KEMAMPUAN LARVA ORYCTES RHINOCEROS (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) MENULARKAN CENDAWAN METARHIZIUM
ANISOPLIAE KE LARVA
SEHAT DI PERTANAMAN KELAPA SAWIT
SKRIPSI
OLEH
PERABU JAYA SITEPU 040302004/ HPT
DEPARTEMEN ILMU HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEMAMPUAN LARVA Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) MENULARKAN CENDAWAN Metarhizium anisopliae KE LARVA
SEHAT DI PERTANAMAN KELAPA
SAWIT
SKRIPSI
OLEH
PERABU JAYA SITEPU 040302004
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Di Depertemen Hama Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh : KOMISI PEMBIMBING
Ketua Anggota
(Dr. Dra. M. Cyccu Tobing, MS) (Ir. Yuswani P. Ningsih, MS) 130535854 130535822
Anggota
(Ahmad P. Dogoran, SP)
DEPARTEMEN ILMU HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat- Nya penulis dapat menyesesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Skripsi ini berjudul Kemampuan Oryctes rhinoceros L. ( Coleoptera: Scarabaeidae) Menularkan Jamur Metarhizium anisopliae ke Larva Sehat di Pertanaman Kelapa Sawit. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing : Dr. Dra. M. Cyccu Tobing, MS selaku Ketua, Ir. Yuswani P. Ningsih, MS dan Ahmad P. Dongoran, SP selaku Anggota yang
telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsil ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga proposal ini bemanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Medan, Feberuari 2009
ABSTRACT
ABSTRAK
DAFTAR ISI
Biologi Kumbang Tanduk ( O. rhinoceros L.………….. 6Gejala Serangan……… 8 Kemampuan O. rhinoceros menularkan M. anisopliae……… 18
Persentase Mortalitas larva terinfeksi M. anisopliae………. 20
Persentase Larva mati bukan karena terinfeksi M. anisopliae……… 23
DAFTAR GAMBAR
No. Judul
Halaman
1. Larva, pupa dan imago O. rhinoceros 6
2. Telur O. rhinoceros 6
3. Larva O. rhinoceros 7
4. Pupa O. rhinoceros 8
5. Imago O. rhinoceros 8
6. Gejala Serangan 9
7. Formulasi butiran M. anisopli
8. Larva yang diambil dari lapangan 15 9. Petakan sample penelitian ( 1mx 1m ) 16
10. Larva dilumuri M. anisopliae 16 11. Gejala larva O. rhinoceros yang terinfeksi jamur M. anisopliae
12. Pupa O. rhinoceros 23
13. Imago yang terinfeksi M. anisopliae 24
DAFTAR TABEL
No. Judul
Halaman
1. Negara penghasil kelapa sawit 2 2. Rataan persentase mortalias larva terinfeksi M.anisopliae 20 3. Data kematian larva mati yang bukan terinfeksi M. Anisopli 23
4. Persentase Pupa 23
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit sangat bermanfaat bagi kehidupan kita, karena kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai produk seperti : minyak goreng, mentega, sabun, arang, kertas, pupuk, kompos, perabot, dan papan (Basiron,1990; Derris, 2007).
Malaysia merupakan produsen minyak sawit nomor satu di dunia dengan luas lahan kelapa sawit 3,7 juta ha dapat menghasilkan 16,05 juta ton CPO, diikuti Indonesia dengan luas lahan kelapa sawit 5,24 juta hektar menghasilkan 15,90 juta ton CPO. Melihat luasnya lahan kelapa sawit di Indonesia sudah seharusnya pemasok CPO nomor satu di dunia tetapi
produktivitas kebun sawit Indonesia masih kalah dengan Malaysia (Lioe, 2007; Direktorat Jendral Perkebunan, 2007).
Tabel 1. Negara produsen minyak sawit dunia
Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Malaysia Produksi (Juta ton) 11.80 11.90 13.35 13.98 14.96 16.05
Persentase (%) 48.54 46.41 47.56 45.60 44.76 43.49
Indonesia Produksi (Juta ton) 8.40 9.62 10.44 12.23 13.10 15.90
Persentase (%) 34.55 37.49 37.19 39.89 39.23 43.09%
Lainnya Produksi (Juta ton) 4.11 4.13 4.28 4.45 5.35 4.95
Persentase (%) 16.91 16.10 15.25 14.51 16.01 13.4%
Dunia Produksi (Juta ton) 24.31 25.66 28.07 30.66 33.42 36.90
Persentase (%) 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : World Oil 2006
Beberapa hama yang menyerang kelapa sawit adalah : Setora nitens, Oryctes rhinoceros, ngengat Tirathaba mundella, Valanga nigricornis,
Rhadinaphelenchus cocophilus, Pimelephila ghesquierei, Metisa plana,
Mahasena corbetti, babi hutan, kera, dan gajah (Darmadi, 2008).
Kumbang tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan hama utama yang menyerang tanaman kelapa sawit di Indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit. O. rhinoceros menggerek pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehingga mematikan tanaman (Susanto, 2005).
