• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan (libraryresearch). Metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dengan menggunakan buku atau referensi yang berkaitan dengan masalah apa yang sedang dibahas. Menurut Mahsun (2007:92) dalam skripsi Novianti (2015:25) sedangkan untuk teknik penyajian data di dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif yaitu dengan memberikan penjabaran dan uraian yang menggunakan kata-kata.

Penulisan deskriptif mengumpulkan data-data yang diperoleh melalui metode kepustakaan (library research). Dalam hal ini, penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti. Jadi dengan metode kepustakaan dan metode penulisan deskriptif, penulis mencoba menyelesaikan skripsi ini.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MAKNA, POLISEMI, DAN TEORI TENTANG MAKNA VERBA “TORU”

2.1 Pengertian Semantik

Dalam mempelajarin sebuah bahasa, kita mengetahui linguistik sebagai bidang ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Sematik merupakan salah satu kajian dalam bidang studi linguistik yang membahas tentang makna.

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : Semantics) berasal dari bahasa yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”.

Kata kerjanya adalah semiano yang berarti “menandai” atau “melambangkan”.

Yang dimaksud dengan tanda atau melambangkan di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: Signe Linguistique). (Chaer, 2002:2)

Ferdinand de Saussure dalam Chaer (2002:2) mengatakan bahwa tanda linguistik terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentu-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau lambangi adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.

Kata semantik ini yang kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatika, dan semantik (chaer, 2002:3).

Dalam bahasa Jepang, Semantik disebut dengan (Imiron). Ilmu yang mengkaji tentang makna. Semantik memegang peranan penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tiada lain untuk menyampaikan makna.

Misalnya, ketika seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu bicara bias memahami apa yang dimaksud, karena ia bias menyerap makna yang dimaksud.

Sutedi (2003:103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relaksi makna (go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan makna kalimat (bun ni imi).

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa semantik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna.

2.2 Tinjauan Terhadap Makna

2.2.1 Pengertian Makna

Setiap penelitian yang berkaitan dengan kebahasaan atau linguistik seperti struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak terlepas dari konsep tentang makna. Dalam komunikasi, kata yang diucapkan harus mengandung makna agar maksud yang ingin disampaikan tercapai.

Ulman (2007:65) mengatakan makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontrovesial dalam teori tentang bahasa. Dalam buku The Meaning Of Meaning, Odgen dan Richards mengumpulkan tidak kurang dari 16 defenisi yang berbeda bahkan menjadi 23 batasan makna jika tiap bagian dipisahkan.

Didalam kamus terdapat makna yang disebut dengan makna leksikal atau makna sebenarnya. Namun, banyak orang yang sulit menerapkan makna yang terdapat dalam kamus karena makna sebuah kata sering bergeser dari makna aslinya jika berada dalam satuan kalimat. Dengan kata lain sebuah kata terkadang memiliki makna yang luas atau lebih dari satu seperti ketika berhadapan dengan idiom, gaya bahasa, ungkapan, peribahasa dan lainnya.

Kata makna di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Dedikbud, 1993:619), diartikan (1) ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (2) maksud pembicara atau penulis, (3) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan.

Sutedi (2008:123) berpendapat dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata imi (意味) dan Igi (意義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa (tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue. Dalam bahasa Jepang, makna sebagai objek kajian semantik antara lain makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei), makna frase (ku no imi), makna kalimat (bun no imi) .

2.2.2 Jenis-Jenis Makna

Menurut Chaer (2002:59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang.

Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensi dan makna non referensi, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotative dan makna konotatif, berdasarkan ketepatan maknanya dikenal adanya makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik dan sebagainya. Berikut akan dibahas jenis-jenis makna tersebut.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (2002:60) makna leksikal adalah bentuk ajektiva yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, leksem, atau bersifat kata. Karena itu, dapat dikatakan pula bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita.

Menurut Sutedi (2008:115), makna leksikal dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah Jishoteki-imi ( 辞 書 的 意 味 ) atau Goiteki-imi ( 語 彙 的 意 味 ).

Makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indra dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Misalnya, kata Neko (猫) dan kata Gakkou (学校) memiliki makna leksikal : <kucing> dan <sekolah>.

Makna gramatikal, menurut Chaer (2002:63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan, menurut Sutedi (2008:115) makna gramatikal dalam bahasa Jepang disebut Bunpouteki imi (文法的意味) yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya. Makna gramatikal muncul ketika terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatiasi.

