• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lokasi Pemotongan Ayam

Pemotongan unggas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemotongan ini biasanya dilakukan di rumah potong unggas (RPU), tempat pemotongan unggas (TPU), dan pasar tradisional. RPU merupakan kompleks bangunan dengan rancangan dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene yang digunakan sebagai tempat memotong unggas untuk kebutuhan masyarakat umum (SNI 1999). Pemotongan unggas juga dilakukan TPU dan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap daging ayam karena ini tidak dapat diimbangi oleh RPU. Namun, pola pemotongan yang dilakukan oleh TPU, terutama TPU pada skala rumah tangga, dan pasar tradisional,seringkali tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Oleh karena itu, sering muncul kekhawatiran terhadap status aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dari karkas ayam yang dihasilkan (Ditjennak 2010; Sutrisno 2010)

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil contoh dari tiga TPU dan tiga pasar tradisional. TPU tempat dilakukannya pengambilan contoh adalah TPU Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak. Sedangkan untuk pasar tradisional dilakukan di Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, dan Pasar Warung Jambu. Penentuan tempat pengambilan contoh ini didasari oleh beberapa faktor, antara lain sumber air yang digunakan untuk pencucian, jenis ayam yang dipotong, dan kondisi tempat pemotongan.

Sumber air yang digunakan untuk pencucian karkas ayam pada tempat dilakukannya pengambilan contoh umumnya berasal dari PDAM. Lokasi yang menggunakan sumber air PDAM, yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, TPU Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak. Sedangkan Pasar Warung Jambu menggunakan air sungai untuk pencucian karkas ayam. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Noverita (2009), sumber air minum maupun air sungai telah tercemar oleh kapang dan khamir, sehingga membahayakan untuk kesehatan masyarakat. Teknik pencucian yang dilakukan juga berbeda-beda dari setiap

lokasi. PadaPasar Gunung Batu,air yang digunakan untuk mencuci umumnya ditampung terlebih dahulu oleh pedagang, setelah itudigunakan untuk mencuci dan air hasil cucian pun tetap ditampung pada suatu tempat penampungan. Sedangkan di tempat pemotongan lain,yaitu Pasar Anyar; Pasar Warung Jambu; TPU Jambu Raya; TPU Pondok Rumput; dan RPH Bubulak, air bersih yang digunakan untuk mencuci merupakan air yang mengalir dan air hasil pencuciannya mengalir ke dalam suatu saluran berupa parit setelah ditampung dahulu di suatu wadah tertentu. Teknik ini mempengaruhi sanitasi dari lokasi tempat pemotongan ayam sehingga tingkat kehigienisan berbeda-beda.

Jenis ayam yang dipotong pada tempat pemotongan ayam biasanya adalah ayam ras pedaging. Tetapi, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, masih dilakukan pemotongan ayam buras di Pasar Anyar. Hal ini dimungkinkan oleh masih tingginya permintaan ayam buras dari konsumen. Menurut Rasyaf (2008), ayam buras memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ayam ras pedaging, yaitu memiliki daging yang liat sehingga untuk masakan yang harus mengalami proses perebusan dengan waktu yang lama, daging ayam buraslebih cocok karena tidak akan hancur. Selain itu, sebagian masyarakat juga berpendapat rasa daging ayam buras lebih gurih sehingga lebih memilih daging ayam buras sebagai bahan makanan.

Perhatian terhadap sanitasi di tempat pemotongan sangat mempengaruhi mutu cemarandan mutu daging yang dihasilkan. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 5 di bawah ini.

24

TPU Jambu Raya, yang ditampilkan dalam Gambar 5, menunjukkan salah satu tempat pemotongan unggas yang menurut penilaian Ditjennak termasuk TPU yang memadai (Ditjennak 2010). Area pemotongan dinilai cukup higienisdan pekerjanya diharuskan memakai perlengkapan yang telah dibakukan. Upaya penciptaan kondisi seperti ini akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang mencemari daging, karkas, maupun organ dalam yang akan digunakan sebagai bahan makanan, terutama cemaran mikroorganisme pada saat penanganannya.

