• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan tahap lanjutan dari serangkaian penelitian pemurnian minyak sawit merah pada skala pilot plant. Penelitian terdahulu merupakan kendali proses deasidifikasi dengan menggunakan CPO sebagai bahan baku. Penelitian tersebut meliputi berbagai tahapan meliputi uji coba, optimasi dan validasi proses deasidifikasi pada skala 60 kg (Widarta 2008). Produk deasidifikasi adalah minyak sawit netral (NRPO).

Kualitas NRPO ini tidaklah homogen mengingat berbagai perlakuan telah dilakukan untuk masing-masing tahapan yang terlibat di dalamnya dan penelitian lanjutan ini dilaksanakan dalam rentang waktu yang cukup lama maka produk NRPO pun diindikasikan akan mengalami perubahan kualitas.

Untuk mengetahui kualitas NRPO sebagai bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini, maka analisis fisiko kimia bahan baku dilakukan pada setiap batch proses deodorisasi.

Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia Bahan Baku (NRPO)

Tabel 10 Karakterisasi sifat fisiko kimia NRPO secara umum*)

Parameter NRPO Referensi Sumber

Kadar asam lemak bebas (%) 0.32 0.13 – 0.30 Basiron (2005); Mayamol et al.(2007); Widarta (2008) Kadar karoten (mg/kg) 525.42 > 400 Mayamol et al.(2007); Widarta (2008)

Kadar air (%) 0.3 0.1 – 0.26 Basiron (2005); Mayamol

et al. (2007) Bilangan peroksida (meq O2/kg) 11.49 < 5 Widarta (2008) Warna**) 30 Y + 12.8 R 20-30Y+ 10-22 R Widarta (2008) *)

Nilai rata-rata; **) Y = Yellow; R = Red

Analisis sifat fisiko-kimia dilakukan terutama terhadap parameter-parameter kritis yang akan digunakan selanjutnya untuk mengukur kinerja proses

deodorisasi. Analisis fisiko kimia yang dilakukan meliputi kadar air, ALB, kadar karoten, bilangan peroksida, dan warna. Secara umum hasil analisis ini disajikan dalam Tabel 10.

Kadar asam lemak bebas (ALB) suatu minyak merupakan bilangan asam yang dihitung berdasarkan berat molekul dari asam lemak atau campuran asam lemak. Kadar asam lemak bebas bahan baku yang digunakan pada penelitian ini memiliki rata-rata sebesar 0.32% (dinyatakan sebagai asam palmitat). Nilai kadar asam lemak bebas penting diketahui sebagai indikator kualitas minyak dan juga sebagai parameter keberhasilan dari tahapan proses sebelumnya dan untuk mengukur keberhasilan proses berikutnya. Kandungan asam lemak bebas tersebut relatif masih tinggi meskipun telah mengalami proses deasidifikasi secara kimia. Basiron (2005) menyebutkan bahwa proses penetralan minyak sawit dapat menurunkan kadar asam lemak bebas sampai 0.15%, sedangkan Mayamol et al.

(2007) melaporkan proses netralisasi asam lemak bebas sampai 0.30%. Widarta (2008) melaporkan bahwa proses deasidifikasi minyak merah secara kimia pada skala pilot plant dapat mereduksi asam lemak sebesar 96.35% dengan kadar asam lemak NRPO akhir sebesar 0.13% (tahap validasi). Masih tingginya kadar asam lemak bebas dari bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini karena NRPO telah cukup lama disimpan sejak penelitian yang dilakukan oleh Widarta (2008). Penyimpanan yang lama memungkinkan terjadinya proses hidrolisis trigliserida menjadi asam-asam lemak. Tingginya kadar air bahan baku dapat mengakomodasi reaksi hidrolisis. Trigliserida bereaksi dengan air dalam suatu proses yang disebut hidrolisis yang menghasilkan asam-asam lemak bebas dan gliserol. Proses hidrolisis ini dapat dikatalisasi oleh enzim lipase, yang biasanya berasal dari bahan pangan lain, dan bahan-bahan yang bersifat alkali, yang mungkin berasal dari bahan pangan atau bahkan dari sejumlah kecil sabun yang tersisa dari proses pemurnian kimia (dengan alkali).

