• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan pemanenan sangat menentukan tingkat kehilangan baik dalam segi kualitas dan kuantitas dari produk yang dihasilkan sehingga dibutuhkan keterampilan dan pemahaman yang baik mengenai proses kegiatan panen yang efektif dan efisien. Keberhasilan dalam kegiatan pemanenan diukur dari seberapa besar tingkat kehilangan yang terjadi selama proses pemanenan. Semakin tinggi kehilangan hasil maka tingkat keberhasilan panen semakin rendah. Tingkat kehilangan tersebut ditentukan oleh beberapa faktor seperti perlakukan prapanen, cuaca, hama dan penyakit, umur panen, dan lamanya penyimpanan. Kehilangan perlakuan prapanen dapat dilihat dari cara panen yang digunakan, apabila panen dilakukan dengan cara yang baik dan benar maka akan diperoleh hasil panen yang baik juga. Selain itu cara panen yang digunakan dapat mempengaruhi keefisiensien tenaga kerja pemanen. Apabila pemanenan dilakukan dengan cara yang tepat maka proses pemanenan akan berjalan lebih efektif dan efisien.

Umur Panen

Umur panen merupakan waktu dimana suatu komoditas dapat dipanen. Kegiatan pemanenan harus dilakukan pada umur panen yang tepat yaitu ketika tanaman sudah mencapai tingkat kematangan yang optimal atau pada saat bagian tanaman telah memiliki persyaratan optimum untuk dapat dimanfaatkan oleh konsumen untuk memenuhi tujuan tertentu. Tingkat kematangan saat panen sangat menentukan kualitas komoditi panenan. Tingkat kematangan yang telah lewat akan menyulitkan upaya memperpanjang umur saat penyimpanan dan apabila komoditi panenan dalam kondisi belum mencapai tingkat kematangan optimal, akan mempersulit upaya penanganan pascapanen.

21

Gambar 13 Pengaruh umur panen terhadap kualitas umbi. Garis vertikal di atas setiap balok menunjukan standar deviasi.

Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa umur panen memiliki pengaruh terhadap kualitas umbi yang dihasilkan. Kualitas yang diamati meliputi ukuran umbi yang dihasilkan, persentase umbi BS (Bellow Standar), dan persentase kerusakan kulit umbi. Ukuran umbi yang dihasilkan per tanaman akan selalu bervariasi, pengelompokan umbi di lapangan dibagi ke dalam dua ukuran yaitu ukuran besar untuk umbi konsumsi dan ukuran kecil (ares) untuk bakal bibit. Gambar 13 menunjukan bahwa semakin tua umur panen maka persentase umbi kecil akan lebih rendah dibandingkan dengan persentase umbi besar, begitu juga sebaliknya apabila tanaman dipanen pada umur panen yang masih muda maka akan menghasilkan persentase umbi kecil yang lebih tinggi. Pada umur panen yang masih muda proses pembentukan umbi belum sempurna sehingga ukuran umbi yang dihasilkan akan kecil-kecil, sedangkan apabila umbi dipanen dengan umur panen yang tua atau sesuai dengan umur panen yang telah ditentukan maka umbi telah terbentuk sempurna sehingga akan menghasilkan umbi yang besar-besar. Ukuran umbi yang dihasilkan tidak hanya dipengaruhi oleh umur panen tetapi masih terdapat faktor lainnya seperti jenis bibit yang ditanam (mutu dan besar), jarak tanam, dan iklim. Menurut Wuur dan Allen (1974), jarak tanam yang rapat akan menghasilkan umbi kecil lebih banyak, hal ini karena pengisian umbi dipengaruhi oleh kepadatan tanaman dan Kusumo (1980) menyatakan bahwa penggunaan bibit yang besar biasanya menghasilkan umbi kecil yang lebih banyak.

Gambar 13 menunjukkan bahwa umur panen tidak mempengaruhi persentase umbi busuk yang dihasilkan, hal tersebut diduga karena karena kondisi pertanaman pada sample tanman beragam seperti terdapat sample tanaman yang terserang virus, hama, dan penyakit tanman. Javandira at al. (2013) menyatakan bahwa salah satu penyakit yang menjadi kendala produksi kentang adalah serangan penyakit busuk lunak yang disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora (syn. Pectobacterium carotovorum). Serangan patogen tersebut dapat

0 20 40 60 80 100 120 75 86 93 100 107 Per se nt as e Umur Panen (HST) Umbi Kecil Umbi Besar Umbi Busuk

22

menyebabkan perubahan fisik, fisiologi dan kimia pada umbi kentang sehingga berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas produksi umbi kentang.

