• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Edible Coating Berbasis Pati Kulit Ubi Kayu Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Buah Jambu Biji Merah Pada Suhu Kamar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Edible Coating Berbasis Pati Kulit Ubi Kayu Terhadap Kualitas dan Umur Simpan Buah Jambu Biji Merah Pada Suhu Kamar"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Jambu Biji Merah

Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu dan bukan

merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini pertama kali ditemukan di

Amerika Tengah oleh Nikolai Ivanovich Vavilov saat melakukan ekspedisi ke

beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Selatan, dan Uni Soviet antara

tahun 1887 – 1942. Seiring dengan berjalannya waktu, jambu biji menyebar di

beberapa negara seperti Thailand, Taiwan, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan

Australia. (Parimin, 2005).

Jambu biji termasuk buah-buahan yang bernilai komoditas tinggi dan salah

satu buah yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam bahasa inggris

disebut Lambo guava. Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava.

Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu “psidium” yang berarti delima,

“guajava” berasal dari nama yang diberikan oleh orang Spanyol. Jambu

biji (Psidium guajava) atau sering juga disebut jambu batu, jambu siki dan jambu

klutuk adalah tanaman tropis yang berasal dari Amerika Tengah dan sebagian

sumber menyebut dari Brazil, buah ini disebarkan ke Indonesia melalui Thailand.

Jambu biji memiliki buah yang berwarna hijau (agak kekuningan jika telah

matang) dengan daging buah berwarna putih atau merah dan berasa asam-manis.

Di antara berbagai jenis buah, jambu biji mengandung vitamin C yang paling

tinggi dan cukup mengandung vitamin A. Tanaman ini mampu menghasilkan

buah sepanjang tahun dan tahan terhadap beberapa hama dan penyakit (Dasuki,

(2)

Dalam dunia tumbuh-tumbuhan, tanaman jambu biji merah

diklasifikasikan sebagai berikut (Dasuki, 1992) :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Sub class : Rosidae

Ordo : Myrtales

Famili : Myrtaceae

Genus : Psidium

Spesies : Psidium guajava L.

Jambu biji merah merupakan buah klimaterik. Ciri buah klimaterik adalah

adanya peningkatan respirasi yang tinggi dan mendadak (respiration burst) yang

menyerupai atau mendahului pemasakan, melalui peningkatan CO2 dan etilen.

Masa simpan buah klimaterik yang pendek menjadikan kerusakan pascapanen

yang cepat (Widodo, 2009).

Jambu biji merah banyak mengandung kandungan gizi penting seperti vitamin C, A dan riboflavin. Protein, serat, serta mineral juga banyak terkandung dalam buah tersebut. Jambu biji merah dapat dikonsumsi segar ataupun diolah menjadi jus, pulps, selai, jelly, atau manisan buah kering (Cabral, dkk., 2007).

(3)

itu, jambu biji merah juga merupakan buah yang memiliki kandungan serat yang tinggi, yaitu 5,60 mg/100 g (Wirakusumah, 1998). Kandungan gizi dalam 100 gram buah jambu biji merah adalah seperti yang tampak pada Tabel 1.

Tabel 1.Kandungan gizi buah jambu biji merah per 100 gram

Jenis zat gizi Banyaknya kandungan gizi

Energi (kal) 49,00

Perubahan Fisika dan Kimia Buah Selama Pematangan

Secara umum buah masak mengalami perubahan fisika dan kimia setelah

panen. Sebagian besar perubahan fisika dan kimia yang terjadi berhubungan

dengan metabolisme oksidatif, termasuk di dalamnya proses respirasi. Keadaan ini

menentukan mutu buah yang akan dibeli oleh konsumen. Pemasakan adalah hasil

dari perubahan yang kompleks, kebanyakan dari perubahan tersebut mungkin

terjadi sendiri-sendiri bebas satu sama lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi

pada waktu pemasakan buah adalah pematangan biji, perubahan kecepatan

respirasi, perubahan kecepatan produksi etilen, perubahan permeabilitas jaringan

(4)

asam organik, vitamin C, produksi cita rasa dan perkembangan lilin pada kulit

(Zulfebriadi, 1988).