Nilai rata-rata kadar karoten NRPO yang digunakan pada penelitian ini sebesar 525.42 mg/kg. Kadar karoten adalah penting untuk diketahui sebelum proses deodorisasi untuk menghitung retensi karoten setelah proses deodorisasi. Karoten merupakan komponen yang mudah mengalami kerusakan selama proses deodorisasi akibat suhu tinggi. Kadar karoten NRPO tersebut masih cukup tinggi

yaitu di atas 500 mg/kg meskipun telah mengalami proses deasidifikasi secara kimia. Kadar karoten dalam CPO berkisar 500-700 mg/kg (Gee 2007; Widarta 2008), dan setelah mengalami proses deasidifikasi relatif tidak berkurang secara signifikan. Widarta (2008) melaporkan recovery karoten pada NRPO sebesar 87.30%. Hal ini menunjukkan bahwa karoten merupakan hidrokarbon yang relatif stabil terhadap alkali (deasidifikasi secara kimia) dan merupakan fraksi yang tak tersabunkan yang terdapat dalam minyak.

Kadar air NRPO rata-rata yang digunakan pada penelitian ini adalah sebesar 0.3%. Kadar air merupakan salah satu parameter mutu minyak sawit yang mempengaruhi keasaman. Kandungan air di dalam minyak yang terlalu besar akan mempercepat kerusakan minyak akibat hidrolisis, yang berarti menaikkan kadar asam lemak bebas. Widarta (2008) melaporkan bahwa kadar air NRPO lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air bahan baku (CPO), hal ini disebabkan oleh proses-proses sebelumnya seperti degumming, deasidifikasi dan pencucian. Untuk memperoleh kadar air yang rendah (maksimum 0.1%), maka NRPO yang dihasilkan seharusnya dikeringkan dengan vacuum dryer (O`Brien 2004; Anderson 2005). Bukti bahwa sebagian besar lemak yang mengandung kadar air yang cukup dapat mengakibatkan hidrolisis yang signifikan, misalnya kadar air 0.01% dapat membentuk 0.11% asam laurat (Rossel 1994).

Bilangan peroksida adalah salah satu parameter untuk menentukan tingkat kerusakan pada minyak akibat proses oksidasi. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya membentuk peroksida. Peroksida adalah komponen yang dapat mempercepat oksidasi. Bilangan peroksida NRPO yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai rata-rata sebesar 11.49 meq/kg. Widarta (2008) melaporkan bahwa rata-rata nilai bilangan peroksida NRPO hasil deasidifikasi masih berada di bawah nilai 5 meq O2/kg. Tingginya bilangan peroksida merupakan indikasi dimulainya kerusakan oksidatif pada minyak. Hartley (1979) menyatakan bahwa minyak cenderung untuk bereaksi dengan oksigen secara autooksidasi, tidak saja tergantung pada komposisi asam lemaknya, tetapi juga pada komponen-komponen yang terkandung di dalamnya, seperti adanya bahan yang bersifat prooksidan dan antioksidan alami seperti karotenoid dan tokoferol, atau beberapa logam berat tertentu seperti tembaga dan

besi, yang dapat juga bertindak sebagai prooksidan. Proses penyimpanan NRPO merupakan penyebab utama kerusakan oksidatif ini karena NRPO yang telah dinetralisasi kemudian disimpan dalam kemasan yang tidak kedap udara (tanpa

