• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas dari pakan. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi juga peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulasi, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lama waktu inkubasi, ukuran sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Hasil pengukuran koefisien cerna bahan kering (KCBK) pada bahan pakan yang diolah disajikan pada tabel 8 :

Tabel 8. Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan I II III IV V P0 10,635 10,235 13,992 14,769 14,374 64,005 12,801c P1 19,803 14,529 17,771 19,122 17,431 88,656 17,731b P2 21,210 20,461 19,009 19,420 21,470 101,570 20,314b P3 31,051 25,889 33,581 24,948 26,213 141,682 28,336a Total 82,699 71,114 84,353 78,259 79,488 395,913 Rataan 19,796

Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda nyata pada Uji Duncan taraf 5 %

Dari Tabel 8 diatas, terlihat bahwa rataan KCBK berada pada kisaran 10,235% sampai 33,581%. Grafik rataan KCBK dapat dilihat pada gambar 5 di bawah ini :

Gambar 5. Grafik rataan koefisien cerna bahan kering (KCBK) (%)

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,01). Hal ini disebabkan karena bahan pakan mengalami proses pengolahan sehingga dapat meningkatkan kandungan protein serta menurunkan kandungan serat kasar. Pengolahan pakan memiliki pengaruh yang baik terhadap kecernaan. Sutardi (1979) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Menurut penelitian Harahap (2010), kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi pakan, terutama yang berhubungan dengan sifat fisik yang disebabkan oleh ikatan lignoselulosanya. Ikatan lignoselulosa pada pakan pelepah daun sawit partikelnya lebih panjang dan relatif lebih sukar dirombak atau didegradasi oleh mikroba rumen sehingga daya cernanya rendah. Berbeda dengan halnya pakan yang berbasis pucuk tebu partikelnya relatif kecil dan halus serta ikatan lignoselulosanya relatif longgar, sehingga lebih mudah didegradasi oleh mikroba rumen.

Kecernaan bahan pakan tertinggi terdapat pada perlakuan P3 (pelepah kelapa sawit terolah fisik, kimia dan biologis). Hal ini disebabkan pakan yang diamoniasi mengandung urea yang bersifat urealitik yang dapat memecah ikatan lignoselulsa pakan dengan memasok kandungan N dalam rumen. Kemudian pakan difermentasi dengan prebiotik biomol yang mengandung beberapa macam bakteri dan kapang yang dapat mendegradasi dan meningkatkan kandungan nutrisi bahan pakan dari proses fermentasi tersebut. Pakan yang lebih lama proses fermentasinya di dalam rumen akan lebih banyak dicerna, sehingga daya cerna lebih tinggi karena adanya aktivitas mikroba yang mendegradasi pakan sehingga produk fermentasi juga semakin tinggi (Harahap, 2010).

Karakteristik pelepah kelapa sawit yang memiliki kandungan serat kasar tinggi dan protein rendah serta ikatan lignoselulosa yang tinggi, mengakibatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik yang dihasilkan relatif rendah. Populasi mikroba dalam rumen juga mempengaruhi potensi daya cerna bahan pakan. Pada penelitian ini, rumen yang digunakan diambil dari ternak yang riwayat pakannya cenderung megkonsumsi konsentrat sehingga populasi mikroba dalam rumen adalah mikroba proteolitik. Sedangkan pada penelitian ini mikroba yang diperlukan adalah mikroba selulolitik karena bahan pakan yang digunakan mengandung serat kasar tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi daya cerna bahan pakan tersebut. Menurut Tilmann (1991) menyatakan bahwa macam makanan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi jasad renik dan konsentrasi tertinggi terdapat pada makanan yang mengandung banyak konsentrat dan menyebabkan pH cairan rumen yang rendah.

Berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda, tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya. Pengolahan memiliki pengaruh yang sangat baik terhadap kecernaan pakan. Kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi pakan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh sifat fisik pakan yang berbeda pula. Pakan yang memiliki kadar lignoselulosa tinggi menyebabkan mikroba sulit untuk mencernanya, sehingga pengolahan pakan sangat dianjurkan karna dapat mengurai lignoselulosa serta meningkatkan protein bahan pakan.

Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

Seperti halnya kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik juga dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas ransum. Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan (Sutardi, 1980). Hasil pengukuran koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada bahan pakan yang diolah disajikan pada tabel 9 :

Tabel 9. Rataan Kecernaan Bahan Organik (%)

Perlakuan Ulangan Total Rataan I II III IV V P0 13,477 13,026 12,499 13,238 11,542 63,782 12,7564c P1 16,036 17,539 14,427 17,248 16,327 81,577 16,3154b P2 19,188 18,471 15,207 17,182 18,775 88,823 17,7646b P3 20,783 26,101 21,097 23,333 25,375 116,689 23,3378a Total 69,484 75,137 63,23 71,001 72,019 350,871 Rataan 17,5436

Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda nyata pada Uji Duncan taraf 5 %

Dari Tabel 9 diatas, diketahui bahwa rataan KCBO berada pada kisaran 11,542% sampai 26,101%. Sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya

koefisien cerna bahan kering (KCBK) akan mempengaruhi juga tinggi rendahnya koefisien cerna bahan organik (KCBO) pakan. Di bawah ini dapat dilihat grafik rataan KCBO pada gambar 6 :

Gambar 6. Grafik rataan koefisien cerna bahan organik (KCBO) (%)

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,01). Kecernanan bahan organik sama seperti kecernaan bahan kering sangat dipengaruhi oleh kandungan serat kasar. Serat termasuk komponen dari bahan organik pakan. Apabila kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna akan semakin rendah karena pencernaan serat kasar sangat tergantung pada mikroba rumen (Rahmawati, 2001). Semakin lama proses fermentasi di dalam rumen maka semakin mudah pula mikroba rumen untuk mendegradasi bahan pakan tersebut sehingga kecernaan bahan pakan meningkat. Produksi amonia dan VFA pada rumen dapat menunjukkan nilai kecernaan bahan organik ransum yang dikonsumsi, semakin tinggi produksi amonia dan VFA dalam rumen

menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik semakin tinggi pula (Rahmawati, 2001). Derajat keasaman cairan rumen merupakan faktor yang penting dalam pemanfatan bahan organik oleh ternak ruminansia. Faktor struktur makanan, ruminasi, produk saliva, dan pH optimum mempengaruhi degradasi makanan di dalam saluran pencernaan. Konsentrasi amonia di dalam cairan rumen turut menentukan sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan organik pakan (Sari, 2008).

Berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda, tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya. Kecernaan bahan organik pakan sejalan dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian bahan kering adalah bahan organik. Sehingga kecernaan bahan organik pakan mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering pakan.

Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Total

Hasil pengukuran konsentrasi VFA total pada bahan pakan yang diolah disajikan pada tabel 10 :

Tabel 10. Rataan konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Total (mM)

Perlakuan Ulangan Total Rataan I II III IV V P0 109,189 110,756 87,610 99,149 110,689 517,393 103,479b P1 121,714 132,910 144,032 132,910 155,154 686,720 137,344a P2 144,431 134,911 153,951 131,761 132,956 698,010 139,602a P3 137,680 138,201 136,815 138,722 130,510 681,928 136,386a Total 513,014 516,778 522,408 502,542 529,309 2584,051 Rataan 129,203

Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda nyata pada Uji Duncan taraf 5 %

Dari Tabel 10 diatas diketahui bahwa konsentrasi VFA bahan pakan berada dalam kisaran normal, yaitu berkisar antar 87,610 – 155,154 mM, sesuai

dengan pernyataan Sutardi (1980), bahwa kisaran VFA berada pada 80 – 160 mM sehingga secara umum pakan tersebut dapat memenuhi kebutuhan VFA untuk sintesis mikroba pada rumen. Grafik rataan VFA Total dapat dilihat pada gambar 7 :

Gambar 7. Grafik rataan konsentrasi VFA total (mM)

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi VFA sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,01). Hal ini disebabkan oleh pengolahan bahan pakan yang dapat merubah sifat fisik serta kimiawi bahan pakan menjadi mudah dicerna oleh mikroba rumen. Menurut Hartati (1998), peningkatan produksi VFA dapat mengindikasikan kemudahan suatu nutrien dalam pakan terutama karbohidrat dan protein didegradasi oleh mikroba rumen, sehingga produksi VFA di dalam rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan yang berkaitan erat dengan aktivitas dan populasi mikroba rumen. Perubahan komposisi VFA di dalam rumen sangat berhubungan dengan bentuk fisik pakan, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan (Purwantari, 2008).