Setelah dilakukan penentuan tempat, contoh diambil untuk mendapatkan ada tidaknya C. albicansdi contoh-contoh tersebut. Jenis contoh yang diambil dibagi menjadi empat jenis contoh, yaitu tembolok, potongan usus, air bersih untuk pencucian karkas, serta air limbah bekas pencucian. Gambar 6 menunjukkan contoh organ yang diambil (tembolok dan usus) yang diambil untuk diidentifikasi ada tidaknya C. albicans di dalam organ tersebut.

(a) (b)

Gambar6Salah satutembolok (a) dan potongan usus (b) yang dijadikan contoh

Menurut Tabbu (2000), kandidiasis umumnya menginfeksi saluran pencernaan terutama tembolok, sehingga menjadi pertimbangan utama mengapa dilakukan isolasi C. albicans dari organ tersebut. Selain itu, air bersih untuk pencucian maupun air limbah bekas pencucian juga dijadikan contoh. Noverita (2009) menyatakan bahwa di perairan, seperti sungai, kolam, danau, maupun laut, dapat ditemukan berbagai macam khamir yang dapat menimbulkan penyakit, salah satunya adalah Candida spp. Selain itu, Cook dan Schlitzer (1981) juga mengisolasi adanya C. albicans dari aliran sungai serta parit. Namun jumlah C. albicans pada sungai sangat kecil, yaitu <1 cfu/ml.

Tabel 2 menunjukkan data jumlah contoh yang diambil pada setiap lokasi dengan tujuan untuk mengetahui keberadaan C. albicans yang terdapat pada contoh yang diambil tersebut.

Tabel 2 Lokasi dan jumlah pengambilan contoh Lokasi pengambilan

contoh

Jumlah contoh yang diambil berdasarkan jenis

Jumlah Tembolok Air-1 Air-2 Potongan

usus

Pasar Gunung Batu 9 1 3 2 15

Pasar Warung Jambu 9 1 2 5 17

Pasar Anyar 12 2 2 10 26

TPU Jambu Raya 10 1 1 5 17

TPU Pondok Rumput 10 1 1 10 22

RPH Bubulak 10 1 1 10 22

Jumlah 60 7 10 42 119

Catatan: Air-1: air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Air-2: air limbah

Penelitian ini menggunakan 119 contoh yang terdiri dari 60 contoh berasal dari tembolok, 42 contoh berasal dari potongan usus, 7 contoh berasal dari sumber air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas, dan 10 contoh lainnya berasal dari air limbah yang telah digunakan untuk mencuci karkas ayam. Tembolok yang dijadikan contoh terdiri dari dua jenis, yakni 13 contoh tembolok berasal dari ayam buras, yaitu 12 contoh diambil di Pasar Anyar dan 1 contoh diambil di Pasar Gunung Batu, sedangkan 47 contoh lainnya merupakan tembolok dari ayam ras pedaging. Potongan usus yang digunakan menjadi contoh juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 10 contoh potongan usus yang berasal dari ayam buras dan 32 contoh lainnya berasal dari ayam ras pedaging. Potongan usus dari ayam buras hanya diperoleh di Pasar Anyar.

Identifikasi C. albicans

Isolasi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya C. albicans dari contoh yang diambil. Isolasi awal dilakukan dengan mengidentifikasi koloni yang diduga sebagai C. albicans dari contoh yang telah diolah secara dilution plating. Kemudian koloni tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dan setelah masa inkubasinya tercapai, koloni yang tumbuh diamati dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap sediaan natif menggunakan pewarnaan LPCB.