blanketing oleh N2) pada suhu ruang dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Proses oksidasi lebih lanjut dapat mempengaruhi aroma minyak. Asam-asam lemak tidak jenuh dapat bereaksi dengan oksigen dalam suatu proses yang disebut oksidasi yang menyebabkan lemak menjadi tengik dan membentuk off-flavour. Bahkan pada tingkat oksidasi yang rendah, bau tidak enak ini cukup kuat terdeteksi oleh indera. Ketika asam-asam lemak tidak jenuh bereaksi dengan oksigen akan terbentuk hidroperoksida. Hidroperoksida ini tidak memiliki bau, tetapi dapat terdekomposisi dengan memisahkan molekul asam lemak pada bagian tengah membentuk berbagai komponen lainnya, tetapi biasanya senyawa-senyawa volatil seperti aldehid, hidrokarbon, keton, dan alkohol yang memiliki karakteristik bau. Jenis produk yang dihasilkan bergantung pada jenis asam-asam lemaknya dan isomer-isomer hidroperoksida yang terbentuk diawal reaksi, serta stabilitas dari produk-produk hasil dekomposisi. Dari semua senyawa-senyawa volatil yang dihasilkan, aldehid merupakan komponen yang memberikan karakteristik bau utama. Kelompok aldehid ini memiliki bau yang dapat dideskripsikan sebagai ‘painty’, ‘metalik’, ‘beany’, dan tengik, yang bertanggung jawab terhadap bau dan rasa tidak enak pada minyak (Rossel 1994).

Hasil pengukuran warna NRPO dengan menggunakan Lovibond Tintometer menunjukkan tidak adanya perbedaan yang berarti dengan hasil yang telah dilaporkan oleh Widarta (2008), yaitu dengan nilai Y (kuning) sekitar 30 dan nilai R (merah) di atas 10. Menurut Purbowo (1995) warna merah yang terdapat pada minyak sawit disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak. Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu tinggi, dan jika minyak dipanaskan pada suhu yang cukup tinggi, warna merah tersebut akan memudar sesuai dengan penurunan kandungan karoten total. Masih tingginya kadar karoten setelah proses deasidifikasi secara kimia ( > 500 mg/kg) menyebabkan warna merah NRPO yang terukur pada skala Lovibond masih relatif tinggi. Hal ini karena karoten sebagai komponen utama pemberi warna pada minyak sawit tidak mengalami banyak penurunan.

Berdasarkan hasil uji fisiko-kimia NRPO secara umum maka dapat disimpulkan bahwa beberapa parameter kualitas NRPO tidak sesuai dengan kualitas yang disarankan oleh beberapa literatur terutama untuk kadar asam lemak bebas, kadar air, dan bilangan peroksida. Akan tetapi, masih memiliki kadar karoten dan kualitas warna yang masih relatif baik.

Uji Kinerja Proses Deodorisasi

Proses pemurnian minyak merah secara kimia melibatkan beberapa tahap proses seperti degumming, deasidifikasi, deodorisasi, dan fraksinasi/ winterisasi. Deodorisasi dilakukan terutama untuk menghilangkan komponen-komponen volatil yang mengakibatkan bau yang tidak dikehendaki (off flavor). Komponen-komponen ini adalah senyawa keton, aldehid, alkohol, asam lemak bebas, dsb. Penurunan tingkat warna juga terjadi secara signifikan pada tahap ini lewat pemucatan oleh panas (thermal bleaching) dari pigmen seperti karotenoid dan klorofil (Greyt dan Kellens 2005).

Kondisi proses deodorisasi melibatkan pengaturan suhu, aliran gas pelucut, serta tekanan vakum. Untuk mendapatkan kondisi proses yang baik dan stabil, perlu dilakukan uji coba proses. Kondisi proses uji coba ini disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11 Kondisi proses uji coba deodorisasi

Parameter kondisi Nilai Tekanan gas N2 3.5 kg/cm2 Laju alir gas N2 20 L/jam Tekanan vakum 0.5-4 cmHg absolut

( -74±2 cmHg vakum)

