anjiteki imi’」atau「内包 ‘naihou’」, yaitu makna yang ditimbulkan karena
perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata「父
‘chichi’」dan「 親 父 ‘oyaji’」kedua-duanya memiliki makna denotatif yang
sama, yaitu ayah, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata ‘chichi’
terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata ‘oyaji’ terkesan lebih dekat
dan akrab. Contoh lainnya adalah kata「化粧室 ‘keshou-shitsu’」dan「便所
‘benjo’」. Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar
kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. ‘Keshou-shitsu’ terkesan bersih,
sedangkan ‘benjo’ terkesan kotor dan bau.
4. Makna Umum dan Makna Khusus
Chaer (2002: 71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum
memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan
makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas.
Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata
besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas
raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase ‘Tuhan yang maha
Agung’ dapat diganti dengan ‘Tuhan yang maha Besar’ ; frase ‘rapat akbar’ dapat
diganti dengan ‘rapat besar’ ; frase ‘hari raya’ dapat diganti dengan ‘hari besar’ ;
dan frase ‘film kolosal’ dapat diganti dengan ‘film besar’. Sebaliknya, frase
‘rumah besar’ tidak dapat diganti dengan ‘rumah agung’, ‘rumah raya’ ataupun
‘rumah kolosal’.
5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik
Menurut Chaer (2002: 72), makna konseptual adalah makna yang sesuai
dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas
dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan
makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah
kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.
Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’ ; kata
merah berasosiasi dengan makna ‘berani’ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan
makna ‘indah’.
Sedangkan makna idiomatic menurut Chaer (2002: 75) adalah makna
sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna
leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah
pada frase ‘membanting tulang’ dan ‘meja hijau’. ‘Membanting tulang’ adalah
sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan ‘meja hijau’ adalah sebuah
2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik
Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara
lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan
dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi
(2003: 108).
a. Dari yang konkrit ke abstrak
Kata 「頭 ‘atama’」(kepala),「腕 ‘ude’」(lengan), serta「道 ‘michi’」(jalan)
yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti
berikut ini.
ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.
三年前 sannen mae (tiga tahun yang lalu)
c. Perubahan penggunaan indera
Kata 「大きい ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indera penglihatan (mata),
berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada「大きい声 ‘ookii koe’」
(suara keras). Kemudian pada kata「甘い ‘amai’」(manis) dari indera perasa
menjadi karakter seperti dalam「甘い子 ‘amai ko’」(anak manja).
d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi
Kata 「 着 物 ‘kimono’」yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,
digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum「 服 ‘fuku’ 」 dan
sebagainya.
e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi
Kata 「 花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan「 卵 ‘tamago’」(telur secara
umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam
penggunaan berikut.
花見 hana
卵を食べる
-mi (bunga Sakura)
tamago
f. Perubahan nilai positif
o taberu (telur ayam)
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah
kata 「僕 ‘boku’」(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi
sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan
g. Perubahan nilai negatif
Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah
kata 「貴様 ‘kisama’」(kamu) yang dulu sering digunakan untuk menunjukkan
kata「あなた ‘anata’」(anda) , tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang
yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari
yang baik menjadi kurang baik.
2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik
Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari
bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 2002: 11). Bagi
seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat
praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan
memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat
dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.
Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti
mereka yang belajar di Fakultas Sastra ataupun Fakultas Ilmu Budaya,
pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat
menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi
seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi
manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan
sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat
lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan
atau memiliki kemiripan arti.
2.2.2 Kesinoniman
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang,
seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara
sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi
makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu
dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007: 297). Satuan bahasa disini
dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan
kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna
(hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna
(redundansi).
Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan
satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut
memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim
adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu
satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007: 267). Akan tetapi
meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan
tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam
konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.
Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor
tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan
Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 「 類 義 語
‘ruigigo’」. Menurut Sutedi (2003: 115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang
memiliki relasi atau hubungan kesinoniman「類義関係 ‘ruigi-kankei’」dapat
ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap
kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti
‘naik’, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.
のぼる:下から上へ或経路に焦点を合わせて
Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru 移動する
Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui
あがる:下から上へ到達点に焦点を合わせて
Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru 移動する
Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan
Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 「焦点
‘shouten’」gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan「到達
点 ‘toutatsuten’」dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan
noboru menekankan pada jalan yang dilalui「経路 ‘keiro’」dari gerak tersebut
(proses).
2.2.3 Pilihan Kata
Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula
yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk
kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal
pemilihan kata. Menurut Keraf (2006: 24) pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
(cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat
pendengar.
Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan,
kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna
yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan
pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai
dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang
lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan
dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.
Berdasarkan konsep dari pilhan kata di atas, kata yang maknanya hampir
sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan
situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna
BAB III
ANALISIS MAKNA VERBA UTSU DAN TATAKU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG
Sebelumnya pada Bab II penulis telah memaparkan mengenai verba Utsu dan
Tataku. Maka pada Bab III ini penulis mencoba menganalisis makna verba Utsu
dan Tataku yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat
pada beberapa majalah,tabloid dan komik seperti Nipponia, Japan Days, Komik
Ashita no Jyo vol : 10 serta artikel berbahasa Jepang lainnya yang dikutip dari
internet, sesuai dengan pendapat dari beberapa ahli linguistik yang telah
dipaparkan sebelumnya.
3.1 Verba Utsu Cuplikan 1 :
展望台から望む眼下のはるか先、大断崖が激しく波に打たれるのが
見え, 思わず足がすくむ。(Nipponia No. 33, 2005: 31)
Tenboudai kara nozomu ganka no harukasaki, daidangai ga hageshiku
name ni utareru
Dari menara pengawas melihat kearah bawah, terlihatlah tebing yang sangat terjal
itu dihantam oleh ombak, dan tanpa sadar kaki menjadi gemetar. no ga mie, omowazu ashi ga sukumu.
Analisis:
Kalimat pada cuplikan 1 di atas diambil dari wacana yang berjudul: 陸中
pada cuplikan di atas adalah dihantam atau ditubruk dengan keras, dan pemakaian
verba Utsu pada cuplikan di atas sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan
bahwa tebing karang yang terjal dihantam dengan sangat kerasnya oleh ombak
sehingga membuat kaki gemetar. Meskipun Utsu pada cuplikan diatas tidak
memiliki arti ‘pukul atau memukul’, namun makna kata ‘hantam atau dihantam’
yang tertera pada arti dari cuplikan di atas telah mewakili padanan makna yang
sesuai dengan verba Utsu tersebut. Cuplikan ini sudah tepat karena sesuai dengan
pendapat dari Izuhara Shouji yang mengemukakan bahwa Utsu adalah hasil dari
menubrukkan benda secara kuat dengan sesuatu.
Cuplikan 2:
Koto, Kyooto ni yaku ichinenkang taizai. Eikaiwagakkou de eigo wo oshienagara,
otera ya jinja wo meguri aruki, nihon no dentou budou de aru iaidou ( katana wo
nuki, hito uchi
Kota tua, saya telah tinggal di Kyoto selama 1 tahun. Sambil mengajar bahasa
Inggris di sekolah percakapan bahasa Inggris, saya berkeliling ke kuil Budha dan
kuil Shinto, dan saya belajar bahwa di Jepang ada tradisi militer yang terjadi
secara kebetulan, yaitu (keahlian melepas pedang, membunuh musuh
dengan
de teki wo kiri, sugu ni katana wo saya ni modosu kenjutsu) wo
mananda.