Masalah O. rhinoceros saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong kelapa sawit pada gawang maupun pada sistem lubang tanam besar. Pada sistem lubang tanam besar bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas kelapa sawit. Menurut Sutarta dkk., (2005), tandan kosong kelapa sawit mengandung unsur hara utama N, P, K dan Mg. Tandan kosong kelapa sawit yang diaplikasikan setelah membusuk akan menjadi tempat perkembangan kumbang tanduk dan dapat langsung menyerang tanaman muda hasil peremajaan. Larva O. rhinoceros yang ditemukan pada lubang tanam besar ukuran 3.0 X 3.0 X 0.8 m dengan tandan kosong kelapa sawit 400kg/lubang/tahun sekitar 200 larva per dua minggu (Susanto, 2005).
Pencegahan perkembangan O. rhinoceros dapat dilakukan dengan menanam tanaman penutup tanah misalnya Mucuna sp. sehingga hal ini akan mempersulit O. rhinoceros untuk meletakkan telur (Prawirosukarto dkk., 2003).
Pengendalian O. rhinoceros dengan perangkap feromon sintetik (bahan
aktif ethyl 4-methyl oktanaoat) yang dilakukan BPTP Sumut bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Marihat pada tahun 2003, dapat menangkap O. rhinoceros dalam jumlah besar yang mencapai rata-rata 25 ekor /minggu/perangkap. Schmaedick (2005) mengatakan, bahan kimia atraktan ethy-4 methyloctanoate telah digunakan sebagai perangkap untuk menarik dan mengendalikan O. rhinoceros. Secara hayati pengendalian O. rhinoceros dapat dilakukan dengan menggunakan M. anisopliae dan Baculovirus oryctes. (Winarto, 2005 dan Direktorat Jendral Perkebunan, 2007).
M. anisopliae dikenal baik kemampuanya untuk mengendalikan serangan
hama yang telah dikembangkan dalam produk komersil untuk digunakan di beberapa Negara antara lain Green Muscle untuk mengendalikan belalang di Afrika (Kabaluk dkk., 2001).
M. anisopliae dapat menginfeksi larva dan imago O. rhinoceros, berbeda
dengan feromon sintetik agregat etil 4-metil oktanoat yang hanya menarik imago O. rhinoceros. Populasi larva O. rhinoceros meningkat dengan adanya aplikasi
tandan kosong kelapa sawit, larva O. rhinoceros berperan dalam menyebarkan M. anisopliae, hal ini disebabkan O. rhinoceros sangat aktif berpindah tempat
(Susanto, 2005).
Pengendalian kumbang tanduk pada tandan kosong kelapa sawit di sistem
Purba dkk. (1999), tandan kosong kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan penarik untuk memerangkap O. rhinoceros. Penelitian Sudharto dan Susanto
melaporkan bahwa M. anosipleae dengan dosis 20 gram/m2 dapat mengendalikan O. rhinoceros pada mulsa tandan kosong kelapa di gawangan. Hasil penelitian di
laboratorium, M. anisopliae dapat menyebabkan mumifikasi larva 100%, dengan
kematian larva O. rhinoceros terlihat dalam waktu 2-4 minggu setelah aplikasi
(Susanto, 2006). Namun belum diketahui sampai saat ini larva O. rhinoceros yang dilumuri dengan M. anisopliae dapat menularkan patogen tersebut ke lava sehat, Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian pengendalian O. rhinoceros dengan M. anisopliae, dengan cara melumuri larva O. rhinoceros dengan M. anisopliae kemudian dilepas ke pertanaman kelapa sawit.
Hipotesis Penelitian
Diduga larva O. rhinoceros yang terkontaminasi dengan M. anisopliae mampu menjadi penular cendawan entomopatogen tersebut ke larva sehat lainnya.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui peranan larva O. rhinoceros serta kemampuannya untuk menularkan M. anisopliae ke larva O. rhinoceros yang lainnya.
Kegunaan Penelitian
• Sebagai bahan informasi bagi pihak yang yang membutuhkan
• Sebagai salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Kumbang Tanduk (Coleoptera: Scarabaeidae)
O. rhinoceros disebut dengan nama kumbang nyiur, atau kumbang kelapa
ataupun dengan sebutan yang sesuai dengan betuknya yang mirip badak kecil, yaitu kumbang badak (Morin, 1996).
Gambar 1. Larva- pupa- imago O. rhinoceros
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Rhinoceros_beetle
Kumbang tanduk betina bertelur pada bahan-bahan organik seperti di tempat sampah, daun-daunan yang telah membusuk, pupuk kandang, batang kelapa, kompos, dan lain-lain. Siklus hidup kumbang ini antara 4-9 bulan, namun pada umumnya 4,7 bulan. Jumlah telur 30-70 butir atau lebih, dan menetas setelah lebih kurang 12 hari. Telur berwarna putih dengan garis tengah lebih kurang 3 mm, sebelum menetas membengkak berwarna keabuan (Vandaveer, 2004).