Kapasitas 100 kg

Suhu deodorisasi 140 oC

Waktu kontak 2 jam

Pemilihan gas pelucut juga menjadi perhatian dalam uji coba proses. Dalam penelitian ini digunakan gas N2 sebagai pelucut (stripping gas) dengan pertimbangan lebih mudah dikendalikan. Penggunaan steam pernah juga diujicobakan, namun sulitnya pengendalian laju alir menjadi hambatan untuk penggunaan lebih lanjut dalam penelitian ini. Di samping itu pengaliran steam

menyebabkan penurunan tekanan vakum yang cukup besar dalam sistem deodorisasi karena sistem tidak dilengkapi dengan steam jet ejector untuk mengeluarkan kondensat. Kapasitas deodorisasi yang besar yaitu 100 L akan memerlukan gas pelucut yang relatif besar. Pemilihan laju alir sebesar 20 L/jam merupakan hasil pengaturan laju alir yang memberikan penurunan tekanan vakum minimal, karena peningkatan laju alir dapat mengurangi kevakuman sistem deodorisasi.

Selama ini steam telah digunakan secara luas sebagai gas pelucut dalam proses deodorisasi di industri. Meskipun efisiensi penggunaan steam proses saat ini cukup baik, secara umum penggunaan gas nitrogen memiliki kelebihan untuk memproses minyak makan pada suhu rendah terutama untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan, seperti kerusakan vitamin dan terbentuknya produk samping seperti isomer trans dan polimer yang tidak diharapkan (Guemueskesen dan Cakaloz 1992). Selama ini nitrogen telah digunakan untuk proses deaerasi selama penyimpanan minyak dan transportasi karena nitrogen berguna untuk melindungi minyak terhadap oksidasi (Tsiadi et al. 2001). Nitrogen juga direkomendasikan untuk digunakan sebagai media pendingin pada unit pemulihan panas dalam proses deodorisasi (Cheng et al.1994). Pelucutan oleh gas nitrogen pada suhu tinggi ternyata dapat menghasilkan kualitas minyak yang sama dengan yang dihasilkan lewat deodorisasi oleh steam. Saat ini penggunaan nitrogen sebagai gas pelucut dalam proses deodorisasi cukup luas. Cheng (1994) menggunakan nitrogen untuk proses deodorisasi pada 230 oC pada tekanan 1.3 mbar dan 3.4 m3/ton minyak. Krishnamurthy et al.(1992) merekomendasikan penggunaan bejana berjaket dengan ratio tinggi/diameter 3-40, luas permukaan packing 98-1970 m2/m3, suhu operasi 160-280 oC, tekanan operasi 69-690 mbar, laju alir gas nitrogen 0.4-9.4 m3/jam, aliran minyak lawan arah pada 1-12 kg/jam, dan waktu tinggal antara 5 menit hingga 2 jam untuk deodorisasi minyak kedelai yang telah dipucatkan. Cvengros (1995) melakukan deodorisasi dengan nitrogen dalam evaporator vakum lapis tipis pada 200-250 oC dengan tekanan lebih rendah dari 1 mbar. Graciani et al. (1994) mengoptimisasi kondisi proses deodorisasi oleh nitrogen pada suhu operasi 250-260 oC pada tekanan 4.5-8 mbar, laju alir nitrogen 1.4-2.3 m3/ton minyak.jam, tinggi minyak pada 400-500 mm, dan waktu

tinggal 1.5-4 jam. Ruiz-Mendez et al. (1996) membandingkan kinerja steam terhadap nitrogen dalam menghilangkan asam lemak bebas dari minyak biji bunga matahari menggunakan glass frit dengan ukuran pori 1 m pada sistem sparging.

Tsiadi et al. (2001) menyebutkan penggunaan gelembung nitrogen sebagai media pelucut untuk menghilangkan pengotor minyak pada suhu rendah yaitu suhu di bawah 150 oC, memerlukan kerja gelembung dengan cara adsorpsi oleh permukaan gelembung untuk menghilangkan permukaan aktif dari pengotor, dan penguapan terjadi dalam rongga gelembung untuk menghilangkan pengotor yang sangat volatil. Tsiadi et al. (2001) melakukan penelitian mengenai komposisi minyak biji bunga matahari yang dideodorisasi oleh nitrogen pada kisaran suhu 25-150 oC dan tekanan vakum. Hasil penelitian tersebut merupakan bagian dari hasil kajian yang diawali dengan menguji potensi gelembung gas nitrogen untuk menghilangkan pengotor dari minyak makan pada suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan yang sering digunakan pada umumnya deodorisasi dengan steam (yaitu di bawah suhu 200 oC).

