• Tidak ada hasil yang ditemukan

Retensi Nitrogen

Perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum yang diberikan pada unggas dapat menyebabkan perbedaan nitrogen yang diretensi sehingga menghasilkan perbedaan dalam nilai energi metabolis. Retensi nitrogen adalah hasil pengurangan nitrogen yang dikonsumsi dengan nitrogen yang hilang melalui ekskreta.

Analisis keragaman retensi nitrogen broiler (Lampiran 1) menunjukan bahwa perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap retensi nitrogen. Perbedaan dari masing – masing perlakuan dapat dilihat jelas dari Uji Duncan Taraf 5% (Lampiran 1). Rataan retensi nitrogen ransum perlakuan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan retensi nitrogen itik

Perlakuan Retensi nitrogen (%)

R0 83.48 ± 0.87c R1 81.78 ± 1.20bc R2 81.70 ± 0.60bc R3 78.95 ± 1.31ab R4 78.12 ± 2.13a R5 78.57 ± 3.37ab R6 78.70 ± 1.63ab R7 78.06 ± 0.39a R8 77.56 ± 2.45a

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat

nyata (P<0.05)

Teknik force feeding yang digunakan memberikan hasil rataan retensi nitrogen tertinggi terdapat pada perlakuan R0 sebesar 83.48 ± 0.87% dan rataan

retensi nitrogen terendah terdapat pada perlakuan R8 sebesar 77.56 ± 2.45%. Perbedaan dari nitrogen yang diretensi tersebut merupakan dampak awal dari pengaruh perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum. Itik yang mendapatkan ransum sesaat dikandangkan akan meretensi nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang mendapatkan ransum lebih dari 18 jam kemudian.

Secara statistik, perbedaan pemberian ransum sampai 12 jam belum menunjukan perbedaan yang signifikan. Namun, dilihat dari Itik yang mendapatkan ransum 18 jam kemudian sesaat dikandangkan (R3) terlihat selisih nitrogen yang diretensi sebesar 5.43% lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang memperoleh ransum sedini mungkin (R0). Perbedaan retensi nitrogen ini sejalan dengan bobot badan dari unggas tersebut, ayam yang memperoleh ransum lebih awal akan menunjukan produktivitas yang lebih optimal sehingga dapat meretensi nitrogen lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyu (1997) yang menyatakan bahwa bobot badan dari seekor ternak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi retensi nitrogen karena tidak semua protein yang masuk kedalam tubuh dapat diretensi. Semakin tinggi bobot badan seekor ternak maka jumlah nitrogen yang dapat diretensi akan semakin tinggi pula. Didukung juga oleh NRC (1994) yang menyatakan bahwa nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.

Energi metabolisme

Perhitungan energi metabolisme ransum dinyatakan dengan 4 peubah yaitu energi metabolisme semu, energi metabolisme murni, energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan energi metabolisme yang memperhitungkan energi endogenous sebagai faktor koreksi (Sibbald, 1980). Hal ini menyebabkan nilai dari EMM lebih besar dari EMS. Energi endogenous terdiri dari metabolic faecal dan endogenous urinary yang berasal dari katabolisme

jaringan tubuh untuk kebutuhan hidup pokok pada saat dipuasakan dan sebagian lagi berasal dari produk akhir yang mengandung nitrogen (Wolynetz dan Sibbald, 1984). EMS tidak memperhitungkan metabolic faecal dan

endogenous urinary (Sibbald, 1989).

Analisis sidik ragam energi metabolisme semu dan murni (Lampiran 2 dan 3) menunjukan bahwa perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum memberikan pengaruh yang berbeda terhadap energi metabolisme broiler baik semu (EMS) maupun murni (EMM). Energi metabolisme semu dan murni tertinggi terdapat pada perlakuan R0 sebesar 3234.51 ± 15.31 dan 3409.60 ± 15.31 kkal/kg. Setelah dilakukan uji Duncan Taraf 5% terhadap energi metabolime ransum pada broiler (Lampiran 2 dan 3) perbedaan dari masing – masing perlakuan dapat terlihat jelas. Rataan energi metabolisme semu dan murni disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan energi metabolisme Itik (kkal/kg)

Perlakuan Energi metabolisme (kkal/kg)

Semu (EMS) Murni (EMM)

