• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persentase mortalitas larva terinfeksi M. anisopliae

Hasil pengamatan terhadap persentase mortalitas larva O. rhinoceros yang terinfeksi cendawan M. anisopliae disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase mortalias larva terinfeksi M. anisopliae % mortalitas larva pada pengamatan minggu ke : Perlakuan

I II III IV V VI VII VIII

L0 0,2 0,40 1 2,5 3,17 4,00 5,83 7,00

L1 0,2 2,00 2,5 3,83 4,50 5,83 9,17 10,33

L2 0 1,33 2,17 3 5,67 7,17 9,83 11,83

L3 0,17 2,33 2,67 3,83 8,67 13,00 15,67 17,50

Hasil perhitungan dengan analisa statistika menunjukkan bahwa dari setiap perlakuan (L0,L1,L2 dan L3) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap persentase mortalitas larva O. rhinoceros (Tabel 2). Ini disebabkan karena sedikitnya larva yang bersinggungan dengan larva terinfeksi M. anisopliae, sedangkan Prayogo dkk., (2005) melaporkan infeksi M. anisopliae ke larva O. rhinoceros dapat terjadi apa bila ada kontak antara cendawan dan larva.

Larva O. rhinoceros sedikit bersinggungan dengan larva terinfeksi M. anisopliae disebabkan banyak larva yang keluar dari petak percobaan.

Keluarnya larva disebabkan adanya warga yang mencari jamur yang dapat ditukar dengan rupiah di sekitar tempat penelitian. Warga tersebut mencongkel petak penelitian mencari jamur tersebut sehingga larva yang ada di petak percobaan teganggu dan keluar dari petak percobaan.

Berkurangnya larva di petak percobaan dapat dilihat di Tabel 3, dimana jumlah larva sehat dari pengamatan selama 8 minggu berturut- turut banyak berkurang, sedangkan larva yang terinfeksi sangat sedikit.

Tabel 3. Persentase Larva sehat O. rhinoceros

% larva sehat pada pengamatan minggu ke : Perlakuan

I II III IV V VI VII VIII

L0 83,67 68,67 55,50 52,50 24,17 21,67 12,00 8,00

L1 93,17 65,83 58,33 55,50 28,50 25,33 10,00 10,00

L2 83,00 53,83 48,17 46,50 13,17 11,17 7,33 4,33

L3 87,83 61,50 53,50 51,17 20,17 17,50 12,50 9,67

Hasil pengamatan dilihat dari data persentase mortalitas tertinggi larva yang terinfeksi M. anisopliae (Tabel 2) terlihat pada perlakukan L3 (15 larva dilumuri M. anisopliae) sebanyak 17,5%, L2 (10 larva dilumuri M. anisopliae) sebanyak 11,83%, L1 (5 larva dilumuri M. anisopliae) sebanyak 10,33% dan yang terendah L0 (control) sebanyak 7%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin banyak larva terinfeksi dilepas ke lapangan maka akan semakin banyak larva sehat yang dapat diinfeksi.

Penelitian Susanto (2005) melaporkan pengendalian O. rhinoceros dengan M. anisopliae di laboratorium dapat menyebabkan mumifikasi larva sebesar

100%, ini sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan di lapangan larva

O. rhinoceros yang terinfeksi hanya 17,5%, hal ini terjadi karena di laboratorium

ruang gerak larva terbatas sehingga semua larva mengalami kontak dengan

M. anisopliae sedangkan di lapangan ruang gerak larva sangat luas sehingga

tidak semua larva terkena M. anisopliae

Hasil pengamatan menunjukkan gejala awal larva yang terinfeksi jamur M. anisopliae berupa bercak berwarna hitam seperti terbakar pada permukaan

bergerak lambat dan mati ± 10 hari setelah aplikasi dengan gejala tubuh mengeras dan seluruh permukaan tubuhnya diselimuti hifa putih yang merupakan hifa dari jamur tersebut, setelah 12 hari setelah aplikasi tubuh larva menjadi berwarna hijau keabu-abuan seperti beludru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Moslim dkk. (2007) yang mengatakan bahwa larva yang terinfeksi M. anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa.

Pada Gambar 12 dapat dilihat larva yang terinfeksi M. anisopliae tampak kaku dan keras dimana di tubuh larva terdapat koloni jamur berwarna putih, dan koloni jamur ini akan berubah menjadi warna hijau gelap, akibatnya larva mati dan tubuhnya mengeras seperti mumi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prayogo (2005) yang mengatakan bahwa semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.

A B C Gambar 12. Gejala larva O. rhinoceros yang terinfeksi jamur M. Anisopliae

Keterangan : A. Awal infeksi Jamur M, anisopliae B. lava terinfeksi jamur M. anisopliae 9 hsa

C. Larva yang terinfeksi 12 hsa Sumber: Foto Langsung

Faktor fisik juga berpengaruh terhadap keefektifan M. anisopliae di lapangan. Pada saat penelitian dilakukan keadaan suhu pada bulan Juni sampai Agustus stabil berada pada kisaran 22−270C (Lampiran 1) keadaan ini merupakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae. Akan tetapi keadaan kelembaban pada saat penelitian dilakukan tidak stabil, kelembaban berubah-ubah kadang berada di atas 86% dan ada kalanya berada di bawah 86% (Lampiran 1). Sehingga infeksi sedikit yang terjadi. Berdasarkan penelitian Prayogo (2005) patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86%. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%, konidia akan berkecambah dengan baik bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%.

