• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN DEASY HUTAMI PUTRI"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN

RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

DEASY HUTAMI PUTRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

DEASY HUTAMI PUTRI. Keempukan Daging dan Penggunaan Restraining Box di Rumah Pemotongan Hewan. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas keempukan daging sapi terutama bagian kelapa atau knuckle (Musculus vastus lateralis, M. vastus

medialis, M. intermedius dan M. rectus femoris) bila dihubungkan dengan

penggunaan restraining box di rumah pemotongan hewan (RPH). Restraning

box merupakan alat fiksasi sapi sebelum pemotongan agar sapi mudah

dirobohkan dan ditangani saat penyembelihan. Penelitian ini menggunakan 40 contoh daging (20 contoh restraining dan 20 contoh tanpa restraining) dari RPH Kota Bogor dan RPH Kabupaten Bogor. Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan Warner Bratzler shear force (WBSF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum daging dengan restraining box memiliki nilai keempukan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa restraining box (p<0.05). Oleh sebab itu, penggunaan restraining box di RPH sangat dianjurkan dalam rangka menghasilkan daging yang berkualitas baik.

(3)

ABSTRACT

DEASY HUTAMI PUTRI. Meat Tenderness and Application of Restraining Box in Slaughterhouse. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

The aim of this research is to observe the tenderness of beef meat especially knuckle meat (Musculus vastus lateralis, M. vastus medialis, M.

intermedius dan M. rectus femoris) related to the application of restraining box in

slaughterhouse. Restraining box is a box to fix or restrain cattle before slaughtering in order to lay down and handle the cattle safely. This research used 40 meat samples (20 restraining samples and 20 non restraining samples) from slaughterhouses in the city and the district of Bogor. The meat tenderness was measured with Warner Bratzler shear force (WBSF). The results showed that the tenderness of beef meat yielded from slaughtering with restraining box was higher significantly (p<0.05) than the one without restraining box. Hence it is recommended to apply the restraining box in slaughterhouse in order to yield good quality beef meat.

(4)

KEEMPUKAN DAGING SAPI DAN PENGGUNAAN

RESTRAINING BOX DI RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

DEASY HUTAMI PUTRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul : Keempukan Daging Sapi dan Penggunaan Restraining Box di Rumah Pemotongan Hewan

Nama : Deasy Hutami Putri NIM : B04104168

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. Pembimbing

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini berjudul ”Keempukan Daging dan Penggunaan Restraining Box di Rumah Pemotongan Hewan” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Skripsi ini penulis dedikasikan kepada Bunda, Bapak dan Adik atas segala kasih sayang dan dukungan yang selalu tercurah untuk penulis.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1 Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

2 drh. Trioso Purnawarman, MSi selaku dosen penguji dan penilai atas segala bimbingan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

3 Dr. drh. Risa Tiuria T. Tampubolon, MS selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing penulis selama menjadi mahasiswa FKH IPB.

4 Bapak, Bunda dan Adik atas dorongan, doa, kasih sayang dan dukungannya selama penulis menyelesaikan studi di Bogor.

5 Seluruh staf dan pegawai Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian.

6 drh. Arif Wicaksono, Direktorat Kesmavet Departemen Pertanian, Kepala UPTD RPH Kota Bogor dan Kepala RPH Kabupaten Bogor yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian ini.

7 Rekan-rekan sepenelitian, Eva dan Rohi, atas bantuan dan kebersamaannya dalam penelitian ini.

(7)

8 Teman sekelompok di FKH IPB, Bibin, Dimut, Dinul, Nini, Nina, Chipo, dan Eva, atas semangat yang selalu menginspirasi penulis serta waktu yang takkan pernah tergantikan.

9 Para penghuni Istana Ceria, Moci, Sari, Manda, Dinul, Rani, Tenny, Ratih, Uwie, Via, Meika, atas segala kebersamaan, keceriaan, dan kekompakannya dalam segala suasana.

10 Rekan-rekan Angkatan 41 dan 40 atas segala bantuan, persahabatan, dan kebersamaannya selama ini.

11 Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu, dengan keikhlasan penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi langkah kita semua dan menjadikan skripsi ini bermanfaat semaksimal mungkin.

Bogor, Agustus 2008

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 15 Desember 1986 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Hariadi Prapto dan Ibu Atikah Astarie. Penulis menyelesaikan sekolah dasar selama 6 tahun di SD Negeri Trijaya II Bekasi Selatan dan lulus tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 7 Bekasi dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bekasi dan diterima sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004. Selama menjadi mahasiswa di FKH IPB, penulis pernah aktif menjadi anggota di berbagai organisasi di Fakultas Kedokteran Hewan, antara lain Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Satwa Liar dan Himpro Hewan Kesayangan dan Akuatik.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Struktur dan Komposisi Daging ... 4

Konversi Otot Menjadi Daging ... 7

Tekstur dan Keempukan Daging ... 8

Penilaian Keempukan Daging... 12

Penanganan Hewan Sesaat Sebelum Penyembelihan ... 13

Penyiapan Hewan Sebelum Dipotong ... 13

Penggunaan Restraining Box ... 14

BAHAN DAN METODE ... 17

Tempat dan Waktu ... 17

Alat dan Bahan ... 17

Pengukuran Keempukan Daging ... 18

Analisis Data... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

Persiapan Sapi Sebelum Pemotongan di RPH... 20

Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan ... 20

Pengaruh Penurunan pH Postmortem terhadap Keempukan... 23

Pengaruh Proses Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Keempukan ... 24

SIMPULAN DAN SARAN ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Serabut otot ... 4

2 Kontraksi dan relaksasi otot ... 5

3 Restraining box hasil desain meat livestock Australia (MLA) ... 16

4 Peralatan penunjang Warner Bratzler shear force (WBSF) ... 17

5 Daging yang telah dicetak dengan corer ... 18

6 Proses pengujian keempukan daging dengan Warner Bratzler shear force (WBSF) ... 19

7 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box... 21

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Nilai Warner Bratzler shear force setiap contoh daging dengan dan

tanpa restraining box ... 30

2 Data hasil olahan statistika ... 31

3 Hasil pengukuran keempukan dengan WBSF (restraining box) ... 32

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan nilai gizi demi menjamin kualitas hidup yang lebih baik mendorong masyarakat untuk lebih selektif dalam hal pemilihan bahan makanan. Pemenuhan akan empat sehat lima sempurna pada pola konsumsi tentunya perlu didukung dengan kualitas bahan makanan yang baik agar tercipta keselarasan untuk mewujudkan hasil yang maksimal. Salah satu bahan makanan yang memiliki peranan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat adalah daging.

Daging merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling disukai masyarakat. Selain karena rasanya yang enak, daging juga banyak disukai orang karena baunya yang tidak amis bila dibandingkan dengan ikan. Sebagai salah satu jenis daging yang banyak digemari oleh masyarakat, daging sapi memiliki peranan penting dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat karena memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap.

Berbagai proses pengolahan dilakukan oleh konsumen untuk mendapatkan kualitas daging yang baik. Kualitas daging merupakan ukuran sifat-sifat atau ciri-ciri daging yang dinilai oleh konsumen. Pada umumnya konsumen lebih menyukai daging yang mudah digigit dan dikunyah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil serta mempunyai kesan jus daging (juiciness). Kesan tersebut tentunya akan didapatkan dari hewan yang dipotong sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan yaitu sehat, bebas dari penyakit, sudah cukup istirahat, diperlakukan dengan baik, dan tidak mengalami stres pada saat pemotongan.