26

Secara makroskopik, dapat dilihat bahwa koloni yang diduga C. albicans telihat koloni berbentuk bulat, berwarna putih, mempunyai permukaan yang halus dan licin, serta memiliki bau seperti ragi. Hasil pemeriksaan mikroskopik menunjukkan C. albicans dalam fase sel khamir (blastospora). Fase ini merupakan fase normal, dimana C. albicans berkembang biak dengan cara membentuk tunas atau yang biasa disebut budding cell (Gambar 7). Sedangkan beberapa C. albicans terlihat dalam fase sel hifa sejati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi fase ini, seperti perubahan komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu (Calderone 2002)

Gambar 7 Hasil pemeriksaan natif yang diwarnai dengan

LPCB memperlihatkan C. albicans dalam

bentuk sel khamir (blastospora) yang

membentuk tunas (budding cell)

Tabel 3 menunjukkan hasil pemeriksaan biokimiawi terhadap koloni-koloni yang diduga sebagai koloni-koloni Candida. Uji yang dilakukan terdiri dari uji asimilasi gula-gula untuk menentukan spesies Candida yang diisolasi dari contoh dan uji tabung kecambah. Uji ini merupakan salah satu uji biokimiawi didasari oleh kemampuan khamir untuk melakukan metabolisme oleh enzim yang dimilikinya (Lay 1994)

Tabel 3 Hasil uji kecambah dan asimilasi gula-gula terhadap beberapa koloni yang diduga sebagai C. albicans

Kode

koloni Asal koloni

Hasil uji kecambah

Hasil uji asimilasi gula-gula

Kesimpulan Glu Gal Suk Mal Lak Man

T 3 A Pasar Gunung Batu + + + + + - + C. albicans

T 9 B Pasar Warung Jambu + + + + - + - C.

parapsilosis

T 5 B Pasar Warung Jambu + + + - - - + C. rugosa

AB 1 B Pasar Warung Jambu + + - - - - - C. krusei

Catatan: T3A, T9B, dan T5B berasal dari tembolok. AB1B berasal dari air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Glu= Glukosa, Gal= Galaktosa, Suk= Sukrosa, Mal= Maltosa, Lak= Laktosa, Man= Manitol

Tanda positif pada uji asimilasi menunjukkan bahwa media berubah menjadi keruh. Kekeruhan tersebut menandai adanya pertumbuhan dari khamir karena khamir mampu memanfaatkan nutrisi berupa karbohidrat yang terdapat pada media yang diberikan.

Tanda positif pada uji tabung kecambah menunjukkan bahwa terbentuknya tabung kecambah (Gambar 8) pada isolat khamir tersebut. Uji tabung kecambah dilakukan dengan membiakkan isolat C. albicans dalam putih telur bebek dan diinkubasi pada suhu 37◦C dalam waktu 2-4 jam. Uji ini dilakukan untuk melihat kemampuan membentuk tabung kecambah yang dilakukan koloni khamir untuk menghindari bentuk blastospora dan membentuk hifa berfilamen. Namun, tabung kecambah ini hanya dapat dibentuk oleh C. albicans dan C. stellatoidea. Hasil positif tabung kecambah dari C. parapsilosis, C. rugosa, dan C. krusei berdasarkan Tabel 3 kemungkinan merupakan hasil positif palsu yang dikarenakan pembiakan yang terlalu lama (Al-Doory 1980; Abu-Elteen dan Hamad 2007)

Gambar8Tabung kecambah yang dibentuk oleh isolat

28

C. albicans yang diperoleh dari contoh-contoh yang diperiksa dari beberapa lokasi dipaparkan pada Tabel 4di bawah ini.

Tabel4 Koloni khamir yang berhasil ditumbuhkan dari contoh yang diperiksa Lokasi pengambilan

contoh

Dugaan koloni yang diisolasi dari contoh

Tembolok Air-1 Air-2 Potongan usus

Pasar Gunung Batu C. abicans - C. albicans C. krusei

Pasar Warung Jambu

C. albicans C. rugosa C. parapsilosis

- C. krusei C. albicans

Pasar Anyar

C. albicans C. albicans C. albicans C.albicans C. rugosa

TPU Jambu Raya C. albicans - - C. albicans

TPU Pondok Rumput C. albicans. - - C.albicans.