Perubahan kekerasan

Kekerasan buah setelah dipanen dan disimpan akan mengalami penurunan,

baik kulit maupun dagingnya. Pemecahan polimer karbohidrat, khususnya

senyawa pektin dan hemiselulosa, menyebabkan dinding sel dan daya ikat kohesif

menjadi lemas sehingga kekerasan akan semakin berkurang (Wills, dkk.,1981).

Tekstur buah bergantung pada ketegangan, ukuran, bentuk, keterikatan sel-sel, adanya jaringan penunjang, dan susunan tanamannya. Selain itu, tekstur buah sangat bervariasi dan tergantung pada tebalnya kulit luar, kandungan total zat padat, dan kandungan pati. Selama penyimpanan, turunnya ketegangan disebabkan oleh pembongkaran protopektin yang tak larut menjadi asam pektat dan pektin yang lebih mudah larut dalam air (Pantastico, 1986).

Menurut Apandi (1984) perubahan tekstur yang terjadi pada buah yaitu dari keras menjadi lunak sebagai akibat terjadinya proses kelayuan akibat respirasi dan transpirasi. Proses kalayuan ini merupakan masa senescence atau penuaan yang disusul dengan kerusakan buah. Adanya proses respirasi dan transpirasi menyebabkan buah dan sayur kehilangan air akibat berkurangnya karbon dalam proses respirasi.

Perubahan total gula

Total gula pada buah-buahan selalu meningkat karena terjadinya degradasi

dari karbohidrat dan menurun pada hari tertentu karena gula digunakan untuk

(5)

digunakan untuk melakukan aktifitas seluruh sisa hidup dari buah tersebut

(Winarno dan Aman, 1981).

Menurut Rachmawati (2010), degradasi pati menjadi gula sederhana menyebabkan terjadinya peningkatan total gula dan selanjutnya terjadi penurunan total gula disebabkan sebagian gula digunakan dalam proses respirasi atau diubah dalam senyawa lain.

Perubahan asam organik

Umumnya yang menyebabkan asam organik pada buah menurun selama

pematangan dikarenakan sebagian asam organik tersebut digunakan untuk

mendukung proses respirasi atau dalam aktifitas metabolik, serta sebagai sumber

energi (Wills, dkk., 1981).

Selama pematangan biasanya asam-asam organik pada buah menurun karena menjadi substrat respirasi atau dikonversi menjadi gula untuk aktivitas metabolik buah. Asam dapat dianggap sebagai sumber energi cadangan pada buah. Pengecualian untuk buah pisang dan nenas, pada tahap matang penuh kandungan asamnya tetap tinggi (Hartanto, 2002).

Perubahan vitamin C

Asam askorbat atau vitamin C dalam jaringan disintesis dari heksosa.

Kandungan heksosa akan meningkat selama masa penyimpanan, akibatnya asam

askorbat akan mengalami peningkatan pula (Suharto, 1991). Penurunan kadar

(6)

penyerangan oksidasi oleh molekul oksigen menghasilkan radikal anion askorbat dan H2O yang diikuti pembentukan dehidro asam askorbat dan hidrogen peroksida. Dehidro asam askorbat (asam L-dehidroaskorbat) merupakan bentuk oksidasi dari asam L-askorbat yang masih mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Namun asam L-dihidroaskorbat bersifat sangat labil dan mengalami perubahan menjadi 2,3-L-diketogulonat (DKG). DKG yang terbentuk sudah tidak mempunyai keaktifan vitamin C lagi sehingga jika DKG tersebut sudah terbentuk maka akan mengurangi bahkan menghilangkan vitamin C yang ada dalam produk (Andarwulan dan Sutrisno, 1992).

