• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Lokasi

Lokasi penelitian terletak di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Jumlah penduduk di desa Guyung yaitu 6386 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 5782. Desa guyung memiliki sawah seluas 137 517 ha dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Batas-batas wilayah Desa Guyung adalah sebagai berikut, sebelah barat berbatasan dengan desa Kedung putri, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tambakromo, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tepas, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Gerih. Pengamatan dilakukan dengan membandingkan lahan organik dan lahan konvensional, dengan ulangan 3 petak sistem tanam organik dan 3 petak sistem tanam konvensional. Pengamatan dilakukan mulai dari umur tanaman 4 MST, 6 MST, 8 MST, 10 MST, 12 MST. Masing-masing luas lahan yang diamati berbeda-beda, total dari luas lahan organik yang diamati adalah 0.9 ha sedangkan luas lahan konvensional adalah 1.4 ha. Letak lahan sistem tanam organik dan konvensional dalam 1 hamparan dan menggunakan aliran air irigasi yang sama. Petak sawah dengan sistem organik dapat dilihat pada Gambar 3 dan petak sawah konvensional dapat dilihat pada Gambar 4. Terdapat perbedaan antara sistem tanam padi organik dan sistem tanam padi konvensional yaitu pada tepi lahan sistem padi organik terdapat kolam-kolam kecil yang dibuat oleh petani dengan tujuan untuk menetralkan air irigasi sistem organik agar tidak tercemar bahan kimia pada sistem tanam padi konvensional.

Gambar 3 Petak pertanaman padi Gambar 4 Petak pertanaman padi

organik konvensional

Proses Tahapan Sistem Tanam Padi Konvensional menjadi Sistem Tanam Padi Organik

Sistem tanam konvensional yang akan dikonversi menjadi sistem tanam organik akan mengalami beberapa tahap. Proses sertifikasi dari sistem tanam konvensional menjadi sistem tanam organik akan melalui tahapan penambahan pupuk organik dan pengurangan pupuk kimia (Urea, ZA, Phonska) dalam jangka waktu 3 tahun (Tabel 1). Setiap tahunnya pupuk kimia dikurangi 25 Kg, sampai

7

akhirnya pada tahun ke-3 pupuk kimia tidak digunakan. Penambahan pupuk organik pada tahun pertama yaitu 7 kwintal, sedangkan pada tahun ke-2 dan ke-3 pupuk organik ditambahkan sebanyak 1.5 kwintal menjadi 8.5 kwintal. Pengendalian hama dan penyakit di sawah organik tidak menggunakan pestisida melainkan menggunakan mikroorganisme lokal (MOL) dan agens hayati. MOL merupakan mikroorganisme lokal yang mengandung mikroba dan dapat berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan dan sebagai agen pengendali hama penyakit tanaman (Suhastyo 2011). Agens hayati yang digunakan yaitu agens hayati Beauveria bassiana, Verticillium spp, Trichoderma spp, Corynebacterium spp.

Tabel 1 Penurunan pupuk kimia sintetik dan penambahan pupuk organik di sawah konvensional untuk menjadi sawah organik (Sumber KNOC)

Tahun 2009/2010 MT 1 MT 2 MT 3 Luas area: 0.32 ha Pupuk an organik  Urea  ZA  Phonska Pupuk organik/kompos MOL Corynebacterium Verticillium spp. Jerami 50 kg 50 kg 100 kg 7 kwintal 10 liter 5 liter 5 liter 20 ton 50 kg 50 kg 100 kg 7 kwintal 10 liter 5 liter 5 liter 20 ton 50 kg 50 kg 100 kg 7 kwintal 10 liter 5 liter 5 liter 20 ton Tahun 2010/2011 Luas area: 0.32 ha Pupuk an organik  Urea  ZA  Phonska Pupuk organik/kompos MOL Corynebacterium Verticillium spp. Jerami 25 kg 25 kg 50 kg 8.5 kwintal 15 liter 10 liter 10 liter 20 ton 25 kg 25 kg 50 kg 8.5 kwintal 15 liter 10 liter 10 liter 20 ton 25 kg 25 kg 50 kg 8.5 kwintal 15 liter 10 liter 10 liter 20 ton Tahun 2011/2012 Pupuk organik/kompos MOL Corynebacterium Verticillium spp. Jerami 8.5 kwintal 60 liter 40 liter 40 liter 2 ton 8.5 kwintal 60 liter 40 liter 40 liter 2 ton 8.5 kwintal 60 liter 40 liter 40 liter 2 ton