Persentase Pupa yang Terbentuk.

Hasil pengamatan terhadap pupa O. rhinoceros yang terbentuk tidak ada

ditemukan yang terinfeksi M. anisopliae. Hal ini disebabkan karena pupa O. rhinoceros tidak bergerak dan berada di dalam tanah (Prawirosukarto, 2003)

sehingga sulit kontak dengan larva yang terinfeksi M. anisopliae yang berada di janjangan kosong kelapa sawit.

Gambar 13 : pupa O. rhinoceros Sumber: foto langsung

Tabel 4. Persentase pupa yang terbentuk

% pupa yang terbentuk pada pengamatan minggu ke : Perlakuan

I II III IV V VI VII VIII

L0 0,17 0,17 0,33 0,83 0,83 1,50 2,33 2,67

L1 0,17 0,33 2,00 2,83 2,83 3,17 3,33 3,33

L2 0,00 3,00 4,83 5,33 5,33 5,67 5,67 5,67

L3 0,00 2,00 4,00 4,50 4,50 4,67 5,00 5,17

Tabel 4 menunjukkan pada pengamatan I sudah terbentuk pupa. Pupa yang paling banyak ditemukan pada pengamatan terakhir yaitu pada perlakuan L2 yaitu mencapai 5,67 % dan yang terendah pada L0 2,67. Terbentuknya pupa disebabkan karena larva yang digunakan pada penelitian ini adalah larva instar III yang diambil dari lapangan, dan dari larva instar III ini mempunyai usia yang berbeda-beda sehingga terbentuknya pupa berberbeda-beda-berbeda-beda waktunya. Sedikinya pupa yang terbentuk dipengaruhi oleh banyaknya larva yang keluar dari petak tercobaan dan adanya larva yang terinfeksi M. anisopliae. Larva yang terinfeksi mengeras dan tidak dapat memasuki tahap pupa.

Persentase Imago yang keluar dari pupa

Hasil pengamatan ditemukan imago O. rhinoceros yang terinfeksi M. anisopliae, hal ini disebabkan karena imago yang baru keluar dari kokonnya

tidak langsung terbang, sehingga larva yang terinfeksi M. anisopliae dapat menulari imago tersebut. Prawirosukarto (2003) mengatakan bahwa pupa berada di dalam tanah dan berada di dalam kokon yang terbuat dari bahan- bahan organik di sekitar tempat hidupnya. Kumbang yang keluar dari kokon tetap tinggal di tempatnya antara 5- 20 hari.

Gambar 14: imago yang terin Sumber: foto langsung Sumber: foto langsung

Imago yang terinfeksi M. anisopliae ditandai dengan adanya hifa putih yang menyelimuti permukaan tubuh imago tersebut (Gambar 14). Imago yang terinfeksi M. anisopliae tidak aktif bergerak dan akhirnya mati. Seterusnya hifa putih tersebut menjadi berwarna hijau keabu-abuan. Berikut merupakan data persentase imago yang keluar dari kokon.

Tabel 5. Persentase imago yang keluar dari pupa

% imago yang keluar dari pupa pada pengamatan minggu ke : Perlakuan

I II III IV V VI VII VIII

L0 0,00 0,83 1,00 1,50 1,83 2,17 3,00 3,33

L1 0,00 0,67 0,83 0,83 1,33 1,50 2,17 2,33

L2 0,00 0,00 0,33 0,50 1,17 1,33 1,33 1,83

L3 0,00 0,00 0,00 0,33 0,83 1,00 1,67 2,00

Table 5 menunjukkan bahwa imago yang paling banyak keluar dari kokon adalah pada perlakuan L0 (kontrol) 3,33 % dan terendah pada perlakuan L2 (10 larva dilumuri M. anisopliae) yaitu 1,83 %. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan umur larva instar III yang digunakan dan adanya pengaruh infeksi M. anisopliae pada larva. Karena semakin panjang usia larva instar III yang

digunakan maka semakin lama membentuk pupa dan keluar sebagai imago. Imago yang keluar dari kokon (Tabel 5) sangat sedikit karena jumlah larva yang berada di petak percobaan banyak yang keluar dari petak percobaan.

KESIMPULAN

Kesimpulan

1. Larva O. rhinoceros mempunyai kemampuan menularkan M.anisopliae ke larva sehat lainnya.

2. Larva O. rhinoceros terinfeksi ± 9 hari setelah aplikasi dan 12 hari setelah aplikasi larva mati dengan tubuh larva berwarna hijau.

3. Larva O. rhinoceros terinfeksi paling banyak terdapat pada perlakukan L3 (15 larva dilumuri M. anisopliae) sebesar 17,5 % dan yang terendah pada perlakuan L0 (kontrol) sebesar 7 %

4. Tidak ditemukan pupa yang terinfeksi oleh M. anisopliae sedangkan imago O. rhinoceros ada yang terinfeksi.

5. Hasil penelitian antara setiap perlakukan tidak berbeda nyata.

Dokumen terkait