KECERNAAN RANSUM MENGGANDUNG BERBAGAI
TINGKAT BUNGKIL INTI SAWIT DITAMBAHKAN
HEMICELL PADA ITIK RAJA UMUR 8 MINGGU
ELMAN HALAWA 060306035
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
KECERNAAN RANSUM MENGGANDUNG BERBAGAI
TINGKAT BUNGKIL INTI SAWIT DITAMBAHKAN
HEMICELL PADA ITIK RAJA UMUR 8 MINGGU
SKRIPSI
OLEH : ELMAN HALAWA
060306035
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
KECERNAAN RANSUM MENGGANDUNG BERBAGAI
TINGKAT BUNGKIL INTI SAWIT DITAMBAHKAN
HEMICELL PADA ITIK RAJA UMUR 8 MINGGU
SKRIPSI
Oleh :
ELMAN HALAWA 060306035/PETERNAKAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul :iiKecernaan Ransum Mengandung Berbagai Tingkat Bungkil Inti Sawit di Tambahkan Hemicell pada Itik Raja Umur 8 Minggu
Nama : Elman Halawa
NIM : 060306035
Program Studi : Peternakan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
(Ir. Iskandar Sembiring, MM) (Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc. Ketua Anggota
)
Mengetahui,
(Dr. Ir. Ristika Handarini, MP Ketua Program Studi Peternakan
)
ABSTRAK
DEDE FIRUZA : Kecernaan Ransum Mengandung Berbagai Tingkat Bungkil Inti Sawit Ditambahkan Hemicell Pada Itik Raja Umur 8 Minggu. Dibimbing oleh ISKANDAR SEMBIRING dan NURZAINAH GINTING.
Keterlambatan atau lamanya peternak memberikan ransum pada day old duck (DOD) seringkali dianggap hal yang biasa bagi peternak. Padahal dengan pemberian ransum yang lebih awal dapat mempercepat perkembangan organ saluran pencernaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto itik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto itik umur 8 minggu. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 9 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan R0 diberikan ransum sesaat DOD dikandangkan dan pemberian ransum untuk perlakuan berikutnya dengan selisih 6 jam dari perlakuan yang telah diberi ransum. Parameter yang diamati adalah retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto itik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian ransum yang pertama kali seperti pada perlakuan R0 menghasilkan rataan retensi nitrogen, energi metabolisme (semi, murni, semi terkoreksi nitrogen dan murni terkoreksi nitrogen) dan konversi energi metabolisme dari energi bruto ransum tertinggi berturut – turut sebesar 83.48 ± 0.87%, 3234.51 ± 15.31 kkal/kg, 3409.60 ± 15.31 kkal/kg, 3234.31 ± 15.31 kkal/kg, 3409.40 ± 15.31 kkal/kg dan
0.78 ± 0.004. Kesimpulan dari penelitian ini adala pemberian ransum seawal mungkin pada broiler akan meningkatkan retensi nitrogen, energi metabolisme dan efisiensi pemafaatan energi bruto menjadi energi metabolisme pada itik umur 8 minggu.
ABSTRACT
DEDE FIRUZA : The Metabolism feeding of Curm Palm Oil plus Hemicell in Duck 8 week. Under advised by ISKANDAR SEMBIRING and NURZAINAH GINTING.
Delays or duration of ranchers to feeding to the day old chick (DOC) is often considered the normal for farmer. Actually, initial feeding may accelerate the growth of digestive organs and ultimately may improve nitrogen retention, energy metabolism and conversion energy nitrogen metabolism corrected from gross energy on broiler. The present experiment was conducted to investigate the effectsof the first difference timesfeed gives on digestible of crude fiber, retention nitrogen and metabolism energy duck age 8 wick. The experiment was designed as completely randomized design with 9 treatments and 3 replications.The range of the different initial feeding between the treatments were six hours. The observed of parameters are average digestible of crude fiber, retention nitrogen and metabolism energy.
The result of this experiment showed that the firstly feeding (R0) was give the highest of retention nitrogen, metabolism energy and conversion energy nitrogen metabolism corrected from gross energy on duck were 83.48 ± 0.87%, 3234.51 ± 15.31 kcal/kg, 3409.60 ± 15.31 kcal/kg, 3234.31 ± 15.31 kcal/kg, 3409.40 ± 15.31 kcal/kg and 0.78 ± 0.004 respectively. The conclusion of this research was the earliest feeding can increase the nitrogen retention, metabolism energy and efficiency of utilization of gross energy to energy metabolism on duck 8 week.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tetehosi pada Tanggal 24 April 1988 dari ayah Yasozatulo Halawa dan ibu Astia Zai. Penulis merupakan putra kedua dari lima
bersaudara.
Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Gunungsitoli pada Tahun 2006 dan pada
tahun yang sama penulis masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Program Studi Peternakan melalui jalur ujian tertulis Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peternakan. Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Adapun judul skripsi saya ini adalah “Kecernaan Ransum Mengandung Berbagai Tingkat Bungkil Inti Sawit Ditambahkan Hemicell Pada Itik Raja Umur 8 Minggu”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas doa,
semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan selama ini.
Kepada Bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM. selaku komisi pembimbing dan
Ibu Dr. Ir. Nurzainah Ginting, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semua pihak yang ikut membantu.
Semoga skripsi ini dapat membantu memberikan informasi dan bermanfaat bagi penelitian dan ilmu pengetahuan serta pelaku usaha bidang
peternakan khususnya peternakan Itik.
Medan, Mei 2012
DAFTAR ISI
Hipotesis Penelitian ... 3
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Broiler ... 4
Ransum Itik. ... 4
Saluran Pencernaan Itik. ... 6
Kecernaan/Daya Cerna. ... 8
Pencernaan Ransum. ... 9
Awal Pemberian Ransum. ... 10
Kegunaan Kuning Telur (Yolk) pada Anak Itik ... 15
Pemberian Ransum yang lebih Awal dapat Mempercepat Penyerapan Kuning Telur ... ... 16
Efek Kuning Telur (Yolk) di dalam Pertambahan Berat Badan ... ... 17
Efek Kuning Telur (Yolk) terhadap Perkembangan Saluran Pencernaan... ... 20
Pematangan Sistem Pencernaan ... ... 22
Energi Metabolisme... ... 22
Retensi Nitrogen... ... 25
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 27
Bahan dan Alat Penelitian ... 27
Ternak ... 27
Ransum ... 27
Air Minum, Vaksin, Obat – obatan dan Desinfektan ... 28
Kandang dan Perlengkapan ... 28
Metode Penelitian ... 29
Parameter Penelitian... ... 31
Retensi Nitrogen... ... 31
Energi Metabolisme... 31
Pelaksanaan Penelitian... ... 32
Persiapan Kandang beserta Peralatannya.... ... 32
Pemeliharaan Itik.... ... 33
Penentuan Energi Metabolisme ... 33
Metode Pemberian Ransum secara Paksa (Force Feeding) ... 33
Prosedur Pengambilan/Pengolahan Data ... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi Nitrogen ... 36
Energi Metabolisme. ... 38
Konversi EMSn/EB. ... 42
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 45
Saran ... 45 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. ... Hal.
1. Persyaratan mutu untuk anak Itik ras pedaging (itik starter) ... 5
2. Persyaratan mutu untuk Itik ras pedaging masa akhir (itik finisher) ... 5
3. Kebutuhan energi dan protein yang terpenuhi dari kuning telur... 11
4. Pengaruh bagian organ tertentu (% berat badan) terhadap ketiadaan pakan pada umur 4 hari ... 21
5. Rataan retensi nitrogen Itik (%) ... 36
6. Rataan energi metabolisme Itik (kkal/kg) ... 39
7. Rataan energi metabolisme terkoreksi nitrogen Itik (kkal/kg) ... 40
DAFTAR GAMBAR
No. ... Hal. 1. Efek lanjut stresor pada day old duck (DOD) ... 16
2. Pengaruh pemberian pakan yang awal dan terlambat terhadap sisa kuning telur pada anak Itik ... 17
3. Pengaruh ketiadaan pakan setelah penetasan (0 – 48 jam) terhadap berat badan Itik pada interval 48 jam ... 18 4. Pengaruh berat badan terhadap keterlambatan pemberian pakan setelah 15
jam pengiriman day old duck (DOD) ... 19 6. Alur pengukuran retensi nitrogen, energi metabolis dan serat kasar dengan
DAFTAR LAMPIRAN
No. ... Hal.