8

Kekayaan dan Keanekaragaman Laba-laba pada Lahan Organik dan Konvensional

Dalam usaha tani padi sawah terdapat berbagai kegiatan yang diterapkan oleh petani untuk meningkatkan produksi. Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan ekosistem pertanian yang diduga dapat mempengaruhi komponen-komponen yang hidup dalam ekosistem tersebut. Laba-laba adalah salah satu komponen komunitas yang diduga dapat terpengaruh oleh aktivitas bercocok tanam baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh itu dapat bersifat negatif maupun positif terhadap komunitas laba-laba. Kegiatan yang dapat berpengaruh negatif antara lain penggunaan pestisida, pengolahan tanah, pengairan dan penyiangan gulma. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan populasi serangga hama dan gulma dapat berdampak pada komunitas artropoda lain seperti serangga parasitoid, predator, pemakan bahan organik dan artoproda predator lain seperti laba-laba (Settle 1996).

Lahan dengan sistem tanam organik adalah pengelolaan lahan tanpa menggunakan bahan kimia sintetik. Sedangkan lahan dengan sistem konvensional adalah pengelolaan lahan menggunakan bahan kimia sintetik, baik dari pupuknya maupun cara pengendalian hama dan penyakitnya. Pada lahan organik peranan musuh alami sangat dominan untuk pengendalian hama baik itu musuh alami yang bersifat spesifik maupun generalis, seperti dari golongan Arachnida (laba-laba). Semakin tinggi musuh alami maka akan semakin rendah populasi hamanya. Sedangkan lahan konvensional adalah lahan yang sangat bergantung terhadap bahan kimia baik itu pupuk kimia maupun pestisida. Pengendalian hama pada lahan dengan sistem konvensional umumnya menggunakan pestisida.

Persebaran Laba-laba Pembuat Jaring

Dari pengamatan jaring laba-laba menggunakan metode sensus, dapat dilihat jumlah jaring di masing-masing petak pada setiap meter. Jumlah jaring dapat menggambarkan jumlah laba-laba pembuat jaring yang ada di lahan tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai total jumlah laba-laba pembuat jaring dari petak organik 0.218 jaring/m2 sedangkan pada petak konvensional adalah 0.046 jaring/m2 (Tabel 2). Nilai jumlah laba-laba pembuat jaring pada lahan organik lebih tinggi dibandingkan lahan konvensional namun nilai jumlah laba-laba pembuat jaring pada lahan konvensional tidak berbeda nyata dengan nilai jumlah laba-laba pembuat jaring di lahan organik.

Pada Tabel 3 dapat dilihat persen luasan sawah yang dihuni laba-laba di lahan konvensional berbeda nyata dengan persen luasan sawah yang dihuni laba-laba di lahan organik, luasan sawah yang dihuni laba-laba-laba-laba di lahan organik yaitu 18% sedangkan di lahan konvensional adalah 4%. Persen luasan sawah yang dihuni laba-laba di lahan organik lebih tinggi dibandingkan lahan konvensional. Hal ini disebabkan lahan organik dalam pengelolaannya tidak menggunakan bahan kimia sintetik sehingga populasi laba-laba pembuat jaring menjadi lebih tinggi.

Cara tanam berpengaruh terhadap frekuensi jaring yang dibuat oleh laba-laba dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan menggunakan rumus chi-square didapatkan hasil mulai umur tanaman 4 MST sampai 12 MST memiliki nilai 2 hitung > 2 tabel, artinya frekuensi jumlah jaring saling terkait dengan cara tanam. Cara tanam organik dan konvensional mempengaruhi frekuensi jaring laba-laba

9

yang ada di lahan. Sistem tanam padi organik dengan tidak menggunakan bahan kimia sintetik memiliki frekuensi jaring lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam konvensional menggunakan pestisida kimia.

Tabel 2 Kepadatan laba-laba pembuat jaring pada pertanaman padi organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

a

Angka yang memiliki huruf yang sama dalam baris menunjukkan tidak ada perbedaan nyata berdasarkan uji Duncan, = 0.05.

Tabel 3 Persentase luasan petak yang dihuni laba-laba pada pertanaman padi organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

a

Angka yang memiliki huruf yang sama dalam baris menunjukkan tidak ada perbedaan nyata berdasarkan uji Duncan, = 0.05.

Tabel 4 Keterkaitan antara frekuensi jumlah jaring laba-laba dan sistem tanam padi Umur Tanaman (MST) Chi-Square ( 2) Hitung Tabel 4 24.83 12.59 6 511.18 12.59 8 480.36 12.59 10 908.55 12.59 12 128.30 12.59 Dominasi Famili

Dalam pengamatan ditemukan 7 famili laba-laba, yang dapat dikelompokkan ke dalam 2 golongan yaitu laba-laba pemburu seperti Famili Lycosidae, Oxyopidae, Clubionidae dan laba-laba pembuat jaring seperti Famili Araneidae, Theriidae, Tetragnathidae, Linyphidae. Kelompok laba-laba pemburu lebih mendominasi komunitas laba-laba di pertanaman padi baik di pertanaman padi organik maupun konvensional terutama Famili Lycosidae (Gambar 5 dan Gambar 6).