Gambar 2. Telur O. rhinoceros
Larva O. rhinoceros berkaki 3 pasang, larva ini segera akan memakan bagian tanaman yang masih ada serta bahan organik yang ada didekatnya. Tahap larva terdiri dari tiga instar, masa larva instar satu 12-21 hari, instar dua 12-21 hari dan instar tiga 60-165 hari. Larva terakhir mempunyai ukuran 10-12 cm, larva dewasa berbentuk huruf C, kepala dan kakinya berwarna coklat (Mohan, 2006). Larva berwarna putih, berbentuk silender, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran. Kepala keras dilengkapi dengan rahang yang kuat. Larva berkembang pada kayu lapuk, kompos, dan hampir semua bahan organik yang membusuk. Batang kelapa sawit dan kelapa yang membusuk adalah tempat yang baik untuk tempat hidup larva ini (Prawirosukarto dkk., 2003).
Gambar 3. Larva O. rhinoceros Sumber: Foto Langsung
Gambar 4. Pupa O. rhinoceros. Sumber: Foto Langsung
Imago berwarna hitam, ukuran tubuh 35-45 mm, sedangkan menurut
Mohan (2002) imago O. rhinoceros mempunyai panjang 30-57 mm dan lebar 14-21 mm, imago jantan lebih kecil dari imago betina. O. rhinoceros betina mempunyai bulu tebal pada bagian ujung abdomennya, sedangkan yang jantan tidak berbulu. O. rhinoceros dapat terbang sampai sejauh 9 km (Prawirosukarto dkk., 2003).
Gambar 5. Imago O. rhinoceros. Sumber: Foto Langsung
Gejala Serangan Oryctes rhinoceros
menghasilkan. O. rhinoceros ini dapat merusak pertumbuhan tanaman dan dapat mengakibatkan tanaman mati (Chong dkk., 1991).
Gambar 6 : Gejala Serangan Sumber : http://.wikimedia.org
Hama ini biasanya berkembang biak pada tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan, yang banyak dijumpai pada kedua areal tersebut. Kumbang dewasa akan menggerek pucuk kelapa sawit. Gerekan tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan jika sampai merusak titik tumbuh akan dapat mematikan tanaman. Pada areal peremajaan kelapa sawit, serangan kumbang tanduk dapat mengakibatkan tertundanya masa produksi kelapa sawit sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Akhir-akhir ini, serangan kumbang tanduk juga dilaporkan terjadi pada tanaman kelapa sawit tua sebagai akibat aplikasi mulsa tandan kosong sawit (TKS) yang tidak tepat (lebih dari satu lapis). Serangan hama tersebut menyebabkan produksi tanaman kelapa sawit menurun dan dapat menyebabkan tanaman kelapa sawit mati (Winarto, 2005).
Kumbang tanduk hinggap pada pelepah daun yang agak muda, kemudian
nantinya membuka pelepah daunnya akan kelihatan seperti kipas atau bentuk lain yang tidak normal (Prawirosukarto dkk., 2003).
Metode Pengendalian
Pemantauaan populasi. Pemantauan populasi hama ini dilakukan secara teratur setiap bulan terhadap 15% dari jumlah keseluruhan tanaman (setiap 6 baris diambil 1 baris sebagai contoh).
Padat populasi kritis. Selama periode 2 tahun pertama setelah kelapa sawit dipindahkan ke lapangan, apabila ditemukan 3-5 ekor O. rhinoceros/ha, maka pengendalian harus dilakukan. Pada kelapa sawit yang berumur lebih dari dua tahun padat kritisnya 15- 20 ekor/ha.
Tindakan pengendalian dapat dilakukan beberapa cara, yaitu :
• Pengumpulan O. rhinoceros secara langsung dari lubang gerekan pada
kelapa sawit dengan menggunakan alat kait berupa kawat. Tindakan ini dilakukan setiap tiga bulan bila populasi 3- 5 ekor/ha, tiap 2 minggu jika populasi 5- 10 ekor, dan setiap minggu pada populasi O. rhinoceros lebih dari 10 ekor.
• Penghancuran tempat peletakan telur dan dilanjutkan dengan
pengumpulan larva untuk dibunuh apabila jumlahnya masih terbatas.
• Larva O. rhinoceros pada mulsa tandan kosong kelapa sawit di areal
• Pemerangkapan O. rhinoceros menggunakan fetotrap, berupa feromon
sintetik (Etil- 4 metil oktanoate) yang digantungkan dalam ember plastik kapasitas 12 liter.
• Menggunakan kimiawi, yaitu dengan menaburkan insektisida butiran
Karbosulfan sebanyak 0,05- 0,10 g bahan aktif /pohon setiap 1-2 minggu. (Prawirosukarto dkk., 2003).
Karateristik M. anisopliae ( Metch) Sorokin.
M. anisopliae merupakan salah satu cendawan entomopatogen yang
termasuk dalam devisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan ini biasa disebut dengan green muscardine fungus dan tersebar luas di seluruh dunia. M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agen hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera. Cendawan ini pertama kali digunakan untuk mengendalikan hama kumbang kelapa lebih dari 85 tahun yang lalu, dan sejak itu digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia (Prayogo dkk., 2005).
Gambar 7 : Formulasi butiran M. anisopliae. Sumber : Foto Langsung
parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman (Prayogo dkk., 2005).
Larva yang di infeksi M. anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa (Moslim dkk., 2007).