1. Retensi nitrogen ... 51
2. Energi metabolisme semu ... 53
3. Energi metabolisme murni ... 55
4. Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen ... 57
5. Energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen ... 59
ABSTRAK
DEDE FIRUZA : Kecernaan Ransum Mengandung Berbagai Tingkat Bungkil Inti Sawit Ditambahkan Hemicell Pada Itik Raja Umur 8 Minggu. Dibimbing oleh ISKANDAR SEMBIRING dan NURZAINAH GINTING.
Keterlambatan atau lamanya peternak memberikan ransum pada day old duck (DOD) seringkali dianggap hal yang biasa bagi peternak. Padahal dengan pemberian ransum yang lebih awal dapat mempercepat perkembangan organ saluran pencernaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto itik. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto itik umur 8 minggu. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 9 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan R0 diberikan ransum sesaat DOD dikandangkan dan pemberian ransum untuk perlakuan berikutnya dengan selisih 6 jam dari perlakuan yang telah diberi ransum. Parameter yang diamati adalah retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto itik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian ransum yang pertama kali seperti pada perlakuan R0 menghasilkan rataan retensi nitrogen, energi metabolisme (semi, murni, semi terkoreksi nitrogen dan murni terkoreksi nitrogen) dan konversi energi metabolisme dari energi bruto ransum tertinggi berturut – turut sebesar 83.48 ± 0.87%, 3234.51 ± 15.31 kkal/kg, 3409.60 ± 15.31 kkal/kg, 3234.31 ± 15.31 kkal/kg, 3409.40 ± 15.31 kkal/kg dan
0.78 ± 0.004. Kesimpulan dari penelitian ini adala pemberian ransum seawal mungkin pada broiler akan meningkatkan retensi nitrogen, energi metabolisme dan efisiensi pemafaatan energi bruto menjadi energi metabolisme pada itik umur 8 minggu.
ABSTRACT
DEDE FIRUZA : The Metabolism feeding of Curm Palm Oil plus Hemicell in Duck 8 week. Under advised by ISKANDAR SEMBIRING and NURZAINAH GINTING.
Delays or duration of ranchers to feeding to the day old chick (DOC) is often considered the normal for farmer. Actually, initial feeding may accelerate the growth of digestive organs and ultimately may improve nitrogen retention, energy metabolism and conversion energy nitrogen metabolism corrected from gross energy on broiler. The present experiment was conducted to investigate the effectsof the first difference timesfeed gives on digestible of crude fiber, retention nitrogen and metabolism energy duck age 8 wick. The experiment was designed as completely randomized design with 9 treatments and 3 replications.The range of the different initial feeding between the treatments were six hours. The observed of parameters are average digestible of crude fiber, retention nitrogen and metabolism energy.
The result of this experiment showed that the firstly feeding (R0) was give the highest of retention nitrogen, metabolism energy and conversion energy nitrogen metabolism corrected from gross energy on duck were 83.48 ± 0.87%, 3234.51 ± 15.31 kcal/kg, 3409.60 ± 15.31 kcal/kg, 3234.31 ± 15.31 kcal/kg, 3409.40 ± 15.31 kcal/kg and 0.78 ± 0.004 respectively. The conclusion of this research was the earliest feeding can increase the nitrogen retention, metabolism energy and efficiency of utilization of gross energy to energy metabolism on duck 8 week.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha ternak unggas khususnya peternakan itik merupakan salah satu
sektor usaha yang memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Dibandingkan dengan usaha ternak lainnya
seperti sapi potong yang membutuhkan waktu 3 bulan dalam proses penggemukannya, itik hanya membutuhkan waktu 4 – 5 minggu masa pemeliharaannya. Dengan masa pemeliharaan yang singkat ini, kebutuhan
masyarakat akan daging dapat selalu tersedia.
Namun dalam menjalankan usaha peternakan itik ini, banyak peternak
yang mengalami kesulitan atau hambatan dalam mengembangkan usahanya. Baik itu dari harga ransum yang semakin mahal, faktor lingkungan (cuaca, penyakit dsb.) serta kurangnya pengetahuan peternak akan teknik pemeliharaan yang tepat.
Dari keseluruhan permasalahan diatas, manajemen pemeliharaan merupakan satu diantaranya. Sempitnya wawasan peternak akan manajemen yang
baik memberikan dampak yang negatif terhadap hasil produksi yang tidak maksimal yang mana tingkat pendapatan peternak tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Keberhasilan peternakan itik ditentukan oleh tiga hal yaitu : Breeding,
feeding dan manajemen. Program manajemen disini adalah masalah yang
Keterlambatan atau lamanya peternak memberikan ransum pada day old
chick (DOD) seringkali dianggap hal yang biasa bagi peternak itik. Peternak sering beranggapan, bahwa day old dulck (DOD) yang baru tiba di kandang tidak
boleh segera diberi ransum. Pemuasaan ini dianggap akan memberi kesempatan terjadinya penyerapan sisa kuning telur semaksimal mungkin. Padahal dengan pemberian ransum yang lebih awal dapat memberikan efek yang baik terhadap
pertumbuhan itik yang baru menetas. Kuning telur ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan anak itik (meskipun pada hari pertama kehidupan) terutama
untuk pertumbuhan. Untuk itulah perlu diadakan suatu perbaikan dalam hal waktu pemberian ransum yang tidak terlalu lama. Dimana peternak broiler juga harus memperhatikan jarak tempuh day old dulck (DOD) dari tempat
breeding/penetasan sampai ke kandang. Hal inilah yang sering diabaikan peternak dalam melaksanakan usaha peternakannya.
Dengan adanya perhatian dari manajemen pemeliharaan ini terutama
dalam hal pemberian ransum yang semakin cepat pada day old dulck (DOD) dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan itik yang maksimal. Pemberian ransum
sedini mungkin tidak hanya meningkatkan proses metabolisme tetapi juga dapat mempercepat penyerapan kuning telur dan mempercepat
pertumbuhan/perkembangan saluran pencernaan pada day old chick (DOC) yang
pada akhirnya berdampak pada respon fisik, fisiologis maupun tingkah laku. Perkembangan saluran pencernaan yang semakin cepat menghasilkan daya
pencernaan itik semakin maksimal yang pada akhirnya mempercepat
pertumbuhan broiler dengan produktivitas yang lebih maksimal.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto ransum itik umur
8 minggu.
Hipotesis Penelitian
Waktu pemberian ransum yang semakin cepat akan berpengaruh positif terhadap retensi nitrogen, energi metabolisme dan konversi energi metabolisme dari energi bruto ransum itik umur 8 minngu.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada peternak itik tentang manajement breeding ataupun manajemen
pemeliharaan yang baik yang nantinya memberikan hasil produksi yang maksimal serta memberikan informasi tentang pengaruh dari keterlambatan pemberian
TINJAUAN PUSTAKA
Broiler
Itik atau lebih dikenal dengan unggas pedaging adalah itik jantan atau
betina yang umumnya dipanen pada umur 5 - 6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Itik memiliki kelebihan
dan kelemahan, kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi, efisiensi terhadap ransum cukup tinggi, sebagian besar dari ransum diubah menjadi daging dan pertambahan bobot badan
sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi penyakit dan sulit
beradaptasi (Murtidjo, 1987).