Kelompok laba-laba pembuat jaring di lahan organik didominasi oleh Famili Linyphidae (Gambar 5), sedangkan kelompok laba-laba pembuat jaring di lahan konvensional didominasi oleh Famili Theriidae dan Linyphidae (Gambar 6).

Perlakuan Waktu pengamatan (MST) Rata-rata

4 6 8 10 12

Organik 0.025 0.160 0.189 0.490 0.229 0.218a Konvensional 0.006 0.044 0.068 0.062 0.051 0.046a

Perlakuan Waktu pengamatan (MST) Rata-rata

4 6 8 10 12

Organik 2.444 12.287 16.439 37.948 21.003 18.024a Konvensional 0.660 3.569 5.824 5.430 4.469 4.000b

10

Gambar 5 Kelimpahan famili laba-laba pada pertanaman padi organik di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

Gambar 6 Kelimpahan famili laba-laba pada pertanaman padi konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur Persebaran Laba-laba di Pertanaman Padi Organik dan Konvensional

Tabel 5 menunjukkan perbandingan kepadatan laba-laba di titik pengamatan dilihat dari waktu pengamatan pada lahan organik dan konvensional. Pada saat umur tanaman 4 MST lahan organik 1.6 laba-laba/titik pengamatan, sedangkan pada lahan konvensional 0.666 laba-laba/titik pengamatan. Pada saat umur tanaman 6 MST lahan organik 3.8 laba-laba/titik pengamatan sedangkan pada lahan konvensional 2.466 laba-laba/titik pengamatan, 8 MST lahan organik 4.066 laba-laba/titik pengamatan sedangkan pada lahan konvensional 2.933 laba-laba/ titik pengamatan. Pada saat umur tanaman 10 MST lahan organik 3.533 laba-laba/titik pengamatan sedangkan pada lahan konvensional 2.733 laba-laba/ titik pengamatan, dan umur tanaman 12 MST lahan organik 2.933 laba-laba/titik pengamatan sedangkan pada lahan konvensional 2.733 laba-laba/ titik pengamatan.

11

Perbandingan kepadatan laba-laba di titik pengamatan dilihat dari waktu pengamatan baik pada lahan organik maupun konvensional menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata tetapi jumlah laba-laba yang ditemukan di lahan organik lebih banyak dibandingkan di lahan konvensional.

Tabel 5 Populasi laba-laba di titik contoh pada tanaman padi organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur Umur (MST) Organik Rataan ± SE Konvensional Rataan ± SE 4 1.600 ± 1.919a 0.666 ± 0.666a 6 3.800 ± 1.971a 2.466 ± 0.899a 8 4.066 ± 1.387a 2.933 ± 1.505a 10 3.533 ± 2.199a 2.733 ± 2.250a 12 2.933 ± 1.980a 2.733 ± 2.374a a

Angka yang memiliki huruf yang sama dalam baris menunjukkan tidak ada perbedaan nyata berdasarkan uji Duncan, = 0.05.

Keanekaragaman Spesies

Pada pengamatan spesies di pertanaman padi organik dan konvensional ditemukan 13 spesies di pertanaman organik dan 12 spesies di pertanaman konvensional dapat dilihat pada lampiran 7. Jenis spesies yang ditemukan adalah Pardosa pseudoannulata, Pardosa birmanica, Enoplognatha ovate, Enoplognatha latimana, Theridion sp, Atypena adelinae, Atypena formosana, Erigone prominensis, Araneus inustus, Argiope catenulata, Tetragnatha javana, Oxyopes lineatipes, Clubiona japonicola. Kekayaan spesies laba-laba di padi konvensional dan organik tidak berbeda nyata, tetapi ada satu spesies yaitu Pardosa birmanica dimana dalam pengamatan hanya ditemukan di lahan organik. Kehadiran laba-laba di lahan pertanian dapat terjadi karena laba-laba-laba-laba tersebut berpencar secara pasif melalui udara dalam jarak dekat sampai jauh dari habitat sekitarnya dengan cara melayang maupun pergerakan aktif seperti berjalan diatas permukaan tanah (Bishop, Riechert 1990).