RPH Bubulak C. albicans - - C. albicans

Catatan: Air-1: air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Air-2: air limbah

Berdasarkan Tabel 4diatas, terdapat beberapa spesies Candida dari contoh-contoh yang diambil. Secara normal, spesies Candida dapat ditemukan sebagai mikroflora normal di dalam saluran pencernaan yang sehat, begitu pula dengan khamir lain yang dapat ditemukan di saluran pencernaaan seperti Rhodotorula sp., Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp. (Hastiono 1987; Kunkle 2003).

Berdasarkan hasil yang terdapat di dalam Tabel 4, C. albicansmerupakan khamir yangmendominasi di dalam baik usus maupun tembolok ayam jika dibandingkan dengan jenis khamir lainnya. Hal ini dikarenakan C. albicans umumnya terdapat pada saluran pencernaan ayam, baik ayam sehat maupun ayam sakit. Penelitian Kunkle (2003) memberikan data bahwa sebanyak 95% C. albicansdiisolasi dari tembolokayam ras pedaging.Selain pada saluran pencernaan, C. albicans secara normal juga dapat ditemukan di sistem reproduksi dan urinari (Vieira dan Coutinho2009). Selain C. albicans terdapat pula C. rugosa dan C. parapsilosis di dalam tembolok serta C. krusei dan C. rugosa di dalam potongan usus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hastiono (1987) yang menyatakan adanya isolasi dari C. albicans,C. guillermondii, C. krusei, C. parapsilosis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, C. rugosa, C. parakrusei, C. stellatoidea, C. ravautii, C. salmonicola, C. catenulata, dan C. brumptii.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, hanya C. albicans dan C. parapsilosis yang berkaitan dengan mikosis pada tembolok (Kunkle 2003)

Contoh air bersih untuk mencuci karkas maupun air limbah hasil cucian umumnya tidak tercemar oleh khamir yang dicari. Namun, beberapa tempat masih menunjukkan adanya cemaran dari Candida sp. Berdasarkan hasil penelitian Noverita (2009), terbukti bahwa 70% dari contoh air terdapat cemaran khamir. Candida sp. merupakan salah satu jenis khamir yang ditemukan dan spesiesnya yang dapat membahayakan kesehatan, yaitu C. albicans ditemukan di dalam perairan.

Kadar Hambat Minimum (MIC)

MIC ditentukan berdasarkan kadar terendah anticendawan yang dapat menghambat pertumbuhan koloni cendawan sebanyak 80% (Espinel-Ingroff dan Cantón 2007).Umumnya, penentuan MIC dilakukan dengan metode baik makrodilusi maupun mikrodilusi. Metode makrodilusihanya menggunakan satu isolat cendawan dan satu zat anticendawan yang terlarut dengan kadar tertentuyang kemudian dilakukan perbandingan dengan kontrol menggunakan spektofotometri. Namun, metode ini dianggap kurang efektif untuk pemeriksaan dalam jumlah besar. Metode mikrodilusi merupakan metode umum yang digunakan oleh laboratorium klinis untuk meneliti kepekaan isolat dalam jumlah besar terhadap agen anticendawan dengan menggunakan mikrotiter dan kemudian dilihat kejernihannya(Espinel-Ingroff dan Cantón 2007; Moran et al. 2007).

Penelitian ini menggunakan metode dilusi agar untuk menentukan kepekaan anticendawan. Metode ini dapat menggambarkan hasil MIC secara kuantitatif jika dibandingkan dengan metode zona hambat yang hanya dapat menggambarkan secara kualitatif (Hanlon et al. 2007).