Salah satu bagian terpenting yang menjadi acuan konsumen dalam pemilihan daging adalah keempukannya. Keempukan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan dan faktor setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan meliputi bangsa (breed), umur, jenis kelamin, lingkungan, nutrisi, penyakit, resistensi terhadap stres, kelelahan (fatigue), dan penanganan hewan sebelum pemotongan, sedangkan yang termasuk faktor setelah pemotongan terdiri dari pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH daging, pemberian bahan tambahan termasuk enzim pengempuk, hormon, antibiotik, lemak intramuskular, metode penyimpanan, dan preservasi, serta jenis dan lokasi otot daging.

(14)

Penanganan hewan sebelum pemotongan perlu diperhatikan karena memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan fisiologis sapi saat menjelang proses pemotongan. Dalam hal ini, penggunaan alat-alat pemotongan yang tepat antara lain restraining box sebagai alat fiksasi hewan sebelum pemotongan, pisau yang tajam untuk menyembelih hewan dan alat penggantung karkas di rumah pemotongan hewan (RPH) menjadi faktor penting yang mempengaruhinya.

Restraining box adalah alat bantu fiksasi pemotongan sapi di RPH, yang

berfungsi untuk mengendalikan sapi sesaat sebelum proses pemotongan. Penggunaan restraining box sangat penting untuk mengurangi tingkat stres pada sapi sebelum dipotong, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya (Anonim 2006). Tingkat stres yang tinggi pada sapi dapat menurunkan kualitas daging yang dihasilkan sehingga mempengaruhi sensorik daging (warna, keempukan, citarasa, dan jus daging), kimiawi-fisik daging (nilai pH, dan daya ikat air), dan jumlah mikrobiologi pada daging tersebut (Lukman et

al. 2007). Selain itu alat ini juga dapat mempermudah proses pemingsanan

hewan sebelum pemotongan yang sudah dilakukan di beberapa RPH di Indonesia. Restraining box yang dipakai di beberapa RPH di Indonesia merupakan desain yang dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) (Anonim 2006). Pentingnya penelitian mengenai efek penggunaan restraining

box terhadap keempukan daging sapi diperlukan untuk mendapatkan

perbandingan kualitas daging dalam membantu konsumen menentukan daging yang akan dikonsumsi.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas keempukkan daging sapi terutama bagian kelapa atau knuckle (Musculus vastus lateralis, M. vastus

medialis, M. intermedius dan M. rectus femoris) bila dihubungkan dengan

(15)

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan beberapa hal yaitu: 1 Peranan RPH terhadap hasil daging yang dikelola.

2 Manfaat restraining box sebagai alat bantu sebelum pemotongan serta pengaruhnya terhadap kualitas keempukan daging sapi.

3 Memberikan pengetahuan kepada masyarakat umum sebagai pertimbangan memilih daging sapi di pasar yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal) untuk dikonsumsi atau dibuat produk hasil olahan daging sapi.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian adalah nilai keempukan pada daging sapi daging dari pemotongan menggunakan restraining box tidak sama dengan nilai keempukan pada daging sapi daging dari pemotongan non-restraining box.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Struktur dan Komposisi Daging

Menurut Lawrie (1995) daging dapat didefinisikan sebagai bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi. Suatu potongan daging terdiri atas air, protein, tenunan lemak, dan potongan tulang. Bagian daging yang tidak berlemak terdiri atas satu atau lebih otot yang masing-masing tersusun atas banyak kumpulan serabut otot, karena itu serabut otot merupakan unit dasar struktur daging. Sedangkan menurut Lukman (2000) yang diacu dalam Nirwati (2003) daging adalah bahan makanan mudah rusak (perishable food) karena memiliki aktifitas air (aw) yang relatif tinggi (0.99%), mengandung bahan nitrogen yang tinggi

dalam berbagai bentuk protein kaya akan mineral, vitamin, dan pH sekitar 5.6. Struktur daging terdiri dari serabut-serabut otot yang sejajar dan lemak yang terikat bersama-sama oleh suatu jaringan ikat. Banyak ikatan serabut otot lazim disebut fasikuli. Pada bagian luar otot terbungkus oleh suatu membran transparan yang disebut epimisium. Epimisium tersebut menyusup di antara bundel serabut otot menjadi perimisium. Bundel serabut otot tersebut terdiri dari serabut-serabut otot atau sel otot. Serabut sel otot diselubungi oleh jaringan ikat endomisium, yang merupakan penyusupan dari perimisium diantara serabut otot (Gambar 1). Setiap jaringan ikat terdiri dari serabut-serabut kolagen, elastin, dan retikulin.

Gambar 1 Serabut otot (Anonim 2007).

perimisium Serabut-serabut otot yang diselubungi oleh endomisium

(17)

Keragaman komposisi daging tergantung oleh perbedaan jenis hewan, turunan, umur, jenis kelamin, pengaturan gizi, dan letak daging tersebut dalam tubuh hewan. Secara umum daging terbentuk dari beberapa unsur pokok seperti air, protein, dan lemak. Komposisi daging dengan persentase terbanyak adalah air yaitu sebanyak 75% dengan kisaran 68-80%. Proses perlakuan yang dilakukan terhadap daging seperti pembekuan, pencairan (thawing), penggilingan, proses enzimatik, pemberian zat aditif, penggaraman dan pemanasan akan mempengaruhi kandungan air pada daging.

Komposisi daging selanjutnya adalah 19% protein dengan kisaran 16-22%. Protein daging dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar yaitu miofibril, stroma, dan sarkoplasma. Masing-masing protein memiliki fungsi yang berbeda dalam memberikan kontribusi pada daging.

Kelompok pertama protein daging adalah miofibril. Komponen protein miofibril yang terpenting dalam struktur serabut otot adalah aktin dan miosin. Protein miofibril merupakan protein yang berlimpah dalam otot dan penting dalam proses kontraksi (mengejang) dan relaksasi (istirahat) otot. Pada saat otot berkontraksi, aktin dan miosin akan saling membentuk formasi tumpang tindih dan membentuk protein kompleks yang disebut aktomiosin (Gambar 2). Kondisi sapi pada saat akan dipotong dan penanganan dagingnya setelah pemotongan sangat penting dalam mengontrol kontraksi (kejang) otot, yang pada akhirnya akan menentukan kualitas keempukan daging.

Gambar 2 Kontraksi dan relaksasi otot (Lukman et al. 2007).

Relaksasi Kontraksi sarkomer Filamen Tebal (miosin) Filam en Tipis (aktin)

(18)

Kelompok kedua protein daging adalah stroma. Stroma terdiri dari kolagen, elastin, dan retikulin. Kolagen merupakan protein yang banyak ditemukan dalam organ tanduk, bagian ujung kaki, tulang, kulit, urat (tendon), tulang rawan, dan otot. Kolagen berwarna putih, tipis transparan, dan keras. Jumlah kolagen dalam daging bergantung pada umur, jenis kelamin, aktifitas fisik otot, dan kandungan lemak. Jika kandungan lemak tinggi dalam otot maka jumlah kolagennya rendah (Lukman et al. 2007). Pada daging, kolagen merupakan faktor utama yang mempengaruhi keempukan daging setelah proses pemasakan.

Elastin biasanya dapat ditemukan pada dinding sistem sirkulasi dan jaringan ikat yang tersebar diseluruh tubuh dan berperan dalam memberikan elastisitas pada jaringan. Elastin memiliki warna kekuningan. Tidak seperti kolagen, elastin tidak akan larut apabila dipanaskan. Dibandingkan dengan kolagen dan elastin, retikulin memiliki jumlah yang lebih sedikit dan umumnya terdapat pada hewan yang muda.

Kelompok terakhir dari protein daging adalah sarkoplasma. Sarkoplasma terdiri dari pigmen, hemoglobin, mioglobin, dan beraneka ragam enzim. Hemoglobin adalah protein sel darah merah dan mioglobin merupakan cairan yang terdapat dalam sel otot. Perubahan warna daging menjadi merah cerah adalah akibat pembentukan oksimioglibin dan ketika berubah menjadi coklat karena mioglobin menjadi metmioglobin (Lawrie 1995).