2. Makna Referensial dan Nonreferensial

Menurut Chaer (2002:63), perbedaan makna referensial dan non referensial berdasarkan ada tidak adanya refern dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu diluar bahasa yang di acu oleh kata itu,maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, makna kata-kata itu disebut kata bermakna nonreferensial.

Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut „meja‟ dan „kursi‟. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, kata karena dan tetapi termasuk kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Konotatif

Menurut Chaer (2002:65), makna denotatif (sering disebut juga makna denotasional, makna konseptual atau makna kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif biasa diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengamatan lainnya. Makna denotatif dapat diartikan dengan makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna denotatif sama dengan makna leksikal.

Sedangkan makna konotatif , menurut Sutedi (2008:115) yaitu makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa, seperti suatu objek atau gagasan dan bias dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna konotatif juga bias diartikan dengan makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok yang menggunakan kata tersebut. Misalnya, kata gerombolan bersinonim dengan kelompok. Tetapi, kata gerombolan memiliki konotasi yang lebih negative atau rasa yang tidak mengenakan.

4. Makna Konseptual Dan Makna Asosiatif

Menurut Leach (1976) didalam buku Chaer (2002:293) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Makna konseptual memiliki kesamaan dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.

Menurut Chaer (2002:293) makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa. Misalnya, kata “merah” berasosiasi dengan „berani‟ atau „paham komunis‟. Makna asosiatif dapat diartikan dengan lambang atau pelambangan yang digunakan suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau leksem tersebut.

5. Makna Kata Dan Makna Istilah

Setiap kata atau leksem memiliki makna. Menurut Chaer (2002:294) makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Dalam penggunaannya makna kata akan menjadi jelas jika kata itu sudah berada didalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya.

Berbeda dengan kata, yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Istilah lebih sering digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.

6. Makna Idiom Dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya , baik secara leksikal maupun secara gramatikal, (Chaer, 2002:296). Misalnya, secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna

„yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima uangnya‟. Tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk gigi tidaklah berarti seperti itu, melainkan bermakna „tertawa keras-keras‟. Jadi makna seperti itulah yang disebut makna idiomatical.

Idiom dibedakan menjadi dua, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan. Sehingga makna yang dimiliki berasal dari satu kesatuan

tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.

Peribahasa memiliki makna yang masih bisa ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa, (Chaer, 2002:297). Seperti, tong kosong nyaring bunyinya yang bermakna „orang yang banyak bicara biasanya tidak berilmu‟.

Makna ini dapat ditarik dari asosiasi; tong yang berisi jika dipukul tidak mengeluarkan bunyi, tetapi tong yang kosong akan mengeluarkan bunyi yang keras dan nyaring.

Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada didunia, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memiliki kebudayaan yang tinggi.

2.2.3 Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya (Chaer, 2002:297). Satuan bahasa yang dimaksud disini berupa kata, frase, maupun kalimat, relasi semantik.

Dalam setiap bahasa, seringkali ditemui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik. Hubungan tersebut menyangkut kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (Polisemi) atau juga kelebihan makna (redundasi).

2.2.4 Perubahan Makna Dalam Bahasa Jepang

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengaruh bahasa asing.

Berikut merupakan jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang menurut Sutedi (2003:108) :

1. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata atama (頭) <kepala>, ude (腕) <lengan>, michi (道) <jalan>

yang merupakan benda konkrit berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut :

頭がいい atama ga ii <kepandaian>

腕が上がる ude ga agaru <kemampuan>

日本語教師への道 nihongo kyoushi e no michi

<cara/petunjuk>

2. Dari ruang ke waktu

Seperti kata mae (前) <depan> dan nagai (長い) <panjang> yang menyatakan arti <ruang>, berubah menjadi <waktu> seperti contoh berikut:

三年前 sannen mae <yang lalu>

長い時間 nagai jikan <lama>

3. Perubahan bentuk indera

Misalnya kata ookii ( 大 きい ) <besar> semula diamati dengan indera pendengaran „telinga‟, seperti pada ooki koe (大きい声) <suara keras>, kata amai (甘い) <manis> dari indera perasa menjadi karakter seperti dalam amai ko (甘い子) <anak manja>

4. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Misalnya kata kimono ( 着 物 ) yang semula berarti 'pakaian tradisional Jepang' digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umu fuku (服) dan sebagainya.