Sebagai uji pendahuluan, dilakukan uji zona hambat untuk menentukan kisaran anticendawan yang mungkin efektif untuk isolat C. albicans dari masing-masing lokasi pengambilan contoh. Keefektifan dari anticendawan diketahui dengan terbentuk atau tidaknya zona hambat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. Namun keefektifan anticendawan yang digunakan tidak dapat ditentukan melalui metode zona hambat karena ukuran dari zona hambat yang

30

dihasilkan oleh masing-masing obat berbeda ukuran diameternya sehingga metode ini tidak dapat digunakan untuk menentukan MIC (Wanger 2007).

Kadar anticendawan pada tahap awal yang digunakan dalam uji zona hambat ini adalah jumlah kadar anticendawan tergolong peka, yaitu ≤

0,125µg/mL untuk itrakonazol,≤ 0,125 µg/mLuntuk ketokonazol, dan ≤0,25

µg/mL(Hobanet al. 1999; Perea dan Patterson 2002; Hammer et al. 2003). Kemudian kadar dari masing-masing anticendawan dinaikkan sampai terbentuk zona hambat dari masing-masing isolat, kecuali griseofulvin. Hal ini dikarenakan tidak terbentuknya zona hambat pada seluruh isolat walaupun kadar anticendawantelah dinaikkan sebesar 512 kali dari MIC.

Gambar 9 Zona hambat yang dibentuk oleh

anticendawan dengan

menggunakan metode sumur

Uji selanjutnya adalah uji untuk menentukan MIC dengan menggunakan metode dilusi agar. Setiap anticendawan yang diuji terdiri dari empat kadar anticendawan, yaitu 8,0 µg/mL; 2,0 µg/mL; 0,5 µg/mL dan 0,125 µg/mL untuk ketokonazol, 16,0 µg/mL, 4,0 µg/mL, 0,5 µg/mL dan 0,125 µg/mLuntuk itrakonazol serta kadar untuk griseofulvin adalah 128,0 µg/mL, 16,0 µg/mL, 2,0 µg/mL dan 0,25 µg/mL. MIC diperoleh jika kadar anticendawan yang digunakan dapat menghambat pertumbuhan dari koloni di dalam cawan petri sehingga yang tumbuh hanya 20% atau kurang dibandingkan dengan kontrol yang tidak dipaparkan anticendawan (Therese et al. 2006; Espinel-Ingroff dan Cantón 2007).

Nilai MIC sesuai dengan pengambilan contoh sesuai lokasi tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari lokasi contoh yang diperiksa

Lokasi Anticendawan(µg/mL)

KTK ITK GRIS

Ps. Gunung Batu 1,063ab 0,125b 65,000b

Ps. Warung Jambu 1,25ab 8,25ab 64,125b

Ps. Anyar 0,688ab 2,156ab 37b

TPU Jambu Raya 5a 2,25ab 65b

TPU Pondok Rumput 0,5b 8,25ab 72b

RPH Bubulak 2ab 16a 64,125b

C. albicans (Referensi) 0,125b(1) 0,125b(2) 800a(3)

Catatan: (1)Hoban et al. 1999; (2)Perea dan Patterson 2002; (3)Sehgal et al. 2005

KTK= ketokonazol; ITK=itrakonazol; GRIS=griseofulvin; Huruf superscript yang berbeda

pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 5, perbandingan nilai MIC ketokonazol dari masing-masing lokasi tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan nilai MIC ketokonazol C. albicans dari referensi, kecuali pada TPU Jambu Raya. Hal ini serupa dengan perbandingan nilai MIC itrakonazol yang tidak mengalami perbedaan yang nyata jika dibandingkan MIC itrakonazol dari referensi, kecuali MIC pada RPH Bubulak. Namun pada griseofulvin, terdapat nilai MIC yang berbeda nyata dari tiap-tiap lokasi dibandingkan nilai MIC griseofulvin terhadap C. albicans dari referensi. Dengan demikian, C. albicans yang diperoleh dari lapangan masih peka terhadap griseofulvin.