Persentase sisanya sebesar 3.5% adalah berupa substansi-substansi non-protein yang larut serta 2.5% lemak (Lawrie 1995). Kandungan lemak pada daging dapat dipengaruhi oleh keadaan hewan sebelum dipotong (Lawrie 1995). Jenis lemak bebas dan fosfolipid merupakan komponen lemak utama yang terdapat dalam daging dan sebagian lemak terdapat diantara serat daging yang biasa disebut marbling atau lemak intramuskular. Marbling merupakan butiran lemak putih yang terlihat oleh mata yang tersebar pada jaringan otot. Marbling akan mencair saat daging dipanaskan dan berkontribusi dalam meningkatkan cita rasa daging (juiciness), memberikan aroma daging yang sedap, serta berperan meningkatkan keempukan daging. Marbling lebih banyak terdapat pada sapi yang diberi pakan biji-bijian (grain-fed-beef) daripada sapi yang diberi pakan rumput (grass-fed-beef). Daging dengan lebih banyak marbling akan lebih empuk dan lebih bercitarasa daripada daging dengan sedikit marbling (Anonim 2002). Selain komposisi yang telah disebutkan di atas, di dalam daging juga

(19)

terdapat mineral-mineral seperti kalsium, magnesium, natrium, fosfor, klor, besi, belerang, tembaga, dan mangan.

Daging mudah mengalami perubahan warna, bau, dan rasa sebagai akibat kontaminasi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan sekitar. Daging juga sangat peka terhadap temperatur, lingkungan, dan kelembaban udara. Keadaan ini sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme yang dapat mempercepat pembusukan daging yang disimpan pada temperatur kamar. Selain itu daging juga dapat tercemar oleh penanganan yang kurang baik pada waktu transportasi, pemasaran, dan persiapan sebelum diolah oleh konsumen dan rumah tangga.

Konversi Otot Menjadi Daging

Pada saat hewan hidup, otot merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi (Abustam 2008). Setiap kadar karbohidrat berlebih yang berasal dari pakan hewan akan diubah oleh tubuh menjadi bentuk glikogen dan kemudian disimpan di dalam hati dan otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan akan menghasilkan adenosin trifosfat (ATP). Pada otot, ATP akan digunakan untuk proses kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan hewan untuk bergerak atau beraktivitas.

Perubahan biokimia dan biofisik pada konversi otot menjadi daging diawali pada saat penyembelihan hewan. Faktor yang mempengaruhi kondisi hewan sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging, dan mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan (Soeparno 1994). Setelah hewan disembelih tidak ada lagi aliran darah dan respirasi, maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang hewan mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigormortis yang ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi). Otot-otot skeletal hewan yang baru dipotong dapat dirangsang untuk memanjang dan memendek secara reversibel. Sebaliknya pada saat rigormortis otot-otot mengalami kekakuan (mengejang). Hal ini terjadi akibat hilangnya ATP dari otot dan selanjutnya filamen-filamen aktin dan miosin saling bertumpuk di dalam sarkomer. Disamping itu, menurut Huxley (1960) pada saat

(20)

rigormortis, filamen-filamen tersebut membentuk ikatan aktomiosin yang permanen dan otot menjadi tidak dapat diregangkan.

Menurut Soeparno (1994) terdapat tiga fase perkembangan proses rigormortis, antara lain fase penundaan, fase cepat, dan fase pascarigor. Proses hilangnya daya regang otot sampai terbentuknya kompleks aktomiosin, mula-mula berlangsung secara lambat, selama beberapa jam (fase penundaan), kemudian berlangsung secara cepat (fase cepat), dan akhirnya berlangsung secara konstan dengan kecepatan rendah sampai tercapainya kekakuan. Waktu untuk mencapai fase cepat dalam perkembangan rigormortis pada temperatur tertentu tergantung pada jumlah ATP otot. Pada awal periode postmortem, jumlah ATP otot menurun secara perlahan-lahan karena masih terdapat aktivitas ATPase nonkontraktil dari miosin. Dengan demikian pada fase penundaan, ATP masih dapat disintesis kembali dari kreatin fosfat selama beberapa saat setelah pemotongan. Apabila kreatin fosfat sudah habis, maka lamanya perkembangan rigormortis akan ditentukan oleh jumlah glikogen yang masih tersedia di dalam otot dan enzim-enzim glikolitik yang masih mampu bekerja. Fase cepat terjadi bila serabut-serabut otot telah kehabisan ATP, dan fase terakhir, yaitu fase pascarigor terjadi bila sejumlah serabut otot telah menjadi kaku, sehingga mencegah peregangan lebih lanjut.

Waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya rigormortis tergantung pada jumlah ATP yang tersedia pada saat hewan mati. Pada hewan yang mengalami kecapaian/kelelahan atau stres dan kurang istirahat menjelang disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang, sehingga proses rigormortis akan berlangsung cepat. Demikian pula temperatur yang tinggi pada saat hewan disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga rigormortis akan berlangsung cepat.

Tekstur dan Keempukan Daging

Sifat keempukan daging diartikan sebagai daging yang telah dimasak dengan kemudahannya dikunyah tanpa kehilangan sifat-sifat jaringan yang layak. Menurut Soeparno (1994) penentu kualitas daging paling penting adalah tekstur dan keempukan. Tekstur dan keempukan daging dipengaruhi oleh faktor antemortem (spesies, genetik, umur, jenis kelamin) dan faktor postmortem (pelayuan, metode penyembelihan, pengolahan, metode dan temperatur penyimpanan, serta penambahan bahan pengempuk). Keempukan daging

(21)

banyak ditentukan oleh struktur miofibril dan status kontraksi, kandungan jaringan ikat dan tingkat kekuatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Soeparno 1994).

Tekstur otot dapat dibagi menjadi dua kategori, tekstur kasar dengan ikatan-ikatan serabut yang besar (misalnya otot semimembranosus) dan tekstur halus (misalnya otot semitendinosus dengan ikatan-ikatan serabut yang kecil). Ukuran suatu serabut otot (fasikuli) ditentukan oleh jumlah serabut, ukuran serabut, serta jumlah perimisium yang mengelilingi dan menyelaputi setiap ikatan serabut otot. Tingkat kekasaran tekstur dapat meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umumnya otot hewan jantan mempunyai tekstur yang lebih kasar daripada otot hewan betina (Lawrie 1995).

Selain perbedaan tekstur pada otot, terdapat hal lain yang juga ikut berperan dalam membedakan kualitas keempukan daging dari hewan jantan dan betina yaitu kandungan lemak. Menurut Soeparno (1994).pada sapi, jumlah lemak betina dara lebih besar daripada jantan kastrasi, dan keduanya lebih besar daripada sapi pejantan. Hewan jantan yang dikastrasi biasanya menjadi gemuk dalam waktu yang lebih awal. Kastrasi akan mengubah sistem hormonal ternak jantan, sehingga berpengaruh pada perubahan komposisi tubuh dan karkas. Perbedaan komposisi tersebut antara lain disebabkan oleh steroid kelamin. Kandungan lemak pada sapi dapat meningkatkan keempukan dagingnya. Hal tersebut terutama akibat lemak yang mencair pada saat daging dimasak, sehingga memberikan kesan keempukan pada daging.

Jumlah jaringan ikat yang berbeda diantara beberapa jenis otot dapat mempengaruhi keempukan daging. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melihat adanya perbedaan struktur miofibril pada masing-masing otot tersebut. Pada otot yang memiliki struktur miofibril yang lebih besar biasanya memiliki keempukan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan otot yang memiliki struktur miofibril yang lebih kecil. Menurut Lawrie (1995) selain jumlah jaringan ikat pada otot, hal yang juga ikut berpengaruh pada keempukan daging adalah spesies dan umur hewan.