Fakrtor- Faktor yang Mempengaruhi Ketektifan M. anisopliae
Pada umumya suhu optimum cendawan entomopatogen untuk perkembangan dan pertumbuhannya, daya menyebabkan penyakit dan bertahan hidup di alam adalah antara 0-30oC. Umumnya temperatur di atas 350C menghambat pertumbuhan dan perkembangan dari jamur entomopatogen. Konidia M. amosopliae mempunyai titik kematian pada suhu panas 400C selama 15 menit. Dibawah 40C sel- sel cendawan biasanya bertahan hidup namun jarang berkembang. Jamur entomopatogen pada umumnya dapat mentoleransi kisaran yang luas dari konsenterasi ion hidrogen antara pH 5-10 dengan pH optimum sekitar 7 (McCoy dkk., 2005) .
Keefektipan cendawan entomoparogen dipengaruhi oleh waktu aplikasi. Setelah diaplikasi, cendawan entomoparogen membutuhkan kelembaban yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Kelembaban udara yang tinggi dibutuhkan pada saat pembentukan tabung kecambah (germ tube), sebelum terjadi penetrasi ke integument serangga. Kelembapan di atas 90% selama 6- 12 jam setelah inokulasi dibutuhkan cendawan untuk melakukan penetrasi di dalam tubuh serangga. Cendawan entomopatogen sangat rentan terhadap sinar matahari khususnya sinar ultra violet. Oleh karena itu aplikasi cendawan pada musim kemarau perlu dihindari dan sebaiknya aplikasi dilakukan pada saat kelembaban tinggi (Prayogo dkk., 2005).
Mekanisme Infeksi M. anisopliae
Mekanisme infeksi M. anisopliae dikelompokkan atas 4 tahap, yaitu : 1. Inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga.
Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak sempurna.
2. Proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga.
3. Penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.
menyerang jaringan lainnya. Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh M. anisopliae, yaitu lipase, khitinase, amilase, proteinase, pospatase, dan esterase. Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan penyerangan jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ reproduksi. Pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi (Prayogo dkk., 2005).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit PTPN III Kebun Dusun Ulu Simalungun, dengan ketinggian ± 350 m di atas permukaan laut. Penelitian berlangsung dari bulan Mei sampai bulan Agustus 2008.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva O. rhinoceros yang sehat, isolat jamur M. anisopliae diformulasikan dalam bentuk granular dengan bahan pembawanya berupa zeolit, dan tandan kosong kelapa sawit.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah garuk besar, cangkul, ember berdiameter 24 cm, 30 cm dan 50 cm serta timbangan.
Metodologi Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok ( RAK) dengan 4 perlakuan yaitu :
L0 = Kontrol (tanpa perlakuan)
L1 = 5 larva (instar 3) O. rhinoceros dilumuri jamur M. anisopliae L2=10 larva (instar 3) O. rhinoceros dilumuri jamur M. anisopliae L3 =15 larva (instar 3) O. rhinoceros dilumuri jamur M. anisopliae Jumlah Perlakuan (t) = 4
Jumlah Ulangan (r) = enam (t-1) (r-1) ≥ 15
3r-3 ≥ 15 3r ≥ 18 r = 6
Metode linier yang digunakan adalah : Yij = µ + i + j + ∑ij Keterangan :
Yij = Respon atau nilai pengamatan dari blok ke-i dengan ulangan ke-j µ = Nilai rata- rata umum
i = Perlakuan blok ke –i
j = Pengaruh ulangan dari ulangan ke-j
∑ij=Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Kemudian data diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji perbandingan nilai tengah Duncan pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Penelitiaan
Persiapan Larva
Larva O. rhinoceros instar 3 yang sehat diambil dari lapangan sebanyak 2400 ekor, kemudian dimasukkan ke dalam ember plastik sebagai wadah sementara yang berisi media organik sebagai sumber bahan makanan sebelum diintroduksi.
Persiapan Gawangan Kelapa Sawit
• Ditentukan gawangan kelapa sawit yang menjadi sampel sebanyak 24
petak dengan ukuran 1 m x 1 m yang diatasnya terdapat tandan kosong kelapa sawit setebal 2 lapis dengan jarak antar petak 2 m.
• Dimasukkan 100 larva sehat O. rhinoceros pada setiap petak gawang dari
masing- masing perlakuan.
Gambar 10: petakan sample penelitian ( 1mx 1m ) Sumber: Foto Langsung
Aplikasi jamur Metarhizium anisopliae
• Disiapkan jamur M. anisopliae dengan dosis 20 g/m2. Jamur tersebut
dituangkan ke sebuah ember berdiameter 50 cm yang berisi larva instar III O. rhinoceros.
• Setelah larva dilumuri jamur M. anisopliae, kemudian dilepas ke lubang
tanam kelapa sawit masing- masing sesuai perlakuan
Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan interval 1 minggu sekali selama 8 minggu berturut- turut, dengan menghitung jumlah larva yang terserang jamur entomopatogen dan menghitung jumlah pupa sehat dan terinfeksi.
