• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLISEMI VERBA TORU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU TORU NO TAGIGO NO BUNSEKI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS POLISEMI VERBA TORU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU TORU NO TAGIGO NO BUNSEKI SKRIPSI"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU “TORU”

NO TAGIGO NO BUNSEKI SKRIPSI

Skripsi ini di ajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian skripsi

dalam bidang Ilmu Sastra Jepang OLEH:

RANISSA DWI SUCI SITORUS 150722005

PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(2)

ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU “TORU”

NO TAGIGO NO BUNSEKI SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian

Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang.

Disusun Oleh :

RANISSA DWI SUCI SITORUS NIM : 150722005

Pembimbing I Pembimbing II

Drs, Yuddi Adrian Muliadi, M.A Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum

NIP: 19600827 1991 03 1 001 NIP: 19600919 1988 03 1 001

PROGRAM STUDI EKSTENSI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018

(3)

Disetujui Oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi Sastra Jepang Ketua Program Studi,

Prof. Hamzon Situmorang,MS.,Ph.D NIP: 19580704 198412 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat, hidayah, dan ridho-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Dan tak lupa pula shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberikan syafa‟at kepada seluruh umat manusia.

Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Polisemi Verba “Toru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang ” ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Ekstensi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara

Dalam pelaksanaan penyelesaian studi dan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan moril maupun materil dari berbagai pihak.

Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, MS.,Ph.D, selaku Ketua Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Muliadi. M.A, selaku Dosen Pembimbing I yang telah demikian banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis, memberikan pengarahan dengan baik dalam hal penyusunan skripsi.

(5)

4. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah demikian banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis, memberikan pengarahan dengan baik dalam hal penyusunan skripsi.

5. Seluruh Bapak / Ibu dosen Program Studi Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

6. Orangtua tercinta, Rahmaini Nasution dan Hasan Basri Sitorus yang selalu mendoakan penulis, memberikan nasehat, dukungan dan material yang tak terhingga sampai saat ini, yang tidak akan mampu penulis untuk membalas kasih sayangnya sampai kapan pun juga. Kepada satu-satunya saudara, Atika Afriani Sitorus (kakak) , kepada Mama, Rahmawati Nasution dan Fadli Rachman.

7. Kepada Rekan-Rekan Kerja penulis terutama di PT. Bank Mandiri Kcp Medan Maimun dan Kcp Medan Gatot Subroto khusus nya di Teller. Yang telah membantu penulis, memberikan semangat, doa dan waktunya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman terdekat Ferdian Lim dan Puti Novianti Aristia yang sangat banyak membantu dan menolong penulis dalam mengerjakan skripsi ini sampai selesai. Terima kasih banyak atas dukungan, doa dan bantuannya.

9. Seluruh teman-teman Ekstensi Sastra Jepang Stambuk 2015.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

(6)

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam susunan kalimatnya maupun proses analisisnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini agar dapat menjadi skripsi yang lebih bermanfaat dan lebih sempurna.

Akhir kata, penulis berharap semoga kiranya skripsi ini dapat berguna dan memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Medan, April 2018 Penulis

Ranissa Dwi Suci Sitorus

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...i

DAFTAR ISI………...iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ………...1

1.2 Perumusan Masalah...7

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ………...8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………..9

1.4.1 Tinjauan Pustaka………...9

1.4.2 Kerangka Teori………...11

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...15

1.5.1 Tujuan Penelitian………...15

1.5.2 Manfaat Penelitian………..16

1.6 Metode Penelitian………...16

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA “TORU” 2.1 Pengertian Semantik………...18

2.2 Tinjauan Terhadap Makna………..20

(8)

2.2.1 Pengertian Makna………...20

2.2.2 Jenis-Jenis Makna………...22

2.2.3 Relasi Makna………..……28

2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang………..28

2.3 Pengertian Polisemi………29

2.4 Pengertian Verba………...31

2.5 Makna Verba Toru………..36

BAB III ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG 3.1 Makna Konteks Kalimat Polisemi Verba “Toru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang……….………38

3.2 Analisis Perubahan Nuansa Makna Verba “Toru”……….45

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan……….48

4,2 Saran………...49

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, manusia menggunakan bahasa.

Menurut Sutedi (2003:2) bahasa adalah alat untuk menyampaikan sesuatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain. Hubungan interaksi antar manusia dapat berjalan denga lancar karena adanya peranan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa mempunyai keterkaitan dan keterikatan dalam kehidupan manusia, Ketika kita menyampaikan ide, pikiran, hasrat dan keinginan kepada seseorang baik secara lisan maupun tertulis, orang tersebut dapat menangkap apa yang kita maksud.

Fungsi bahasa merupakan media untuk menyampaikan suatu makna kepada orang lain baik lisan maupun tulisan. Sedangkan menurut Alwasilah (1993:89) fungsi bahasa sebagai lem perekat dalam menyatukan keluarga, masyarakat dan bangsa dalam kegiatan bersosialisasi. Tanpa bahasa, suatu masyarakat tak dapat terbayangkan. Mempelajari bahasa bukan hanya sekedar untuk berbicara, tapi kita juga harus menggunakan aspek-aspek bahasa dalamnya.

Oleh karena itu, untuk dapat menggunakan bahasa dengan baik dan dapat dimengerti maksud dan tujuan dari informasi yang disampaikan kepada orang lain kita harus memperhatikan kaidah-kaidah dalam berbahasa dan karakteristik masing- masing bahasa.

(10)

Ilmu yang membahas tentang bahasa adalah linguistik. Linguistik berasal dari bahasa latin, lingua yang berarti „bahasa‟. Secara umum linguistik adalah bahasa dasar dalam mempelajarin keahlian berbahasa. Menurut Martinet (1987:19) didalam buku Chaer (2012:1) linguistik adalah ilmu tentang bahasa, atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian internal adalah kajian yang hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa tersebut, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya, struktur sintaksis dan struktur semantiknya. Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah kajian yang dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada diluar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh penuturnya didalam kelompok-kelompok masyarakat. Kajian eksternal ini menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah- kaidah ya berkenaan dengan kegunaan bahsa tersebut dalam segala kegiatan manusia, misalnya sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik.

Seperti yang telah dijelaskan, dalam kajian internal di atas terdapat empat bidang kajian atau cabang linguistik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Fonologi (on-inron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi berdasarkan fungsinya. Morfologi (keitaron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya. Sintaksis (tougoron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur- unsur pembentukan kalimat. Dan yang terakhir adalah semantik (imiron).