Kulit Ubi Kayu

Menurut sejarahnya tanaman ubi kayu yang ada di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor mendatangkan bibit ubi kayu dari Suriname. Setelah itu bibit-bibit tersebut diperbanyak, dan pada tahun 1854 dikirim ke semua keresidenan di seluruh pulau Jawa. Akibat berkobarnya Perang Dunia I dan macetnya impor beras, penanaman ubi kayu diperluas dengan cepat, karena dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya kekurangan bahan pangan (Sosrosoedirjo, 1992). Berikut di bawah ini merupakan klasifikasi dari tanaman ubi kayu (Steenis, 2005) :

Division : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub Diviso : Angiospermae (berbiji tertutup) Classis : Dicotyledoneae

(7)

Spesies : Manihot utilissima Pohl., Manihot esculenta Crantz sin.

Ubi kayu (Manihot utilssima Pohl.) merupakan tanaman pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, ubi kayu, atau kasape. Ubi kayu berasal dari benua Amerika, tepatnya dari negara Brasil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Ubi kayu diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun 1852 (Hambali, dkk., 2007).

Kulit umbi kayu yang diperoleh dari produk tanaman ubi kayu (Manihot esculenta Cranz atau Manihot utilissma Pohl) merupakan limbah utama pangan di

(8)

Gambar 1. Ubi kayu dan struktur bagiannya

Menurut data BPS (2015) produktivitas ubi kayu di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 23.436.384 ton, dan diramalkan produksi pada tahun 2015 sebesar 23.969.869 ton. Limbah kulit ubi kayu yang dihasilkan adalah sebesar 16% dari bobot tersebut (Hidayat, 2009). Ubi kayu dipanen pada umur 6-8 bulan untuk varietas Genjah dan 9-12 bulan untuk varietas Dalam (Prihatman, 2000). Kulit ubi kayu merupakan limbah berupa kupasan hasil pengolahan gaplek, tapioka, tape, dan panganan berbahan dasar ubi kayu lainnya. Potensi kulit ubi kayu di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil ubi kayu terbesar di dunia dan terus mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya. Berikut disajikan kandungan yang terdapat pada kulit ubi kayu pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kandungan kulit ubi kayu per 100 gram

Komposisi Kulit ubi kayu

Kalori (kkal) 157

Protein (g) 8,11

Lemak (g) 1,29

Karbohidrat (g) 74,73

Serat kasar (mg) 15,20

Air (g) 17,00

(9)

Kulit ubi kayu juga mengandung kadar asam biru atau asam sianida (HCN). Kandungan asam sianida dalam kulit ubi kayu dapat dikurangi melalui beberapa perlakuan tertentu agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilaporkan oleh Cuzin dan Labat (1992) bahwa total kandungan asam sianida pada kulit ubi kayu berkisar antara 150 sampai 360 mg HCN per kg berat segar. Namun kandungan asam sianida ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh varietas tanaman singkong (De Bruijn, 1973). Richana (2012) mengatakan bahwa asam sianida mudah hilang selama diproses seperti dalam perendaman, pengeringan, perebusan, dan fermentasi.

Pati

(10)

mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Greenwood dan Munro, 1979; Winarno 2008).

Pati alami umumnya memiliki jumlah amilopektin yang lebih banyak dibandingkan amilosa, karena itu molekul pati tidak mudah larut air dingin. Amilosa memiliki sifat sangat hidrofilik karena banyak mengandung gugus hidroksil dibandingkan dengan amilopektin. Molekul amilosa cenderung membentuk susunan paralel melalui ikatan hidrogen. Kumpulan amilosa dalam air (air panas) sulit membentuk gel, meski konsentrasinya tinggi. Berbeda dengan amilopektin yang strukturnya bercabang, pati akan mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air panas (Winarno, dkk., 1980).

Edible Coating

Menurut Gennadios, dkk. (1990), edible coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode pencelupan (dipping) merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama pada sayuran, buah daging dan ikan, di mana produk dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating.

Edible coating dapat membentuk suatu pelindung pada bahan pangan

(11)

pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau sebaliknya, serta sebagai antifungal dan antimikroba (Krochta, dkk., 1994).