Peubah Amatan
Persentase Mortalitas larva O. rhinoceros terinfeksi M. anisopliae
Persentase mortalitas larva dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
P = b a
x 100 %
Keterangan :
P = Persentase mortalitas larva
a = Jumlah larva yang terinfeksi M. anisopliae b = Jumlah larva yang diamati
Persentase Larva O. rhinoceros sehat
• Pengamatan terhadap larva sehat dihitung dengan rumus :
P = b a
x 100 %
Keterangan :
P = Persentase jumlah larva sehat a = Jumlah larva sehat
Persentase pupa yang terbentuk O. rhinoceros
• Pengamatan terhadap pupa dihitung dengan rumus :
P = b a
x 100 %
Keterangan :
P = Persentase jumlah pupa a = Jumlah pupa
b = Jumlah larva yang diamati
Persentase imago yang keluar dari pupa O. rhinoceros
• Pengamatan terhadap imago O.rhinoceros dihitung dengan rumus :
P = b a
x 100 %
Keterangan :
P = Persentase jumlah imago a = Jumlah imago
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase mortalitas larva terinfeksi M. anisopliae
Hasil pengamatan terhadap persentase mortalitas larva O. rhinoceros yang terinfeksi cendawan M. anisopliae disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase mortalias larva terinfeksi M. anisopliae % mortalitas larva pada pengamatan minggu ke : Perlakuan
I II III IV V VI VII VIII
L0 0,2 0,40 1 2,5 3,17 4,00 5,83 7,00
L1 0,2 2,00 2,5 3,83 4,50 5,83 9,17 10,33
L2 0 1,33 2,17 3 5,67 7,17 9,83 11,83
L3 0,17 2,33 2,67 3,83 8,67 13,00 15,67 17,50
Hasil perhitungan dengan analisa statistika menunjukkan bahwa dari setiap perlakuan (L0,L1,L2 dan L3) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap persentase mortalitas larva O. rhinoceros (Tabel 2). Ini disebabkan karena sedikitnya larva yang bersinggungan dengan larva terinfeksi M. anisopliae, sedangkan Prayogo dkk., (2005) melaporkan infeksi M. anisopliae ke larva O. rhinoceros dapat terjadi apa bila ada kontak antara cendawan dan larva.
Larva O. rhinoceros sedikit bersinggungan dengan larva terinfeksi M. anisopliae disebabkan banyak larva yang keluar dari petak percobaan.
Berkurangnya larva di petak percobaan dapat dilihat di Tabel 3, dimana jumlah larva sehat dari pengamatan selama 8 minggu berturut- turut banyak berkurang, sedangkan larva yang terinfeksi sangat sedikit.
Tabel 3. Persentase Larva sehat O. rhinoceros
% larva sehat pada pengamatan minggu ke : Perlakuan
I II III IV V VI VII VIII
L0 83,67 68,67 55,50 52,50 24,17 21,67 12,00 8,00
L1 93,17 65,83 58,33 55,50 28,50 25,33 10,00 10,00
L2 83,00 53,83 48,17 46,50 13,17 11,17 7,33 4,33
L3 87,83 61,50 53,50 51,17 20,17 17,50 12,50 9,67
Hasil pengamatan dilihat dari data persentase mortalitas tertinggi larva yang terinfeksi M. anisopliae (Tabel 2) terlihat pada perlakukan L3 (15 larva dilumuri M. anisopliae) sebanyak 17,5%, L2 (10 larva dilumuri M. anisopliae) sebanyak 11,83%, L1 (5 larva dilumuri M. anisopliae) sebanyak 10,33% dan yang terendah L0 (control) sebanyak 7%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin banyak larva terinfeksi dilepas ke lapangan maka akan semakin banyak larva sehat yang dapat diinfeksi.
Penelitian Susanto (2005) melaporkan pengendalian O. rhinoceros dengan M. anisopliae di laboratorium dapat menyebabkan mumifikasi larva sebesar
100%, ini sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan di lapangan larva
O. rhinoceros yang terinfeksi hanya 17,5%, hal ini terjadi karena di laboratorium
ruang gerak larva terbatas sehingga semua larva mengalami kontak dengan
M. anisopliae sedangkan di lapangan ruang gerak larva sangat luas sehingga
tidak semua larva terkena M. anisopliae
Hasil pengamatan menunjukkan gejala awal larva yang terinfeksi jamur M. anisopliae berupa bercak berwarna hitam seperti terbakar pada permukaan
bergerak lambat dan mati ± 10 hari setelah aplikasi dengan gejala tubuh mengeras dan seluruh permukaan tubuhnya diselimuti hifa putih yang merupakan hifa dari jamur tersebut, setelah 12 hari setelah aplikasi tubuh larva menjadi berwarna hijau keabu-abuan seperti beludru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Moslim dkk. (2007) yang mengatakan bahwa larva yang terinfeksi M. anisopliae dicirikan ketika ada perubahan warna menjadi kecoklatan atau hitam pada kutikula serangga. Infeksi selanjutnya terjadi ketika serangga yang mati menjadi lebih keras dan akhirnya ditutupi oleh hifa dari jamur yang kemudian berubah menjadi hijau sesuai dengan spora yang menjadi dewasa.