Kerusakan kulit umbi dapat dilihat dari tingkat kelecetan permukaan kulit umbi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tua umur panen umbi maka persentase kerusakan kulit umbi akan semakin menurun, hal tersebut dapat disebabkan karena pada umur panen yang tua permukaan kulit umbi sudah terbentuk dengan sempurna karena sel kulit umbi akan melekat dengan daging umbi sehingga kulit umbi akan kuat dan tidak akan terkelupas bila mengalami gesekan. Ummah (2010) menyatakan bahwa semakin lama umbi dipanen maka kulit kentang akan semakin mengeras dan kuat selain itu umbi yang dihasilkan semakin banyak.

Gambar 14 menunjukkan bahwa umur panen mempengaruhi bobot basah umbi hasil panen. Bobot umbi semakin meningkat dari umur 75 hari sampai umur 100 hari tetapi pada umur 107 hari terjadi penurunan bobot. Pada umumnya semakin tua umur umbi dipanen maka umbi yang dihasilkan akan semakin banyak dan hasil panen akan semakin tinggi. Mutiarawati (2007) menyatakan bahwa apabila panen dilakukan terlalu awal, kualitas hasil akan rendah, begitu juga bila panen terlambat, komoditas tidak tahan lama disimpan. Hasil pengamatan menunjukan terjadi penurunan bobot umbi pada umur 107 hari, hal tersebut diduga karena kondisi pertanaman yang kurang baik atau tanaman telah mati. Selain umur panen masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil panen seperti kondisi lokasi penanaman, kondisi bibit yang ditanam, kondisi cuaca dan iklim, intensitas serangan hama dan penyakit tanaman, dan teknik budidaya yang digunakan seperti pemupukan. Lologau (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara intensitas kerusakan daun yang disebabkan oleh serangan lalat penggorok daun dengan bobot umbi, penurunan bobot semakin tinggi seiring dengan meningkatnya intensitas serangan. Penurunan bobot umbi ini berkaitan dengan menurunnya kemampuan daun untuk melakukan fotosintesis. Kerusakan jaringan daun dapat menghambat laju fotosintesis yang selanjutnya mempercepat kematian jaringan dan bahkan dapat mematikan tanaman. Haris (2010) menyatakan bahwa peningkatan produktivitas kentang sangat ditunjang oleh sistem pemupukan dan lingkungan tumbuh yang sesuai. Pemupukan sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan unsur hara tanaman dan memperbaiki kondisi tanah sehingga perakaran dapat tumbuh baik serta dapat menyerap unsur hara dalam jumlah cukup.

3.20 4 4.20 5.95 5.85 0 1 2 3 4 5 6 7 79 86 93 100 107

Umur Panen (Hari)

Gambar 14 Pengaruh umur panen terhadap bobot basah umbi.

B ob ot B asah pe r um ur panen (kg ) 75

23 Penentuan waktu panen di lapangan lebih cenderung melihat kondisi tanamannya, apabila kondisi tanaman bagus atau sehat maka waktu panen akan disesuaikan dengan umur panen yang telah ditentukan, tetapi apabila kondisi tanaman menunjukan kurang bagus atau tidak sehat yang disebabkan karena serangan hama dan penyakit tanaman sudah tidak dapat ditangani lagi maka tanaman tersebut harus segera dipanen meskipun umur panennya tidak sesuai dengan yang telah ditentukan, hal tersebut dilakukan supaya tanaman yang belum terserang hama dan penyakit masih bisa diselamatkan sehingga tanaman masih bisa dipanen meskipun dengan produksi yang kurang bagus, pada perusahan skala besar ketidaktepatan dalam penentuan umur panen dapat terjadi apabila kebutuhan atau permintaan kentang dipasaran sedang tinggi dan stok kentang di gudang penyimpanan sedikit, maka tanaman kentang akan dipaksa panen sebelum waktunya, hal tersebut dilakukan karena perusahaan menginginkan keuntungan yang lebih dari proses produksinya.