Ransum Itik
Pemberian ransum pada itik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok dan berproduksi itik tersebut. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum itik harus seimbang antara
kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Sesuai dengan tujuan pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak - banyaknya dalam waktu
singkat, maka jumlah pemberian ransum tidak dibatasi (ad libitum). Itik selama masa pemeliharaannya mempunyai dua macam ransum yaitu itik starter dan itik
Persyaratan mutu ransum untuk anak itik (itik starter) berbeda dengan
mutu ransum broiler pada masa akhir (itik finisher). Perbedaan ini sesuai dengan kebutuhan nutrisi itik sesuai dengan fase pertumbuhannya. Berikut kebutuhan
nutrisi itik sesuai dengan fase pertumbuhannya (Tabel 1 dan Tabel 2). Tabel 1. Persyaratan mutu untuk anak itik ras pedaging (itik starter)
No. Parameter Satuan Persyaratan
1. Kadar air % Maks. 14.00
10. Energi termetabolis (EM) kkal/kg Min. 2900 11. Asam amino :
Lisin % Min. 1.10
Metionin % Min. 0.40
Metionin + sistin % Min. 0.60
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)
Tabel 2. Persyaratan mutu untuk itik ras pedaging masa akhir (itik finisher)
No. Parameter Satuan Persyaratan
1. Kadar air % Maks. 14.00
10. Energi termetabolis (EM) kkal/kg Min. 2900 11. Asam amino :
Lisin % Min. 0.90
Metionin % Min. 0.30
Metionin + sistin % Min. 0.50
Saluran Pencernaan Itik
Itik tidak mengeluarkan urine cair. Urine pada unggas mengalir ke dalam kloaka dan dikeluarkan bersama – sama feses. Warna putih yang terdapat dalam
ekskreta itik sebagian besar adalah asam urat, sedangkan nitrogen urine mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam) (Anggorodi,
1985).
Kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas fungsi
fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode perkembangan awal setelah menetas. Menurut Zhou et al. (1990), status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan.
Kapasitas saluran pencernaan pada itik periode awal dalam memanfaatkan nutrisi (asam amino dan gula) telah dilaporkan oleh Rovira et al. (1994). Pemberian protein atau asam amino dalam jumlah banyak dapat meningkatkan
daya serap usus atau berakibat sebaliknya dengan pembatasan ransum. Kemampuan usus dalam memanfaatkan nutrisi ditentukan oleh perkembangan
saluran percernaan secara fisiologis yang dilihat dari segi aktivitas enzim.
Meskipun aktivitas enzim pencernaan pada umumnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain : Genetis, komposisi ransum dan intake
(Nitsan et al., 1991). Intake lebih berpengaruh terhadap produksi dan aktivitas enzim pencernaan.
organ pencernaan. Jenis ransum seperti misalnya perbedaan kandungan serat, juga
dapat menentukan perkembangan organ pencernaan (Siri et al., 1992).
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat - zat makanan dalam
saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Ayam merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya
bagian - bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang
saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman dkk., 1991).
Seperti kita ketahui bahwa itik tidak mempunyai gigi geligi untuk
mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna itik terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).
Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di
gizzard (empedal) dengan menggunakan batu - batu kecil atau grid yang sengaja
dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan pencernaan dengan menggunakan enzim - enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Di dalam
usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus
(proteolitik) (Tillman dkk., 1991).
dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam saluran
pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum banyak dilakukan dengan menggiling
bahan - bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).
Kecernaan/Daya Cerna
Nilai sebenarnya kecernaan ditunjukkan dari bagian yang hilang setelah
bahan makanan dicerna, diserap dan dimetabolis (Schneider dan Flatt, 1973 dan Tillman dkk., 1991).
Perbedaan nilai kecernaan disebabkan oleh adanya perbedaan pada sifat makanan yang diproses, termasuk kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan itik (amilase, tripsin, kimotripsin, kolesterol esterase, sukrase dll.)
(Kompiang dan Ilyas, 1983; Sukarsa dkk., 1985; Wahju, 1997).
Faktor lain yang ikut mempengaruhi nilai kecernaan antara lain : (1). Tingkat proporsi bahan dalam ransum, (2). Komposisi kimia, (3). Tingkat
protein ransum dan (4). Mineral (Maynard et al., 1979; Bautrif, 1990; Wahju 1997).
Menurut Tillman dkk. (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat - zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna
dan tidak diperlukan (Cullison 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian ransum, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat
melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum dan
pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asam - asam
amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate et al., 1993).
Prinsip penentuan kecernaan zat - zat makanan adalah menghitung banyaknya zat - zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat
makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980).
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam
ransum (Ranjhan, 1980). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya
protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998).
Tingkat kecernaan/daya cerna suatu ransum menggambarkan besarnya zat - zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses
hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya maupun reproduksi (Ginting, 1992).
Pencernaan Ransum
Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana harus dipahami terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu : Jumlah nutrien yang
terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tillman dkk., 1991).
merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang
hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat
dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap.
Awal Pemberian Ransum
Di peternakan komersil seringkali day old dulck (DOD) tidak langsung
diberi makan, tetapi dipuasakan tiga hari, dengan tujuan mengoptimalkan sisa kuning telur dan peradangan sisa kuning telur (omphalistis) menjadi berkurang.
Faktanya adalah ayam yang dipuasakan akan mengalami penyerapan sisa kuning telur menjadi lebih lama, sehingga peluang untuk terinfeksi oleh kuman lingkungan menjadi jauh lebih besar (Noy dan Sklan, 1996 dalam Unandar 1997).
Pemberian ransum pada itik seawal mungkin memang berpengaruh terhadap perkembangan usus. Vili akan berkembang sempurna, peristaltik akan dipacu seawal mungkin sehingga sistem transport dalam usus berlangsung baik.
Enzim pankreas dan garam empedu digertak seawal mungkin, seiring dengan makanan yang masuk. Berat badan berbeda nyata sejalan dengan penyerapan
ransum yang maksimal, sehingga itik yang diberi ransum lebih dini mempunyai penampilan akhir lebih baik (Sulistyonigsih, 2004). Konsumsi itik yang diberi ransum hari ke-1, ternyata konsumsi ransumnya lebih tinggi sebesar 4.8%
daripada itik yang diberi ransum hari ke-2 (Sulistyonigsih, 2004).
Selanjutnya Unandar (1997) menyatakan ada beberapa efek negatif akan
Kuning telur dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada masa embrional
dalam telur hingga menetas. Sisa kuning telur yang mengandung air (50%), protein (28%) diantaranya maternal antibodi (7%), dan lipid (20%) dianggap
memenuhi kebutuhan DOD. Kebutuhan yang dapat dipenuhi dari kuning telur tertera dalam Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3. Kebutuhan energi dan protein yang terpenuhi dari kuning telur
Umur
Kenyataanya sisa kuning telur ini sangat terbatas dan hanya cukup untuk
mempertahankan kehidupannya bukan untuk pertumbuhannya. Pada hari pertama saja hanya 50% dari kebutuhan energi dan 43% dari kebutuhan protein yang dapat
dipenuhi dari sisa kuning telur yang ada. Hari ketiga biasanya peternak baru mulai memberi ransum pada anak itik, ternyata sisa kuning telur yang ada hanya mensuplai 6% dari kebutuhan energi dan 10% untuk kebutuhan protein
(Widjaja, 1999).
Proses utama yang terjadi dalam pertumbuhan anak itik, yaitu : Hiperplasia (pertambahan jumlah sel - sel tubuh) dan hipertrofi (perbesaran
lebih dominan. Tentu saja apabila persedian sel - sel tidak ada jumlah yang cukup
pada minggu pertama, akan sangat sulit untuk mencapai pertumbuhan maksimal pada minggu - minggu selanjutnya.
Manfaat yang dapat dilihat dari pemberian ransum awal adalah : a. Sistem pencernaan makanan
Pemberian ransum akan marangsang perkembangan usus. Vili dapat
berkembang sempurna. Motilitas/peristaltik juga dipacu seawal mungkin, sehingga sistem transport dalam usus berlangsung baik. Enzim pankreas dan
garam empedu digertak seawal mungkin, seiring dengan makanan yang masuk. b. Sistem imunitas
- Antibodi maternal
Metabolisme yang sempurna akan mendukung proses penyerapan antibodi maternal (dari induk). Antibodi maternal menjadi kunci pertahanan tubuh di minggu awal, pada saat organ limfoid belum merespon secara maksimal dan
menghasilkan antibodi aktif jika penyerapan zat kebal induk tidak maksimal, berarti ayam tidak akan mendapat perlindungan yang lebih baik terhadap
serangan bibit penyakit dari lingkungan, sehingga kematian akan lebih tinggi dan penampilan ayam tidak bisa maksimal (Unandar 1997).