(11)

Dari keempat bidang kajian tersebut yang memiliki peranan yang penting adalah Semantik (imiron). Menurut Chaer (1994:2) semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari 3 (tiga) tataran analisis bahasa seperti fonologi, gramatikal, dan semantik. Fungsi dari analisis semantik adalah untuk menentukan makna dari serangkaian instruksi yang terdapat dalam program sumber. Karena, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi tiada lain untuk menyampaikan suatu makna. Didalam semantik terdapat ilmu yang membahas tentang objek kajian bunyi (kata) yang memiliki makna lebih dari satu atau Polisemi (tagigo).

Untuk dapat memahami bahasa Jepang, maka kita harus memahami kosakata atau makna dari satu kata (Polisemi) tersebut. Menurut Yuriko didalam buku Sudjianto (1981:3) menyebutkan bahwa tujuan akhir pengajaran bahasa Jepang adalah agar para pembelajar dapat berkomunikasi dengan gagasan atau ide dengan bahasa Jepang yang baik dengan secara lisan maupun tulisan salah satu penunjangnya adalah penguasaan kosakata (goi). Sedangkan menurut, Sudjianto (2007:97) kosakata (goi) merupakan aspek kebahasan yang harus diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dengan bahasa Jepang baik dalam ragam lisan maupun tulisan.

Tidak hanya itu, kita juga harus memahami berbagai verba yang terdapat dalam bahasa Jepang. Verba didalam bahasa Jepang sangatla beragam, ada verba yang termasuk kedalam polisemi (tagigo), ada juga yang termasuk ke dalam homonim (dou-on-igigo). Untuk dapat memahami keduanya maka perlu dibuat batasan yang jelas. Menurut Kunihiro (1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145),

(12)

memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, yaitu polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu dan setia maknanya memiliki pertautan, sedangkan yang dimaksud dengan homonim (dou-on-igigo) adalah kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya.

Dalam penelitian ini topik masalah yang dikaji adalah mengenai kata bahasa Jepang yang memiliki makna polisemi. Untuk mengetahui suatu kata tersebut memiliki polisemi atau tidak, dengan tiga cara. Cara tersebut Menurut Machida & Momiyama (1997:109) dalam buku Sutedi (2003:145) adalah dengan pemilhan makna (imi-kubun), penentuan makna dasar (kihongi no nintei), deskripsi hubungan antara makna dalam bentuk strukur polisemi (tagi-kouzou no hyouji.) salah satukata kerja yang memiliki polisemi adalah kata kerja toru. Di dalam kamus, kata toru memiliki arti mengambil. Contoh kalimat dari penggunaan verba toru. :

私の趣味は写真を取ることです。

Watashi no shumi wa shashin wo toru koto desu.

hobi saya adalah mengambil foto.

Dari contoh di atas sangat mudah mengartikan verba toru. Namun, pengertian verba toru akan berbeda jika digunakan ke dalam kalimat yang memiliki situasi tertentu, seperti:

(13)

1) パワー電気では夏休みは何日ぐらい取れますか。

Pawaa denki de wa natsu yasumi wa nannichi gurai toremasuka.

Di perusahaan listrik, kira-kira bisa memperoleh libur musim panas berapa hari?

(Minna No Nihongo Shokyuu II, 2012:10)

2) 大きいな家具は場所を取る。

Ookiina kagu wa basho wo toru.

Perabot rumah tangga yang besar memakan tempat.

(Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten, 1989:364)

3) すぐ、取りに行きます。

Sugu tori ni ikimasu.

Segera pergi untuk mengambil (suatu benda).

(Minna No Nihongo Shokyuu II, 2012:27)

Kalimat (1) memiliki arti kalimat secara leksikal “bisa mengambil berapa hari libur?.” di mana kata „mengambil‟ pada kalimat tersebut memiliki makna yang sepadan dengan kata „memperoleh‟.

Kalimat (2) juga memiliki arti kalimat secara leksikal “perabot rumah tangga yang besar mengambil tempat.” di mana makna kata „mengambil‟ pada

(14)

kalimat tersebut memiliki makna yang sepadan dengan kata

„memakan/membutuhkan tempat‟

Namun demikian, perbedaan terlihat pada kalimat (3) yang berbunyi

“segera, pergi untuk mengambil (suatu benda)”. Perbedaan tersebut dikarenakan kalimat (3) menunjukkan penggunaan verba toru yang sesuai makna sesungguhnya.

Dari ketiga contoh kalimat di atas terlihat adanya makna yang berbeda pada kata „toru‟ jika digunakan pada kalimat yang memiliki situasi yang berbeda.

Maka dapat disimpulkan bahwa verba toru apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki banyak makna dan apabila ditelaah, makna tersebut memiliki sinonim yang dapat ditempatkan sebagai verba toru dalam kalimat tersebut.

Berdasarkan dengan alasan yang telah penulis sebutkan, kata toru bisa menimbulkan kebingungan terlebih pada pembelajar bahasa Jepang. Maka dari itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “ Analisis Polisemi Verba “Toru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang .

1.2 Perumusan Masalah

Di dalam bahasa Jepang terdapat banyak verba yang memiliki makna banyak atau lebih dari satu. Makna tersebut memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan konteksnya. Seorang pembelajar bahasa asing tidak akan kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut:

(15)

私は鞄を取る。

„Watashi wa kaban wo toru‟.

„Saya mengambil tas‟

Namun pembelajar bahasa Jepang akan kesulitan ketika menemukan kalimat seperti berikut:

父は写真を取る。

„Chici wa shashin wo toru‟.

„ Ayah memotret foto.‟

Kata tersebut memiliki arti lebih dari satu dan disebut dengan polisemi (tagigo). Seseorang harus mengerti makna dari kosa kata yang digunakan. Karena jika tidak, maka akan menimbulkan kesalah pahaman dalam berkomunikasi.

Verba toru memiliki banyak makna dalam bahasa Jepang. Selain memiliki makna „mengambil‟, verba toru juga memiliki makna-makna lain yang mungkin mirip dengan makna utama kata tersebut. Maka, berdasarkan permasalahan yang ada, penulis merumuskan permasalahan yang muncul pada verba toru dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa makna verba toru dalam kalimat bahasa Jepang ?

2. Bagaimana perubahan nuansa makna verba toru dalam kalimat bahasa Jepang ?

(16)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Sesuai dengan permasalahan yang ada, maka penulis menganggap perlu adanya ruang lingkup pembahasan agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas dan berkembang jauh sehingga masalah yang ada akan dikemukakan lebih terarah dan mendapatkan tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini.