Pengaruh spesies terhadap keempukan adalah misalnya sapi Aberdeen

Angus dapat menghasilkan daging yang lebih empuk daripada daging sapi tipe

besar, karena daging sapi tipe kecil secara relatif mempunyai tekstur yang lebih halus. Sedangkan menurut Epley (2008) keempukan daging akan menurun seiring dengan meningkatnya umur hewan. Pada hewan muda jaringan ikat

(22)

pada ototnya banyak mengandung retikulin dan memiliki ikatan silang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hewan tua. Berdasarkan laporan uji panel yang dilakukan oleh Bouton et al. (1978) yang diacu dalam Soeparno (1994) dapat diketahui bahwa terjadi penurunan keempukan daging yang besar (skor panel keempukan meningkat), misalnya antara otot semitendinosus (SM) pada sapi yang berumur 2 bulan dan 9 bulan. Keempukan daging (otot SM) dari sapi yang berumur 9 bulan dan 42 bulan juga berbeda. Sebaliknya, jus daging meningkat dengan meningkatnya umur.

Pemendekan otot selama proses rigormortis mempunyai hubungan yang erat dengan kealotan daging. Peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging. Oleh karena itu, proses pelayuan sangat dianjurkan agar proses rigormortis berlangsung dengan sempurna. Proses pelayuan biasanya dilakukan di RPH dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu di atas titik beku karkas atau daging (-1.5 °C). Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigormortis dapat disebut pematangan.

Pelayuan biasanya dilakukan pada temperatur 0–3 °C, setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam pada temperatur -4 °C sampai 1 °C atau disebut chilling (Soeparno 1994). Pada temperatur tersebut aktivitas enzim terhambat dan proses pengempukan daging berlangsung antara sepuluh sampai empat puluh hari. Rasa daging yang khas dapat terbentuk setelah satu minggu pelayuan, namun demikian daging yang berkualitas rendah jarang mencapai keempukan yang baik pada proses pelayuan.

Daging akan berubah menjadi empuk apabila dilayukan, karena selama proses pelayuan terjadi perubahan-perubahan pada protein intraseluler dan ekstraseluler sehingga proses autolisis pada daging menghasilkan daging yang lebih empuk, lebih basah dan rasa yang lebih baik (Tabrany 2001). Proses pengempukan dapat dipercepat dengan meninggikan temperatur penyimpanan. Penyimpanan dalam waktu dua hari dengan temperatur 20 °C memberikan derajat keempukan yang sama dengan penyimpanan dua minggu dengan temperatur 0 °C (Palupi 1986).

Selama 24–36 jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan proteolisis terjadi sebelum pH ultimat atau pH akhir karkas atau daging tercapai

(23)

(Lawrie 1995). Otot mengandung enzim-enzim proteolitik. Proteolitis pada protein jaringan-jaringan otot oleh enzim-enzim dalam otot menyebabkan terjadinya proses pengempukan daging (aging). Beberapa enzim yang terlibat dalam proses tersebut adalah calcium-activated calpain I dan calpain II, katepsin, dan enzim-enzim lisosom.

Mekanisme terjadinya pengempukan daging tersebut adalah setelah kematian, karena tidak ada energi (ATP), Ca++ dari mitokondria dilepaskan, konsentrasi Ca++ intraseluler meningkat, sehingga menstimulasi

calcium-activated enzymes calpain I dan calpain II. Calpain tersebut akan bekerja

optimum pada pH > 6.0. Enzim katepsin bekerja pada pH < 6.0. Terjadinya penurunan pH postmortem akan melemahkan dinding-dinding organel, seperti lisosom sehingga catepsin akan keluar. Enzim catepsin merupakan enzim lisosom yang terpenting dalam proses pengempukan daging. Daya kerja katepsin adalah mendegradasi troponin T dan troponin I, serta protein C dengan cepat. Selain itu enzim ini mendegradasi miosin, aktin, troponin, nebulin, titin, dan α-aktinin dengan lambat.

Keempukan merupakan faktor terpenting daging sebagai bahan pangan disamping faktor rasa dan aroma. Ketiga faktor tersebut tergolong sifat sensorik yang sering ditentukan secara subjektif oleh konsumen. Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu (1) mudah atau tidaknya gigi berpenetrasi awal ke dalam daging; (2) mudah atau tidaknya daging tersebut dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil; dan (3) jumlah residu yang tertinggal setelah dikunyah (Lawrie 1995).

Pada prinsipnya pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan daging. Pengaruh pemasakan ini tergantung kepada waktu dan temperatur. Lama waktu pemasakan mempengaruhi pelunakan kolagen, sedangkan temperatur pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibril. Protein miofibril hampir mengalami atau denaturasi sempurna pada temperatur 60 °C, sehingga pemasakan pada temperatur yang lebih tinggi dapat menyebabkan pengeringan dan kealotan protein miofibril yang mengalami koagulasi (Hamm dan Deatherage 1960 dalam Soeparno 1994). Konversi kolagen menjadi gelatin di atas temperatur 65 °C akan meningkatkan keempukan daging, sehingga prosedur pemasakan dalam waktu yang lama dan pada temperatur rendah untuk daging yang mengandung jaringan ikat tinggi, dan sebaliknya pemasakan dalam waktu singkat pada temperatur internal yang

(24)

rendah untuk daging yang memiliki jaringan ikat rendah, akan dapat meningkatkan keempukan daging masak (Soeparno 1994).

Pengaruh pH terhadap keempukan daging bervariasi. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Daging yang memiliki pH tinggi (lebih besar dari 6.0) dan lebih empuk daripada daging yang memiliki pH lebih rendah (sekitar 6.0), biasanya mengandung jus daging yang lebih banyak. Bouton et al. (1972) yang dikutip oleh Soeparno (1994) melaporkan bahwa kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5.4–6.0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot daripada oleh status fisik serabut otot.

Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga pH otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Kompresi dan daya putus Warner Bratzler juga mempunyai korelasi linear yang tinggi dengan pH. Jadi peningkatan pH akhir daging pada umumnya meningkatkan keempukan dan biasanya juga meningkatkan daya ikat air dan jus daging.

Penilaian Keempukan Daging

Soeparno (1994) menyatakan bahwa pengujian keempukan secara objektif dapat dilakukan secara mekanik termasuk pengujian kompresi (indikasi kealotan jaringan ikat), daya iris Warner Bratzler (indikasi kealotan jaringan ikat), dan penetrometer, maupun kimiawi yaitu uji sensorik daging dengan menggunakan panelis terlatih, serta analisis kadar hidroksiprolin dan hidroksilin.

Dari berbagai jenis uji mekanik yang dilakukan untuk mengetahui keempukan daging, uji daya iris dengan Warner Bratzler merupakan cara yang paling modern. Prinsip daya kerja dari alat tersebut yaitu besarnya tekanan yang digunakan untuk memotong bahan yang diuji adalah sebanding dengan kekerasan bahan yang diuji atau dalam arti lain semakin kecil tekanan yang digunakan alat untuk memotong bahan yang diuji maka dapat disimpulkan bahan yang diuji semakin empuk. Selain untuk menguji keempukan daging Warner

Bratzler shear force juga digunakan untuk menguji keempukan bahan pangan

(25)

Pada umumnya untuk melakukan pengujian keempukan dengan cara pemasakan, temperatur pemasakan yang dianjurkan adalah 80 °C. Temperatur tersebut merupakan temperatur yang ideal dan populer untuk pemasakan, karena contoh daging menjadi cukup tepat kekerasannya untuk dipotong-potong menjadi subsampel dan pengujian kualitas.

