• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepatuhan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Kepatuhan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden di RSUD dr. Pirngadi Medan (89,5%) lebih banyak yang patuh dalam melaksanakan penatalaksanaan obat hipoglikemik oral (OHO) dengan jumlah responden 68 orang (Tabel 5.4).

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentaasi Kepatuhan Penatalaksanaan DM di Poli Klinik Endokrin RSUD Dr. Pirngadi Medan bulan April-Mei 2013 (n=76) Kepatuhan Penatalaksanaan Frekuensi Persentasi (%) Patuh 68 89,5 Tidak Patuh 8 10,5 Total 76 100

5.2. Pembahasan

5.2.1 Kepatuhan Penatalaksanaan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Diet.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus (DM)

tipe 2 di RSUD dr. Pirngadi Medan (88,2%) patuh dalam penatalaksanaan diet DM. Berdasarkan penelitian Susanty (2004) di RSUD dr. Pirngadi Medan pada umumnya pengetahuan responden mengenai jenis makanan sudah baik, dimana semua jenis makanan dapat dimakan bagi pasien diabetes melitus dan susunan makanan penderita diabetes melitus sudah mendekati makanan orang normal, yang penting jumlah kalori yang di dapat dari makanan tidak lebih dari jumlah yang ditetapkan. Bahan makanan ini tidak terikat pada bahan makanan tertentu saja, karena ada daftar penukar bahan makanan yang tidak akan menimbulkan kebosanan.

Mayoritas jenis kelamin pada penelitian ini lebih banyak perempuan (67,1%). Sejalan dengan penelitian Chaveeponjkamjorn et al (2008) mengenai kualitas hidup dan kepatuhan pasien DM Tipe 2 mayoritas responden adalah perempuan (78,7%). Hasil ini berbeda dengan penelitian Lestari (2012) di RSUP Fatmawati lebih banyak responden laki – laki (51%). Hasil penelitian Tera (2011) menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai hubungan dengan kepatuhan pengaturan makanan, di mana perempuan mempunyai kebiasaan makan lebih sedikit sehingga kepatuhan diet pada perempuan lebih baik.

Karakteristik responden pada penelitian ini adalah pasien yang menderita DM tipe 2 dengan kurun waktu kurang dari 5 tahun dan hasil

penelitian ini responden masih mengatur makanannya sesuai diet yang diberikan oleh tim kesehatan. Didukung oleh hasil penelitian Tera (2011) menunjukkan bahwa pasien dengan jangka waktu menderita DM tipe 2 lebih lama (>12 tahun) akan cenderung mengonsumsi makanan yang tidak tepat, mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan tidak mengikuti aturan diet yang diberikan.

Hasil penelitian Lubis (2006) ditemukan bahwa responden yang mempunyai penghasilan dibawah Rp. 500.000,00 dan dipastikan akan mempengaruhi klien dalam melaksanakan dietnya yang lebih cenderung memilih kuantitas dari kualitas makanan yang dikonsumsi sehingga mereka tidak patuh. Hal ini sesuai dengan hasil peneliti dimana responden pada penelitian ini memiliki pengasilan 1-3 juta (44,7%) dan dapat dikatakan patuh. Didukung pula oleh penelitian Nurachmah (2001) bahwa kualitas makanan/pola makan turut dipengaruhi oleh status ekonomi.

Prevalensi kepatuhan diet pada pasien DM tipe 2 di beberapa wilayah di Indonesia antara lain di Denpasar yang diteliti oleh Adnyana et all (2006) memperlihatkan hanya 37% yang menjalani diet secara teratur. Hasil penelitian Lestari (2012) prevalensi kepatuhan diet DM pasien rawat jalan di RSUP Fatmawati sebesar 56%. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2011) di RSUD Nganjuk sebanyak 51% pasien DM tipe 2 rawat jalan patuh terhadap diet DM. Berdasarkan hasil penelitian ini pasien DM tipe 2 yang patuh di RSUD dr.Pirngadi dengan lama menderita kurang dari 5 tahun menghasilkan kepatuhan yang lebih baik yaitu 88,2%. Hal ini terjadi

karena pasien DM tipe 2 rawat jalan di Poli Klinik Endokrin ini melakukan pemeriksaam rutin minimal setiap bulan di RSUD dr. Pirngadi dan setiap pasien baru rata-rata sudah menerima pendidikan kesehatan mengenai diet yang diberikan oleh bagian Poli Gizi di rumah sakit itu.