Proses deodorisasi yang umumnya dilakukan di industri minyak makan terjadi pada suhu lebih dari 180 oC dan vakum kurang dari 5 mmHg (Greyt dan Kellens 2005). Pada kondisi ekstrim tersebut, komponen mikronutrien penting seperti karoten, tokol, dan sterol mengalami kerusakan atau hilang sehingga menghasilkan minyak yang memiliki kualitas nutrisi rendah. Hampir sebagian besar jumlah karoten dan 20-30% tokol dan sterol secara normal hilang pada saat deodorisasi pada kondisi praktis tersebut (Ferrari et al. 1996). Mayamol et al. (2007) melakukan proses deodorisasi RPOn skala 30 L pada suhu di bawah 160oC untuk mempertahankan komponen nutrisi di dalamnya. Pada penelitian ini uji coba deodorisasi dilakukan pada suhu 140 oC selama 2 jam dengan mengacu pada proses yang dilakukan oleh Mayamol et al. (2007) untuk menghasilkan minyak merah dengan retensi karoten yang tinggi. Namun, sistem alat deodorisasi yang berbeda menyebabkan perlunya penyesuaian kondisi pada penelitian ini. Hal ini teramati dari tekanan vakum yang mampu dicapai selama proses deodorisasi cukup berbeda. Mayamol et al. (2007) mampu mempertahankan tekanan vakum hingga 1 mmHg, sedangkan alat deodorisasi yang digunakan dalam penelitian ini

hanya mampu mencapai tekanan vakum maksimum 5 mmHg, dengan rata-rata operasional vakum sebesar 20 mmHg.

Perubahan suhu dan tekanan vakum selama proses deodorisasi diamati terhadap waktu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui stabilitas proses selama deodorisasi, terutama untuk mengkaji penyebab penurunan tekanan vakum, sehingga dapat diminimalkan. Gambar 9 menunjukkan profil suhu dan tekanan selama uji coba proses deodorisasi.

Gambar 9 Profil perubahan suhu dan tekanan dalam uji coba deodorisasi.

Proses uji coba dilakukan dengan memasukkan umpan minyak ke dalam

deodorizer dalam kondisi vakum. Proses pengaliran umpan dilakukan secara batch, sehingga sulit dilakukan pengontrolan terhadap tekanan. Pada saat pengumpanan bahan baku akan terjadi penurunan tekanan vakum yang cukup signifikan. Setelah umpan masuk kemudian dilakukan proses homogenisasi dengan sirkulasi oleh pompa pada suhu 46±2oC selama lebih kurang 10 menit atau minyak terlihat berwarna merah jernih dan kemudian dilakukan pengambilan sampel sekitar 500 ml untuk uji fisiko kimia NRPO. Tekanan kerja deodoriser dapat mencapai 0-5 mmHg, akan tetapi setelah pengumpanan, tekanan akan turun drastis dan akan memerlukan waktu beberapa saat sampai mencapai tekanan sekitar 20-30 mmHg. Gambar 9 menunjukkan pada suhu sekitar 65oC tekanan

40 60 80 100 120 140 160 50 55 60 65 70 75 0 50 100 150 200 250 300 350 Su h u (o C) T ek an an v ak u m ( -cm Hg ) Waktu (menit)

kembali mencapai 20 mmHg (-74 cmHg vakum). Setelah tekanan operasi tercapai kemudian dilakukan pencatatan suhu dan tekanan selama deodorisasi.