Contoh daging yang dipergunakan untuk pengujian kualitas perlu dipisahkan dari jaringan ikat dan lemak yang terkait. Jaringan ikat akan sangat mengerut dan pengerutan dapat mencapai 60% selama pemasakan serta cenderung melengkungkan sampel daging, sehingga akan mempersulit pengujian kualitasnya. Kemudian daging tersebut dipotong-potong menjadi contoh daging dengan ukuran yang seragam.

Penanganan Hewan Sesaat Sebelum Penyembelihan

Setiap tindakan yang dilakukan sesaat sebelum penyembelihan sangat mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Terdapat beberapa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penyembelihan hewan, antara lain: (1) hewan harus sehat, yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan yang berwenang. Hewan sehat adalah hewan yang tidak menderita sakit, (2) hewan harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan, (3) hewan yang sudah tidak produktif lagi, atau tidak dipergunakan sebagai bibit, serta (4) hewan yang disembelih dalam keadaan darurat (Soeparno 1994).

Hewan yang akan disembelih harus diistirahatkan selama 12–24 jam, tergantung pada iklim, jarak antara asal hewan dengan RPH, cara transportasi, kondisi kesehatan, dan daya tahan hewan. Perlunya pengistirahatan hewan sebelum penyembelihan adalah agar hewan tidak mengalami stres sehingga pada saat disembelih darah dapat keluar dengan sempurna, serta cukup tersedia energi sehingga proses kekakuan otot (rigormortis) dapat berlangsung dengan sempurna. Oleh karena itu, proses penyiapan hewan sebelum dipotong, penggunaan restraining box dan proses pemingsanan hewan harus diperhatikan agar dapat berfungsi maksimal sehingga akan dihasilkan daging yang berkualitas tinggi.

Penyiapan Hewan Sebelum Dipotong

Pemotongan hewan adalah suatu proses penyembelihan terhadap hewan potong (yang dagingnya biasa dikonsumsi) yang dilakukan dengan cara

(26)

manusiawi. Pemotongan hewan untuk konsumsi masyarakat di Indonesia harus memenuhi syariat Islam. Proses penyembelihan harus tidak terlalu lama atau hewan harus cepat mati,sehingga tidak tersiksa terlalu lama.

Sarana dan fasilitas penyembelihan perlu dirancang agar menghasilkan hewan sembelihan yang halal dan tidak tercampur dengan barang haram dan najis. Salah satu alat yang sangat penting dan harus tersedia dalam RPH adalah adanya alat pemotong (pisau) yang tajam yang dapat memotong leher (saluran pencernaan, saluran pernafasan dan pembuluh darah nadi) hewan dengan sempurna. Jenis-jenis sarana dan fasilitas yang dibutuhkan disesuaikan dengan hewan yang akan disembelih, serta jumlah hewan yang akan disembelih per hari (skala produksi). Berdasarkan skala produksi tersebut biasanya dibedakan antara sistem penyembelihan secara manual dan mekanik. Penyembelihan secara manual adalah cara penyembelihan yang hanya menggunakan tenaga manusia dalam proses penanganan prasembelih dan metode penyembelihan. Sedangkan penyembelihan mekanik dilakukan dengan menggunakan bantuan mesin dalam penanganan prapenyembelihan, proses pemotongan dan pasca penyembelihan. Namun ada juga cara penyembelihan mekanik yang tetap menggunakan manusia sebagai tenaga pemotongnya, hanya penanganan pra-dan pasca-penyembelihan yang menggunakan mesin (Wahid 2007).

Secara umum mekanisme urutan pemotongan hewan besar di Indonesia dibagi menjadi dua bagian yaitu proses penyembelihan dan proses penyiapan karkas. Penyembelihan dapat dilakukan dengan atau tanpa melalui pemingsanan hewan terlebih dahulu. Hewan yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan, diberi cap S (slaughter = potong) serta sudah diistirahatkan kemudian dibawa ke ruang pemotongan atau dimasukkan ke dalam kotak pemfiksasi (restraining box) dan disiram dengan air dingin. Penyiraman dengan air dingin dimaksudkan agar hewan menjadi bersih dan agar terjadi terjadi kontraksi perifer sehingga darah di bagian tepi tubuh menuju ke bagian dalam tubuh dan pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin, serta memudahkan pengulitan (Soeparno 1994).

Penggunaan Restraining Box

Salah satu penyebab rendahnya kualitas daging adalah akibat kejadian stres pada hewan dalam hal ini sapi. Stres dapat didefinisikan sebagai respon fisiologis, biokimia, dan tingkah laku hewan terhadap berbagai faktor fiksik, kimia,

(27)

dan lingkungan biologis (Yousef 1985). Stres timbul melalui reaksi-reaksi yang kompleks dari sistem endokrin (Buckle et al. 1985). Sapi yang mengalami stres sebelum penyembelihan akan lebih banyak bergerak daripada sapi yang tidak stres. Banyaknya gerakan atau rontaan yang dilakukan oleh sapi tersebut akan berpengaruh pada kualitas daging terutama keempukannya.

Salah satu fasilitas di RPH yang dapat digunakan untuk mengurangi stres pada sapi adalah restraining box. Restraining box adalah alat bantu pemotongan sapi di RPH yang berfungsi untuk memfiksasi sapi sesaat sebelum proses pemotongan. Dengan menggunakan restraining box, tingkat stres pada sapi sebelum dipotong dapat dikurangi, baik akibat pengaruh lingkungan di RPH maupun faktor-faktor lainnya seperti pengangkutan dan penampungan sementara yang padat. Desain restraining box yang digunakan di beberapa RPH di Indonesia dikembangkan oleh Meat Livestock Australia (MLA) (Anonim 2006). Selain restraining box yang didesain oleh MLA, ada juga jenis-jenis

restrainer-restrainer lain yang digunakan di RPH yang tujuan utamanya sama dengan restraining box MLA yaitu untuk mengurangi tingkat stres pada hewan pada saat

pemotongan. Selama delapan belas tahun sebuah rumah pemotongan sapi menggunakan sistem restrainer V untuk menangani hewan selama pemingsanan dan pengekangan. Restrainer V merupakan perangkat yang aman dan manusiawi dibandingkan dengan knocking box tipe lama (old style). Meskipun demikian masih terdapat kekurangan dengan perangkat ini yaitu hewan harus dimasukkan secara paksa dan petugas pemingsanan kesulitan untuk menjangkau hewan supaya stunner mengenai bagian depan kepala hewan (Anonim 2008).

Penggunaan restraining box di RPH juga dapat memudahkan proses pemingsanan hewan yang akan dipotong. Proses pemingsanan hewan akan lebih mudah dan sempurna dilakukan apabila hewan dimasukkan ke restraining

(28)

Gambar 3 Restraining box hasil desain meat livestock Australia (MLA) (Anonim

(29)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan contoh daging dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan November 2007 sampai dengan Januari 2008.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, gunting, timbangan, panci, dan Warner Bratzler shear force (WBSF) yang terdiri atas selongsong untuk coring, dan WB blade.

(a) (b)

Gambar 4 Peralatan penunjang Warner Bratzler shear force (WBSF). (a) Selongsong untuk coring, (b) WB blade.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi bagian kelapa atau knuckle atau Musculus vastus lateralis, M vastus medialis, M

intermedius dan M. rectus femoris yang diambil dari jenis sapi Brahman cross steer dengan kisaran umur 1.5–2 tahun sebanyak 500 gram untuk setiap contoh.

Kisaran umur ditentukan berdasarkan keterangan pemilik sapi di RPH bersangkutan.

Contoh daging yang diambil sebanyak 40 contoh daging dari 40 sapi yang berbeda yang telah diistirahatkan di kandang penampungan RPH selama 1–2 hari sebelum dipotong, yang terdiri dari 20 contoh daging dari hasil pemotongan dengan menggunakan restraining box dan 20 contoh daging dari hasil

(30)

pemotongan tanpa menggunakan restraining box. Selanjutnya contoh daging didinginkan di dalam refrigerator sampai saat pemeriksaan dilaksanakan.