- Menstimulasi perkembangan jaringan limfoid sepanjang usus. Jaringan yang
paling mudah untuk menggertak sistem kekebalan lokal adalah dengan pemberian ransum sedini mungkin. Gut Associated Lymphoid Tisue (GALT)
menstimulasi sekresi korticosteroid yang menghambat proliferasi sel - sel
tubuh yang bertanggung jawab pada sistem imun. c. Penampilan ayam
Berat badan dan konversi ransum berbeda nyata sejalan dengan penyerapan ransum yang maksimal dan sistem pertahanan tubuh yang dapat diandalkan. Pada beberapa penelitian, ternyata jika proses penyerapan sisa kuning telur
berjalan secara normal, maka kondisi seperti ini akan mengaktivasi organ yang
berkaitan dengan proses pada itik (Noy et al.,1996; Unandar 1997).
Kondisi cekaman pada anak itik akan meningkatkan produksi
adenokortikotropil hormone (ACTH) oleh kelenjar pituitari pada otak. Salah satu
efek dari tingginya kadar hormon adalah menurunnya metabolisme tubuh secara umum, termasuk penyerapan kuning telur pada anak ayam (lihat pada Gambar 1).
Gangguan penyerapan kuning telur akan berdampak pada gangguan nutrisi yang terlihat pada pertumbuhan yang lebih lambat. Kuning telur yang tersisa akan terkontaminasi oleh mikroorganisme, menyebabkan terjadinya radang pusar anak
ayam (omphalistis). Penyerapan zat kebal induk yang terdapat pada sisa kuning telur juga akan terhambat sehingga pada akhirnya menurunkan daya tahan tubuh
Gambar 1. Efek lanjut stresor pada DOD (Unandar, 2002) Stresor
Adenocorticotropil hormone (ACTH)
Stresor
Stresor DOD
Aktivitas fisiologis tubuh (Absorpsi kuning telur)
Kuning telur yang persisten
Absorpsi zat kebal induk Gangguan
nutrisional
Terlambat tumbuh
Kontaminasi kuman
Daya tahan tubuh
Omphalitis
Terlambat tumbuh, kematian dan problem asites meningkat Peka terhadap
Kegunaan Kuning Telur (Yolk) pada Anak Itik
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa anak ayam sejak berumur satu sampai dua hari masih mempunyai cadangan makanan yang tertimbun dalam
tubuh berupa sisa – sisa kuning telur (yolk). Cadangan makanan tersebut masih cukup untuk memenuhi kebutuhan anak itik selama 48 jam sejak menetas. Sebagian ahli lainnya berpendapat, sekalipun mempunyai sisa – sisa kuning telur,
bahwa anak ayam masih membutuhkan makanan. Pendapat ini pun masuk akal, sebab pertumbuhan pertama dari anak ayam berlangsung sangat cepat, sehingga
banyak membutuhkan zat putih telur (protein). Karena itu sisa – sisa kuning telur tadi tidak mencukupi kebutuhan anak itik untuk mendukung pertumbuhan tubuhnya (Muslim, 1993).
Anak itik yang baru menetas dapat bertahan tidak makan selama dua hari sejak ia ditetaskan, karena di dalam perutnya masih ada sisa kuning telur yang digunakan sebagai sumber energi (Rasyaf, 1989).
Pada perkembangan embrio selanjutnya, kuning telur merupakan sumber energi. Selama penetasan, kuning telur terdiri dari 20% adalah berat badan anak
ayam dan mengandung 20 – 40% lemak serta 20 – 25% protein. Menjelang berakhirnya masa inkubasi sisa kuning telur terkumpul di dalam rongga abdominal. Bagi anak ayam yang baru menetas, kuning telur tersedia sebagai
energi sedangkan protein untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan. Sisa kuning telur cukup untuk kelangsungan hidup anak ayam hingga umur 3 – 4 hari
antibodi yang digunakan untuk kekebalan pasif yang berguna daripada sebagai
sumber asam amino. Pecahan lipid dari kuning telur sebagian besar berisi trigliserida, phospolipid dan sejumlah kecil ester kolesterol serta asam lemak tidak
bebas. Pada saat penetasan anak itik, kuning telur dimanfaatkan baik oleh endositosis dari kandungan kuning telur ke dalam sirkulasi atau oleh batang kuning telur ke dalam usus halus. Pergerakan anti peristaltik mentransfer kuning
telur ke usus halus dimana acyl – lipid di cerna oleh enzim lipase dari pankreas dan diserapnya (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006).
Pemberian Ransum yang Lebih Awal dapat Mempercepat Penyerapan Kuning Telur
Sisa kuning telur padaumumnya akan habis hingga 4 hari setelah menetas. Studi terbaru mengindikasikan bahwa sisa kuning telur digunakan lebih cepat oleh
anak itik yang sudah mendapatkan ransum lebih awal pada anak ayam broiler saat menetas adalah 6,5 gram, yang berkurang menjadi 0,4 gram dalam waktu 96 jam pada anak itik yang diberi ransum segera setelah menetas (Gambar 2), tetapi
berat kuning telur yang tersisa pada anakitikyang dipuasakan 24 dan 48 jam adalah 0,7 gram dan 1,5 gram setelah 96 jam. Hal ini disebabkan karena gerakan anti peristaltik yang mentransfer kuning telur hingga ke duodenum karena
dirangsang dengan kehadiran makanan di dalam saluran usus. Tetapi pada proses penetasan anak ayam di perunggasan komersial, anak itik akan ditransfer dari
inkubator ketika sebagian besar telah terlepas dari kerabang telur. Diikuti dengan proses selanjutnya seperti sexing, vaksinasi dan pengemasan yang dilakukan sebelum dimasukkan ke dalam box untuk dikirim. Jadi dalam kenyataannya, anak
kelangsungan hidup dan pertumbuhan terlambat. Oleh karena segera setelah
penetasan merupakan periode kritis untuk perkembangan dan kelangsungan hidup bagi anak ayam (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2006).
Gambar 2. Grafik pengaruh pemberian ransum yang awal dan terlambat terhadap isisa kuning telur pada anak itik
Efek Kuning Telur (Yolk) di dalam Pertambahan Berat Badan
Studi terbaru mengenai day old chick (DOD) itik menjelaskan bahwa
Gambar 3. Grafik pengaruh ketiadaan ransum setelah penetasan (0 – 48 jam) iiterhadap berat badan itik pada interval 48 jam
Sedangkan pada anak itik yang diberi ransum segera dan dipuasakan 24 jam tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap berat badan. Dilaporkan juga
dari studi lain bahwa ayam yang tidak diberi ransum dan air minum dalam kurun waktu 48 jam setelah menetas dapat menurunkan berat badan 7,8 % dibandingkan dengan anak itik yang diberi ransum segera setelah menetas. Pada percobaan lain
dilaporkan bahwa pullet dan anak itik yang dipuasakan selama 48 jam atau lebih akan memperlambat pertambahan berat badan dan perkembangan usus,
menurunkan areal penyerapan usus dan membatasi kapasitas pengambilan nutrien yang penting, jadi merupakan kontribusi untuk pertumbuhan terlambat di kemudian hari akan menurun. Pemberian ransum yang lebih cepat pada anak itik
akan meningkatkan persentase daging dada yang dihasilkan hingga 7 – 9% jika dibandingkan dengan anak itik yang dipuasakan. Hal ini berkaitan dengan
Keterlambatan pemberian ransum ternyata memberikan efek yang negatif
terhadap pertambahan berat badan itik. Keterlambatan pemberian ransum setelah 15 jam pengiriman DOD menyebabkan pertambahan berat badan itik lebih
lambat. Pada hari ke-7 sampai hari ke-8, itik yang diberikan ransum lebih awal menghasilkan berat badan yang lebih tinggi 20 g dibandingkan berat badan ayam yang terlambat 15 jam diberi ransum. Pengaruh keterlambatan ini terlihat sangat
signifikan pada umur 35 – 40 hari. Perbedaan berat badan mencapai 80 g yang mana dapat mengurangi pendapatan peternak itik (Charoen Pokphand Bulletin
Service, 2006). Pengaruh bobot badan terhadap keterlambatan pemberian ransum setelah 15 jam pengiriman anak itik dapat dilihat pada Gambar 4.