Dalam penelitian ini akan dipaparkan dengan jelas polisemi dari verba toru dalam kalimat bahasa Jepang dengan teori dasar yang diambil dari Gakken Kokugo Daijiten oleh Haruhiko, dkk tahun 1978. Penulis akan mencoba menganalisis kalimat yang memiliki makna verba toru. Kalimat-kalimat tersebut akan diambil 8 buah kalimat dari majalah Nipponika edisi No. 14 Tahun 2014, Nipponika edisi No.16 Tahun 2015 , Nipponia edisi No. 43 Tahun 2007, Nipponia edisi No. 8 Tahun 1999 dan Nipponia edisi No. 46 Tahun 2008 .Masing-masing kalimat akan dibatasi maksimal 8 buah contoh kalimat. Peneliti mencoba menganalisis contoh kalimat verba toru yang berbeda. Bekaitan dengan makna verba toru, penulis akan menganalisis verba toru berdasarkan konteks kalimatnya.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis Polisemi Dalam Verba Toru pada Kalimat Bahasa Jepang. Hal ini menyangkut bidang linguistik yaitu semantik. Untuk menghindari kesalahan dalam menginterprestasikan makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis mencoba untuk

(17)

mendefenisikan beberapa istilah dalam linguistik, khususnya yang mencangkup tentang semantik.

Ilmu linguistik adalah mengkaji tentang bahasa. Istilah linguistik dalam bahasa Jepang disebut dengan gengogaku, sedangkan linguistik bahasa Jepang disebut dengan nihongo-gaku. Jadi linguistik jika di artikan dengan ilmu bahasa Jepang, tidak hanya membahas sebuah bahasa saja tetapi juga mengkaji tentang seluk beluk bahasa pada umumnya. Salah satu bidang kajian linguistik adalah semantik. Semantik adalah kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambing. Kata kerjanya adalah “semaino” yang berarti menandakan atau melambangkan (Sutedi, 2003:114). Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna, makna frase, dan makna kalimat. Objek yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas adalah makna kata.

Makna setiap kata merupakan salah satu objek yang harus dikaji, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan bejalan dengan lancar jika setiap kata yang digunakan pembicara dalam komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya. Mempelajari makna pada hakikatnya berarti mempelajari bagaimana setiap pemakaian bahasa dalam suatu masyarakat saling mengerti.

Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pemakai bahasa dituntut agar menaati kaidah gramatikal, sebagaian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata menurut sistem leksikal yang berlaku didalam suatu bahasa (Djajasudarma, 1999:5.). Berdasarkan jenis makna tersebut, ada yang disebut

(18)

dengan makna leksikal dan makna gramatikal. Menurut Sutedi (2003:114) bahasa Jepang memiliki dua istilah makna, yaitu kata imi dan igi.

Salah satu hal yang harus diperhatikan diteliti, yaitu tentang kata yang memiliki makna lebih dari satu, yaitu Polisemi (tagigo). Polisemi adalah dalam satu bunyi (kata) terdapat makna lebih dari satu. Tetapi batasan seperti ini masih belum cukup, sebab dalam bahasa Jepang, kata yang merupakan satuan bunyi dan memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang termasuk polisemi (tagigo) dan ada juga yang termasuk homonim (dou-on-igigo).

Oleh karena itu, kedua hal tersebut perlu dibuat batasan yang jelas. Kunihiro (1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145), memberikan batasan tentang kedua istilah tersebut, bahwa : Polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan yang dimaksudkan dengan homonim (dou-on-igigo), yaitu beberapa kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda dan diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. (Dedi Sutedi 2003:135).

Pengertian polisemi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu (KBBI 1993:1200). Parera (2004:81) mendefinisikan bahwa polisemi ialah suatu ujaran dalam bentuk kata yang mempunyai makna berbeda-beda tetapi masih ada hubungan dan kaitan antar makna yang berlainan tersebut. Misalnya kata „kepala‟ dapat bermakna „kepala manusia, kepala jawatan, dan kepala sarung‟. Sedangakan, Alwasilah (1993:164) mengatakan polisemi merupakan satu kata mempunyai lebih dari satu arti, atau

(19)

lebih tepat kita katakan, satu leksem (lexeme) mempunyai beberapa makna (arti).

Relasi ini disebut polisemi yang bermakna banyak.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dekdutif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat yang harus diperhatikan.

Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan kerangka teori berdasarkan pendapat dari pakar-pakar bahasa yang diperoleh dari sumber pustaka sebagai berikut. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian dan pemahaman arti secara keseluruhan (KBBI, 1993:59).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara linguistik dibidang semantik tentang makna. Dalam sebuah penelitian diperlukan landasan atau acuan berpikir untuk menganalisis dan memecahkan sebuah masalah. Oleh karenanya perlu disusun pokok-pokok pikiran yang dimuat oleh kerangka teori yang mendeskripsikan titik tolak penelitian yang akan diamati. Kata semantik berasal dari kata Yunani, senainein, yaitu bermakna. Oleh karena itu semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau ilmu tentang arti (Chaer, 2002:2).

(20)

Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan dalam semantik berfungsi sebagai untuk menyampaikan makna kepada orang lain.

Dalam teori semantik digunakan jenis-jenis makna. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negativ (Chaer, 2002:65). Makna konotatif akan lebih berhubungan dengan nilai rasa, misalnya rasa senang, rasa jengkel, dan sebagainya. Kata semantik itu kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajarin hubungan antar tanda-tanda linguistik dengan hal- hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti bahasa.

Banyak pendapat yang dikembangkan orang-orang tentang teori. Seperti, teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinan de Saussure dalam Chaer (1994:287) bahwa makna adalah “pengertian” atau “konsep” yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Secara umum teori makna dibedakan antara :

1. Teori Referensial atau Korespondesi

Hubungan antara refrence atau referent yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa baik berupa kata maupun frase atau kalimat.

2. Teori Konteksual.

Teori konteksual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.

(21)

3. Teori Mentalisme

Teori mentalisme ini bertentangan dengan teori-teori referensi.

4. Teori Formalitas

Teori ini dikembangkan oleh filsuf Jerman Witgenstein (1830 dan 1858). Witgenstein (Parera: 2004:48) berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu.

Dalam beberapa makna yang termasuk dalam bidang semantik. Maka penelitian ini, penulis menggunakan konsep semantik konteksual. Yaitu makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam suatu konteks. Menurut Parera (2004:47), teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme. Makna sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu itu. Makna konteks juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa tersebut.