Melalui data yang diperoleh, lokasi bukan merupakan faktor yang mempengaruhi MIC. Pada Tabel 5 tertera bahwa nilai MIC ketokonazol pada TPU Jambu Raya memiliki nilai MIC yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan referensi namun jika dilihat dari segi sanitasi dan penanganan karkas pada TPU Jambu Raya tergolong baik. Menurut Murtidjo (2003), proses pemotongan, peralatan, dan lingkungan dapat mempengaruhi cemaran dari daging ayam karena kondisi ini dapat meningkatkan jumlah C. albicans yang mencemari daging ayam. Namun, meningkatnya jumlah koloni C. albicans tidak mempengaruhi kekebalan masing-masing sel khamir terhadap anticendawan. Terjadinya resistensi dari

32

masing-masing sel khamir dapat terjadi jika terjadi perubahan gen atau strain dari sel khamir tersebut (Bhanderi et al. 2009).

Tabel 6 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans dari contoh yang diperiksa

Contoh Anticendawan (µg/mL) KTK ITK GRIS Tembolok 1,5a 3,542a 69,375b Potongan Usus 2,225a 9,8a 77,25b Air-1 2a 4a 2b Air-2 0,125a 2,063a 2b

C. albicans (referensi) 0,125a(1) 0,125a(2) 800a(3)

Catatan: (1) Hoban et al. 1999; (2)Perea dan Patterson 2002; (3)Sehgal et al. 2005

KTK= ketokonazol; ITK=itrakonazol; GRIS=griseofulvin; Air-1= air bersih yang

digunakan untuk mencuci karkas; Air-2=air limbah; Huruf superscript yang berbeda pada

kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0,05) antar kelompok perlakuan.

Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata antara MIC ketokonazol dan itrakonazol dari masing-masing contoh dengan MIC yang berasal dari referensi. Hal ini menunjukkan bahwa C. albicans pada masing-masing isolat masih peka terhadap anticendawan yang diuji, kecuali isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus yang berasal dari TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol serta potongan usus dan tembolok yang berasal dari RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan bahwa nilai MIC isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh-contoh tersebut tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai MIC yang diperoleh dari isolat C. albicans yang berasal dari contoh lainnya.Namun nilai MIC griseofulvin pada masing-masing contoh menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan nilai MIC yang berdasarkan referensi. Maka, C. albicans pada masing-masing contoh masih tergolong peka terhadap griseofulvin.

Ketokonazol dan itrakonazol merupakan anticendawan yang berasal dari golongan azol. Golongan anticendawan ini mempunyai aktivitas menghambat biosisntesis ergosterol dengan menghasilkan kadar plasma yang akan mengikat enzim sitokrom P-450, komponen yang akan mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Ergosterol merupakan merupakan komponen sterol utama pada membran plasma fungi yang berperan penting untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Secara umum, ketokonazol dan itrakonazol memiliki struktur kimia dan profil farmakologisyang sama. Namun yang menjadi perbedaan adalah

afinitas itrakonazol terhadap enzim sitokrom P-450 di cendawan lebih besar sehingga efek samping yang diperoleh lebih kecil. (Bhanderi et al. 2009;Ghannoum dan Rice 1999)