R0 3234.51 ± 15.31d 3409.60 ± 15.31d R1 3222.88 ± 38.25d 3398.23 ± 38.25d R2 3155.49 ± 72.02cd 3323.25 ± 72.02cd R3 3148.00 ± 52.18cd 3306.41 ± 52.25cd R4 3072.79 ± 58.64bc 3225.16 ± 58.67bc R5 3003.64 ± 80.33ab 3147.45 ± 80.33ab R6 3010.83 ± 38.48ab 3150.36 ± 38.48ab R7 2927.31 ± 91.31a 3059.85 ± 91.37a R8 2978.20 ± 43.85ab 3115.17 ± 43.85ab

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat

nyata (P<0.05)

Energi metabolisme semu dan murni yang diperoleh dari Itik yang mendapatkan ransum sampai 18 jam kemudian sesaat ayam dikandangkan (R3) tidak berbeda dengan Itik yang diberi ransum sesaat dikandangkan (R0). Perbedaan energi metabolime ransum baik semu atau murni, keduanya memperlihatkan bahwa pemberian ransum seawal mungkin memberikan hasil bahwa energi metabolis ransumnya semakin baik.

Pemberian ransum lebih awal akan merangsang perkembangan organ saluran pencernaan, meningkatkan kapasitas pencernaan dan penyerapan usus. Dengan kata lain, Itik yang diberikan ransum lebih awal memiliki organ pencernaan dengan permukaan penyerapan usus yang lebih besar, sehingga jumlah nutrisi yang diserap semakin banyak. Genetik seekor ternak dengan produktivitas yang baik akan memiliki organ pencernaan yang lebih berkembang dengan bertambahnya panjang usus, kepadatan dan tinggi vili serta perubahan fisiologi (meningkatnya produksi pankreas dan enzim pencernaan) termasuk meningkatnya area permukaan pencernaan dan penyerapan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Amrullah (2002) yang menyatakan bahwa jumlah energi yang dapat

dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh unggas bergantung pada spesies, faktor genetis, umur unggas dan kondisi lingkungan. Besar kecilnya energi yang dimetabolis seekor ternak tergantung dari genetik ataupun bobot badan dari ternak itu sendiri. Proses pencernaan dan metabolisme dengan pertumbuhan ternak yang lebih tinggi akan mengolah lebih banyak senyawa kimia yang masuk menembus dinding usus menjadi energi yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk berbagai keperluan baik untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk. Didukung juga oleh pernyataan NRC (1994) yang menyatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi atau dapat dikatakan kebutuhan energi seekor ternak selain dicerminkan dari jumlah konsumsi ransum, juga ditentukan dari pertambahan bobot badan per harinya. Kebutuhan energi akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan yang cepat.

Nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) merupakan nilai energi metabolis yang dikoreksi dengan nitrogen, sehingga nilainya lebih kecil dari EMS dan EMM.

Tabel 7. Rataan energi metabolisme terkoreksi nitrogen Itik (kkal/kg) Perlakuan Energi metabolisme terkoreksi nitrogen (kkal/kg)

Semu (EMSn) Murni (EMMn)

R0 3234.31 ± 15.31d 3409.40 ± 15.31d R1 3222.69 ± 38.24d 3398.03 ± 38.24d R2 3155.30 ± 72.02cd 3323.06 ± 72.02cd R3 3147.81 ± 52.18cd 3306.23 ± 52.25cd R4 3072.61 ± 58.64bc 3224.98 ± 58.68bc R5 3003.45 ± 80.34ab 3147.26 ± 80.34ab R6 3010.64 ± 38.47ab 3150.18 ± 38.47ab R7 2927.13 ± 91.31a 3059.66 ± 91.37a ab ab

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat

nyata (P<0.05)

Sama halnya dengan dengan energi metabolisme semu dan murni, pemberian ransum sampai 18 jam kemudian sesaat ayam dikandangkan (R3) menunjukan nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) yang tidak berbeda dengan ayam yang diberi ransum sesaat dikandangkan (R0). Begitu juga dengan nilai energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) yang menunjukan hasil yang sama dengan nilai energi metabolisme murni (EMM). Pemberian ransum yang lebih awal menunjukan daya cerna unggas yang tinggi, penampilan akhir dari unggas yang lebih optimal dengan perkembangan saluran organ pencernaan yang lebih baik memungkinkan unggas untuk menyerap kandungan nutrisi ransum yang lebih banyak. Sejalan dengan pendapat McDonald

and Haigh (1994) dan Williams dkk. (1990), bahwa daya cerna merupakan faktor yang mempengaruhi energi metabolis ransum, daya cerna yang tinggi menyebabkan banyak energi yang terserap dan energi yang hilang melalui ekskreta semakin sedikit.