Produksi VFA total pada penelitian memiliki perbedaan namun berada dalam kisaran normal. Hal ini disebabkan oleh jumlah mikroba dalam rumen yang berbeda dan kandungan karbohidrat dan protein dalam bahan pakan yang berbeda pula. VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan. Dalam rumen, karbohidrat hampir sepenuhnya difermentasi menjadi VFA sehingga memasok sumber energi bagi pertumbuhan mikroba rumen (McDonald et al., 1995). Sakinah (2005) menambahkan, semakin sedikit produksi VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula protein dan karbohidrat yang mudah larut. Penurunan VFA diduga berhubungan dengan peningkatan kecernaan zat makanan, dimana VFA tersebut digunakan sebagai sumber energi mikroba untuk mensintesis protein mikroba dan digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya.

Menurut penelitian Saputra (2011), lamanya waktu inkubasi dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan, proses metabolisme karbohidrat akan menghasilkan konsentrasi VFA yang tinggi pada awal inkubasi. Lamanya waktu inkubasi pakan dalam rumen dipengaruhi oleh kadar karbohidrat pakan terutama lignoselulosa. Bahan pakan yang memiliki kandungan lignoselulosa tinggi seperti peleph kelapa sawit akan lebih sulit dicerna dan diperlukan waktu inkubasi dalam rumen yang lebih lama. Sehingga kecernaan bahan kering dan bahan organik pakan cenderung rendah.

Berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berbeda nyata, serta berbeda dengan perlakuan P0. Pengolahan pakan dapat meningkatkan produksi VFA dalam rumen. Pengolahan pakan dapat merubah sifat fisik dan kimia dari bahan pakan tersebut,

sehingga degradasi pakan lebih mudah dilakukan oleh mikroba. Tillman, et al., (1991) menyatakan bahwa asam-asam asetat, propionat dan butirat, CO2 dan gas metan adalah hasil akhir pencernaan jasad renik dan metabolisme karbohidrat makanan.

Konsentrasi Amonia (NH3)

Hasil pengukuran konsentrasi NH3 total pada bahan pakan yang diolah disajikan pada tabel 11 :

Tabel 11. Rataan konsentrasi N-Amonia (NH3 = mM)

Perlakuan Ulangan Total Rataan I II III IV V P0 7,782 6,065 7,883 5,776 8,867 36,373 7,275c P1 10,977 11,405 12,402 10,374 12,333 57,491 11,498a P2 7,904 8,197 11,167 9,682 9,536 46,486 9,297b P3 12,847 12,847 10,955 12,547 11,659 60,855 12,171a Total 39,510 38,514 42,407 38,379 42,395 201,205 Rataan 10,060

Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda nyata pada Uji Duncan taraf 5 %

Dari tabel 11 diatas diketahui bahwa konsentrasi NH3 yang dihasilkan oleh bahan pakan berkisar antara 5,776 – 12,847 mM, keadaan ini berada pada kisaran normal untuk memaksimalkan perkembangan mikroba yaitu 6-21 mM (McDonald

et al. 2002) dan 3,5-14 mM (Preston dan Leng 1987). Berikut adalah grafik rataan

Gambar 8. Grafik rataan konsentrasi N-NH3 total (mM)

Dari hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi VFA sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan (P>0,01). Pada penelitian Harahap (2010), diketahui bahwa bahan pakan dengan pengolahan amoniasi memiliki kandungan N-NH3 tertinggi dibanding dengan pengolahan fisik, fermentasi Aspergillus Niger dan

Trichoderma. Hal ini disebabkan karena pakan yang diolah dengan amoniasi

mengandung urea yang cukup tinggi. Urea merupakan sumber protein yang dapat meningkatkan produksi amonia sehingga konsentrasi NH3 yang dihasilkan juga cukup tinggi.