5.2.2 Kepatuhan Penatalaksanaan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Latihan Fisik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus (DM)

tipe 2 di RSUD dr. Pirngadi Medan (71,1%) tidak patuh dalam penatalaksanaan latihan fisik. Sejalan dengan hasil penelitian Qurratuaeni (2009) sejumlah 45 orang (60%) responden DM Tipe 2 di RSUP Fatmawati tidak mengikuti anjuran latihan fisik dengan benar. Penelitian Handayani (2007) juga menyatakan hanya 1/3 dari penderita diabetes yang menjalani aktivitas fisik secara teratur.

Mayoritas responden pada penelitian ini berjenis kelamin perempuan (67,1%), didukung oleh penelitian Delameter (2006) yang menemukan bahwa banyak responden perempuan mempunyai persepsi keliru tentang latihan fisik bahwa latihan fisik itu membuat lelah, tidak semangat, sudah tua, sehingga tidak melakukan latihan fisik. Menurut Green (dikutip dari Notoadmodjo, 2003) persepsi, kepercayaan dan keyakinan individu merupakan faktor utama dalam mencapai suatu kepatuhan.

Responden pada penelitian ini mayoritas berusia dewasa akhir dengan usia 40-60 tahun (57,9%). Penelitian Ellis (2010) menegenai kepatuhan diet penderita DM juga menunjukkan hasil yang sama lebih banyak kelompok usia dewasa akhir (55,6%) dibandingkan lansia. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suyono (2009) yang mengatakan bahwa kasus DM tipe 2 di Indonesia biasanya akan meningkat pada usia 40 tahun. Umur pasien yang sudah dewasa akhir menjadi alasan tidak latihan fisik, sesuai temuan Delamater (2006) bahwa pasien usia lebih dari 25 tahun dilaporkan memilih latihan fisik yang bersifat rekreasi seperti tamasya dan mengikuti porsi latihan lebih sedikit setiap minggu.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2006) bahwa derajat kepatuhan pasien DM itu beragam. Sebagian pasien ada yang sudah mendapatkan pendidikan kesehatan tetapi mengabaikan hal tersebut. Pasien ada yang sudah mendengar dan mengerti bahwa kepatuhan harus dijalankan tetapi tidak menerima program tersebut, ada pasien yang menerima program yang disarankan namun tidak melaksanakannya dan lebih jauh lagi pasien memang telah melaksanakan namun tidak berkesinambungan. Berdasarkan hasil penelitian ini, di mana hanya 24 responden (31,6%) yang menjawab selalu melaksanakan olahraga rutin minimal 3 kali seminggu dan tidak banyak dari mereka yang melaksanakan olahraga ini dengan melakukan pemanasan terlebih dahulu dan pendinginan setelah berolahraga. Ungkapan ini juga ditegaskan oleh Darmayanti (2006) bahwa gaya hidup malas bergerak ini

banyak terjadi di kota besar. Perilaku malas bergerak inilah yang meningkatkan jumlah penderita dan jumlah komplikasi pada pasien diabetes melitus.

5.2.3 Kepatuhan Penatalaksanaan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien diabetes melitus (DM)

tipe 2 di RSUD dr. Pirngadi Medan (97,4%) patuh dalam penatalaksanaan obat hipoglikemik oral (OHO). Sejalan dengan penelitian Nugroho (2011) juga menyatakan bahwa, pasien DM tipe 2 (68,9%) patuh dalam melakukan penatalaksanaan OHO di Umbulharjo II Puskesmas Yogyakarta. Berbeda dengan hasil penelitian Qurratuaeni (2012) yang menemukan rendahnya kepatuhan pasien DM (22,9%) dalam mengkonsumsi obat hipoglikemik oral, sehingga menyebabkan kadar gula darah mereka tinggi.

Penelitian ini mengambil responden yang baru menderita diabetes melitus dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun. Responden dalam penelitian ini masih patuh dalam penatalaksanaan OHO karena mayoritas responden rutin datang untuk kontrol ke dokter sebelum OHO mereka habis. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purba (2008) bahwa beberapa responden bosan mengkonsumsi obat-obatan diabetes karena mereka sudah lama mengkonsumsi sampai rentang waktu 15 tahun terakhir, sehingga mereka tidak patuh dalam minum obat.