Pada Gambar 12 dapat dilihat larva yang terinfeksi M. anisopliae tampak kaku dan keras dimana di tubuh larva terdapat koloni jamur berwarna putih, dan koloni jamur ini akan berubah menjadi warna hijau gelap, akibatnya larva mati dan tubuhnya mengeras seperti mumi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Prayogo (2005) yang mengatakan bahwa semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi.
A B C Gambar 12. Gejala larva O. rhinoceros yang terinfeksi jamur M. Anisopliae
Keterangan : A. Awal infeksi Jamur M, anisopliae B. lava terinfeksi jamur M. anisopliae 9 hsa
Faktor fisik juga berpengaruh terhadap keefektifan M. anisopliae di lapangan. Pada saat penelitian dilakukan keadaan suhu pada bulan Juni sampai Agustus stabil berada pada kisaran 22−270C (Lampiran 1) keadaan ini merupakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae. Akan tetapi keadaan kelembaban pada saat penelitian dilakukan tidak stabil, kelembaban berubah-ubah kadang berada di atas 86% dan ada kalanya berada di bawah 86% (Lampiran 1). Sehingga infeksi sedikit yang terjadi. Berdasarkan penelitian Prayogo (2005) patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86%. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%, konidia akan berkecambah dengan baik bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%.
Persentase Pupa yang Terbentuk.
Hasil pengamatan terhadap pupa O. rhinoceros yang terbentuk tidak ada
ditemukan yang terinfeksi M. anisopliae. Hal ini disebabkan karena pupa O. rhinoceros tidak bergerak dan berada di dalam tanah (Prawirosukarto, 2003)
sehingga sulit kontak dengan larva yang terinfeksi M. anisopliae yang berada di janjangan kosong kelapa sawit.
Tabel 4. Persentase pupa yang terbentuk
% pupa yang terbentuk pada pengamatan minggu ke : Perlakuan
I II III IV V VI VII VIII
L0 0,17 0,17 0,33 0,83 0,83 1,50 2,33 2,67
L1 0,17 0,33 2,00 2,83 2,83 3,17 3,33 3,33
L2 0,00 3,00 4,83 5,33 5,33 5,67 5,67 5,67
L3 0,00 2,00 4,00 4,50 4,50 4,67 5,00 5,17
Tabel 4 menunjukkan pada pengamatan I sudah terbentuk pupa. Pupa yang paling banyak ditemukan pada pengamatan terakhir yaitu pada perlakuan L2 yaitu mencapai 5,67 % dan yang terendah pada L0 2,67. Terbentuknya pupa disebabkan karena larva yang digunakan pada penelitian ini adalah larva instar III yang diambil dari lapangan, dan dari larva instar III ini mempunyai usia yang berbeda-beda sehingga terbentuknya pupa berberbeda-beda-berbeda-beda waktunya. Sedikinya pupa yang terbentuk dipengaruhi oleh banyaknya larva yang keluar dari petak tercobaan dan adanya larva yang terinfeksi M. anisopliae. Larva yang terinfeksi mengeras dan tidak dapat memasuki tahap pupa.
Persentase Imago yang keluar dari pupa
Hasil pengamatan ditemukan imago O. rhinoceros yang terinfeksi M. anisopliae, hal ini disebabkan karena imago yang baru keluar dari kokonnya
Gambar 14: imago yang terin Sumber: foto langsung Sumber: foto langsung
Imago yang terinfeksi M. anisopliae ditandai dengan adanya hifa putih yang menyelimuti permukaan tubuh imago tersebut (Gambar 14). Imago yang terinfeksi M. anisopliae tidak aktif bergerak dan akhirnya mati. Seterusnya hifa putih tersebut menjadi berwarna hijau keabu-abuan. Berikut merupakan data persentase imago yang keluar dari kokon.
Tabel 5. Persentase imago yang keluar dari pupa
% imago yang keluar dari pupa pada pengamatan minggu ke : Perlakuan
I II III IV V VI VII VIII
L0 0,00 0,83 1,00 1,50 1,83 2,17 3,00 3,33
L1 0,00 0,67 0,83 0,83 1,33 1,50 2,17 2,33
L2 0,00 0,00 0,33 0,50 1,17 1,33 1,33 1,83
L3 0,00 0,00 0,00 0,33 0,83 1,00 1,67 2,00
Table 5 menunjukkan bahwa imago yang paling banyak keluar dari kokon adalah pada perlakuan L0 (kontrol) 3,33 % dan terendah pada perlakuan L2 (10 larva dilumuri M. anisopliae) yaitu 1,83 %. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan umur larva instar III yang digunakan dan adanya pengaruh infeksi M. anisopliae pada larva. Karena semakin panjang usia larva instar III yang
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Larva O. rhinoceros mempunyai kemampuan menularkan M.anisopliae ke larva sehat lainnya.
2. Larva O. rhinoceros terinfeksi ± 9 hari setelah aplikasi dan 12 hari setelah aplikasi larva mati dengan tubuh larva berwarna hijau.