Dari data diatas dapat diketahui bahwa pakan yang memiliki konsentrasi amonia paling tinggi adalah pakan yang terolah secara kimia + biologis (P3). Hal ini dikarenakan pakan dengan perlakuan ini mengalami dua tahap pengolahan, yaitu kimia dengan amoniasi urea dan biologis dengan fermentasi biomol, sehingga mempengaruhi degradasi dan produksi amonia pakan. Menurut Nurhayati (2008), konsentrasi amonia di dalam rumen ikut menentukan efisiensi sintesa protein mikroba yang pada gilirannya akan mempengaruhi hasil fermentasi bahan organik pakan. Tinggi rendahnya konsentrasi amonia ditentukan oleh

tingkat protein pakan yang dikonsumsi, derajat degradabilitas, lamanya makanan berada di dalam rumen dan pH rumen. Penambahan karbohidrat mudah terdegradasi dan protein secara bersamaan mampu meningkatkan degradasi bahan organik pakan dan meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yang berimplikasi terhadap peningkatan produktifitas ternak. Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia.

Produksi amonia yang dihasilkan pada bahan pakan berada pada kadar normal dan cenderung rendah. Hal ini karena bahan pakan yang digunakan memiliki serat kasar tinggi sehingga mikroba membutuhkan cukup banyak amonia dalam membantu proses degradasi pakan. Namun seiring dengan pengolahan bahan pakan, kadar amonia yang dihasilkan semakin meningkat. Ranjhan (1999) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia.

Berdasarkan uji Duncan dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pada perlakuan P1 dan P3 tidak berbeda, tetapi berbeda dengan perlakuan lainnya. Pada perlakuan amoniasi, penggunaan NPN seperti urea dapat meningkatkan kadar amonia dalam rumen, karena urea dapat dijadikan sebagai sumber protein kasar. Protein kasar dalam rumen tidak didegradasi melainkan digunakan untuk sintesa mikroba atau dirombak menjadi amonia. Kadar amonia dalam rumen yang optimum dapat membantu perkembangan mikroba dan meningkatkan pertumbuhan mikroba, sehingga tingkat kecernaan pakan yang sebagian besar dilakukan oleh mikroba rumen dapat ditingkatkan.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Data rekapitulasi hasil penelitian pengolahan pelepah kelapa sawit dengan pengolahan fisik, fisik dan amoniasi, fisik dan fermentasi serta fisik, amoniasi dan fermentasi disajikan dalam tabel 12 sebagai berikut:

Tabel 12. Data rekapitulasi nilai kecernaan bahan kering, bahan organik, NH3,VFA pada pelepah kelapa sawit terolah dalam rumen secara In vitro

Perlakuan Rataan Parameter

KCBK(%) KCBO(%) VFA(mM) NH3(mM) P0 12,801c 12,756c 103,479b 7,275c P1 17,731b 16,315b 137,344a 11,498a P2 20,314b 17,765b 139,602a 9,297b P3 28,336a 23,338a 136,386a 12,171a Keterangan: notasi huruf yang sama antar perlakuan menunjukkan angka tersebut tidak berbeda

nyata pada Uji BNT taraf 5 %

Dari data rekapitulasi diatas, terlihat bahwa pada semua perlakuan menunjukkan pengolahan bahan pakan memberi pengaruh yang sangat nyata terhadap KCBO, KCBK, konsentrasi NH3 dan VFA total. Pada KCBK, perlakuan yang paling tinggi yaitu pada P3 dengan rataan 28, 336%. Pada KCBO, perlakuan tertinggi yaitu P3 dengan rataan 23,338%. Begitu juga dengan NH3, pengolahan

bahan pakan tertinggi yaitu pada perlakuan P3 dengan rataan 12,171 mM. Hal ini disebabkan perlakuan P3 mendapatkan dua tahap pengolahan yaitu dengan amoniasi+fermentasi, dimana amoniasi dengan urea merupakan proses kimia yang dapat menurunkan kadar serat kasar terutama ikatan lignoselulosa dengan proses uralitik menjadi NH3 dan CO2, kemudian dilakukan fermentasi kembali dengan biomol yang mengandung beberapa macam bakteri dan kapang yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi bahan pakan dengan proses fermentasi. Sedangkan untuk VFA pengolahan bahan pakan tertinggi yaitu pada perlakuan P2 dengan rataan 139,602 mM. Namun masih berada pada kadar normal untuk pertumbuhan bakteri dalam rumen.

Dokumen terkait