Komponen utama penyusun edible coating terdiri atas tiga kategori, yaitu hidrokoloid, lipid, dan komposit (campuran). Hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai penyusun edible coating adalah protein (gelatin, kasein, protein kedelai, protein jagung, dan gluten gandum) dan polisakarida (pati, alginat, pektin, gum arab, dan modifikasi karbohidrat lainnya). Sedangkan lipid yang dapat digunakan sebagai bahan penyusun edible coating adalah lilin, bees wax, gliserol, dan asam lemak. Sering juga ditambahkan bahan baku seperti antimikroba, antioksidan, flavor, pewarna, dan plasticizer dalam pembuatan coating (Kroctha, dkk., 1994).

Edible coating yang terbuat dari hidrokoloid memiliki beberapa kelebihan

di antaranya baik untuk melindungi produk terhadap oksigen, karbondioksida, lipid, serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk. Kekurangannya adalah coating dari polisakarida kurang baik digunakan untuk mengatur migrasi uap air, sedangkan coating dari protein biasanya sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Edible coating yang dibuat dari lipid memiliki beberapa kelebihan, di antaranya baik digunakan untuk melindungi produk dari penguapan air atau sebagai bahan pelapis untuk mengoles produk konfeksionari. Kekurangannya adalah kegunaannya dalam bentuk murni sebagai coating terbatas, karena cukup banyak kekurangan integritas dan ketahanannya

(Donhowe dan Fennema,1993, diacu dalam Krochta, dkk.,1994).

(12)

sehingga permukaan menjadi mengkilat; (3) mengurangi terjadinya dihidrasi sehingga susut bobot dapat dicegah ; (4) mengurangi kontak oksigen dengan bahan sehingga oksidasi dapat dihindari (ketengikan dapat dihambat); (5) sifat asli produk seperti flavor tidak mengalami perubahan; dan (6). memperbaiki penampilan produk (Santoso, dkk., 2004).

Respirasi

Setelah pemanenan, buah dan sayuran masih melangsungkan kegiatan metabolisme. Selama kegiatan terjadi degradasi komponen di dalam buah dan sayur menjadi komponen yang lebih sederhana. Proses tersebut terus berlangsung hingga akhirnya buah dan sayur menjadi layu dan busuk. Aktivitas metabolisme adalah respirasi atau pernapasan, di mana terjadi penyerapan oksigen (O2) dan pelepasan karbondioksida (CO2) melalui pemecahan komponen-komponen yang terkandung di dalam buah dan sayur tersebut. Selain itu, terjadi juga transpirasi (pelepasan uap air) melalui pori-pori permukaan buah dan sayur. Transpirasi yang terus-menerus terjadi, pada akhirnya akan menyebabkan buah dan sayur menjadi layu (Wulandari, 2006).

(13)

waktu yang singkat persediaan substrat akan habis dan akhirnya buah tersebut akan mati dan busuk (Muchtadi dan Sugiyono, 1989).

Gliserol

Aplikasi edible coating polisakarida sering dikombinasikan dengan beberapa pangan fungsional seperti resin, plasticizer, surfaktan, minyak, lilin (waxes), dan emulsifier yang memiliki fungsi memberikan permukaan yang halus dan mencegah kehilangan uap air (Kroctha, dkk., 1994). Menurut Banker (1966), plasticizer merupakan substansi tidak mudah menguap (non volatile), memiliki

titik didih yang tinggi, dan bila ditambahkan ke dalam suatu materi dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik materi tersebut. Plasticizer dapat mengurangi gaya intermolekul sepanjang rantai polimer, sehingga mengakibatkan fleksibilitas edible film meningkat, dan mengakibatkan naiknya permeabilitas film tersebut. Plasticizer ditambahkan pada pembuatan edible coating untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah (Kester dan Fennema,1989).