Efek Kuning Telur (Yolk) terhadap Perkembangan Saluran Pencernaan Pada saat penetasan, anatomi sistem pencernaan anak itik belum sempurna dan kapasitas fungsi awalnya belum berkembang seluruhnya. Saluran pencernaan
mengalami perubahan morfologi (bertambahnya panjang usus serta kepadatan dan tinggi vili) dan perubahan fisiologi (meningkatnya produksi pankreas dan enzim pencernaan) termasuk meningkatnya area permukaan pencernaan dan penyerapan.
Segera setelah periode penetasan, berat usus halus akan meningkat lebih cepat dari berat tubuh dan akan terus meningkat hingga maksimum sampai umur 6 – 10
hari. Namun organ pencernaan seperti gizzard (rempela) ukurannya tidak menunjukkan peningkatan perubahan paralel dalam ukuran yang relatif. Keberadaan nutrisi pada lumen usus akan merangsang pertumbuhan vili usus.
Morfologi epithelium usus terutama dipengaruhi oleh ketiadaan makanan. Hal ini dilaporkan bahwa tinggi villi duodenum dan perputaran sel usus secara signifikan berkurang pada anak itik yang dipuasakan 24 jam. Dilaporkan juga bahwa tidak
adanya ransum dan air minum dalam 24, 48 dan 72 jam setelah anak itik menetas akan mempengaruhi perkembangan vili usus. Jadi, pengaruh peningkatan
pertumbuhan dari pemberian ransum yang lebih awal dapat diterangkan dengan perubahan perkembangan saluran pencernaan. Data hasil penelitian mengungkapkan bahwa pemberian ransum lebih awal pada anak itik setelah
Tabel 4.iPengaruh bagian organ tertentu (% berat badan) terhadap ketiadaan
Itik yang diberikan ransum lebih awal akan meningkatkan permukaan
penyerapan usus, menuju ke asimilasi nutrisi yang lebih besar dan tumbuh lebih baik. Usus halus akan berkembang lebih baik dengan adanya makanan, namun
jika ransum eksogenous tidak ada maka anak itik akan berkembang dipacu dengan mengkonsumsi ransum dan enzim ini akan terus menerus disekresikan relatif konstan jika anak ayam mengkonsumsi ransum. Anak itik yang mencerna
makanan maka aktifitas enzim tripsin, amilase dan lipase akan meningkat yang berkorelasi dengan peningkatan berat usus dan berat badan. Pengambilan nutrisi
seperti glukosa dan metionin adalah rendah (25 – 30%) segera setelah ayam menetas. Pemberian ransum yang rendah natrium akan menurunkan pengambilan nutrisi di usus sehingga disarankan nutrisi penting diberikan di awal periode
penetasan. Pankreas, hati dan usus halus berkembang cepat setelah anak ayam menetas, sehingga hal ini perlu diperhatikan. Pemberian ransum lebih awal akan
merangsang perkembangan organ tersebut, meningkatkan kapasitas pencernaan dan penyerapan usus. Total aktifitas enzim pencernaan cenderung meningkat
selama periode setelah bereaksi dengan adanya makanan dalam usus
Pematangan Sistem Pencernaan
Disamping kemampuan day old dulck (DOD) dalam mengatur temperatur tubuhnya pematangan yang sempurna dari saluran pencernaan adalah hal yang
sama penting terhadap performance itik. Sebelum anak itik pipping (mematuk kerabang telur) pada hari ke-19 inkubasi, embrio akan mulai menarik kuning telurnya ke dalam tubuhnya dan pada akhir hari ke-20 di dalam telur, keseluruhan
kuning telur telah diserap. Residu kuning telur kaya akan lemak yang penting sebagai sumber energi untuk anak itik dan selanjutnya merupakan
pematangan dari semua organ menjadi sempurna dan kontrol fisiologis (Charoen Pokphand Bulletin Service, 2007).
Energi
Metabolisme
Energi berasal dari dua kata Yunani yaitu : En yang berarti dalam dan
Ergon yang berarti kerja. Energi yang terdapat dalam bahan makanan tidak seluruhnya digunakan oleh tubuh. Untuk setiap bahan makanan minimal ada 4
nilai energi yaitu energi bruto (gross energy atau combustible energi), energi dapat dicerna, energi metabolisme dan energi neto (Wahju, 1997). Metabolisme
merupakan keseluruhan proses perubahan kimiawi yang dikendalikan oleh enzim yang terjadi dalam sel, organ atau organisme yang bertujuan mensintesis makro molekul dalam bahan makanan untuk melaksanakan suatu fungsi tertentu dalam
sel (Rifai dkk., 1990), untuk produksi energi, kemudian sebagian disimpan dan sisanya dibuang sebagai limbah kotoran (Stauffer, 1989).
yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk berbagai keperluan baik
untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk (Amrullah, 2002). Gas yang dihasilkan oleh ternak unggas biasanya diabaikan
sehingga energi metabolisme merupakan energi bruto bahan pakan atau ransum dikurangi dengan energi bruto feses dan urin (NRC, 1994). Banyaknya feses tergantung pada kuantitas bahan yang tidak tercerna seperti selulosa, hemiselulosa
dan lignin (Anggorodi, 1985).
Penentuan kandungan energi metabolisme bahan makanan secara biologis
dilakukan pertama kali oleh Hill et al. (1960). Metode Hill pada dasarnya mengukur konsumsi energi dengan energi ekskreta. Metode ini menggunakan Cr2O3 sebagai indikator. Selain itu, metode ini menampilkan prinsip penentuan
energi metabolisme melalui substitusi glukosa dalam ransum basal yang diketahui energi metabolismenya dengan bahan yang akan diuji dalam proporsi tertentu. Sibbald dan Slinger (1963); Valdes dan Leeson (1992) mengembangkan metode
substitusi dengan suatu rumus turunan untuk menghitung energi metabolisme bahan pakan dalam ransum perlakuan. Sibbald (1976) mengembangkan metode
baru dalam menentukan energi bruto bahan pakan dengan mengukur energi bruto feses dan energi bruto endogenous. Metode ini dapat mengetahui nilai energi metabolisme murni (EMM), yaitu energi metabolisme yang sudah dikoreksi
dengan energi endogenous. Akan tetapi metode ini mengandung unsur pemberian makanan secara paksa.
menimbulkan stres pada ternak. Akan tetapi, kelebihan dari metode Sibbald
diantaranya adalah jumlah bahan makanan uji yang dibutuhkan sedikit,
melibatkan sedikit analisis kimia, waktu singkat dan biaya yang murah
(Farrel, 1978). Metode Farrell lebih memperhatikan kesejahteraan hewan karena tidak ada unsur pemaksaan. itik yang digunakan juga tidak memerlukan pemulihan kondisi. Melatih v untuk makan terus menerus dalam waktu satu jam
dan pembuatan pellet dalam jumlah besar merupakan pembatas metode Farrell.
Pelleting ransum juga akan mempengaruhi nilai energi metabolisme ransum
tersebut (McNab, 2000).
Menurut Sibbald (1979), energi metabolisme semu (EMS) merupakan perbedaan antara energi ransum dengan energi feses dan urin, dimana pada
unggas feses dan urin bercampur menjadi satu dan disebut ekskreta. Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) biasanya paling banyak digunakan untuk memperkirakan nilai energi metabolisme. EMSn berbeda dengan EMS
karena EMSn telah dikoreksi oleh retensi nitrogen (RN) dimana RN bisa bernilai positif atau negatif. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan EM yang
dikoreksi dengan energi endogenous. Energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) memiliki hubungan yang sama dengan EMM seperti halnya EMSn terhadap EMS. Menurut Sibbald dan Wolynetz (1985) energi metabolisme
dapat dinyatakan dengan empat peubah, yaitu EMS, EMSn, EMM dan EMMn. Jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh
Daya cerna suatu bahan pakan dipengaruhi oleh kandungan serat kasar,
keseimbangan zat - zat makanan dan faktor ternak (bobot badan) yang selanjutnya akan mempengaruhi nilai energi metabolisme suatu bahan pakan. Hal ini
didukung oleh pernyataan Mc. Donald dkk. (1994) bahwa rendahnya daya cerna terhadap suatu bahan pakan mengakibatkan banyaknya energi yang hilang dalam bentuk ekskreta sehingga nilai energi metabolisme menjadi rendah.
Besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi atau dapat
dikatakan kebutuhan energi seekor ternak selain dicerminkan dari jumlah konsumsi ransum, juga ditentukan dari pertambahan bobot badan per harinya. Kebutuhan energi akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan yang
cepat (NRC, 1994).
Retensi Nitrogen
Retensi nitrogen adalah sejumlah nitrogen dalam protein ransum yang
masuk ke dalam tubuh kemudian diserap dan digunakan oleh ternak (Sibbald dan Wolynetz, 1985). Retensi nitrogen itu sendiri merupakan hasil
konsumsi nitrogen yang dikurangi ekskresi nitrogen dan nitrogen endogenous. Sibbald (1980) menyatakan bahwa nitrogen endogenous ialah nitrogen yang terkandung dalam ekskreta yang berasal dari selain bahan pakan yang terdiri
dari peluruhan sel mukosa usus, empedu dan peluruhan sel saluran pencernaan. Genetik, umur dan bahan pakan merupakan faktor yang mempengaruhi retensi
Selain itu menurut NRC (1994), nilai retensi nitrogen berbeda untuk setiap
jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit nitrogen urin dan
energi dibandingkan dengan ternak yang tidak meretensi nitrogen.
Pengukuran retensi nitrogen ransum bertujuan untuk mengetahui nilai kecernaan protein ransum. Retensi nitrogen dapat bernilai positif atau negatif
tergantung pada konsumsi nitrogen. Ewing (1963) menyatakan bahwa retensi nitrogen yang menurun dengan meningkatnya protein ransum mungkin
disebabkan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini menunjukkan pentingnya energi yang cukup dalam ransum jika itik digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein berdasarkan keseimbangan protein. Retensi
nitrogen akan negatif apabila nitrogen yang dikeluarkan melebihi konsumsi
nitrogen, sebaliknya retensi nitrogen akan positif apabila nitrogen yang dikonsumsi melebihi nitrogen yang dikeluarkan melalui ekskreta
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Departemen
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Jl. Dr. A. Sofyan No.3 Medan. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dimulai Juni 2011 sampai
selesai, dimana lama penelitian ini dihitung dari mulai persiapan kandang sampai pengambilan sampel untuk dianalisis di laboratorium.
Bahan dan Alat Penelitian
Ternak
Day old dulck (DOD) yang digunakan mendapatkan ransum dengan
jangka waktu yang berbeda sesuai dengan perlakuannya. DOD menetas pada pukul 06.00 WIB Tanggal 5 Desember 2010 dan perlakuan pertama (R0) diberi ransum pada pukul 20.30 WIB. Itik yang digunakan sebagai sampel dalam
penentuan nilai/daya cerna sebanyak 27 ekor 8 minngu dengan rataan bobot badan 1689.58 ± 135.38 g/ekor (1 ekor per perlakun). Teknik pemberian ransum
secara paksa (force feeding).
Ransum
Ransum yang digunakan adalah ransum komersil yang diproduksi
Air minum, Obat – obatan, Desinfektan dan Vaksin
Air minum yang diberikan secara ad libitum, namun pemberian air minum pertama kali sesaat DOD dikandangkan berupa air gula yang bertujuan untuk
menghilangkan stres DOD selama perjalanan. Pemberian air minum untuk selanjutnya ditambahkan dengan suplemen tambahan seperti vitachick® sebagai anti stres. Rodalon digunakan sebagai detergen pada saat mencuci tempat minum.
Vaksin yang akan digunakan seperti ND 5 Ma Clone®, IBD® dan ND Lasota®.
Kandang dan Perlengkapan
Kandang yang digunakan pada saat pengumpulan sampel untuk penentuan retensi nitrogen, energi metabolis dan daya cerna serat kasar broiler adalah kandang biologis berukuran 52 x 25 x 45 cm sebanyak 27 buah dengan teknik
pemberian ransum secara paksa (force feeding). Masing - masing kandang terdiri dari 1 ekor broiler. Kandang ini dilengkapi tempat air minum serta plastik penampung ekskreta. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital
Ohause dengan skala 2 kg dengan ketelitian 2 g, oven 60°C, freezer, H2SO4 0.01N, label, sendok dan kantong plastik. Alat penerangan/pemanas berupa lampu
pijar 40 Watt sebanyak 30 buah. Kabel sepanjang ± 40 m sebagai bagian instalasi dari alat penerangan/pemanas. Thermometer sebagai alat untuk mencatat suhu ruangan. Terpal dengan ukuran 3 x 6 m sebanyak 4 buah sebagai penutup dinding
Metode Penelitian
Rancangan acak lengkap (RAL) merupakan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini. Perbedaan dari masing – masing perlakuan terletak pada
perbedaan jangka waktu pemberian ransum pada anak itik sesampainya dikandang.
Perlakuan yang diteliti adalah :
R0 = 0 jam (Sesaat anak ayam dikandangkan langsung diberikan makan) R1 = 6 jam (6 jam kemudian diberi makan)
R2 = 12 jam (12 jam kemudian diberi makan) R3 = 18 jam (18 jam kemudian diberi makan) R4 = 24 jam (24 jam kemudian diberi makan)
R5 = 30 jam (30 jam kemudian diberi makan) R6 = 36 jam (36 jam kemudian diberi makan) R7 = 42 jam (42 jam kemudian diberi makan)
R8 = 48 jam (48 jam kemudian diberi makan)
Keterangan : R = Perlakuan
Berdasarkan jumlah perlakuan, maka dapat ditentukan berapa jumlah
ulangan yang akan digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
t (n - 1) ≥ 15 9 (n - 1) ≥ 15 9n – 9 ≥ 15
Adapun susunan atau denah kandang penelitiannya seperti dibawah ini :
K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9
R03 R21 R71 R81 R11 R51 R31 R61 R41
K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 K17 K18
R12 R62 R52 R82 R22 R02 R42 R32 R72
K19 K20 K21 K22 K23 K24 K25 K26 K27
R01 R83 R43 R73 R13 R53 R63 R33 R23
Keterangan :
Kb = Kandang biologis R = Perlakuan Jumlah ayam = 1 ekor/kandang
Model matematik untuk rancangan acak lengkap yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
Yij = µ + Ti + εij Dimana :
i = 1, 2, 3,…i (perlakuan) j = 1, 2, 3,…j (ulangan)
Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = nilai tengah umum
γi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = efek j galat pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j
Parameter Penelitian
Retensi Nitrogen (%)
Retensi nitrogen diperoleh dengan melakukan pengukuran protein kasar
ransum, endogenous dan ekskreta broiler. Retensi nitrogen menunjukkan nilai nitrogen yang digunakan oleh tubuh ternak. Nilai ini dapat diperoleh dari selisih antara nilai konsumsi protein kasar (KP) dengan nilai protein yang diekskresikan
(EP) setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi protein endogenous (ENP). Dengan kata lain retensi nitrogen (RN) yaitu selisih antara nilai konsumsi protein kasar
dengan nilai protein kasar yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi protein endogenous.
RN (%) = KN – (EN - ENN) x 100% KN
Keterangan :
KN : Konsumsi nitrogen (g/ekor) EN : Ekskresi nitrogen (g/ekor) ENN : Endogenous nitrogen (g/ekor)
Energi Metabolisme (kkal/kg)
Energi metabolisme adalah selisih antara kandungan energi bruto ransum dengan energi bruto yang hilang melalui ekskreta. Energi metabolisme dinyatakan
dengan 4 peubah (Sibbald dan Wolynetz, 1985) yaitu : a. Energi Metabolisme Semu (EMS) (kkal/kg) :
EMS = (EB x X) – (Ebe x Y) X
b. Energi Metabolisme Murni (EMM) (kkal/kg)
c. Energi Metabolisme Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) (kkal/kg)
EMSn = (Eb x X) - [(Ebe x Y) + (8.22 x RN)] X
d. Energi Metabolisme Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn (kkal/kg)
EMMn = (EB x X) – [(Ebe x Y) – (Ebk x Z) + (8.22 x RN)] X
Keterangan :
EB : Energi bruto ransum (kkal/kg) Ebe : Energi bruto ekskreta (kkal/kg) Ebk : Energi bruto endogenous (kkal/kg) X : Konsumsi ransum (gram)
Y : Berat ekskreta itik yang diberi ransum (gram) Z : Berat ekskreta itik yang dipuasakan (gram) RN : Retensi nitrogen (gram)
8,22 : Nilai yang terkoreksi sebagai asam urat (kkal/kg) (Sibbald, 1980)
Konversi EMSn/EB
Daya cerna energi bukan ditentukan oleh nilai energi metabolisme baik semu
(EMS), murni (EMM), semu terkoreksi nitrogen (EMSn) ataupun murni terkoreksi
nitrogen (EMMn), akan tetapi ditentukan oleh konversi EMSn terhadap energi bruto
atau rasio EM/EB ransum.