Berdasarkan hasil penelitian ini 44,7% responden memiliki penghasilan 1 – 3 Juta per bulan dengan rata-rata pensiunan dan pegawai negeri sipil (PNS), dan 52,6% responden tidak pernah membeli obat dengn resep dokter yang lama. Alasan ekonomi ini mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi OHO. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Purba (2008) yang menjelaskan beberapa partisipan gagal mematuhi minum obat karena keterbatasan biaya membeli obat, tergambar dari usaha mereka untuk minum obat dengan cara yang tidak benar seperti meminum resep obat orang lain yang dianggapnya mempunyai penyakit sama, membeli obat dengan mengikuti resep dokter terdahulu tanpa mengecek perkembangan penyakit, atau menunggu dulu sampai punya dana untuk membeli obat.

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa persentasi tertinggi pasien dengan pendidikan sekolah menengah atas (SMA), yakni sebesar 43,4% diikuti oleh perguruan tinggi sarjana (27,6%). Responden pada penelitian ini menggunakan obat secara rutin dengan prosedur penggunaan obat yang sesuai dari dokter terbukti 88,2% reponden tidak pernah meminum obat diabetes dengan digandaka. Hal ini dimungkinkan dapat terjadi melalui pendidikan formal dan non formal seperti penyuluhan dan informasi dari tim kesehatan secara langsung. Sesuai dengan teori Green (dalam Notoadmojdo, 2003) terdapat beberapa faktor pendukung dalam mempengaruhi klien menjadi patuh seperti pendidikan, dimana pasien dapat meningkatkan kepatuhan sepanjang pendidikan itu merupakan pendidikan yang aktif seperti membaca buku-buku, mengikuti seminar atau penyuluhan oleh pasien secara mandiri.

5.2.4 Kepatuhan Penatalaksanaan Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien DM Tipe 2 di Instalasi rawat jalan RSUD dr. Pirngadi Medan (89,5%) patuh dalam penatalaksanaan diabetes melitus. Berdasarkan hasil penelitian ini tim kesehatan di instalasi rawat jalan berhasil dalam menjalankan tugas mereka yaitu melaksanakan diagnosa pengobatan, perawatan penyuluh, pencegahan akibat penyakit dan peningkatan pemulihan kesehatan untuk penderita rawat jalan yang datang. Sehingga terbukti bahwa pasien DM tipe 2 yang melaksanakan rawat jalan di RSUD dr. Pirngadi patuh dalam menjalankan penatalaksanaan DM.

Rumah sakit sebagai pusat pelayanan masyarakat memiliki fungsi preventif, promotif dan kuratif bagi penderita DM tipe 2 memiliki penanganan yang baik bagi pasien diabetes melitus sendiri. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian pasien lebih banyak yang patuh dengan penatalaksanaan diabetes mulai dari diet, latihan fisik dan minum obat hipoglikemik oral (OHO). Di dukung oleh hasil penelitian Susanty (2004) RSUD dr. Pirngadi memiliki standar pengobatan, laboratorium, penyuluhan kesehatan, serta peningkatan gizi yang sangat berguna untuk pemulihan kadar gula darah (KGD) pada pasien yang dilakukan secara teratur minimal setiap bulannya.

Kepatuhan pasien ini sangat diperlukan untuk mencapai keberhaasilan terapi pada penyakit kronik seperti diabetes melitus sendiri. Menurut teori Green (dikutip dari Notoadmodjo, 2003) salah satu faktor pendukung suatu kepatuhan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu tingkat pendidikan. Di dukung

hasil penelitian Delameter (2006) semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin sulit untuk menerima informasi yang diberikan. Tingkat pendidikan rendah mempunyai hubungan dengan rendahnya kepatuhan dan tingginya kematian terkait diabetes melitus. Pada penelitian ini mayoritas tingkat pendidikan (43,4%) sudah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) diikuti dengan Diploma (14,5%) dan tamatan Sarjana (27,6%) sehingga patut banyak responden yang patuh dengan penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 ini.

Pasien yang patuh akan mempunyai kontrol glikemik yang lebih baik, dengan kontrol glikemik yang baik dan terus menerus akan dapat mencegah komplikasi akut dan mengurangi resiko komplikasi jangka panjang. Sebaliknya bagi pasien yang tidak patuh akan mempengaruhi kontrol glikemiknya menjadi kurang baik bahkan tidak terkontrol, hal ini akan mengakibatkan komplikasi yang mungkin timbul tidak dapat dicegah (Bilous, 2002).

BAB 6

Dokumen terkait