Selain Parera, Chaer (1994:290) juga menjelaskan bahwa teori makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks dan makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yaitu waktu, tempat, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.

Berhubungan dengan makna kontekstual, kata yang memiliki makna polisemi akan berubah maknanya jika berada pada konteks yang berbeda. Hal ini sesuai dengan makna polisemi menurut Chaer (2007:301), yaitu polisemi

(22)

diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu.

Makna kata yang dibahas pada peneliti ini menguraikan suatu makna yang terkandung dalam suatu verba. Verba adalah kata yag dipakai untuk menyatakan sesuatu tentang seseorang atau sesuatu. Nesfield (Chaedar, 1993:48). Sedangkan dalam bahasa Jepang verba adalah jenis kata yang termasuk dalam yougen dan menyatakan kegiatan/aktivitas. Biasanya pada akhir kata selalu diakhiri dengan vokal /u/. Dalam penelitian ini, verba yang dimaksud adalah verba toru.

Berdasarkan yang ditulis oleh Matsuura (1994), verba toru memiliki beberapa makna, yaitu mengambil, mengangkat, memegang, memakan (tempat), mendudukin, memperoleh, mencuri, dan menangkap. Makna tersebut akan berubah sesuai dengan konteks kalimatnya, seperti contoh berikut :

1. 辞書を取る。

„jisho wo toru‟

„ mengambil kamus‟

2. 釜のふたを取る

„ kama no futa wo toru‟

„ mengangkat tutup periuk‟

3. 彼女の手を取る。

„ kanojo no te wo toru‟

(23)

„ memegang tangannya‟

Walaupun makna kata toru memiliki perbedaan makna yang cenderung mirip, jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia bisa menimbulkan banyak pengertian yang berbeda sesuai dengan situasi kalimat tersebut diucapkan.

Berdasarkan dengan hal tersebut, penulis menginterpretasikan makna pada penilitian ini dengan menggunakan teori makna kontekstual yang disesuaikan dengan situasi kata tersebut.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui makna verba toru dalam kalimat bahasa Jepang.

2. Untuk medeskripsikan perubahan nuansa makna verba toru dalam kalimat bahasa Jepang.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami makna verba toru.

(24)

2. Dapat dijadikan masukan bagi pengajar saat mengajarkan makna dan penggunaan toru, terutama dalam mata kuliah sakubun (mengarang), honyaku (terjemahan), dan imiron (semantik).

3. Dapat memperkaya wawasan dalam berkomunikasi, sehingga dapat menimbulkan rasa percaya diri dalam berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.

4. Dapat dijadikan sebagai tambahan bagi penelitian yang berkaitan dengan linguistik, terutama mengenai kata yang mempunyai makna polisemi dalam bahasa Jepang.

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (libraryresearch). Metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dengan menggunakan buku atau referensi yang berkaitan dengan masalah apa yang sedang dibahas. Menurut Mahsun (2007:92) dalam skripsi Novianti (2015:25) sedangkan untuk teknik penyajian data di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif yaitu dengan memberikan penjabaran dan uraian yang menggunakan kata-kata.

Penulisan deskriptif mengumpulkan data-data yang diperoleh melalui metode kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan masalah yang

(25)

diteliti. Jadi dengan metode kepustakaan dan metode penulisan deskriptif, penulis mencoba menyelesaikan skripsi ini.

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI, DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA “TORU”

2.1 Pengertian Semantik

Dalam mempelajarin sebuah bahasa, kita mengetahui linguistik sebagai bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Sematik merupakan salah satu kajian dalam bidang studi linguistik yang membahas tentang makna.

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : Semantics) berasal dari bahasa yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”.

Kata kerjanya adalah semiano yang berarti “menandai” atau “melambangkan”.

Yang dimaksud dengan tanda atau melambangkan di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: Signe Linguistique). (Chaer, 2002:2)

Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2002:2) mengatakan bahwa tanda linguistik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentu-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau lambangi adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.

(27)

Kata semantik ini yang kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik (chaer, 2002:3).

Dalam bahasa Jepang, Semantik disebut dengan (Imiron). Ilmu yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain untuk menyampaikan makna.

Misalnya, ketika seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu bicara bias memahami apa yang dimaksud, karena ia bias menyerap makna yang dimaksud.

Sutedi (2003:103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relaksi makna (go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan makna kalimat (bun ni imi).

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna.

(28)

2.2 Tinjauan Terhadap Makna

2.2.1 Pengertian Makna

Setiap penelitian yang berkaitan dengan kebahasaan atau linguistik seperti struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari konsep tentang makna. Dalam komunikasi, kata yang diucapkan harus mengandung makna agar maksud yang ingin disampaikan tercapai.

Ulman (2007:65) mengatakan makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontrovesial dalam teori tentang bahasa. Dalam buku The Meaning Of Meaning, Odgen dan Richards mengumpulkan tidak kurang dari 16 defenisi yang berbeda bahkan menjadi 23 batasan makna jika tiap bagian dipisahkan.

Didalam kamus terdapat makna yang disebut dengan makna leksikal atau makna sebenarnya. Namun, banyak orang yang sulit menerapkan makna yang terdapat dalam kamus karena makna sebuah kata sering bergeser dari makna aslinya jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain sebuah kata terkadang memiliki makna yang luas atau lebih dari satu seperti ketika berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, ungkapan, peribahasa dan lainnya.

Kata makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dedikbud, 1993:619), diartikan (1) ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

(29)

Sutedi (2008:123) berpendapat dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi (意味) dan Igi (意義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue. Dalam bahasa Jepang, makna sebagai objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei), makna frase (ku no imi), makna kalimat (bun no imi) .

2.2.2 Jenis-Jenis Makna

Menurut Chaer (2002:59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.

Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensi dan makna non referensi, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotative dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya. Berikut akan dibahas jenis-jenis makna tersebut.

(30)

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (2002:60) makna leksikal adalah bentuk ajektiva yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, leksem, atau bersifat kata. Karena itu, dapat dikatakan pula bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.

Menurut Sutedi (2008:115), makna leksikal dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah Jishoteki-imi ( 辞 書 的 意 味 ) atau Goiteki-imi ( 語 彙 的 意 味 ).

Makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Misalnya, kata Neko (猫) dan kata Gakkou (学校) memiliki makna leksikal : <kucing> dan <sekolah>.