EMSn/EB = EMSn
EB
Keterangan :
EMSn : Energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (kkal/kg) EB : Energi bruto ransum (kkal/kg)
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Kandang Beserta Peralatannya
Kandang dipersiapkan 1 minggu sebelum itik dikandangkan, dimana seluruh instalasi penerangan/pemanas telah dipasang. Sebelumnya kandang didesinfekatan dengan rodalon. Kandang difumigasi dengan formalin dan KMNO4
memastikan gas dari formalin dan KMNO4 sepenuhnya berada di dalam ruangan
yang bertujuan untuk membasmi jamur dan bakteri yang masih menempel di kandang.
Pemeliharaan Broiler
Perbedaan perlakuan terdapat pada saat pemberian ransum pertama kali saat day old dulck (DOD) dikandangkan. DOD yang digunakan dalam objek
penelitian ini menetas Pukul 06.00 WIB dan dikandangkan Pukul 20.30 WIB. Dengan kata lain, terdapat selang waktu selama 14.5 jam sebelum DOC pada
perlakuan R0 mendapatkan ransum pertama kali sesaat dikandangkan. Selisih pemberian ransum untuk perlakuan selanjutnya adalah 6 jam. Perlakuan R0 yang mendapatkan ransum Pukul 20.30 WIB (5 Desember 2010), maka perlakuan R1
mendapatkan ransum Pukul 02.30 WIB (6 Desember 2010). Begitu seterusnya hingga perlakuan R8 yang mendapatkan ransum paling terakhir. Setelah anak ayam pada perlakuan R8 mendapatkan ransum, maka pemberian ransum terhadap
semua perlakuan tidak dibedakan lagi. Semua perlakuan diberikan ransum secara
ad libitum.
Penentuan Energi Metabolisme
Metode Pemberian Ransum secara Paksa (Force Feeding)
Metode pemberian ransum secara paksa dilakukan dengan menerapkan
metode Sibbald dan Wolynetz (1985). Pada saat percobaan dimulai, digunakan 27 ekor ayam yang dipuasakan selama 24 jam. Ransum diberikan secara paksa
sebanyak 25 g dengan bantuan corong (dicekok). Air minum diberikan
penanganan berikutnya sama halnya seperti pada teknik pemberian ransum tanpa
paksa. Alur pengukuran energi metabolis ditampilkan pada Gambar 5.
(Masa pemeliharaan itik)
Pemuasaan (24 jam)
Koleksi ekskreta
- Dikumpulkan dan ditimbang - Dibekukan selama 24 jam - Dicairkan pada suhu ruang - Dioven 600C selama 24 jam - Dihaluskan
- Dibersihkan dari kotoran dan bulu - Dianalisis energi bruto, RN dan SK
Gambar 5. Alur pengukuran retensi nitrogen dan energi metabolisme dengan imetode force feeding
Day Old Duck (DOD)
Itik pedaging (8 minngu)
Force Feeding
1 hari @ 25 g/ekor
Ekskreta
Prosedur Pengambilan/Pengolahan Data 1. Berat Ekskreta (g/ekor)
Berat ekskreta diperoleh setelah ekskreta dikeringkan dalam oven 60ºC.
2. Energi Bruto Ekskreta/EB (kkal/kg)
Energi bruto ekskreta diperoleh dari analisis energi menggunakan bomb kalorimeter.
3. Konsumsi Protein Kasar/KP (g/ekor)
Konsumsi protein kasar merupakan hasil perkalian dari jumlah ransum yang
dikonsumsi (K) dengan kandungan protein kasarnya (PK). 4. Protein Kasar Ekskreta/EP (g/ekor)
Nitrogen ekskreta diperoleh dari analisis protein kasar laboratorium.
5. Protein Kasar Endogenous/ENP (g/ekor)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Retensi Nitrogen
Perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum yang diberikan pada
unggas dapat menyebabkan perbedaan nitrogen yang diretensi sehingga menghasilkan perbedaan dalam nilai energi metabolis. Retensi nitrogen adalah
hasil pengurangan nitrogen yang dikonsumsi dengan nitrogen yang hilang melalui ekskreta.
Analisis keragaman retensi nitrogen broiler (Lampiran 1) menunjukan
bahwa perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap retensi nitrogen. Perbedaan dari masing –
masing perlakuan dapat dilihat jelas dari Uji Duncan Taraf 5% (Lampiran 1). Rataan retensi nitrogen ransum perlakuan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan retensi nitrogen itik
Perlakuan Retensi nitrogen (%)
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat
nyata (P<0.05)
retensi nitrogen terendah terdapat pada perlakuan R8 sebesar 77.56 ± 2.45%.
Perbedaan dari nitrogen yang diretensi tersebut merupakan dampak awal dari pengaruh perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum. Itik yang
mendapatkan ransum sesaat dikandangkan akan meretensi nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang mendapatkan ransum lebih dari 18 jam kemudian.
Secara statistik, perbedaan pemberian ransum sampai 12 jam belum menunjukan perbedaan yang signifikan. Namun, dilihat dari Itik yang
mendapatkan ransum 18 jam kemudian sesaat dikandangkan (R3) terlihat selisih nitrogen yang diretensi sebesar 5.43% lebih rendah dibandingkan dengan ayam yang memperoleh ransum sedini mungkin (R0). Perbedaan retensi nitrogen ini
sejalan dengan bobot badan dari unggas tersebut, ayam yang memperoleh ransum lebih awal akan menunjukan produktivitas yang lebih optimal sehingga dapat meretensi nitrogen lebih banyak. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyu (1997)
yang menyatakan bahwa bobot badan dari seekor ternak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi retensi nitrogen karena tidak semua protein yang
masuk kedalam tubuh dapat diretensi. Semakin tinggi bobot badan seekor ternak maka jumlah nitrogen yang dapat diretensi akan semakin tinggi pula. Didukung juga oleh NRC (1994) yang menyatakan bahwa nilai retensi nitrogen berbeda
untuk setiap jenis ternak, umur dan faktor genetik. Banyaknya nitrogen yang diretensi dalam tubuh ternak akan mengakibatkan ekskreta mengandung sedikit
Energi metabolisme
Perhitungan energi metabolisme ransum dinyatakan dengan 4 peubah yaitu energi metabolisme semu, energi metabolisme murni, energi metabolisme semu
terkoreksi nitrogen dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen. Energi metabolisme murni (EMM) merupakan energi metabolisme yang memperhitungkan energi endogenous sebagai faktor koreksi (Sibbald, 1980). Hal
ini menyebabkan nilai dari EMM lebih besar dari EMS. Energi endogenous terdiri dari metabolic faecal dan endogenous urinary yang berasal dari katabolisme
jaringan tubuh untuk kebutuhan hidup pokok pada saat dipuasakan dan sebagian lagi berasal dari produk akhir yang mengandung nitrogen (Wolynetz dan Sibbald, 1984). EMS tidak memperhitungkan metabolic faecal dan
endogenous urinary (Sibbald, 1989).