Analisis :
Cuplikan ke 2 di atas dikutip dari wacana yang berjudul 国際ビジネスに
真剣勝負で立ち向かう( Kokusai Bijinesu Ni Shinkenshoubu De Tachi Mukau)
yang berarti Menghadapi Bisnis Internasional Dengan Pedang Yang Tajam
( sepenuh hati ). Cuplikan ini dikutip berdasarkan pengalaman seorang guru
Bahasa Inggris di Jepang bernama Michael Henry yang berasal dari Kanada, yang
menjalankan bisnis di Jepang. Dia menceritakan bahwasanya di Jepang, ketika
menjalankan bisnis, haruslah dijalankan dengan sepenuh hati, jangan takut untuk
mengambil resiko, namun tetap harus dengan perhitungan yang matang. Dan dia
mengibaratkan seperti tradisi militer Jepang yang biasa dilakukan oleh para
samurai yaitu mengeluarkan pedang dan mengalahkan lawan dengan sekali pukul,
lalu mengembalikan pedang ke sarungnya.
Pemakaian verba Utsu pada cuplikan di atas sudah benar, karena
pemakaian Utsu pada cuplikan tersebut telah sesuai dengan pendapat dari Izuhara
Shouji yang menyatakan bahwa Utsu adalah hasil dari menubrukkan benda secara
kuat dengan sesuatu dan juga merupakan gerakan yang menimbulkan perubahan,
aksi. Kata ‘menaklukkan musuh dengan sekali pukul’ menunjukkan bahwa ada
gerakan atau aksi yang menimbulkan suatu perubahan, dimana dengan pukulan
tersebut, kondisi lawan yang mungkin tadinya berimbang atau belum kalah,
berubah menjadi kalah ataupun sudah dikalahkan.
Cuplikan 3 :
「ロンクラ」と呼ばれる 競技に 参加する カヤポ 族。木の重い 棒で
(Ronkura) to yobareru kyougi ni sankasuru Kayapo zoku. Ki no omoi bou de
kokonatsu sei no booru wo utsu
Disebut pertandingan (Ronkura) oleh para suku Kayapo yang ikut
bermain.
, hokkee no isshuu no youna kyougi de aru.
Memukul bola yang terbuat dari kelapa dengan menggunakan batang
kayu yang berat, mirip semacam pertadingan hoki.
Analisis :
Cuplikan 3 di atas dikutip dari wacana yang berjudul 先住民の誇りの
ために (Senjuumin no Hokori no Tameni) yang berarti Demi Kebanggaan Rakyat
Pribumi. Pada cuplikan ini diceritakan bahwa Nopember 2011 di Porto Seguro
(Brasil) diadakan sebuah Olimpiade Pribumi suku Kayapo. Suku Kayapo
(Portugis: Caiapo) merupakan penduduk Indian asli Mato Grosso dan Parā di
Brasil. Pada olimpiade ini, diadakan pertandingan semacam Hoki yang mereka
sebut dengan Ronkura. Permainan ini menggunakan buah kelapa sebagai bolanya.
Pemakaian verba Utsu pada cuplikan di atas sudah benar. Pada cuplikan di
atas menjelaskan bahwasanya dalam permainan tersebut, mereka memukul bola
menggunakan kayu selama pertandingan, hal itu sesuai dengan pendapat yang
disampaikan oleh Kindaichi bahwasanya Utsu adalah menubrukkan sesuatu benda
dengan benda lain secara seketika. Dalam hal ini menubrukkan kayu besar ke
kelapa sebagai bola didalam permainan tersebut.
Cuplikan 4
あいつの 顔面 を 思いきり 打つまでは、顔面 を 打てる という 証拠
Aitsu no ganmen wo omoikiri utsu made wa, ganmen wo uteru
Sampai aku
to iu shouko wo
miseru made wa taosarenai.
memuku l wajahnya sekuat tenaga, sampai aku bisa membuktikan
kalau aku bisa memukul wajahnya, aku tidak boleh tumbang.