Pengukuran Keempukan Daging

Pengukuran keempukan daging sapi dilakukan menggunakan

Warner-Bratzler shear force (WBSF). Contoh daging yang telah didinginkan, 24 jam

kemudian dicairkan (thawing) dan direbus sampai temperatur dalam daging mencapai angka 80 ºC, yaitu sekitar 10-15 menit. Kemudian daging tersebut diangkat dan ditiriskan. Daging dicetak dengan menggunakan corer dengan diameter bagian dalam 1.27 cm atau 0.5 inchi sehingga diperoleh potongan daging dengan diameter 1.27 cm dan panjang 4-5 cm.

Gambar 5 Contoh daging yang telah dicetak dengan corer.

Langkah pengujian selanjutnya adalah pemotongan contoh daging dengan WB blade. Daging diletakkan sedemikian rupa sehingga alat potong pada

Warner Bratzler tepat memotong melintang arah serabut otot (Gambar 6). Nilai

daya putus WB dinyatakan dengan satuan kilogram persentimeter persegi (kg/cm2) (Wheeler et al. 1997).

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sebaran T (t-test) untuk dua sampel dengan selang kepercayaan 95%.

(31)

(a) (b) (c)

Gambar 6 Proses pengujian keempukan daging dengan Warner Bratzler shear

force. (a) Daging yang telah dicoring diletakkan di tengah WB blade;

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persiapan Sapi Sebelum Pemotongan di RPH

Setiap sapi yang akan dipotong di RPH Kabupaten Bogor dan Kota Bogor sebelumnya telah diistirahatkan selama 1-2 hari. Sapi-sapi tersebut mendapatkan perlakuan yang baik serta cukup makan dan minum. Pemotongan sapi di kedua RPH tidak melalui proses pemingsanan terlebih dahulu. Pada RPH Kabupaten Bogor, sesaat sebelum dipotong sapi digiring untuk masuk kedalam

restraining box. Penggunaan restraining box tersebut tidak dilakukan di RPH

Kota Bogor. Pada RPH tersebut sapi yang akan dipotong hanya digiring ke dalam ruang pemotongan, kemudian kaki kiri sapi tersebut diikat dengan tambang yang dikaitkan pada cincin-cincin yang terdapat di lantai ruang pemotongan.

Pengaruh Penggunaan Restraining Box terhadap Keempukan

Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa secara umum daging yang berasal dari sapi yang difiksasi dengan restraining

box memiliki perbedaan keempukan jika dibandingkan dengan daging yang

berasal dari sapi yang tidak difiksasi dengan restraining box.

Nilai keempukan daging pada sapi yang difiksasi menggunakan restraining

box memiliki rata-rata 3.05±0.87. Sedangkan pada daging sapi yang tidak

difiksasi menggunakan restraining box memiliki rata-rata 3.91±1.22. Nilai keempukan daging sapi yang dicerminkan oleh perubahan daya putus Warner

Bratzler (WB) pada daging yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box (3.05±0.87) lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata

daya putus WB daging yang dipotong tanpa menggunakan restraining box (3.91±1.22) seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 9.

Daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang menggunakan restraining box memiliki nilai keempukan yang lebih tinggi. Hasil ini berbeda nyata (p<0.05) dengan daging sapi yang dihasilkan oleh RPH yang tidak menggunakan

restraining box. Daya putus WB yang rendah dapat diartikan bahwa daging

memiliki nilai keempukan yang tinggi dan sebaliknya daya putus WB yang tinggi dapat diartikan bahwa daging memiliki nilai keempukan yang rendah.

(33)

Tabel 1 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan non-restraining box (kg/cm2) restraining box (kg/cm2) non-restraining box (kg/cm2) Keempukan 3.05 ± 0.87* 3.91 ± 1.22*

Keterangan: superscript (*) yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05).

restraining box non-restraining box

Gambar7 Perbedaan keempukan contoh daging dengan restraining box dan

non-restraining box (kg/cm2).

Terdapatnya perbedaan nilai keempukan masing-masing daging tersebut kemungkinan dapat disebabkan pengaruh antemortem yaitu stres pada sapi. Sapi yang difiksasi dengan restraining box sebelum dipotong memiliki kemungkinan stres yang lebih kecil daripada sapi yang tidak difiksasi dengan

restraining box. Hal tersebut disebabkan karena proses robohnya sapi saat pintu restraining box dibuka sangatlah perlahan-lahan, hal tersebut tidak akan

menimbulkan memar pada daging hasil pemotongan sehingga akan dihasilkan kualitas daging yang lebih baik. Restraining box juga dapat menghalangi pandangan sapi terhadap manusia dan lingkungan sekitar RPH yang akan menambah faktor stres (Grandin 2001).

Sapi yang mengalami stres biasanya lebih banyak bergerak pada saat pemotongan. Banyaknya gerakan yang dilakukan oleh sapi dapat berpengaruh pada penurunan atau habisnya kadar glikogen otot. Selain itu stres menstimulasi

K e em p u k an ( k g /c m 2 ) 6 5 4 3 2

(34)

sistem syaraf dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula adrenal dalam waktu singkat. Adrenalin menyebabkan penurunan atau habisnya glikogen otot. Pada saat yang bersamaan terjadi penurunan kadar ATP dan keratin fosfat akibat tidak tersedianya oksigen yang cukup. Hal ini dapat memicu terjadinya rigormortis otot dan berakibat pada kualitas keempukan daging sapi yang dihasilkan.

Menurut Bendall (1960), rigormortis terjadi setelah cadangan energi otot menjadi habis atau otot sudah tidak lagi mampu mempergunakan cadangan energi. Rigormortis berkaitan dengan semakin habisnya ATP dari otot (Lawrie 1995). Dengan tidak adanya ATP, filamen aktin dan miosin saling berikatan dan terkunci bersama-sama membentuk ikatan aktomiosin yang permanen. Hilangnya daya regang yang mencerminkan terbentuknya aktomiosin mulai berlangsung secara perlahan, kemudian sangat cepat, daya regang kemudian tetap konstan pada tingkat yang rendah. Apabila cadangan kreatin fosfat habis dapat memicu terjadinya glikolisis anaerob untuk mensintesis kembali ATP, namun tidak efektif lagi, dan secara keseluruhan kadar ATP akan menurun. Penurunan kadar ATP ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan daya regang otot dengan cepat. Hilangnya kemampuan daya regang otot dan pembentukan kompleks aktomiosin menyebabkan kekakuan pada otot. Kekakuan yang terjadi akan diikuti dengan pemendekan otot yang merupakan penyebab utama dari ketidak-empukan daging.

Otot yang berkontraksi atau memendek menjelang rigormortis akan menghasilkan daging dengan struktur sarkomer yang pendek, lebih banyak mengandung kompleks aktomiosin atau ikatan antar filamen, sehingga daging menjadi kurang empuk. Selain itu, King et al. (2004) menyatakan bahwa tekstur otot yang lebih banyak bergerak (aktif) selama hewan hidup terlihat lebih kasar, sedangkan tekstur otot yang kurang bergerak terlihat lebih halus. Pada otot yang teksturnya kasar kurang empuk dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus. Pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan terhadap macam-macam otot sapi juga bervariasi, misalnya sejumlah otot mengalami peningkatan jus daging, sementara otot lain dapat menjadi kering (Soeparno 1994).