5. Dari yang umum ke khusus

Misalnya hana (花) <bunga secara umum> dengan tamago (卵)

<telur secara umum> digunakan untuk menunjukkan hasil yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut:

花見 hana-mi <bunga

sakura>

卵を食べる tamago wo taberu <makan telur ayam>

6. Perubahan nilai negativ

Seperti kata kisama (貴様) <kamu> dulu sering digunakan untuk menunjukkan kata anata ( あ なた ) <anda>, tetapi sekarang digunakan hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dari yang baik menjadi kurang baik.

7. Perubahan nilai positif

Misalnya kata boku ( 僕 ) <saya> digunakan untuk budak atau pelayan, tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai yang dari kurang baik menjadi baik.

2.3 Pengertian Polisemi

Menurut Chaer (2002:301) polisemi adalah sebuah kata atau satuan kata atau kata yang mempunyai makna yang lebih dari satu. Dalam polisemi ini, biasa makna pertama adalah makna yang sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih berkaitan satu dengan yang lain.

Misalnya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan , (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan dan merupakan hal penting seperti pada kepala meja dan kepala kereta api, (3) bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala pakudan kepala jarum.

Misalnya makna leksikal kata kepala di atas adalah „bagian tubuh manusia atau hewan dari leher keatas‟. Makna leksikal ini yang sesuai dengan referen (lazim disebut orang makna asal, atau makna sebenarnya) mempunyai banyak unsur atau komponen makna. kata kepala di atas, antara lain memiliki komponen makna: (1) terletak di sebelah atas atau depan, (2) merupakan bagian yang penting, (3) berbentuk bulat.

Menurut Sutedi (2003:145) polisemi adalah dalam satu bunyi (kata) terdapat makna lebih dari satu. Dalam bahasa Jepang kata yang merupakan satu bunyi dan memiliki makna lebih dari satu banyak sekali, serta didalamnya ada yang termasuk kedalam polisemi (tagigo) ada juga yang termasuk kedalam homonim (dou-on-igigo). Oleh karena itu, di buat batasan tentang kedua istilah tersebut. Menurut Kunihiro (1996:97) dalam buku Sutedi (2003:145) polisemi (tagigo) adalah kata yang memiliki makna lebih dari satu dan setiap maknanya memiliki pertautan, sedangkan yang dimaksud dengan homonim (dou-on-igigo) adalah kata yang bunyinya sama, tetapi maknanya berbeda diantara makna tersebut sama sekali tidak ada pertautannya. Perlu diperhatikan, huruf Kanji yang digunakan dalam dou-on-igigo berfungsi sebagai pembeda arti. Tetapi, dalam tagigo, penggunaan huruf Kanji yang berbeda tidak menjamin dapat membedakan arti (Kunihiro, 1996:94) dalam buku Sutedi (2003:145).

Untuk menganalisis polisemi sebaiknya dilakukan secara diakronis, karena akan menyangkut perkembangan pemakaian bahasa tersebut. Tetapi, ada juga yang menggunakan secara sinkronis. Dikarenakan, perkembangan bahasa tersebut sudah terlampau lama dan banyak sekali penggeserannya. Misalnya, kata

yomu (読む) yang berarti „membaca‟, sedangkan arti sebenarnya dulu adalah

„menghitung‟ dan makna tersebut sekarang sudah hilang. Oleh karena, tidak salah jika penelitian tentang tagigo dapat dilakukan secara sinkronis.

Machida & Momiyama (1997:109) dalam buku Sutedi (2003:146) langkah yang perlu dilakukan dalam menganalisis suatu polisemi, yaitu :

1. Pemilihan makna (imi-kubun)

2. Penentuan makna dasar (kihongi no nintei)

3. Deskripsi hubungan antar makna dalam bentuk struktur polisemi

(tagi-kouzou no hyouji ).

2.4 Pengertian Verba

Objek kajian pada penelitian ini termasuk ke dalam kelas kata verba. Kelas kata verba memiliki beberapa pengertian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Dalam bahasa Jepang, verba atau kata kerja disebut dengan doushi. Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang. Kemudian lanjutnya, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu.