Makna gramatikal, menurut Chaer (2002:63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan, menurut Sutedi (2008:115) makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut Bunpouteki imi (文法的意味) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Makna gramatikal muncul ketika terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatiasi.

(31)

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Menurut Chaer (2002:63), perbedaan makna referensial dan non referensial berdasarkan ada tidak adanya refern dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang di acu oleh kata itu,maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, makna kata-kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.

Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Konotatif

Menurut Chaer (2002:65), makna denotatif (sering disebut juga makna denotasional, makna konseptual atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif biasa diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengamatan lainnya. Makna denotatif dapat diartikan dengan makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif sama dengan makna leksikal.

(32)

Sedangkan makna konotatif , menurut Sutedi (2008:115) yaitu makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa, seperti suatu objek atau gagasan dan bias dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna konotatif juga bias diartikan dengan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata gerombolan bersinonim dengan kelompok. Tetapi, kata gerombolan memiliki konotasi yang lebih negative atau rasa yang tidak mengenakan.

4. Makna Konseptual Dan Makna Asosiatif

Menurut Leach (1976) didalam buku Chaer (2002:293) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Makna konseptual memiliki kesamaan dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

Menurut Chaer (2002:293) makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata “merah” berasosiasi dengan „berani‟ atau „paham komunis‟. Makna asosiatif dapat diartikan dengan lambang atau pelambangan yang digunakan suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.

(33)

5. Makna Kata Dan Makna Istilah

Setiap kata atau leksem memiliki makna. Menurut Chaer (2002:294) makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Dalam penggunaannya makna kata akan menjadi jelas jika kata itu sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya.

Berbeda dengan kata, yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Istilah lebih sering digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

6. Makna Idiom Dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya , baik secara leksikal maupun secara gramatikal, (Chaer, 2002:296). Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna

„yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima uangnya‟. Tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk gigi tidaklah berarti seperti itu, melainkan bermakna „tertawa keras-keras‟. Jadi makna seperti itulah yang disebut makna idiomatical.

Idiom dibedakan menjadi dua, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan. Sehingga makna yang dimiliki berasal dari satu kesatuan

(34)

tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.

Peribahasa memiliki makna yang masih bisa ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa, (Chaer, 2002:297). Seperti, tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna „orang yang banyak bicara biasanya tidak berilmu‟.

Makna ini dapat ditarik dari asosiasi; tong yang berisi jika dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.

Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada didunia, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi.

2.2.3 Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2002:297). Satuan bahasa yang dimaksud disini berupa kata, frase, maupun kalimat, relasi semantik.

Dalam setiap bahasa, seringkali ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik. Hubungan tersebut menyangkut kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (Polisemi) atau juga kelebihan makna (redundasi).

2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang

(35)

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengaruh bahasa asing.

Berikut merupakan jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang menurut Sutedi (2003:108) :

1. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata atama (頭) <kepala>, ude (腕) <lengan>, michi (道) <jalan>

yang merupakan benda konkrit berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut :

頭がいい atama ga ii <kepandaian>

腕が上がる ude ga agaru <kemampuan>

日本語教師への道 nihongo kyoushi e no michi

<cara/petunjuk>

2. Dari ruang ke waktu

Seperti kata mae (前) <depan> dan nagai (長い) <panjang> yang menyatakan arti <ruang>, berubah menjadi <waktu> seperti contoh berikut:

三年前 sannen mae <yang lalu>

長い時間 nagai jikan <lama>

(36)

3. Perubahan bentuk indera

Misalnya kata ookii ( 大 きい ) <besar> semula diamati dengan indera pendengaran „telinga‟, seperti pada ooki koe (大きい声) <suara keras>, kata amai (甘い) <manis> dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam amai ko (甘い子) <anak manja>

4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Misalnya kata kimono ( 着 物 ) yang semula berarti 'pakaian tradisional Jepang' digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umu fuku (服) dan sebagainya.

5. Dari yang umum ke khusus

Misalnya hana (花) <bunga secara umum> dengan tamago (卵)

<telur secara umum> digunakan untuk menunjukkan hasil yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut:

花見 hana-mi <bunga

sakura>

卵を食べる tamago wo taberu <makan telur ayam>

6. Perubahan nilai negativ

(37)

Seperti kata kisama (貴様) <kamu> dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata anata ( あ なた ) <anda>, tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dari yang baik menjadi kurang baik.

7. Perubahan nilai positif

Misalnya kata boku ( 僕 ) <saya> digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai yang dari kurang baik menjadi baik.

2.3 Pengertian Polisemi

Menurut Chaer (2002:301) polisemi adalah sebuah kata atau satuan kata atau kata yang mempunyai makna yang lebih dari satu. Dalam polisemi ini, biasa makna pertama adalah makna yang sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.

Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan , (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api, (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala pakudan kepala jarum.

(38)

Misalnya makna leksikal kata kepala di atas adalah „bagian tubuh manusia atau hewan dari leher keatas‟. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referen (lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna. kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen makna: (1) terletak di sebelah atas atau depan, (2) merupakan bagian yang penting, (3) berbentuk bulat.

Menurut Sutedi (2003:145) polisemi adalah dalam satu bunyi (kata) terdapat makna lebih dari satu. Dalam bahasa Jepang kata yang merupakan satu bunyi dan memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang termasuk kedalam polisemi (tagigo) ada juga yang termasuk kedalam homonim (dou-on-igigo). Oleh karena itu, di buat batasan tentang kedua istilah tersebut. Menurut Kunihiro (1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145) polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu dan setiap maknanya memiliki pertautan, sedangkan yang dimaksud dengan homonim (dou-on-igigo) adalah kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. Perlu diperhatikan, huruf Kanji yang digunakan dalam dou-on-igigo berfungsi sebagai pembeda arti. Tetapi, dalam tagigo, penggunaan huruf Kanji yang berbeda tidak menjamin dapat membedakan arti (Kunihiro, 1996:94) dalam buku Sutedi (2003:145).

Untuk menganalisis polisemi sebaiknya dilakukan secara diakronis, karena akan menyangkut perkembangan pemakaian bahasa tersebut. Tetapi, ada juga yang menggunakan secara sinkronis. Dikarenakan, perkembangan bahasa tersebut sudah terlampau lama dan banyak sekali penggeserannya. Misalnya, kata

(39)

yomu (読む) yang berarti „membaca‟, sedangkan arti sebenarnya dulu adalah

„menghitung‟ dan makna tersebut sekarang sudah hilang. Oleh karena, tidak salah jika penelitian tentang tagigo dapat dilakukan secara sinkronis.