Analisis sidik ragam energi metabolisme semu dan murni (Lampiran 2 dan 3) menunjukan bahwa perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap energi metabolisme broiler baik semu (EMS) maupun murni (EMM). Energi metabolisme semu dan murni
tertinggi terdapat pada perlakuan R0 sebesar 3234.51 ± 15.31 dan 3409.60 ± 15.31 kkal/kg. Setelah dilakukan uji Duncan Taraf 5% terhadap energi metabolime ransum pada broiler (Lampiran 2 dan 3) perbedaan dari masing – masing
Tabel 6. Rataan energi metabolisme Itik (kkal/kg)
Perlakuan Energi metabolisme (kkal/kg)
Semu (EMS) Murni (EMM)
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat
nyata (P<0.05)
Energi metabolisme semu dan murni yang diperoleh dari Itik yang mendapatkan ransum sampai 18 jam kemudian sesaat ayam dikandangkan (R3)
tidak berbeda dengan Itik yang diberi ransum sesaat dikandangkan (R0). Perbedaan energi metabolime ransum baik semu atau murni, keduanya memperlihatkan bahwa pemberian ransum seawal mungkin memberikan hasil
bahwa energi metabolis ransumnya semakin baik.
Pemberian ransum lebih awal akan merangsang perkembangan organ saluran pencernaan, meningkatkan kapasitas pencernaan dan penyerapan usus.
Dengan kata lain, Itik yang diberikan ransum lebih awal memiliki organ pencernaan dengan permukaan penyerapan usus yang lebih besar, sehingga
jumlah nutrisi yang diserap semakin banyak. Genetik seekor ternak dengan produktivitas yang baik akan memiliki organ pencernaan yang lebih berkembang dengan bertambahnya panjang usus, kepadatan dan tinggi vili serta perubahan
fisiologi (meningkatnya produksi pankreas dan enzim pencernaan) termasuk meningkatnya area permukaan pencernaan dan penyerapan. Hal ini sesuai dengan
dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh unggas bergantung pada spesies,
faktor genetis, umur unggas dan kondisi lingkungan. Besar kecilnya energi yang dimetabolis seekor ternak tergantung dari genetik ataupun bobot badan dari ternak
itu sendiri. Proses pencernaan dan metabolisme dengan pertumbuhan ternak yang lebih tinggi akan mengolah lebih banyak senyawa kimia yang masuk menembus dinding usus menjadi energi yang tersedia, yang kemudian akan digunakan untuk
berbagai keperluan baik untuk hidup pokok, aktivitas maupun untuk menghasilkan produk. Didukung juga oleh pernyataan NRC (1994) yang
menyatakan bahwa besarnya konsumsi ransum pada berbagai umur tidak tetap. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan laju pertumbuhan dan tingkat produksi atau dapat dikatakan kebutuhan energi seekor ternak selain dicerminkan dari jumlah
konsumsi ransum, juga ditentukan dari pertambahan bobot badan per harinya. Kebutuhan energi akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan yang cepat.
Nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) dan energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) merupakan nilai energi metabolis
yang dikoreksi dengan nitrogen, sehingga nilainya lebih kecil dari EMS dan EMM.
Tabel 7. Rataan energi metabolisme terkoreksi nitrogen Itik (kkal/kg)
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat
nyata (P<0.05)
Sama halnya dengan dengan energi metabolisme semu dan murni,
pemberian ransum sampai 18 jam kemudian sesaat ayam dikandangkan (R3) menunjukan nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) yang
tidak berbeda dengan ayam yang diberi ransum sesaat dikandangkan (R0). Begitu juga dengan nilai energi metabolisme murni terkoreksi nitrogen (EMMn) yang menunjukan hasil yang sama dengan nilai energi metabolisme murni (EMM).
Pemberian ransum yang lebih awal menunjukan daya cerna unggas yang tinggi, penampilan akhir dari unggas yang lebih optimal dengan perkembangan saluran
organ pencernaan yang lebih baik memungkinkan unggas untuk menyerap kandungan nutrisi ransum yang lebih banyak. Sejalan dengan pendapat McDonald
and Haigh (1994) dan Williams dkk. (1990), bahwa daya cerna merupakan faktor
yang mempengaruhi energi metabolis ransum, daya cerna yang tinggi menyebabkan banyak energi yang terserap dan energi yang hilang melalui
ekskreta semakin sedikit.
Nilai energi metabolisme baik semu maupun murni terkoreksi nitrogen tertinggi diperoleh dari perlakuan R0 sebesar 3234.31 ± 15.31 kkal/kg (EMSn) dan
3409.40 ± 15.31 kkal/kg (EMMn). Daya cerna ransum yang tinggi ditunjukan dari tingginya nitrogen yang diretensi. Retensi nitrogen yang tinggi ini menunjukan
menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi energinya, maka energi metabolis
semakin tinggi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ayam dengan penampilan akhir yang baik memberikan gambaran bahwa tingkat energi metabolismenya yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sibbald (1978) yang melaporkan
bahwa nilai energi metabolis semu (EMS) suatu bahan makanan akan meningkat dengan semakin bertambahnya umur dan bobot badan ternak. Selanjutnya
NRC (1994) menjelaskan bahwa semakin bertambah umur dan bobot badan ternak, maka energi metabolisnya akan semakin tinggi.
Nilai energi metabolisme semu terkoreksi nitrogen (EMSn) dan energi
metabolisme murni terkoreksi nitrogen EMMn yang lebih rendah dari energi metabolisme semu (EMS) dan energi metabolisme murni (EMM) pada teknik
force feeding disebabkan oleh adanya faktor koreksi nitrogen yang diretensi
tubuh. Menurut McDonald et al. (2002) dalam penentuan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah nitrogen yang diretensi, karena kemampuan ternak
dalam memanfaatkan energi bruto dari protein kasar sangat bervariasi.
Konversi EMSn/EB
Daya cerna energi bukan ditentukan oleh nilai energi metabolisme baik semu
(EMS), murni (EMM), semu terkoreksi nitrogen (EMSn) ataupun murni terkoreksi
nitrogen (EMMn), akan tetapi ditentukan oleh konversi EMSn terhadap energi bruto
atau rasio EM/EB ransum. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto ransum
Tabel 8. Nilai konversi EMSn terhadap energi bruto ransum
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat
nyata (P<0.05)
Rasio EMSn/EB ransum tertinggi pada penelitian ini diperoleh dari Itik yang mendapatkan ransum seawal mungkin (R0)sebesar 0.78 ± 0.004 dan rasio EMSn/EB ransum terendah diperoleh dari ayam mendapatkan ransum 48 jam kenudian setelah
dikandangkan (R7) sebesar 0.71 ± 0.022. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan jangka waktu awal pemberian ransum memberikan pengaruh yang sangat
berbeda dalam mempengaruhi konversi EMSn terhadap energi bruto ransum. Hal ini
berarti, Itik yang mendapatkan ransum yang lebih awal sangat nyata dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan energi bruto menjadi energi metabolis
dibandingkan dengan ayam yang terlambat diberikan ransum.
Berdasarkan hasil uji jarak Duncan, perbedaan dari pemberian jangka waktu
awal pemberian ransum dapat terlihat jelas (Lampiran 6). Pemberian ransum yang
seawal mungkin akan meningkatkan nilai efisiensi penggunaan energi bruto menjadi
energi metabolis. Perlakuan R0 merupakan perlakuan yang paling efisien karena ayam
yang mendapatkan ransum seawal mungkin dapat menggunakan energi bruto menjadi
energi metabolis semaksimal mungkin Hal ini disebabkan dari tingkat perkembangan
cepat pula dibandingkan dengan Itik yang terlambat memperoleh ransum. Amrullah (2002) menyatakan bahwa jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke tubuh unggas bergantung pada besar kecilnya kapasitas
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Keterlambatan pemberian ransum lebih dari 24 jam sesaat DOC
dikandangkan, ditambah selang waktu selama 14.5 jam dari day old duck (DOD) menetas sampai dikandangkan akan menurunkan retensi nitrogen, energi
metabolisme dan konversi EMSn/EB ransum. Dengan kata lain, pemberian ransum seawal mungkin setelah DOD menetas akan meningkatkan retensi nitrogen, energi metabolisme dan efisiensi pemanfaatan energi bruto ransum
menjadi energi metabolisme pada Itik umur 35 hari.
Saran
Dalam usaha peternakan Itik, disarankan bagi peternak untuk segera memberikan ransum sesaat day old duck dikandangkan, karena keterlambatan pemberian ransum akan menurunkan retensi nitrogen, energi metabolisme dan