Cara Panen

Keberhasilan panen dipengaruhi oleh persiapan panen yang dilakukan dengan baik dan efektif, berupa kondisi jalan, tenaga kerja pemanen, alat panen, waktu memulai panen, dan cara memanen. Selain itu, keberhasilan panen juga ditentukan oleh kondisi kebun dan situasi lingkungan kebun (iklim, topografi, sarana, dan prasarana). Cara panen diperkirakan dapat mempengaruhi efisiensi tenaga kerja dan kehilangan hasil panen di lapangan. Cara panen yang digunakan di perusahaan Hikmah Farm ada 3 yaitu, cara panen 1 (penggalian dengan gala, penjemuran, sortasi dan grading, pengarungan 1, pengangkutan 2), cara panen 2 (penggalian dengan cangkul, penjemuran, sortasi dan grading, pengarungan 1, pengangkutan 2), dan cara panen 3 (penggalian dengan cangkul, pengarungan 1, pengangkutan 1, sortasi dan grading, pengarungan 2, pengangkutan 2). Pengarungan 1 adalah kegiatan pengarungan yang dilakukan di dalam wilayah panen, sedangkan pengarungan 2 adalah kegiatan pengarungan yang dilakukan di luar wilayah panen. Pengangkutan 1adalah kegiatan pengangkutan ke tempat sortasi dan grading, sedangkan pengangkutan 2 adalah kegiatan pengangkutan langsung ke alat transportasi panen.

Tabel 1 Efisiensi tenaga kerja pemanen berdasarkan cara panen Cara

Panen

Tenaga Kerja

Kondisi di Lapangan Standar Perusahaan

Keterangan Luas Garapan (Tumbak /hari) Efisiensi Tenaga Kerja (Tumbak/orang/ hari) Luas Garapan (Tumbak /hari) Efisiensi Tenaga Kerja (Tumbak/oran g/hari) 1 73 300 4 438 6 Tidak Efisien 2 41 300 7 246 6 Efisien 3 107 450 4 642 6 Tidak Efisien Sumber: Pengamatan lapangan (April 2012), 1 Tumbak = 16 .

24

Tabel 2 Persentase kehilangan hasil di lapangan Cara panen Hasil panen

(ton) Umbi afkir (ton) Kehilangan Hasil (%) 1 49.04 0.52 1.10 2 39.86 0.78 1.90 3 54.56 1.40 2.60

Sumber: Pengamatan lapangan (April 2012)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa cara panen dapat mempengaruhi efisiensi tenaga kerja pemanen. Persentase kehilangan hasil di lapangan (Tabel 2) yang paling tinggi terjadi apabila kegiatan pemanenan dilakukan dengan cara 3 dan yang paling rendah adalah cara panen 1. Hal tersebut dapat terjadi karena alur kegiatan panen pada cara panen 3 lebih panjang dibandingkan dengan cara panen 1 sehingga kemungkinan umbi mengalami kerusakan akan semakin tinggi. Dilihat dari persentase kehilangan hasil (Tabel 2) cara panen 1 termasuk ke dalam cara panen yang paling baik tetapi jika dilihat dari keefisiensian tenaga kerja pemanen masih belum efisien. Cara panen 2 adalah cara panen yang paling efisien (Tabel 1) tetapi persentase kehilangan hasil di lapangan lebih tinggi jika dibandingkan dengan cara panen 1. Cara panen 3 merupakan cara panen yang dilihat dari keefisiensian tenaga kerja pemanen masih belum efektif dan persentase kehilangan hasil di lapangannya paling tinggi, sehingga cara panen 3 dinilai paling tidak efektif dan tidak efisien.

Kegiatan Pascapanen

Penanganan pascapanen pada dasarnya adalah kegiatan untuk mencegah kerusakan hasil akibat serangan hama atau penyakit, gangguan fisiologi, dan gangguan non parasiter atau lingkungan yang kurang menguntungkan, dengan tujuan untuk mempertahankan mutu hasil panen sehingga tetap baik sampai ke konsumen (Samadi 2007).

Kehilangan pascapanen dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu kehilangan kualitas dan kehilangan kuantitas. Kehilangan kuantitas adalah hilangnya produk pascapanen yang ditunjukkan oleh hilangnya volume atau berat produk, sedangkan kehilangan kualitas dikaitkan dengan berubah kearah menurunnya komponen nutrisi produk pascapenen. Soesanto (2006) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor dalam dan luar yang sangat penting peranannya di dalam proses kehilangan pascapanen, yaitu: kemunduran fisiologi, kerusakan mekanis, adanya serangan hama dan patogen, jenis produk segar, fisiologi pascapanen produk segar, respirasi, penguapan, dan pemasakan produk pascapanen.