Salah satu plasticizer yang dapat digunakan dalam pembuatan edible coating adalah gliserol. Gliserol efektif sebagai plasticizer karena kemampuannya

mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekular sehingga dapat melunakkan struktur film. Gliserol bersifat humektan, di mana bagian dari aksi plasticizing berasal dari kemampuannya untuk menahan air pada edible coating

(14)

Gambar 2. Struktur gliserol (Pixshark, 2015)

Carboxymethyl Cellulose (CMC)

Carboxymethyl cellulose (CMC) banyak digunakan sebagai bahan

penstabil pada berbagai jenis makanan. Jenis CMC yang banyak dipakai pada industri makanan adalah garam Na carboxy methyl cellulose, atau disingkat CMC, yang dalam bentuk murninya disebut gum selulosa. CMC dapat dibuat dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni, kemudian ditambahkan Na kloroasetat (Winarno, 1997). Struktur kimia CMC dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur CMC (Weikem, 2010)

(15)

pH optimum CMC adalah 5 dan pada pH<3 CMC akan mengendap (Winarno, 1997).

CMC mampu bereaksi dengan gula, pati, dan hidrokoloid lainnya. Selain itu, CMC juga membantu melarutkan protein yang berada dalam bahan pangan seperti kasein, gelatin, dan protein kedelai. CMC jarang digunakan sebagai bahan dasar tunggal dalam pembuatan edible film. Akan tetapi kemampuannya dalam membentuk film yang kuat dan tahan minyak sangat baik diaplikasikan (Kroctha, dkk., 1994).

CMC banyak dimanfaatkan dalam formulasi coating untuk melapisi produk-produk segar maupun olahan karena fungsi yang dimilikinya. Beberapa fungsinya adalah untuk menjaga tekstur alami, kerenyahan dan kekerasan produk, menghambat pertumbuhan kapang pada keju dan sosis, dan mengurangi penyerapan oksigen tanpa menyebabkan peningkatan karbondioksida pada jaringan buah-buahan (Kroctha, dkk., 1994).

Penambahan CMC dalam pembuatan film bertujuan untuk memperbaiki penampakan, kekompakan, kekuatan, laju transmisi zat, serta mempercepat pembentukan matrik film. Pembentukan film akan memerlukan energi yang cukup besar dan waktu yang cukup lama bila tidak ditambahkan CMC, bahkan film yang dihasilkan kurang cerah, rapuh, dan kurang kompak (Hikmat, 1997).

Antioksidan

(16)

(1985), antioksidan yang digunakan dalam bahan pangan seharusnya mempunyai beberapa sifat, yaitu aman bila digunakan, tidak menimbulkan perubahan-perubahan bau dan warna, efektif dalam konsentrasi rendah, mampu bertahan dalam proses pemasakan, dan memiliki harga yang murah. Efektifitas antioksidan terhadap kecepatan atau tingkat oksidasi dipengaruhi oleh struktur antioksidan, kondisi oksidasi, dan jenis sampel yang teroksidasi.

Antioksidan dibagi menjadi dua kategori, yaitu antioksidan primer dan sekunder. Antioksidan primer berfungsi dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal dengan cara melepaskan atom hidrogen, seperti tokoferol, sesamol, asam askorbat, butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluena (BHT), dan propyl galate (PG). Antioksidan ini dapat bereaksi dan menstabilkan radikal lipid

(Winarno, 1997).

Antioksidan sekunder (pelindung) berfungsi dalam mereduksi kecepatan rantai inisiasi melalui berbagai mekanisme. Mekanisme antioksidan dapat terjadi melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan (scavenger) oksigen, dan dekomposisi hidroperoksida menjadi produk non radikal. Beberapa contoh senyawa antioksidan sekunder adalah turunan asam fosfat, asam askorbat, senyawa karoten, sterol, fosfolipid, dan produk reaksi Maillard. Fungsi utama antioksidan sekunder adalah mencegah terbentuknya radikal yang paling berbahaya, yaitu radikal hidroksil (Taher, 2003).