3. Larva O. rhinoceros terinfeksi paling banyak terdapat pada perlakukan L3 (15 larva dilumuri M. anisopliae) sebesar 17,5 % dan yang terendah pada perlakuan L0 (kontrol) sebesar 7 %
4. Tidak ditemukan pupa yang terinfeksi oleh M. anisopliae sedangkan imago O. rhinoceros ada yang terinfeksi.
5. Hasil penelitian antara setiap perlakukan tidak berbeda nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Basiron. 1990. Manfaat dan Keungulan Kelapa Sawit. Buletin Perkebunan juni 1990. 21(2): 113-117.
Chong, K.K., A.C.Peter., H.C. Tuck, 1991. Crop Pest And Their Management In Malaysia. Tropical Press Sdn. Kualalumpur, Malaysia.p.55 – 57.
Darmadi. 2008. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit. www.google.com. Diakses pada 19 February 2008.
Direktorat Jendral Perkebunan, 2007. Luas Kelapa Sawit Indosesia 2007.
http://infosawit.iopri.org/files/data%20sawit%20Indonesia%202006.doc.
Diakses pada 19 February 2008.
Derris. T, 2007. Kelapa Sawit. http://ms.wikipedia.org/wiki/sawit. Diakses pada 18 April 2008.
Isroi. 2004. Bioteknologi Mikroba untuk Pertanian Organik. Peneliti Mikroba Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. http://www.google.co.id. Diakses pada 19 February 2008.
Kabaluk, T., M. Goettel, B. Vernon and C. Noronha. 2001. Evaluation of Metarrhizium anisopliae as a biological control for wireworm. Pacific Agri-Food Research centre Lethbridge Research centre London. http;//www.organicagcentre.ca/Research.Database./resboil
ctrlwireworms.html. diakses pada 19 February 2008.
Lioe. U., 2007.Prospek Perkebunan Dan Industri Minyak Sawit di Indonesia 2006-2020 Edisi ke 2.Bisinfocus, Tanggerang- Indonesia.
Loring, D.A., 2007.Competitive Testing of SLPLAT-RB ( Oryctes rhinoceros ) Male Aggregation Peromone- Mass Trapping In Oil Palm And Coconout Estates. The Planter.(979): 657-663.
McCoy, C., E.D. Quintela end M.D. Faria. 2005. Envirimental Persistence of Entomopathogenic Fungi. Universitas of Florida. http//:google.com. Diakses pada 9 February 2008.
Morin, J..P. 1996. Semiochemicals of Oryctes rhinoceros, the coconut rhinoceros beetle. <http://www.pherobase.net>. Diakses pada 9 Maret 2008.
Mohan, C. 2006 . Orycte srhinoceros.
http://www.isg.org/database/species/ecology. asp?si=173&fr=1&sts.
Diakses pada tanggal 18 April 2008.
Prawirosukarto, S., Y.P. Roerrha., U. Condro., dan Susanto. 2003. Pengenalan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman kelapa sawit.PPKS, Medan.
Prayogo, Y., W. Tengkano., dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen M. anisopliae Untuk Mengendalikan Ulat Grayak. http://www.pustaka deptan.go.id. Diakses pada 19 February 2008.
Purba, R., S. Prawirosukarto, dan R. D. Chenon. 1999. Pemanfaatan tandan kosong sawit sebagai perangkap Oryctes rhinoceros di perkebunan kelapa sawit. J. Penelitian Kelapa Sawit 1999, 7(2):104- 114.
Susanto. 2005. Pengurangan populasi larva Oryctes rhinoceros pada sistem lubang tanam besar.J. Penelitian Kelapa Sawit April 2005. 14(1):2-3.
Susanto, 2006. Pengendalian Hama Oryctes rhinoceros, PPKS.Medan www.google.com. Diakses pada 27 February 2008.
Sutarta, S. Winarta, dan N.H. Darlan. 2005. Peningkatan Efektifitas Pemupukan Melalui Aplikasi Kompos TKS Pada Pembibitan kelapa Sawit. Prosiding Pertemuan Teknik Kelapa Sawit, 19- 20 April 2005 .
Schmaedick.M. 2005. Coconout Rhinoceros Beetle.http//:@yahoo.com. Diakses pada 19 February 2008.
Wahyono, T.E., dan N. Tarigan. 2007. Uji Patogenitas Beauveria bassiana dan
Metarhizium anisopliae Terhadap Ulat Serendang (Xystrocera festiva).
http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/bt121078.pdf. Diakses Pada 11 Maret 2008.
Winarto,L. 2005. Pengendalian Hama Kumbang Kelapa Secara Terpadu. Medan. http://www.agroindonesia.com/-cpas2. Diakses pada 20 February 2008.
Vandaveer, C. 2004. What is Lethal- Male delivery system. http://www5e.biglobe.ne.jp/champ/Oryctes rhinoceros1.htm.com. Diakses pada 18 April 2008.
Lampiran 1.