Peningkatan suhu selama pemanasan sampai dengan suhu deodorisasi menunjukkan profil landai pada grafik, yaitu pemanasan berlangsung secara lambat. Mayamol et al. (2007) menyebutkan pada tahap ini terjadi reduksi kadar air, yaitu dengan pemanasan lambat pada suhu di bawah 70oC dengan pemanas elektrik di dalam bejana deodorisasi. Pada uji coba ini pemanasan sepenuhnya dilakukan dengan pemanas internal, dimulai dari tahap reduksi kadar air sampai mencapai suhu deodorisasi yang dikehendaki, sehingga pengaturan pemanasan pada tahap ini sepenuhnya berdasarkan kinerja alat pemanas internal. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Mayamol et al. (2007) yang mengalirkan 0.35 kg/jam steam bertekanan setelah tahap pemanasan lambat, sehingga pengaturan suhu deodorisasi bergantung baik pada pemanas internal maupun

sparging steam.

Selama proses pemanasan sampai suhu deodorisasi, terjadi beberapa penurunan tekanan vakum. Hal ini terlihat dari fluktuasi tekanan vakum pada Gambar 9. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa fenomena ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah proses reduksi kadar air dan pengaliran gas N2 secara bertahap menjelang suhu deodorisasi. Air yang teruapkan selama tahap pemanasan lambat dan kemudian terkondensasi akan tertampung dalam fatty acid collector, namun ada sebagian yang terperangkap ke dalam pompa vakum akibat tidak sempurnanya proses penguapan melalui cerobong. Sebagian kecil air ini ternyata menurunkan kinerja pompa vakum yang ditandai dengan penurunan tekanan vakum. Upaya untuk menguranginya diatasi dengan membuka water purging pada pompa untuk mengeluarkan tetesan air.

Tingginya kadar air bahan baku juga berpengaruh terhadap tekanan vakum. Hal ini ditandai dengan penurunan tekanan pada suhu di atas 70oC, dimana seharusnya air sudah sangat berkurang akibat penguapan. Akan tetapi, kondensat air ini justru mengumpul di dalam fatty acid collector (penampung kondensat) dan membebani kinerja pompa karena tekanan vakum tetap bekerja untuk menguapkan air dalam penampung tersebut. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi beban pompa akibat hal ini adalah dengan membuang air dalam

penampung tersebut secara bertahap, yaitu dengan membuka katup penampung kondensat walaupun hal ini sedikit berpengaruh terhadap sistem vakum.

Penyebab lain penurunan tekanan vakum adalah proses pengaliran gas N2. Tekanan vakum akan berkurang dengan pembukaan katup gas N2. Hal ini kemudian diatasi dengan pengaliran gas N2 secara bertahap menjelang suhu deodorisasi. Pengaliran gas N2 dimulai dengan aliran 5 L/jam, kemudian 10 L/jam, dan terakhir pada 20 L/jam. Sejumlah kecil aliran N2 dialirkan sejak awal juga bertujuan untuk meningkatkan proses pindah panas dalam minyak secara konveksi. Gelembung-gelembung N2 akan memperbaiki sistem sirkulasi fluida, mengingat dalam bejana deodorisasi tidak dilengkapi dengan pengaduk.

Proses deodorisasi kemudian dikendalikan dengan mempertahankan suhu dan laju alir gas N2 selama waktu yang ditentukan. Pada uji coba ini proses deodorisasi dilakukan dengan waktu kontak selama 2 jam. Dalam periode tersebut dapat diamati tekanan vakum -74 cmHg (20 mmHg absolut) dapat dicapai beberapa saat setelah pengaliran gas N2. Pada tahap ini dapat diamati proses deodorisasi berlangsung dengan baik dengan ditandai asap putih yang cukup banyak keluar dari cerobong dengan bau yang cukup menyengat. Setelah waktu deodorisasi tercapai, aliran gas N2 ditutup, dan suhu diturunkan dengan mengalirkan aliran air pendingin secara bertahap sampai suhu di bawah 60oC, yang diikuti dengan dimatikannya pompa vakum. Minyak kemudian disirkulasikan oleh pompa produk sampai suhu di bawah 50 oC dan dilakukan pengambilan sampel produk sebanyak 500 ml untuk analisis fisiko kimia NDRPO. Destilat asam lemak bebas tidak ditemukan dalam penampung kondensat sehingga tidak dapat dilakukan analisis destilat.

