• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persiapan Sapi Sebelum Pemotongan di RPH

Setiap sapi yang akan dipotong di RPH Kabupaten Bogor dan Kota Bogor sebelumnya telah diistirahatkan selama 1-2 hari. Sapi-sapi tersebut mendapatkan perlakuan yang baik serta cukup makan dan minum. Pemotongan sapi di kedua RPH tidak melalui proses pemingsanan terlebih dahulu. Pada RPH Kabupaten Bogor, sesaat sebelum dipotong sapi digiring untuk masuk kedalam

restraining box. Penggunaan restraining box tersebut tidak dilakukan di RPH

Kota Bogor. Pada RPH tersebut sapi yang akan dipotong hanya digiring ke dalam ruang pemotongan, kemudian kaki kiri sapi tersebut diikat dengan tambang yang dikaitkan pada cincin-cincin yang terdapat di lantai ruang pemotongan.

Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa secara umum daging yang berasal dari sapi yang difiksasi dengan restraining

box memiliki perbedaan keempukan jika dibandingkan dengan daging yang

berasal dari sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box.

Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining

box memiliki rata-rata 3.05±0.87. Sedangkan pada daging sapi yang tidak

difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.91±1.22. Nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner

Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (3.05±0.87) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata

daya putus WB daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.91±1.22) seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 9.

Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan

restraining box. Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging

memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah.

Tabel 1 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box (kg/cm2) restraining box (kg/cm2) non-restraining box (kg/cm2) Keempukan 3.05 ± 0.87* 3.91 ± 1.22*

Keterangan: superscript (*) yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

restraining box non-restraining box

Gambar7 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan

non-restraining box (kg/cm2).

Terdapatnya perbedaan nilai keempukan masing-masing daging tersebut kemungkinan dapat disebabkan pengaruh antemortem yaitu stres pada sapi. Sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan

restraining box. Hal tersebut disebabkan karena proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, hal tersebut tidak akan

menimbulkan memar pada daging hasil pemotongan sehingga akan dihasilkan kualitas daging yang lebih baik. Restraining box juga dapat menghalangi pandangan sapi terhadap manusia dan lingkungan sekitar RPH yang akan menambah faktor stres (Grandin 2001).

Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Selain itu stres menstimulasi

K e em p u k an ( k g /c m 2 ) 6 5 4 3 2

sistem syaraf dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula adrenal dalam waktu singkat. Adrenalin menyebabkan penurunan atau habisnya glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan.

Menurut Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot (Lawrie 1995). Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan miosin saling berikatan dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Hilangnya daya regang yang mencerminkan terbentuknya aktomiosin mulai berlangsung secara perlahan, kemudian sangat cepat, daya regang kemudian tetap konstan pada tingkat yang rendah. Apabila cadangan kreatin fosfat habis dapat memicu terjadinya glikolisis anaerob untuk mensintesis kembali ATP, namun tidak efektif lagi, dan secara keseluruhan kadar ATP akan menurun. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidak-empukan daging.

Otot yang berkontraksi atau memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan struktur sarkomer yang pendek, lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antar filamen, sehingga daging menjadi kurang empuk. Selain itu, King et al. (2004) menyatakan bahwa tekstur otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama hewan hidup terlihat lebih kasar, sedangkan tekstur otot yang kurang bergerak terlihat lebih halus. Pada otot yang teksturnya kasar kurang empuk dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus. Pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan terhadap macam-macam otot sapi juga bervariasi, misalnya sejumlah otot mengalami peningkatan jus daging, sementara otot lain dapat menjadi kering (Soeparno 1994).

Pengaruh Penurunan pH Postmortem terhadap Keempukan

Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan pH

postmortem daging. Keempukan daging dapat terjadi karena hewan menyimpan glikogen di dalam otot sebagai sumber persediaan energi. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan pH postmortem daging yang dihasilkan.

Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob dapat terjadi pada keadaan hewan mengalami kekurangan oksigen padahal tubuh sedang membutuhkan energi yang besar. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga pH otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses glikolisis anaerob tidak dapat hilang dari tubuh sampai oksigen kembali tersedia. Asam laktat dapat diubah menjadi glukosa atau dipakai secara langsung untuk energi (Guyton 1994). Glikolisis anaerob pada otot merupakan proses yang dominan dalam 36 jam postmortem terutama pada saat pra rigor. Menurut Shorthose dan Wythes (1988) pada umumnya pH sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 6.74. Pola penurunan pH yang normal yaitu mencapai nilai 5.6–5.7 dalam waktu 6–8 jam setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Asam laktat yang dihasilkan dari glikolisis anaerob akan terakumulasi dalam otot, sehingga nilai pH otot menjadi menurun dari 7.0-7.2 menjadi 5.3-5.7 setelah 24-48 jam postmortem yang disebut juga pH akhir (Lukman et al. 2007).

Jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan sangat berpengaruh pada terjadinya penimbunan asam laktat dan tercapainya pH akhir otot. Penimbunan asam laktat akan terhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob (Lawrie 1995).

Menurut Soeparno (1994) seiring dengan terjadinya penurunan pH postmortem maka keempukan daging juga semakin menurun. Lawrie (1995) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan pH daging postmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, penanganan hewan sebelum dipotong, dan temperatur penyimpanan, sedangkan faktor intrinsiknya adalah kandungan glikogen daging dan stres pada hewan. Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Lawrie (1995) tersebut dapat diketahui bahwa stres

merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan pH daging postmortem yang secara langsung juga berdampak pada penurunan keempukan daging sapi.

Pemotongan hewan dengan menggunakan restraining box akan menekan stres pada sapi sehingga kadar glikogen dalam ototnya tidak banyak hilang. Dengan demikian tidak akan terjadi penurunan pH yang berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan keempukan pada daging.

Pengaruh Proses Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Keempukan

Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan (didinginkan) daging pada temperatur refrigerasi. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan pada temperatur rendah (dingin) yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Pengaruh penyimpanan terhadap daya putus WB akan menjadi lebih besar setelah pemasakan.

Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) yang dikutip Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi pascarigor yang dimasak pada temperatur lebih tinggi dari 60 oC akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan pH, retensi cairan, keempukan, dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, temperatur pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum berbeda di antara otot dan hewan, hal tersebut terutama berhubungan dengan jumlah dan kekuatan jaringan ikat.

Pada saat pemasakan, serabut otot akan mengalami kontraksi dan dapat menjadi lebih alot, namun marbling akan meleleh dan melarutkan kolagen menjadi gelatin, sehingga secara umum pemasakan dapat meningkatkan keempukan daging. Meskipun marbling mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap jus daging dan rasa dibandingkan dengan keempukan daging, namun

sehingga dapat meningkatkan keempukan semu dan memudahkan proses penelanan daging.

Solubilitas kolagen akan meningkat dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Pada temperatur 60 °C kolagen berkontraksi dan berubah menjadi bentuk yang mudah larut. Daging dari sapi yang muda akan lebih empuk daripada daging sapi yang lebih tua pada temperatur pemasakan tertentu. Selama pemasakan, kolagen daging sapi muda akan lebih siap mengalami degradasi dan membentuk gel pada saat pendinginan. Pada temperatur dan otot yang sama, kolagen otot dari sapi yang lebih tua tidak bisa larut, sehingga daging masak menjadi tidak empuk, karena hewan yang lebih tua mempunyai kolagen intramuskular dengan tingkat ikatan silang yang lebih besar (banyak).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa keempukan daging dapat meningkat dengan penyimpanan dan pemasakan, akan tetapi pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan akibat tidak difiksasi dengan restraining box memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap ketidak-empukan daging. Hal ini juga didukung dengan terjadinya penurunan pH postmortem daging yang menyebabkan penurunan keempukan daging.

Dokumen terkait