(17)

komponen fenolik (Sherwin, 1990). Asam yang dapat digunakan berupa asam sitrat, asam askorbat dan esternya, yang berfungsi untuk mengkelat logam atau bersifat sinergis ketika digunakan sendiri maupun kombinasi keduanya. Komponen fenolik yang dapat digunakan sendiri antara lain : butyl hidroksi toluene (BHT), butyl hidroksi anisol (BHA), tetra butirat hidroksi kuinon

(TBHQ), propil galat, dan tokoferol yang berfungsi untuk menghambat oksidasi yang berhubungan dengan lemak dan minyak makanan (Kroctha, dkk., 1994)

Asam Askorbat

Asam askorbat (vitamin C) merupakan vitamin yang bersifat larut dalam air. Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat dan keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam askorbat bersifat sangat mudah teroksidasi secara reversible (reaksi balik) menjadi asam L-dehidroaskorbat. Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi (Winarno, 1997).

Asam askorbat memiliki rumus empiris C6H8O6 yang dalam bentuk murninya berupa kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau, dan mencair pada suhu 190-192 ºC. Asam askorbat bersifat reduktor kuat dan berasa asam, sangat mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, dan tidak larut dalam benzene, eter, kloroform, minyak, dan sejenisnya (Andarwulan dan Sutrisno, 1992).

(18)

Dalam edible coating, asam askorbat dan dehidroaskorbat berfungsi sebagai penangkap O2 sehingga laju respirasi produk yang dicoating berkurang (Fennema, 1996).

Penelitian Sebelumnya

Pelapisan buah jambu biji merah dengan edible kitosan yang disimpan pada suhu kamar dengan konsentrasi kitosan 1%, 2%, 3%, dan 4% menunjukkan bahwa buah jambu biji merah yang dilapisi dengan edible kitosan pada konsentrasi 1-2% tidak mampu mempertahankan mutu buah selama 4 hari dan pada konsentrasi 3% dapat mempertahankan mutu buah jambu biji selama 8 hari penyimpanan. Sedangkan pada konsentrasi 4% menyebabkan terbentuknya lapisan yang tebal pada buah sehingga menyebabkan terjadinya respirasi anaerob yang menghasilkan buah dengan aroma dan rasa yang kurang disukai (Sitorus, dkk., 2014).

Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pelapisan lilin lebah dan suhu penyimpanan terhadap kualitas buah jambu biji dengan konsentrasi emulsi lilin lebah 2%, 4%, dan 6% pada suhu penyimpanan 5 ºC, 10 ºC, dan 27 ºC menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik yaitu emulsi lilin dengan konsentrasi 4 % dan suhu penyimpanan 5 ºC . Buah dapat bertahan mencapai 9 hari pada suhu ruang (27 ºC), sedangkan penyimpanan pada suhu 5 ºC dan 10 ºC buah mampu bertahan hingga 15 hari (Dhyan, dkk., 2014).

(19)

yang terbaik menghasilkan film dengan nilai kekuatan tarik 0,2122 kgf/mm2 dan persen perpanjangan sebesar 3,5% (Akbar, dkk., 2013).

Santoso, dkk., (2004) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan asam askorbat dengan konsentrasi 0,75% yang ditambahkan dalam pembuatan edible film sebagai antioksidan merupakan perlakuan yang terbaik dan mampu menghambat terjadinya oksidasi pada lempok durian pada penyimpanan hari ke-15.

Menurut penelitian Mardiana (2008), yang menggunakan gel lidah buaya untuk melapisi belimbing, berhasil memperpanjang umur simpan buah belimbing sampai 21 hari dengan perlakuan terbaik konsentrasi CMC 1% (lama pencelupan 5 menit).

Gambar

Tabel 1.Kandungan gizi buah jambu biji merah per 100 gram
Gambar 1. Ubi kayu dan struktur bagiannya
Gambar 3. Struktur CMC (Weikem, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Nilai Kecerahan (L) dengan Penambahan Konsentrasi Pati dan Asam Lemak Stearat pada Penyimpanan Jam Ke-24 .... Nilai Warna (a+) dengan Penambahan Konsentrasi Pati dan Asam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap permen saga dengan penambahan flavor alami rebusan daun pandan wangi, untuk mengetahui