Nilai energi metabolisme baik semu maupun murni terkoreksi nitrogen tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 sebesar 3234.31 ± 15.31 kkal/kg (EMSn) dan 3409.40 ± 15.31 kkal/kg (EMMn). Daya cerna ransum yang tinggi ditunjukan dari tingginya nitrogen yang diretensi. Retensi nitrogen yang tinggi ini menunjukan bahwa tingkat konsumsi energi Itik yang tinggi pula. Konsumsi energi yang tinggi tersebut memberikan gambaran bahwasanya tingkat energi metabolisme ransum yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Storey dan Allen (1982) yang

menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi energinya, maka energi metabolis semakin tinggi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayam dengan penampilan akhir yang baik memberikan gambaran bahwa tingkat energi metabolismenya yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sibbald (1978) yang melaporkan bahwa nilai energi metabolis semu (EMS) suatu bahan makanan akan meningkat dengan semakin bertambahnya umur dan bobot badan ternak. Selanjutnya NRC (1994) menjelaskan bahwa semakin bertambah umur dan bobot badan ternak, maka energi metabolisnya akan semakin tinggi.

Nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen EMMn yang lebih rendah dari energi metabolisme semu (EMS) dan energi metabolisme murni (EMM) pada teknik

force feeding disebabkan oleh adanya faktor koreksi nitrogen yang diretensi tubuh. Menurut McDonald et al. (2002) dalam penentuan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah nitrogen yang diretensi, karena kemampuan ternak dalam memanfaatkan energi bruto dari protein kasar sangat bervariasi.

Konversi EMSn/EB

Daya cerna energi bukan ditentukan oleh nilai energi metabolisme baik semu (EMS), murni (EMM), semu terkoreksi nitrogen (EMSn) ataupun murni terkoreksi nitrogen (EMMn), akan tetapi ditentukan oleh konversi EMSn terhadap energi bruto atau rasio EM/EB ransum. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto ransum perlakuan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto ransum Perlakuan EMSn/EB R0 0.78 ± 0.004d R1 0.78 ± 0.009d R2 0.76 ± 0.017cd R3 0.76 ± 0.013cd R4 0.74 ± 0.014bc R5 0.73 ± 0.019ab R6 0.73 ± 0.009ab R7 0.71 ± 0.022a R8 0.72 ± 0.011ab

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat

nyata (P<0.05)

Rasio EMSn/EB ransum tertinggi pada penelitian ini diperoleh dari Itik yang mendapatkan ransum seawal mungkin (R0)sebesar 0.78 ± 0.004 dan rasio EMSn/EB ransum terendah diperoleh dari ayam mendapatkan ransum 48 jam kenudian setelah dikandangkan (R7) sebesar 0.71 ± 0.022. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum memberikan pengaruh yang sangat berbeda dalam mempengaruhi konversi EMSn terhadap energi bruto ransum. Hal ini berarti, Itik yang mendapatkan ransum yang lebih awal sangat nyata dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan energi bruto menjadi energi metabolis dibandingkan dengan ayam yang terlambat diberikan ransum.

Berdasarkan hasil uji jarak Duncan, perbedaan dari pemberian jangka waktu awal pemberian ransum dapat terlihat jelas (Lampiran 6). Pemberian ransum yang seawal mungkin akan meningkatkan nilai efisiensi penggunaan energi bruto menjadi energi metabolis. Perlakuan R0 merupakan perlakuan yang paling efisien karena ayam yang mendapatkan ransum seawal mungkin dapat menggunakan energi bruto menjadi energi metabolis semaksimal mungkin Hal ini disebabkan dari tingkat perkembangan saluran pencernaan ayam yang lebih baik. Itik yang mendapatkan ransum lebih cepat,

cepat pula dibandingkan dengan Itik yang terlambat memperoleh ransum. Amrullah (2002) menyatakan bahwa jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh unggas bergantung pada besar kecilnya kapasitas tampung organ pencernaan unggas. Itik dengan bobot badan yang lebih berat memiliki organ saluran pencernaan yang lebih panjang, maka penyerapan zat makanan akan optimal.

Dokumen terkait