Berdasarkan indeks keanekaragaman spesies pada lahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan konvensional, dapat dilihat pada Tabel 6. Hal tersebut menunjukan bahwa populasi laba-laba di lahan organik lebih banyak dari lahan konvensional. Hal ini disebabkan oleh cara pengelolaan sawah yang berbeda antara sawah organik dan konvensional, sehingga mempengaruhi keberadaan laba-laba. Menurut Tulung (1999) populasi laba-laba pada sawah yang tidak diaplikasi dengan insektisida lebih banyak dari pada yang diaplikasi insektisida

Beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies pada sistem budidaya adalah keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi di sekitar pertanaman serta cara pengelolaan persawahan. Beragamnya vegetasi di sekitar persawahan turut berperan mempengaruhi keberadaan laba-laba pada persawahan (Hoerunnisa 2006).

12

Tabel 6 Kelimpahan dan keanekaragaman laba-laba pada pertanaman padi organik dan konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur

Perlakuan Petak

4 MST 6 MST 8 MST 10 MST 12 MST

famili Spesies H’ famili spesies H’ famili spesies H’ famili spesies H’ famili spesies H’

Organik 1 1 1 5.54 4 4 29.8 4 5 24.9 4 4 30.3 2 2 16.2 2 1 1 16.6 3 4 44.0 4 4 15.7 3 3 14.3 4 4 22.8 3 2 3 17.6 2 3 17.9 3 3 14.6 4 4 33.8 5 5 25.7 Konvensional 1 2 2 0 2 3 14.1 3 3 35.3 3 3 10.2 4 5 14.9 2 2 2 4.6 2 3 5.5 3 3 18.7 3 3 29.3 3 3 23.5 3 2 2 1.3 4 4 27.3 4 5 32.3 3 3 9.4 5 5 10.2

Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener

13

Dominasi Spesies

Dari 13 spesies yang ditemukan, spesies laba-laba yang paling banyak ditemukan atau mendominasi di lahan konvensional maupun organik adalah Pardosa pseudoannulata yang sering disebut sebagai laba-laba serigala. Pada Tabel 7 dapat dilihat populasi Pardosa pseudoanulata pada pertanaman padi konvensional dan organik, yaitu pada umur 8 MST populasi Pardosa pseudoanulata pada lahan organik berbeda nyata dengan populasi Pardosa pseudoanulata di lahan konvensional. Beberapa faktor yang mendukung tingginya dominasi spesies laba-laba yaitu laba-laba dapat menginvasi secara aktif dengan bergerak di permukaan tanah dan melayang dari habitat sekitar pertanaman, laba-laba secara aktif memburu mangsa tanpa membangun jaring dan ukuran tubuh yang relatif besar untuk melumpuhkan beragam ukuran mangsa (Tulung 1999).

Pardosa pseudoannulata memiliki ciri-ciri gambaran seperti garpu pada punggung sefalotoraks dan gambaran berupa garis atau bercak warna putih pada abdomen. Betina dewasa panjang tubuhnya 9.95 mm, sefalotoraks panjang 4.75 mm, lebar 4.00 mm dan tebal 3.00 mm, abdomen panjang 5.20 mm, lebar 5.00 mm, dan tebal 3.50 mm. Sefalotoraks berwarna kelabu coklat sampai kelabu gelap kecuali daerah mata, dibagian tengah terdapat gambaran-gambaran berbentuk garpu dan pita submarginal. Jantan panjang tubuhnya 6.80 mm, sefalotoraks panjang 3.80 mm, lebar 3.00 mm dan tebal 1.80 mm, abdomen panjang 3.20 mm, lebar 1.80 mm, tebal 1.70 mm. Seperti pada betina, di bagian tengah dan tepi sefalotoraks terdapat pita yang jelas (Barrion, Litsinger 1995). Pardosa pseudoannulata memangsa jenis serangga seperti wereng hijau, wereng batang coklat, penggerek batang padi kuning, jenis Collembola dan Diptera (Tulung 1999). Pardosa pseudoannulata berperan penting terhadap dinamika populasi hama putih palsu, Cnaphalocrosis medinalis Guen (Kumar, Singh, Pandey 1996). Tabel 7 Populasi Pardosa pseudoanulata pada pertanaman padi organik dan

konvensional di Desa Guyung, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur Umur (MST) Organik Rataan ± SE Konvensional Rataan ± SE 4 0.200 ± 0.414a 1.200 ± 1.521a 6 1.000 ± 1.253a 0.866 ± 1.187a 8 1.200 ± 0.676a 0.600 ± 0.828b 10 1.000 ± 0.845a 1.266 ± 0.990a 12 1.000 ± 1.000a 0.466 ± 1.187a a

Angka yang memiliki huruf yang sama dalam baris menunjukkan tidak ada perbedaan nyata berdasarkan uji Duncan, = 0.05.

14

Dokumen terkait