Minyak merah (NDRPO) hasil uji coba deodorisasi selanjutnya diuji secara fisiko kimia yang meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, warna, kadar karoten, dan odor/bau. Dalam uji performa proses deodorisasi dilakukan 3 kali ulangan untuk memastikan kondisi deodorisasi cukup stabil terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Tiga ulangan terbaik dari proses uji coba ini disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil uji fisiko kimia dalam uji coba deodorisasi

Parameter NRPO

(Neutralized Red Palm Oil)

NDRPO (Neutralized Deodorized

Red Palm Oil)

Kadar air (%) 0.22 ± 0.08 0

Kadar asam lemak bebas (%) 0.226 ± 0.03 0.230 ± 0.03 Kadar karoten (mg/kg) 517.90 ± 46.97 337.43 ± 40.53 Bilangan peroksida (meq O2/kg) 13.90 ± 2.18 0.36 ± 0.30 Warna, skala Lovibond 30 Y + 12.47 R 30 Y + 9.70 R

Odor ++++ ++

Keterangan :Y = Yellow; R = Red; data ± standar deviasi (n=3)

Berdasarkan hasil analisis fisiko kimia NDRPO uji coba terlihat adanya perubahan kualitas yang signifikan untuk sebagian besar parameter. Kondisi proses yang dicobakan pada proses deodorisasi tersebut mampu mereduksi kadar air dan bilangan peroksida masing-masing hingga 0% dan 0.36 meq O2/kg. Kadar karoten dapat dipertahankan hingga 337.43 mg/kg, dan secara fisik NDRPO masih berwarna merah-jingga walaupun sedikit lebih pucat. Pengukuran warna NDRPO menunjukkan nilai R (merah) skala Lovibond sebesar 9.7. NDRPO masih memiliki karakteristik bau sawit, walaupun sudah sangat berkurang dibandingkan dengan NRPO.

Kondisi proses dalam tahap uji coba ini ternyata tidak mampu mereduksi kadar ALB. Tabel 12 menunjukkan nilai ALB hampir tidak mengalami perubahan setelah proses deodorisasi, walaupun cenderung meningkat menjadi 0.23%. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi suhu dan tekanan vakum proses tidak cukup mampu untuk menguapkan asam-asam lemak bebas dalam NRPO, sehingga hanya air dan komponen-komponen odor yang memiliki berat molekul lebih rendah yang teruapkan pada kondisi tersebut. Berkurangnya massa akibat penguapan sebagian komponen tersebut menyebabkan asam-asam lemak bebas lebih terkonsentrasi dalam minyak sehingga pada pengujian didapatkan nilai sedikit lebih tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa asam lemak bebas tidak didapatkan dalam bentuk destilat.

Berdasarkan hasil uji coba maka dapat disimpulkan bahwa proses deodorisasi dengan kondisi yang dicobakan dapat mereduksi sebagian komponen pengotor seperti kadar air, peroksida, dan odor namun tidak berhasil mereduksi

asam lemak bebas. Komponen nutritif seperti karoten mampu bertahan lebih dari 60 % dan minyak hasil deodorisasi memiliki karaktersitik warna sedikit lebih pucat dibandingkan dengan NRPO.

Proses Deodorisasi

Tahap deodorisasi dilakukan dengan beberapa perlakuan yaitu mengikuti rancangan acak lengkap dengan dua ulangan. Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengamati faktor suhu dan waktu terhadap beberapa parameter kualitas fisiko kimia akibat proses deodorisasi. Kondisi proses deodorisasi seperti tekanan vakum, laju alir N2, serta jumlah umpan dikondisikan sesuai dengan kondisi proses uji coba. Hasil pengamatan terhadap beberapa parameter kritis diuraikan berikut ini.

Reduksi kadar air

Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa tidak adanya beda nyata

Dokumen terkait