Analisis
Cuplikan kalimat tersebut dikutip dari komik Ashita no Jyo vol. 10
karangan Komori Chouyuu dan Chiba Tetsuya. Komik ini menceritakan tentang
Jyo yang merupakan atlit tinju. Cuplikan di atas dikutip ketika Jyo sedang
bertarung diatas ring melawan Taiga Ozaki. Makna verba Utsu pada kalimat
tersebut pada dasarnya adalah memukul, namun pemakaiannya kurang tepat.
Karena pada wacana tersebut tersirat nuansa yang menggebu dari Jyo untuk
memukul wajah Taiga sekuat tenaga dan menjatuhkannya dalam pertarungan.
Sehingga pemakaian verba Utsu kurang tepat, karena verba Utsu tidak mencakup
terhadap hal-hal yang memiliki nuansa emosional, amarah, ambisi, hasrat untuk
menjatuhkan atau mengalahkan seperti yang tertera didalam kutipan wacana di
atas. Verba yang tepat untuk digunakan pada kalimat diatas adalah Tataku, karena
sesuai dengan pendapat Kindaichi yang menyebutkan bahwa Tataku adalah
memukul dengan terus menerus. Memuku l lagi. Mengalihkan, lalu menghajar.
3.2 Verba Tataku
Makka ni ureta tomato mitee ni yo, kechappu wo kabutta mitee ni yo. Tataki
Terlihat seperti tomat merah yang dijual, seperti tersiram kecap. Akan kubuktikan
pada kondisi ini, aku bisa
tsubusu koto datte dekiru tte tokoro wo, kono ba de misete yaraa.
menghajarnya
Analisis
.
Cuplikan ini diambil dari komik Ashita no Jyo Vol 10. Kalimat ini
diucapkan oleh Jyo (tokoh utama) ketika sedang dihajar sampai babak belur oleh
lawan tandinggnya Taiga Ozaki. Situasi yang terjadi adalah Jyo dipukul
habis-habisan sehingga ia mengumpamakan dirinya yang sudah babak belur seperti
tomat merah dan seperti tersiram kecap seperti yang ia katakan pada cuplikan di
atas.
Pemakaian verba Tataku pada cuplikan di atas dirasa tepat. Karena
sesuai yang dikatakan oleh Kindaichi bahwasanya Tataku adalah memukul
dengan terus menerus. Memukul lagi. Mengalihkan, lalu menghajar. Memukul
sampai jatuh. Menghajar habis-habisan. Yang mana kata-kata seperti ‘tomat
merah’ dan ‘tersiram kecap’ tersebut menggambarkan kondisi wajah Jyo yang
dan babak belur layaknya tomat merah dan tersiram kecap, namun ia ingin
membuktikan meskipun dengan kondisi yang sudah babak belur, ia masih bisa
menghajar lawan tandingnya.
Cuplikan 2
タイガー、あの虫類の面を今度こそ確実に叩き
( Ashita no Jyo Vol 10. 1971: 178)
つぶして見せるっ
Taiga~~. Ano chuurui no tsura wo kondo koso kakujitsu ni tataki
Taiga~. Lain kali pasti akan ku
tsubushite
miseru.
hajar
Analisis
wajah serangga itu.
Cuplikan tersebut diambil dari komik yang sama seperti pada cuplikan
ke 1 di atas. Kata-kata ini diucapkan oleh Jyo ketika ia mengalami kekalahan
TKO pada pertandingan melawan Taiga. Kekalahan Jyo dikarenakan sang pelatih
melemparkan handuk putih ketengah ring tinju yang berarti menyerah saat
pertandingan memasuki ronde akhir, dan kemenangan menjadi milik Taiga.
Ketidakpuasan Jyo terlihat jelas pada kutipan kata-kata tersebut dengan
mengatakan “kuhajar wajah serangga itu”. Kata-kata yang penuh dengan emosi,
dan rasa amarah. Oleh karena itu, penggunaan verba Tataku pada cuplikan kalimat
di atas sudah tepat karena sesuai dengan pendapat dari Kai Bukurou yang