Pengaruh Penurunan pH Postmortem terhadap Keempukan

Penurunan nilai keempukan pada daging yang dihasilkan dari RPH yang tidak menggunakan restraining box juga dapat dipengaruhi oleh penurunan pH

(35)

postmortem daging. Keempukan daging dapat terjadi karena hewan menyimpan glikogen di dalam otot sebagai sumber persediaan energi. Keadaan sapi yang mengalami stres sebelum pemotongan dapat memicu penurunan pH postmortem daging yang dihasilkan.

Kontraksi otot yang dialami sapi sebelum pemotongan menyebabkan defisiensi glikogen otot yang dapat merangsang tubuh untuk melakukan proses glikolisis anaerob. Glikolisis anaerob dapat terjadi pada keadaan hewan mengalami kekurangan oksigen padahal tubuh sedang membutuhkan energi yang besar. Glikolisis anaerob menghasilkan asam laktat yang dapat terakumulasi di otot sehingga pH otot menjadi menurun (Lukman et al. 2007). Sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses glikolisis anaerob tidak dapat hilang dari tubuh sampai oksigen kembali tersedia. Asam laktat dapat diubah menjadi glukosa atau dipakai secara langsung untuk energi (Guyton 1994). Glikolisis anaerob pada otot merupakan proses yang dominan dalam 36 jam postmortem terutama pada saat pra rigor. Menurut Shorthose dan Wythes (1988) pada umumnya pH sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 6.74. Pola penurunan pH yang normal yaitu mencapai nilai 5.6–5.7 dalam waktu 6–8 jam setelah pemotongan (Aberle et al. 2001). Asam laktat yang dihasilkan dari glikolisis anaerob akan terakumulasi dalam otot, sehingga nilai pH otot menjadi menurun dari 7.0-7.2 menjadi 5.3-5.7 setelah 24-48 jam postmortem yang disebut juga pH akhir (Lukman et al. 2007).

Jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan sangat berpengaruh pada terjadinya penimbunan asam laktat dan tercapainya pH akhir otot. Penimbunan asam laktat akan terhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi habis atau setelah kondisi tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerob (Lawrie 1995).

Menurut Soeparno (1994) seiring dengan terjadinya penurunan pH postmortem maka keempukan daging juga semakin menurun. Lawrie (1995) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan pH daging postmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah temperatur lingkungan, penanganan hewan sebelum dipotong, dan temperatur penyimpanan, sedangkan faktor intrinsiknya adalah kandungan glikogen daging dan stres pada hewan. Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Lawrie (1995) tersebut dapat diketahui bahwa stres

(36)

merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan pH daging postmortem yang secara langsung juga berdampak pada penurunan keempukan daging sapi.

Pemotongan hewan dengan menggunakan restraining box akan menekan stres pada sapi sehingga kadar glikogen dalam ototnya tidak banyak hilang. Dengan demikian tidak akan terjadi penurunan pH yang berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan keempukan pada daging.

Pengaruh Proses Penyimpanan dan Pemasakan terhadap Keempukan

Besarnya nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh proses penyimpanan dan pemasakan daging. Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan (didinginkan) daging pada temperatur refrigerasi. Penyimpanan daging dapat menyebabkan peningkatan keempukan daging yang diindikasikan dengan tidak terjadinya pemendekan otot selama rigormortis. Pemendekan otot memiliki hubungan yang erat dengan kealotan daging. Daging yang telah mengalami proses rigormortis kemudian disimpan pada temperatur rendah (dingin) yang sesuai tidak akan mengalami pemendekan otot, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyimpanan daging (aging) dapat meningkatkan nilai keempukan daging. Pengaruh penyimpanan terhadap daya putus WB akan menjadi lebih besar setelah pemasakan.

Giles (1969) serta Hegarty dan Allen (1975) yang dikutip Soeparno (1994) menyatakan bahwa daging sapi pascarigor yang dimasak pada temperatur lebih tinggi dari 60 oC akan mengalami kontraksi dan perubahan kualitas. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soeparno et al. (1987) mengenai pengaruh pelayuan dan perebusan terhadap perubahan pH, retensi cairan, keempukan, dan gizi daging sapi peranakan Friesien Holstein (PFH) jantan. Pada umumnya, temperatur pemasakan untuk memperoleh tingkat keempukan daging yang maksimum berbeda di antara otot dan hewan, hal tersebut terutama berhubungan dengan jumlah dan kekuatan jaringan ikat.

Pada saat pemasakan, serabut otot akan mengalami kontraksi dan dapat menjadi lebih alot, namun marbling akan meleleh dan melarutkan kolagen menjadi gelatin, sehingga secara umum pemasakan dapat meningkatkan keempukan daging. Meskipun marbling mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap jus daging dan rasa dibandingkan dengan keempukan daging, namun

(37)

sehingga dapat meningkatkan keempukan semu dan memudahkan proses penelanan daging.

Solubilitas kolagen akan meningkat dengan meningkatnya temperatur pemanasan. Pada temperatur 60 °C kolagen berkontraksi dan berubah menjadi bentuk yang mudah larut. Daging dari sapi yang muda akan lebih empuk daripada daging sapi yang lebih tua pada temperatur pemasakan tertentu. Selama pemasakan, kolagen daging sapi muda akan lebih siap mengalami degradasi dan membentuk gel pada saat pendinginan. Pada temperatur dan otot yang sama, kolagen otot dari sapi yang lebih tua tidak bisa larut, sehingga daging masak menjadi tidak empuk, karena hewan yang lebih tua mempunyai kolagen intramuskular dengan tingkat ikatan silang yang lebih besar (banyak).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa keempukan daging dapat meningkat dengan penyimpanan dan pemasakan, akan tetapi pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan akibat tidak difiksasi dengan restraining box memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap ketidak-empukan daging. Hal ini juga didukung dengan terjadinya penurunan pH postmortem daging yang menyebabkan penurunan keempukan daging.

(38)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1 Nilai rata-rata keempukan daging yang dipotong dengan menggunakan

restraining box nyata lebih tinggi (p<0.05), yaitu 3.05±0.87 daripada daging

yang dipotong tanpa menggunakan restraining box, yaitu 3.91±1.22.

2 Daging yang dihasilkan dari RPH yang menggunakan restraining box lebih empuk dibandingkan dengan daging dari RPH yang tidak menggunakan

restraining box.

3 Nilai keempukan daging juga dipengaruhi oleh faktor penurunan pH postmortem daging, proses penyimpanan, dan pemasakan daging.

Saran

1 Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan restraining

box terhadap kualitas produk olahan daging.

2 Perlunya pemahaman mendalam tentang pentingnya penggunaan restraining

box oleh para pekerja di RPH.

3 Perlu pelatihan yang berkesinambungan bagi pekerja RPH mengenai proses pemotongan yang baik dan higienis, serta kualitas dan keamanan daging.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Aberle ED et al. 2001. Principles of Meat Science. 4th Ed. Dubuque lowa: Kendall/Hunt.

Abustam E. 2008. Konversi otot menjadi daging. http://cinnatalemien eabustam.blogspot.com/2008/04/konversi-otot-menjadi-daging.html [23 April 2008].

Anonim 2002. Pangan hewani daging http://www.ansc.purdue.edu/swine/ swineday/ sday02/18.pdf [17 Maret 2008].

Anonim. 2005. Animal welfare di RPH. http://www.balipost.co.id/animal-welfare-di-rph/balipostcetaK/2005/3/14.html [14 Maret 2008].

Anonim. 2006. Restraining box [kaset video]. Jakarta: Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Meat Livestock Australia (MLA), LIVECORP, APFINDO.

Anonim. 2007. Fibrous connective tissue. http://www.sciencedirect.com/science? ob=ArticleURL&_udi=B6T9G-4BBVVW1-5&_user=10&_rdoc=1&_fmt=

&_orig=search&_sort=d&view= c&_acct=C000050221&_ version=1&_url Version=0&_userid=10&md5=e3fb4cc8090b7fea0ea3985037725ca7 [17 Maret 2008].