Menurut Situmorang (2010:9), makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu:

: ugoku, dou : bergerak

: kotoba, shi : kata

動詞 : doushi : kata yang bermakna gerakan

Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (1992:149) menyataan bahwa doushi dapat mengalami perubahan dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Dahidi dan Sudjianto (1992:149) juga memberikan contoh sebagai berikut:

1. Amiru san wa Nihon e iku. „Amir (akan) pergi ke Jepang‟

2. Tsukue no ue ni rajio ga aru.‟Di atas meja ada radio‟

3. Indoneshia wa shigen ni todeiru.„Indonesia kaya akan sumber alam‟

Kata iku, aru, dan tomu pada kalimat-kalimat di atas termasuk doushi. Kata iku pada kalimat a menyatakan aktivitas Amir yang akan pergi ke Jepang, kata aru pada kalimat b menyatakan keberadaan (eksistensi) radio di atas meja, sedangkan kata tomu pada kalimat c menyatakan keadaan negara Indonesia yang akan sumber alam. Kata-kata seperti itu dapat mengalami perubahan tergantung pada konteks kalimatnya. Dalam bentuk kamus, verba selalu diakhiri dengan vocal /u/.

Maka bisa ditarik kesimpulan dari beberapa penjelasan tersebut bahwa definisi dari verba atau doushi adalah kelas kata yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, kelas kata yang mengalami perubahan, dan dapat menjadi predikat dalam sebuah kalimat.

Verba atau kata kerja dikelompokkan menjadi beberapa jenis seperti yang diuraikan oleh Sudjianto (2003:48) yaitu berdasarkan perubahannya.

Jenis-jenis tersebut dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan godan-doushi (五 段 動 詞), karena mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu A-I-U-E-O (あいうえお). Cirinya yaitu verba yang berakhiran (gobi) huruf U, TSU, RU, KU, GU, MU, NU, BU, SU (う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す).

買う ka-u <membeli>

立つ tat-tsu <berdiri>

売る u-ru <menjual>

書く ka-ku <menulis>

泳ぐ oyo-gu <berenang>

読む yo-mu <membaca>

死ぬ shi-nu <mati>

遊ぶ aso-bu <bermain>

話す hana-su <berbicara>

2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan ichidan-doushi ( 一 段 動 詞 ), karena perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini, yaitu yang berakhiran suara 「e-る / e-ru」(disebut kami-ichidan-doushi) atau berakhiran 「i-る / i-ru」(disebut shimo-ichidan-kami-ichidan-doushi), seperti berikut,

見る mi-ru <melihat/menonton>

起きる oki-ru <bangun>

寝る ne-ru <tidur>

食べる tabe-ru <makan>

3. Kelompok III

Verba kelompok III merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut henkaku doushi (変格動詞) dan hanya terdiri dari dua verba berikut.

する suru <melakukan>

来る kuru <datang>

Selain itu, banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Di antaranya ada yang menunjukkan jenis doushi seperti yang diterangkan oleh Shimizu dalam Sudjianto (2007:150), yaitu :

1. Tadoushi

Tadoushi atau verba transitif adalah verba yang memerlukan objek dalam kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerlukan partikel “o (を)”.

Contohnya:

太郎が窓を開けた。

Tarou ga mado o aketa

<Tarou membuka jende>

2. Jidoushi

Jidoushi adalah verba intransitif yang tidak memerlukan objek dalam kalimatnya. Dengan kata lain verba ini memerluka partikel “wa”,”ga”,”ni”.

Contoh:

窓が開いた。

Mado ga aita

<Jendela terbuka>

3. Shodoushi

Shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukan pertimbangan pembicara, dan tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyogen).

Contoh:

見える mieru „terlihat‟

聞こえる kikoeru „terdengar‟‟

行ける ikeru „dapat pergi‟

似合う niau „sesuai‟

Dari pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa verba toru termasuk ke dalam kelompok verba intransitif (jidoushi). Verba toru dapat

berdiri sendiri dan tidak memerlukan perlengkapan atau objek dalam kalimatnya.

Selain itu, toru juga dapat berfungsi sebagai fukugo doushi (kata kerja majemuk) maupun hojo doushi (kata kerja perlengkapan).

2.5 Makna Verba Toru

Verba toru dibagi menjadi delapan makna menurut kamus Gakken Kokugo Daijiten tahun 1978 oleh Haruhiko, Kindaichi. Delapan makna tersebut adalah sebagai berikut :

1. 手に持つ。

Te ni motsu

Menggenggam dengan tangan.

Menggenggam dengan tangan.

Dokumen terkait