BAGAN PENELITIAN
L2 L4
U I U II
L1 L3
L3 L1
L2 L4
L2 L3 L4 L1
U III U IV
L1 L4 L3 L2
L1 L2 L2 L4
U V U VI
L4 L3 L3 L1
Keterangan :
L1 = Kontrol (tanpa perlakuan)
L2 = 5 larva (instar 3) O. rhinoceros dilumuri jamur M. anisopliae L3 =10 larva (instar 3) O. rhinoceros dilumuri jamur M. anisopliae L4 =15 larva (instar 3) O. rhinoceros dilumuri jamur M. anisopliae U I = Ulangan 1
U VI = Ulangan 6
Lampiran 2. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 1 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Lampiran 3. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 2 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Data transformasi arc sin√x
Perlakuan 3 967,60 322,53 3,11 tn 3,29 5,42
Galat 15 1558,07 103,87
Total 23 2707,70
FK 5689,92 kk 66,19%
Lampiran 4. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 3 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Data transformasi arc sin√x
Ulangan
Lampiran 5. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 4 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Data transformasi arc sin√x
SK db JK KT Fh F.05 F.01
Lampiran 6. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 5 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Data transformasi arc sin√x
Ulangan
Lampiran 7. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 6 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Larva terinfeksi transformasi arc sin√x
Rataan 13,94 13,29 9,90 12,60 24,86 13,42 14,67
Lampiran 8. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 7 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Data transformasi arc sin√x
Ulangan
Lampiran 9. Data pengamatan Persentase Mortalitas Larva 8 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Data transformasi arc sin√x
Ulangan
L4 21,97 15,34 11,54 21,13 51,94 12,92 134,85 22,47
Lampiran 10. Data Imago 1 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Total 120,00 120,00 120,00 120,00 120,00 120,00 720,00
Rataan 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00
Lampiran 11. Data Imago 2 Minggu setelah aplikasi
L1 5,74 30,00 5,74 9,97 30,00 30,00 111,45 18,58 L2 30,00 30,00 30,00 11,54 30,00 30,00 161,54 26,92 L3 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 180,00 30,00 L4 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 30,00 180,00 30,00 Total 95,74 120,00 95,74 81,51 120,00 120,00 632,99
Rataan 23,93 30,00 23,93 20,38 30,00 30,00 26,37
Lampiran 12. Data Imago 3 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Total 95,74 120,00 98,13 57,25 120,00 71,48 562,60
Rataan 23,93 30,00 24,53 14,31 30,00 17,87 23,44
Lampiran 13. Data Imago 4 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Lampiran 14. Data Imago 5 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Lampiran 15. Data Imago 6 Minggu setelah aplikasi
transformasi arc sin√x
Lampiran 16. Data Imago 7 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Lampiran 17. Data Imago 8 Minggu setelah aplikasi
Rataan 2,50 1,25 1,75 4,50 1,25 3,00 2,38
Lampiran 18. Persentase pupa 1 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Total 95,74 120,00 120,00 120,00 95,74 120,00 671,48
Rataan 23,93 30,00 30,00 30,00 23,93 30,00 27,98
Lampiran 19. Persentase pupa 2 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
L3 0,00 0,00 18,00 0,00 0,00 0,00 18,00 3,00 Total 95,74 120,00 104,47 120,00 120,00 71,48 631,69
Rataan 23,93 30,00 26,12 30,00 30,00 17,87 26,32
Lampiran 20. Persentase pupa 3 Minggu setelah aplikasi
Ulangan Total 47,22 86,40 115,76 73,87 47,22 47,22 417,69 Rataan 11,80 21,60 28,94 18,47 11,80 11,80
I II III IV V VI
Lampiran 22. Persentase pupa 5 Minggu setelah aplikasi
Lampiran 23. Persentase pupa 6 Minggu setelah aplikasi
Lampiran 24. Persentase pupa 7 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Total 23 1837,81
FK 4247,34 kk 54,44%
Lampiran 25. Persentase pupa 8 Minggu setelah aplikasi
Ulangan
Perlakuan I II III IV V VI Total Rataan L1 7,00 0,00 1,00 4,00 2,00 2,00 16,00 2,67 L2 3,00 8,00 2,00 3,00 3,00 1,00 20,00 3,33 L3 0,00 0,00 28,00 2,00 3,00 1,00 34,00 5,67 L4 3,00 3,00 19,00 1,00 2,00 3,00 31,00 5,17 Total 13,00 11,00 50,00 10,00 10,00 7,00 101,00 Rataan 3,25 2,75 12,50 2,50 2,50 1,75 4,21
transformasi arc sin√x
Ulangan
Perlakuan I II III IV V VI Total Rataan L1 15,34 0,00 5,74 11,54 8,13 8,13 48,88 8,15 L2 9,97 16,43 8,13 9,97 9,97 5,74 60,22 10,04 L3 0,00 0,00 31,95 8,13 9,97 5,74 55,79 9,30 L4 9,97 9,97 25,84 5,74 8,13 9,97 69,63 11,61 Total 35,29 26,40 71,66 35,38 36,21 29,58 234,53 Rataan 8,82 6,60 17,91 8,85 9,05 7,40 9,77
Daftar Analisis sidik ragam
SK db JK KT Fh F.05 F.01
Ulangan 5 337,14 67,43 1,24 tn 2,90 4,56
Perlakuan 3 37,80 12,60 0,23 tn 3,29 5,42
Galat 15 818,84 54,59