Machida & Momiyama (1997:109) dalam buku Sutedi (2003:146) langkah yang perlu dilakukan dalam menganalisis suatu polisemi, yaitu :

1. Pemilihan makna (imi-kubun)

2. Penentuan makna dasar (kihongi no nintei)

3. Deskripsi hubungan antar makna dalam bentuk struktur polisemi

(tagi-kouzou no hyouji ).

2.4 Pengertian Verba

Objek kajian pada penelitian ini termasuk ke dalam kelas kata verba. Kelas kata verba memiliki beberapa pengertian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Dalam bahasa Jepang, verba atau kata kerja disebut dengan doushi. Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang. Kemudian lanjutnya, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu.

(40)

Menurut Situmorang (2010:9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu:

: ugoku, dou : bergerak

: kotoba, shi : kata

動詞 : doushi : kata yang bermakna gerakan

Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (1992:149) menyataan bahwa doushi dapat mengalami perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Dahidi dan Sudjianto (1992:149) juga memberikan contoh sebagai berikut:

1. Amiru san wa Nihon e iku. „Amir (akan) pergi ke Jepang‟

2. Tsukue no ue ni rajio ga aru.‟Di atas meja ada radio‟

3. Indoneshia wa shigen ni todeiru.„Indonesia kaya akan sumber alam‟

Kata iku, aru, dan tomu pada kalimat-kalimat di atas termasuk doushi. Kata iku pada kalimat a menyatakan aktivitas Amir yang akan pergi ke Jepang, kata aru pada kalimat b menyatakan keberadaan (eksistensi) radio di atas meja, sedangkan kata tomu pada kalimat c menyatakan keadaan negara Indonesia yang akan sumber alam. Kata-kata seperti itu dapat mengalami perubahan tergantung pada konteks kalimatnya. Dalam bentuk kamus, verba selalu diakhiri dengan vocal /u/.

(41)

Maka bisa ditarik kesimpulan dari beberapa penjelasan tersebut bahwa definisi dari verba atau doushi adalah kelas kata yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, kelas kata yang mengalami perubahan, dan dapat menjadi predikat dalam sebuah kalimat.

Verba atau kata kerja dikelompokkan menjadi beberapa jenis seperti yang diuraikan oleh Sudjianto (2003:48) yaitu berdasarkan perubahannya.

Jenis-jenis tersebut dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan godan-doushi (五 段 動 詞), karena mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu A-I- U-E-O (あいうえお). Cirinya yaitu verba yang berakhiran (gobi) huruf U, TSU, RU, KU, GU, MU, NU, BU, SU (う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す).

買う ka-u <membeli>

立つ tat-tsu <berdiri>

売る u-ru <menjual>

書く ka-ku <menulis>

泳ぐ oyo-gu <berenang>

読む yo-mu <membaca>

死ぬ shi-nu <mati>

(42)

遊ぶ aso-bu <bermain>

話す hana-su <berbicara>

2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan ichidan-doushi ( 一 段 動 詞 ), karena perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini, yaitu yang berakhiran suara 「e-る / e-ru」(disebut kami-ichidan- doushi) atau berakhiran 「i-る / i-ru」(disebut shimo-ichidan-doushi), seperti berikut,

見る mi-ru <melihat/menonton>

起きる oki-ru <bangun>

寝る ne-ru <tidur>

食べる tabe-ru <makan>

3. Kelompok III

Verba kelompok III merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut henkaku doushi (変格動詞) dan hanya terdiri dari dua verba berikut.

する suru <melakukan>

来る kuru <datang>

(43)

Selain itu, banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Di antaranya ada yang menunjukkan jenis doushi seperti yang diterangkan oleh Shimizu dalam Sudjianto (2007:150), yaitu :

1. Tadoushi

Tadoushi atau verba transitif adalah verba yang memerlukan objek dalam kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “o (を)”.

Contohnya:

太郎が窓を開けた。

Tarou ga mado o aketa

<Tarou membuka jende>

2. Jidoushi

Jidoushi adalah verba intransitif yang tidak memerlukan objek dalam kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerluka partikel “wa”,”ga”,”ni”.

Contoh:

窓が開いた。

Mado ga aita

(44)

<Jendela terbuka>

3. Shodoushi

Shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukan pertimbangan pembicara, dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyogen).

Contoh:

見える mieru „terlihat‟

聞こえる kikoeru „terdengar‟‟

行ける ikeru „dapat pergi‟

似合う niau „sesuai‟

Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa verba toru termasuk ke dalam kelompok verba intransitif (jidoushi). Verba toru dapat

berdiri sendiri dan tidak memerlukan perlengkapan atau objek dalam kalimatnya.

Selain itu, toru juga dapat berfungsi sebagai fukugo doushi (kata kerja majemuk) maupun hojo doushi (kata kerja perlengkapan).

(45)

2.5 Makna Verba Toru

Verba toru dibagi menjadi delapan makna menurut kamus Gakken Kokugo Daijiten tahun 1978 oleh Haruhiko, Kindaichi. Delapan makna tersebut adalah sebagai berikut :

1. 手に持つ。

Te ni motsu

Menggenggam dengan tangan.

2. 手でつかんで移す。

Te de tsukande utsusu

Menggenggam dengan tangan kemudian memindahkan.

3. 身に負う。

Mi ni ou

Bertahan.

4. 選び出す。

Erabi dasu

Memilih.

5. 作り出す。

Tsukuri dasu Membangun.

6. 様子をはかり知る。

Yousu wo hakari shiru Mengetahui kondisi.

(46)

7. 場所や時間を占める

Basho ya jikan wo shimeru

Menggunakan tempat dan waktu.

8. (手で)行う。

(te de) okonau

Melaksanakan/ melakukan (dengan tangan).

(47)

BAB III

ANALISIS POLISEMI VERBA “TORU” DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai polisemi dan verba toru . Polisemi pada verba toru memiliki delapan makna yang berbeda-beda. Maka pada bab ini analisis mengenai perbedaan dari seluruh makna verba toru akan dipaparkan sesuai dengan konteks kalimatnya. Kutipan kalimat yang memiliki kata toru diambil dari majalah Nipponia dan Nipponica.