Anonim. 2008. Small stock processing equipment. http://www.fea.net.au/ smallstock_ process_equip.htm. [14 Maret 2008].

Bendall JR. 1960. The Structure and Function of Muscle. New York: Academic Pr.

Buckle KA, Fleet GH, Wootton M, Edwards RA. 1985. Ilmu Pangan. Adiono M, Purnomo H, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Food Science. Chambers PG, Grandin T. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman dan

Pemotongan Hewan yang Manusiawi. Marjaya W, penerjemah; Heins G,

Srisovan T, editor. Denpasar: Yudisthira. Terjemahan dari: Guidelines for

Humane Handling, Transport, and Slaughter of Livestock.

Epley RJ. 2008. Meat tenderness. http://www.extension.umn.edu/distribution/ nutrition/DJ0856.html [17 Maret 2008].

Grandin T. 2001. Antemortem Handling and Welfare. Di dalam: Hui YH, editor.

Meat Science and Applications. New York: Marcel Dekker.

Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran. Tengadi KA, penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Text Book of Medical Physiology.

Huxley HE. 1960. The Cell. New York: Academic Pr.

King DA, Dikeman ME, Wheeler TL, Kastner CL, Koohmaraie M. 2003. Chilling and cooking rate effects on some myofibrillar determinations of tenderness of beef. J Anim Sci. 81:1473-1481.

Lawrie RA. 1995. Ilmu Daging. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Meat Science.

Lukman DW et al. 2007. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(40)

Nirwati. 2003. Pengaruh kemasan kaleng terhadap keamanan daging. [Karya Tulis]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Palupi WD. 1986. Tinjauan Literatur Pengolahan Daging. Jakarta: Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional – LIPI.

Shorthose WR, Whytes JRr. 1988. Transport of sheep and cattle. Di dalam:

Proceedings of 34th ICoMST. Brisbane, Australia. hlm 122-129.

Soeparno, Keman S, Setiyono. 1987. Evaluasi metode pelayuan dan perebusan yang mempengaruhi pH, retensi cairan, keempukan dan gizi daging sapi. Laporan Penelitian Bank Dunia XVII – PPPT – UGM. Yogyakarta: UGM Pr. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Tabrany H. 2001. Pengaruh proses pelayuan terhadap keempukan daging

[Makalah Falsafah Sains]. Pascasarjana IPB. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Wahid N. 2007. Pedoman berproduksi halal di RPH dan restoran. http://www.halalguide.info/2007/03/pedoman-berproduksi-halal-di-rph-dan-restoran.html [14 Maret 2008]

Wheeler TL, Shackelford SD, Koohmaraie M. 1997. Warner Bratzler shear force protocol. http://meats.marc.usda.gov/MRU_WWW/Protocol/WBS.pdf [19 September 2007].

Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock. Volume 1: Basic Principles. Florida: CRS Pr.

(41)
(42)

Lampiran 1 Nilai Warner Bratzler shear force setiap contoh daging dengan dan tanpa restraining box

No. contoh daging Keempukan daging (kg/cm

2

)

Restraining box Non-Restraining box

1 3.03 2.78 2 3.03 2.8 3 4 1.98 4 1.98 2.73 5 5.13 1.8 6 2.9 4.9 7 3.08 3.28 8 3.23 4 9 1.78 6.6 10 3.4 3.4 11 3.75 5.7 12 3.75 3.6 13 3.8 4.2 14 2.83 3.9 15 2.88 5.5 16 2.24 3.9 17 1.76 3.9 18 2.24 5 19 4 4.2 20 2.2 4.1 Rata-rata 3.05 3.91 Simpangan Baku 0.87 1.22

(43)

Lampiran 2 Data hasil olahan statistika (t-test)

————— 2/29/2008 10:07:03 AM ——————————————————— Two-Sample T-Test and CI: Restraining Box, Non-Restraining Box

Two-sample T for Restraining Box vs Non Restraining Box N Mean StDev SE Mean

Restraining Box 20 3.051 0.870 0.19 Non Restraining Box 20 3.91 1.22 0.27

Difference = mu (Restraining Box) - mu (Non Restraining Box) Estimate for difference: -0.863000

95% CI for difference: (-1.540550, -0.185450)

T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -2.58 P-Value = 0.014 DF = 38 Both use Pooled StDev = 1.0584

Analisis:

Untuk melihat apakah ada perbedaan keempukan daging per jam antara daging hasil restraining box dan daging non-restraining box dipakai uji-t dua sample dengan hipotesis sebagai berikut:

Ho: keempukan daging pada jam ke-10 perlakuan restraining box sama dengan keempukan daging perlakuan non RB (µ1=µ2)

H1: keempukan daging pada jam ke-10 perlakuan restraining box tidak sama dengan keempukan daging perlakuan non RB (µ1≠µ2)

Dari hasil analisis di atas didapatkan nilai p-value=0.014. Jika dibandingkan dengan taraf nyata (α)=0.05 maka cenderung menolak Ho, karena p-value<α, artinya keempukan daging pada jam ke-10 pada perlakuan restraining

box tidak sama dengan keempukan daging pada perlakuan non-restraining box.

Selain itu, dapat diketahui pula selang kepercayaan 95% bagi selisih nilai rata-rata keempukan daging pada daging restraining box dan daging non-restraining

box yang sebenarnya adalah (-1.540550; -1.85450). Selang itu dipercaya

mencakup selisih tersebut dengan tingkat kepercayaan 95%. Ilustrasi: apabila contoh berukuran n diambil 100 kali dari populasi berukuran N dan setiap pengambilan contoh dibuat selang kepercayaannya, maka 95 dari 100 selang kepercayaan yang dibuat mencakup selisih tersebut. Persamaan keempukan daging restraining box dan daging non-restraining box terlihat dari selang yang mencakup nilai positif dan negatif.

(44)

Hasil Pengukuran

Keempukan dengan

Warner Bratzler shear force

(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)

Hasil Pengukuran

Keempukan dengan

Warner Bratzler shear force

(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)

Gambar

Gambar 1  Serabut otot (Anonim 2007).
Gambar 2  Kontraksi dan relaksasi otot (Lukman et al. 2007).
Gambar 3  Restraining box hasil desain meat livestock Australia (MLA) (Anonim  2006).
Gambar 5  Contoh daging yang telah dicetak dengan corer.
+3

Referensi

Dokumen terkait

‘Ashes to ashes, dust to dust,’ said Miles Engado, his voice catching slightly as he turned away from the simularity projector in the centre of the room.. The rest of the small

proses pengaplikasian, efek penggunaan, efesiensi waktu pengerjaan. Sedangkan 2 aspek yang tidak signifikan adalah kesesuaian hasil dengan objek asli dan tingkat

Laba sebagai bagian dari laporan keuangan, apabila tidak menyajikan fakta yang sebenarnya tentang kondisi ekonomis perusahaan, maka kualitas menurun karena dapat

• Bursa saham Korea Selatan, indeks Kospi ditutup melemah 0.20% ke level 1.993,4, seiring Bank of Korea (BOK) mempertahankan tingkat suku bunga untuk

Dengan ini, pengkaji telah menjalankan kajian untuk mengetahui tahap kemahiran pelajar-pelajar jurusan Diploma Akauntansi di Politeknik Port Dickson menggunakan perisian

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwasanya lebih banyak pengaruh negatifnya dibandingkan pengaruh positif barang impor tersebut, hal ini dikarenakan barang impor yang masuk

Amino acids and alka- loids are derived from amines; however, in one group of alkaloids the only nitrogen atoms occur in the amino side group attached to a benzene ring—they are

Sukatmi, Upaya Meningkatkan Ketrampilan Berbicara dengan Media Gambar (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa kelas V SDN II Nambangan Selogiri Wonogiri, Tesis,