25

Keterangan:

Skor kerusakan bagian luar umbi:

0-2 = Umbi layak konsumsi, layak dijadikan bibit

4 = Umbi kurang layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit 6-10 = Umbi tidak layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit Skor kerusakan bagian dalam umbi:

0 = Umbi layak konsumsi, layak dijadikan bibit 2 = Umbi layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit

4 = Umbi kurang layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit 6-12 = Umbi tidak layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit

Gambar 15 Pengaruh ketinggian jatuhan umbi terhadap kerusakan umbi pada umur simpan 4 dan 8 Masa Setelah Perlakuan (MSP). Garis vertikal di atas setiap balok menunjukan standar deviasi.

Gambar 15 menunjukkan bahwa ketinggian jatuhan dan masa simpan umbi dapat mempengaruhi terhadap kerusakan umbi. Semakin tinggi ketinggian jatuhan umbi maka menyebabkan persentase kerusakan umbi akan meningkat. Kerusakan umbi pada umur simpan 8 MSP lebih tinggi dibandingkan kerusakan umbi pada umur simpan 4 MST, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin lama umur simpan maka kerusakan umbi akan cenderung semakin meningkat. Hal tersebut diduga karena setelah umbi mengalami kerusakan mekanis yang disebabkan karena benturan antar umbi atau dengan benda lain telah terjadi kemuduran fisiologis selama masa penyimpanan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0.5 1 1.5 2 2.5 S kor K erusa ka n Umbi

Ketinggian Jatuhan Umbi (m)

4 MSP Luar 4 MSP Dalam 8MSP Luar 8MSP Dalam

26

Keterangan:

Skor kerusakan bagian luar umbi:

0-2 = Umbi layak konsumsi, layak dijadikan bibit

4 = Umbi kurang layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit 6-10 = Umbi tidak layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit Skor kerusakan bagian dalam umbi:

0 = Umbi layak konsumsi, layak dijadikan bibit 2 = Umbi layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit

4 = Umbi kurang layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit 6-12 = Umbi tidak layak konsumsi, tidak layak dijadikan bibit

Gambar 16. Pengaruh ketinggian jatuhan umbi terhadap kerusakan umbi pada umbi ukuran AB dan Ares. Garis vertikal di atas setiap balok menunjukan standar deviasi.

Gambar 16 menunjukkan bahwa ketinggian jatuhan dan ukuran umbi dapat mempengaruhi kerusakan umbi. Kerusakan umbi tersebut termasuk ke dalam kerusakan mekanis karena umbi dijatuhkan pada ketinggian tertentu sehingga umbi akan mengalami benturan dan gesekan dengan benda lain. Semakin tinggi ketinggian jatuhan umbi maka beban jatuhan atau benturan dan gesekan yang diterima umbi akan semakin berat, sehingga menyebabkan persentase kerusakan umbi akan meningkat. Persentase kerusakan umbi dengan umbi ukuran Ares baik kerusakan pada bagian luar maupun bagian dalam umbi cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan umbi ukuran AB, hal tersebut diduga karena umbi yang berukuran ares proses pembentukan umbi lebih akhir dibandingkan dengan umbi berukuran AB, ketika dipanen dengan umur panen yang sama proses perkembangan umbi belum sempurna maka apabila mengalami benturan akan lebih rentan terhadap keerusakan umbi, sehingga dapat dikatakan bahwa penanganan pascapanen pada bakal umbi bibit harus dilakukan lebih hati-hati dibandingkan dengan umbi konsumsi. Gambar 15 dan 16 menunjukkan bahwa kerusakan umbi pada bagian dalam cenderung lebih tinggi dibandingkan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0.5 1 1.5 2 2.5 S kor K erusa ka n Umbi

Ketinggian Jatuhan umbi (m)

AB (Umbi Konsumsi) Luar

AB Dalam

Ares (Bakal Bibit) Luar

27 kerusakan pada bagian luar umbi. Umbi yang mengalami benturan dan gesekan pada awalnya akan menimbulkan kerusakan pada bagian luar atau penampilan umbi tersebut dan setelah disimpan dengan masa simpan tertentu maka akan menyebabkan kerusakan pada bagian dalam umbi. Mutiarawati (2007) menyatakan bahwa kerusakan mekanis sering diikuti dengan kerusakan biologis.

Kehilangan Hasil

Kehilangan hasil dapat terjadi karena penanganan pascapanen yang kurang baik. Mutiarawati (2007) menyatakan bahwa keberhasilan penanganan pascapanen sangat ditentukan dari tidakan awalnya, yaitu panen dan penanganan pasca panen yang baik harus dimulai sedini mungkin, yaitu segera setelah panen. Kehilangan hasil dapat dibagi kedalam dua bagian, yaitu kehilangan hasil yang terjadi di lapangan dan kehilangan hasil di gudang penyimpanan.