Mekanisme terjadinya ketahanan pada golongan azol terdiri dari beberapa cara, yaitu mengurangi masuknya obat, perubahan mekanisme saat metabolisme obat di intraseluler, perubahan pada enzim sasaran, perubahan pada enzim lain yang termasuk dalam jalur biosintesis ergosterol, dan perubahan pada pompa ion. Reduksi obat merupakan mekanisme pertama bagaimana obat tersebut dapat menyebabkan cendawan menjadi tahan terhadap obat anticendawan karena sel dapat mengubah susunan membran untuk mencegah masuknya obat ke dalam sel. C. albicans dapat melakukan perubahan sterol dan komponen fosfolipid dari membran sitoplasma sehingga dapat mengurangi masuknya obat. C. albicans juga dapat memetabolisme anticendawan golongan azol, sehingga hal ini dapat mengganggu mekanisme kerja obat secara interseluler. Karena mekanisme utama dari golongan azol adalah menghambat biosintesis ergosterol, maka mekanisme ketahanan golongan azol yang paling penting dan sering terjadi adalah perubahan enzim yang merupakan sasaran obat maupun enzim yang berada pada jalur biosintesis sel. Perubahan ini terjadi akibat adanya mutasi gen sehingga khamir dapat bersifat tahan terhadap obat golongan azol. Mekanisme lainnya adalah perubahan pompa ion dengan menjalankan peran gen Candida Drug Resistance (CDR) yang menjadi dasar timbulnya ketahanan obat golongan azol (Bhanderi et al. 2009).

Resistensi ketokonazol diduga melalui beberapa cara. Pada saat resistensi ketokonazol ditemukan pertama kali dari pasien mukokutaneus kandidiasis kronis, keadaan ini diduga karena adanya impermeabilitas terhadap turunan azol sehingga resistensi terjadi karena adanya perubahan komponen pada membran sel. Perubahan yang terjadi adalah meningkatnya jumlah sterol non-ester pada membran sitoplasma C. albicans yang akan menurunkan rasio fosfolipid/sterol yang termasuk dalam komponen yang peka terhadap golongan azol menjadi setengahnya. Resistensi terhadap ketokonazol juga dapat terjadi karena adanya modifikasi sitokrom P-450 yang menyebabkan penurunan afinitas terhadap ketokonazol (Bossche 1997).

34

Mekanisme resistensi itrakonazol umumnya sama dengan mekanisme resistensi terhadap ketokonazol. Terjadinyaresistensi terhadap itrakonazol dikarenakan adanya mutasi sitokrom P-450 yang didalamnya terdapat mikrosom P-450 yang dapat menurunkan afinitas obat. Hal ini juga menyebabkan obat tidak berpengaruh terhadap mekanisme pompa ion yang terdapat dalam khamir sehingga pompa ion tetap bekerja meskipun terdapat komponen-komponen obat (Bossche 1997; Maesaki et al. 1998).

Griseofulvin merupakan agen anticendawan yang bekerja dengan cara menghambat mitosis cendawan yang menyebabkan pemutusan berkas mitotik akibat dari interaksi obat dengan mikrotubulus yang terpolimerisasi. Namun spektrum yang dimiliki oleh griseofulvin hanya terbatas pada cendawan-cendawan dermatofita. Cendawan kelompok ini mampu melakukannya karena proses ini membutuhkan energi yang besar untuk melakukan sistem metabolisme terhadap anticendawan griseofulvin. Sedangkan C. albicans memiliki sistem metabolisme yang singkat dan tidak membutuhkan energi sehingga cendawan ini digolongkan tidak peka terhadap griseofulvin (Bahry dan Setiabudy 1995; Bossche 1997). Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di dalam penelitian ini, isolat C. albicans masih tergolong peka terhadap griseofulvin. Hal ini dimungkinkan oleh griseofulvin dapat bersifat fungisidal pada sel khamir muda sehingga dapat mengurangi pertumbuhan C. albicans (Bahry dan Setiabudy 2005).

Selain faktor dari obat dan khamir yang banyak berperan dalam sistem metabolisme, terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi resistensi terhadap anticendawan. Faktor tersebut diantaranya adalah jumlah koloni, kemapanan genom pada galur, status kebal dari inang, penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai oleh inang (Bhanderi et al. 2009). Menurut Hastiono (1987), pemberian antibiotika ke dalam pakan dapat mempengaruhi jumlah khamir, yakni terjadi

Dokumen terkait