3.1 Makna Konteks Kalimat Polisemi Verba “Toru” dalam Kalimat Bahasa Jepang

Kutipan 1:

やがてラジオセンターの各店では、アマチュア無線の部品な ども取り扱うようになっていきました。

(Nipponia No.46, 2008:4)

Yagate rajio sentaa no kakuten de wa, amachua musen no buhin nado mo tori atsukau you ni natte ikimashita.

„Di setiap pusat radio yang ada, (mereka) semakin terbiasa menangani bagian-bagian nirkabel dan (peralatan) lainnya.‟

(48)

Analisis Kutipan 1:

Kalimat tersebut memiliki situasi kalimat di mana mereka mengurus bagian-bagian yang ada dalam pusat radio. Pada kalimat kutipan tersebut, kata toru digabung dengan kata atsukau (扱う). Kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya penggunaan peralatan-peralatan radio di pusat-pusat radio. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna melaksanakan dengan tangan.

Kutipan 2:

同じ家電でも、販売する際に専門知識を必要とするハイテク 家電を主に取り扱うようにしたり、外国人観光客向けの免税店を今 まで以上に充実させたりして、“元祖”電気街の地位を守るべく動 力している。

(Nipponia No.46, 2008:8)

Onaji kaden de mo, hanbai suru sai ni senmonchishiki wo hitsuyou to suru haiteku kaden wo omo ni toriatsukau you ni shitari, gaikokujin kankou kyaku muke no menzeiten wo ima de ijou ni juujitsu saretari shite,

“ganso” denkigai no chiiki wo mamorubeku doryoku shiteiru.

„Bahkan dengan peralatan rumah tangga yang sama, kita terutama menangani peralatan rumah tangga yang berteknologi tinggi yang

(49)

membutuhkan keahlian saat menjual, atau memperkaya toko bebas pajak untuk turis asing lebih dari sebelumnya, dan berusaha untuk melindungi status kota listrik "generasi asli".‟

Analisis Kutipan 2:

Kalimat kutipan tersebut memiliki situasi di mana ada nya penggunaan alat-alat rumah tangga yang berteknologi tinggi. Diperlukan keahlian saat menjual peralatan rumah tangga tersebut. Pada kalimat kutipan tersebut, keahlian yang diperlukan tersebut adalah untuk mengurus peralatan elektronik tersebut. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna melaksanakan dengan tangan.

Kutipan 3:

鉄道会社と煎餅の取り合わせが面白いと話題になり、各地か らぬれ煎餅の注文が殺到した。

(Nipponia No.43, 2007:9)

Tetsudou gaisha to senbei no tori awase ga omoshiroi to wadai ni nari, kakuchi kara nuresenbei no chuumon ga sattoushita.

„(Ketika) penggabungan perusahaan rel kereta dan kue beras menjadi topik dan menarik, pesanan kue beras basah dari berbagai tempat meningkat.‟

(50)

Analisis Kutipan 3:

Pada kalimat kutipan tersebut ada topik mengenai penggabungan perusahaan rel kereta dan kue beras adalah sebuah topik yang menarik. Makna kata tori ( 取 り ) pada kalimat tersebut berubah dari makna aslinya, yaitu mengambil. Kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna membentuk hal yang baru. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna membangun.

Kutipan 4:

貝から取り出せば、天然真珠と何ら変わらない「本物の真珠」

だ。

(Nipponika No.14, 2014:10)

Kai kara tori daseba, tennen shinju to nanra kawaranai “honmono no shinju” da.

„Jika diambil dari kerang, mutiara alami dan jenis (mutiara) apa pun adalah “mutiara yang asli”‟

Analisis Kutipan 4:

Kutipan kalimat tersebut memiliki situasi tentang penjelesan mengenai bagaimana yang disebut dengan „mutiara asli‟. Kalimat tersebut

(51)

menjelaskan bahwa semua mutiara yang diambil dari kerang adalah „mutiara asli‟.

Kata tori ( 取 り ) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna mengeluarkan sesuatu dari dalam, pada kalimat tersebut yang diambil adalah mutiara. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna menggenggam dengan tangan kemudian memindahkan.

Kutipan 5:

「巻き」は核を取り巻く真珠層の厚さで、「照り」は真珠内 部から放たれる光沢のこと。

(Nipponika No.14, 2014:11)

„Maki wa kaku wo tori maku shinjusou no atsusa de, “teri” wa shinju naibu kara hanatareru koutaku no koto.

„Maki merupakan ketebalan induk mutiara yang mengitari/melapisi batu (permata) dan “teri” merupakan kilauan memancar dari bagian dalam mutiara‟.

Analisis Kutipan 5:

Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi tentang penjelasan mengenai penjelasan definisi dari Maki dan Teri. Kata tori (取り) pada kalimat tersebut digunakan untuk menjelaskan kata Maki dan kata tori (取り) tersebut

(52)

berhubungan dengan adanya makna penggunaan ruang. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna penggunaan ruang atau „mengelilingi/melapisi‟.

Kutipan 6:

その対極にあるサビを取る還元力のある温泉を浴びれば、そ の優れ抗酸化作用によって科学的にも若返るのである。

(Nipponika No.16, 2015:15)

Sono taikyoku ni aru sabi wo toru kangenryoku no aruonsen wo abireba, sono sugureta kousankasyou ni yotte kagakuteki ni wakagaeru no de aru.

Jika anda mengambil air panas dengan karat yang dibawa pada sisi berlawanan, maka revitalisasi ilmiah akan meremajakannya dikarenakan efek antioksidannya yang sangat baik.

Analisis Kutipan 6:

Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi mengambil air dengan tangan. Makna kata toru pada kalimat tersebut bermakna „ambil‟. Kata toru pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna melaksanankan atau melakukan (suatu hal) dengan tangan.

(53)

Kutipan 7:

BOCCO にはセンサーが取りつけられており、ドアや窓の開 閉、照明のオンオフを感知。

(Nipponika No.16, 2015:20)

BOCCO ni wa sensaa ga toritsukerarete ori, doa ya mado no kaihei, shoumei no onofu wo kanchi.

BOCCO dilengkapi dengan sensor, pintu pembuka dan penutup jendela, serta pencahayaan on atau off.

Analisis Kutipan 7:

Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi tentang dijelaskannya BOCCO. BOCCO memiliki beberapa perlengkapan sehingga makna kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna

„dibangun‟. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna „dilengkapi‟.

Kutipan 8:

丸く焼けたところで取り出し、青海苔とかつおぶしをふり、

ソースをかけて出来上がり。

(Nipponika No.8, 1999:26)

(54)

Maruku yaketa tokorode toridashi, aonori toka tsuobushi wo furi, soosu wo kakete dekiagari.