Tabel 3 Presentase kehilangan hasil di lapangan Kebun Hasil Panen

(ton) Umbi Afkir (ton) Kehilangan Hasil (%) Cikole 37.10 0.980 2.6 Gunung Cupu 49.04 0.520 1.1 Pasir Hayam 39.86 0.776 1.9 Kiara Jeuntas 54.56 1.400 2.6 Sanghiang 18.48 0.480 2.6

Sumber: Pengamatan lapangan (Maret, 2012)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kebun Cikole, Kiara Jeuntas, dan Sanghiang memiliki persentase kehilangan hasil paling besar. Hal tersebut dapat terjadi karena cara panen pada kebun tersebut menggunakan cara panen 2 dan 3, dimana pada cara panen tersebut proses pengambilan umbi atau disebut dengan pengalian umbinya dengan menggunakan cangkul, sehingga resiko umbi mengalami kerusakan secara mekanis lebih besar. Umbi yang terkena cangkul akan dikelompokan ke dalam umbi afkir, sehingga umbi afkir yang diperoleh akan semakin banyak dan akan meningkatkan persentase kehilangan hasil di lapangan. Persentase kehilangan hasil paling kecil yaitu kebun Gunung Cupu, dimana di kebun ini menggunakan cara panen 1, proses pengambilan umbi pada cara panen 1 dilakukan dengan cara yang lebih hati-hati dengan menggunakan alat yang disebut dengan gala, sehingga resiko umbi mengalami kerusakan secara mekanis lebih kecil dibandingkan dengan cara panen 2 dan 3. Hal tersebut dapat menurunkan persentase kehilangan hasil di lapangan. Kehilangan hasil di lapangan tidak hanya disebabkan oleh cara panen yang digunakan tetapi kondisi pertanaman yang dipanen juga dapat mempengaruhi besar kecilnya persentase kehilangan hasil, seperti tanaman terkena hama dan penyakit selama proses pertumbuhan. Ummah (2010) menyatakan bahwa penyakit yang menyerang tanaman kentang di Hikmah Farm diantaranya busuk daun (Phytopthora infestans), layu bakteri (Ralstonia solanacearum), dan penyakit yang disebabkan oleh virus, sedangkan yang menyerang umbi setelah dipanen diantaranya kudis lak (Rhizoctonia solani), busuk kering (Fusarium spp), dan kudis (Strepromyces

28

scabies). Rodriguez et al. (1975) menyatakan bahwa kentang di dalam penyimpanan akan terus mengalami metabolisme dan respirasi sehingga meningkatkan kadar gula dan menimbulkan penyusutan. Menurut Sinaga (1980) penurunan kualitas kentang dalam penyimpanan disebabkan karena penyakit, susut berat, tumbuhnya tunas juga keriput, dan warna hijau.

Tabel 4 Persentase kehilangan hasil di gudang penyimpanan Kebun Masa Simpan (HSG) Umbi Masuk (kg) Umbi BS (kg) Kehilangan Hasil (%) Ciarileu 42 494 255 51.62 Gunung Cupu 17 1 862 180 9.67 Pasir Hayam 13 1 102 270 24.50

Sumber: Pengamatan lapangan (Maret, 2012), HSG: Hari Simpan Gudang

Tabel 4 menunjukan bahwa hasil panen dari kebun Ciarileu memiliki persentase kehilangan hasil di gudang penyimpanan yang paling tinggi dibandingkan dengan kebun Gunung Cupu dan Pasir Hayam. Hal tersebut terjadi karena masa simpan hasil panen dari kebun Ciarileu lebih lama dibandingkan dengan kebun lainnya. Persentase kehilangan hasil kebun Gunung Cupu lebih rendah dibandingkan dengan kebun Pasir Hayam meskipun masa simpan di gudangnya lebih lama dari masa simpan kebun Pasir Hayam. Hal tersebut dapat terjadi karena kehilangan hasil di gudang tidak hanya disebabkan oleh masa simpan yang terlalu lama tetapi masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kehilangan hasil tersebut seperti kondisi umbi saat masuk gudang, kegiatan sortasi yang kurang baik, kondisi tempat penyimpanan yang kurang baik, cara menyimpan yang kurang baik dan proses respirasi yang terjadi di dalam umbi. Tabel 3 dan tabel 4 menunjukan bahwa persentase kehilangan hasil di gudang penyimpanan lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kehilangan hasil di lapangan.

Dokumen terkait