Saat dibakar sampai habis, diambil pada saat biru, seolah ditutupi dengan daun hijau dan bonito, kemudian membuat saus dan selesai.

Analisis Kutipan 8:

Pada kalimat kutipan tersebut memiliki situasi dari kondisi pengambilan yang tepat. Kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya makna menggenggam dengan tangan, pada kalimat ini situasi pengambilan yaitu sesudah dibakar sampai habis, kemudian memindahkan dengan tangan. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna „diambil‟.

.3.2 Analisis Perubahan Nuansa Makna Verba “Toru”

Perbedaan makna pada masing-masing kalimat kutipan menunjukkan adanya お dengan konteks kalimat di mana verba toru digunakan.

Pada kalimat kutipan 1, penggunaan kata toru mendapatkan perluasan arti kata karena digabung dengan kata atsukau (扱う). Makna kata toru yang dipakai pada kalimat ini bermakna melaksanakan dengan tangan. Oleh karena itu, makna kata toru setelah dikonjugasikan dengan kata atsukau (扱う)

(55)

berubah makna dari makna aslinya, yaitu dari “mengambil”, menjadi

“menangani”.

Pada kalimat kutipan 2, Kata tori (取り) pada kalimat tersebut berhubungan dengan adanya penggunaan peralatan-peralatan elektronik. Oleh karena itu diperlukan kata Toru yang digabungkan dengan kata atsukau (扱う).

Makna dari kata tori atsukau (取り扱う) adalah „menangani‟. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan makna nya dengan makna toru yang bermakna melaksanakan dengan tangan.

Pada kalimat kutipan 3, penggunaan kata toru mendapatkan perluasan arti kata karena digabung dengan kata awase (合わせ). Makna kata toru yang dipakai pada kalimat ini bermakna membentuk hal yang baru atau menggabungkan. Oleh karena itu, makna kata toru berubah makna dari makna aslinya, yaitu dari “mengambil”, menjadi “menggabungkan”.

Pada kalimat kutipan 4, penggunaan kata toru mendapatkan perluasan arti kata karena digabung dengan kata daseba (出せば ). Makna kata toru yang dipakai pada kalimat ini bermakna menggenggam dengan tangan kemudian memindahkan atau mengambil. Oleh karena itu, makna kata toru tidak begitu berubah makna dari makna aslinya, yaitu “mengambil”

Pada kalimat kutipan 5, penggunaan kata toru mendapatkan perluasan arti kata karena digabung dengan kata maku (巻く). Makna kata toru yang dipakai pada kalimat ini berhubungan dengan adanya makna penggunaan

(56)

ruang. Oleh karena itu, makna kata toru berubah makna dari makna aslinya, yaitu dari makna “mengambil”, menjadi “mengelilingi / melapisi”.

Pada kalimat kutipan 6, verba toru tidak memiliki perubahan nuansa makna. Dikarenakan, kata tersebut merupakan kata tunggal sehingga hanya memunculkan makna dasar dari kata toru , yaitu „ambil‟.

Pada kalimat kutipan 7, kata toru memperoleh nuansa makna karena adanya tambahan kata tsukerarete (つけられて). Makna kata toru yang dipakai pada kalimat ini berhubungan dengan adanya makna dibangun, pada kalimat tersebut adanya perlengkapan pada BOCCO. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan maknanya dengan makna toru yang bermakna „dilengkapi‟.

Pada kalimat kutipan 8, kata toru memperoleh nuansa makna karena adanya tambahan kata dashi (出し). Makna kata toru yang dipakai pada kalimat ini berhubungan dengan adanya makna „diambil‟. Maka makna kata toru pada kalimat kutipan tersebut dapat dipadankan maknanya dengan makna toru yang bermakna menggenggam dengan tangan kemudian memindahkannya atau

„diambil‟.

(57)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan pada bab-bab sebelumnya, maka bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Verba dalam bahasa Jepang adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan, bisa berdiri sendiri, dan menduduki jabatan predikat dalam suatu kalimat. Verba toru merupakan salah satu kata dalam bahasa Jepang yang memiliki makna polisemi. Makna polisemi verba toru diketahui memiliki delapan makna, yaitu 手に持つ (te ni motsu) : menggenggam dengan tangan; 手でつかん で移す (te de tsukande utsusu) : menggenggam dengan tangan kemudian memindahkan; 身に負う (mi ni ou) : bertahan; 選び出す (erabi dasu) : memilih; 作り出す (tsukuri dasu) : membangun; 様子をはかり知る (yousu wo hakari shiru) : mengetahui kondisi; 場所や時間を占める (basho ya jikan wo shimeru) : menggunakan tempat dan waktu; dan (手で) 行う (te de okonau) : melaksanakan / melakukan dengan tangan.

2. Perubahan nuansa makna dari makna polisemi verba toru berhubungan erat dengan makna kata lain yang dipadankan dalam satu kalimat dengan verba toru. Berdasarkan pada kalimat kutipan yang telah dianalisis, makna verba toru memiliki banyak gabungan kata dan berubah makna

Referensi

Dokumen terkait

Ketigabelas IKU tersebut meliputi: Persentase hasil kajian/litbang LAN yang disebarluaskan kepada stakeholders; Jumlah lembaga diklat yang terakreditasi; Persentase

Sebagai sumber informasi tentang pengaruh lapisan edible pati kulit ubi kayu terhadap kualitas dan umur simpan buah jambu biji pada suhu kamar.

Asam askorbat dalam bahan pangan berfungsi sebagai penangkap oksigen sehingga mencegah proses oksidasi, mendegenerisasi fenolik atau antioksidan larut lemak, menjaga

Komposisi Jenis dan Potensi Ancaman Tumbuhan Asing Invasif di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat.. Pengantar Ekologi

Saya/Kami menyetujui bahwa Pernyataan ini dan jawaban-jawaban yang diberikan di atas, serta setiap permohonan atau pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh saya/kami sendiri

Perbedaan Kemampuan Gerak ( Motor Ability ) Berbasis Status Gizi Kurang, Normal, Dan Lebih Pada Siswa Laki-Laki Sdn Gumuruh 8 Batununggal.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dalam Kitâb al- Burhân, Ibn Rusyd menjelaskan perbedaan keduanya sebagai berikut: (1) konsepsi menjelaskan essensi suatu objek yang dikonsepsikan (definiendum),

KTP yang dibuat tepat waktu / Jumlah total KTP yang dilayani1. (83%) (96%) 98% 98%