• Tidak ada hasil yang ditemukan

KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

PATRICIA NOREVA. Susceptibility of Candida albicans which Isolated from Poultry Abattoirs and Traditional Markets to Antifungal Agents of Ketoconazole, Itraconazole and Griseofulvin. Supervised by EKO SUGENG PRIBADI and

HERLIEN KRISNANINGSIH.

Candidiasis, caused by Candida albicans, is the important mycoses in poultry. In accordance with the development of feed technology, many factors are affecting the health of poultry.Using some antifungals for candidiasis medication are being emerging antifungal-resistant Candida albicans. The study have evaluated sensitivity of C. albicans, which isolated from crops, intestines, and water samples, to the antifungals ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin. The result showed that isolated C. albicanswere killed by the antifungal ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin except C. albicansthat isolated from intestine sample at TPU Jambu Raya was killed by ketoconazole, and C. albicansthat isolated by intestine and crop samples at RPH Bubulak were killed itraconazole, respectively. There were no significant differences between isolated and reference C. albicans sensitivity (p>0.05) toketoconazole and itraconazole, except to griseofulvin were more sensitive. The ketokonazole was more effective to kill C. albicans than itraconazole and griseofulvin.

(2)

PATRICIA NOREVA.KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin.Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan HERLIEN KRISNANINGSIH.

Kandidiasis, yang disebabkan oleh Candida albicans, merupakan salah satu penyakit mikosis terpenting dalam peternakan unggas. Seiring dengan berkembangnya teknologi pakan ternak, banyak faktor yang ikut mempengaruhi kesehatan unggas. Penggunaan anticendawan untuk pengobatan kandidiasis akan mempengaruhi resistensi anticendawan terhadap Candida albicans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepekaan C. albicans, yang diisolasi dari tembolok, usus dan air, terhadap anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa C. albicansmasih peka terhadap pemberian anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin kecuali isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol serta isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus dan tembolok RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) dalam kepekaan anticendawan antara C. albicans yang diisolasi dari contoh dengan referensi, kecuali griseofulvin yang lebih peka. Ketokonazol lebih efektif membunuh isolat C. albicans dibandingkan itrakonazol dan griseofulvin.

(3)

KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI

BEBERAPA TEMPAT PEMOTONGAN UNGGAS DAN

PASAR TRADISIONAL TERHADAP OBAT

ANTICENDAWAN KETOKONAZOL,

ITRAKONAZOL DAN

GRISEOFULVIN

PATRICIA NOREVA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvinadalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

(5)

ABSTRACT

PATRICIA NOREVA. Susceptibility of Candida albicans which Isolated from Poultry Abattoirs and Traditional Markets to Antifungal Agents of Ketoconazole, Itraconazole and Griseofulvin. Supervised by EKO SUGENG PRIBADI and

HERLIEN KRISNANINGSIH.

Candidiasis, caused by Candida albicans, is the important mycoses in poultry. In accordance with the development of feed technology, many factors are affecting the health of poultry.Using some antifungals for candidiasis medication are being emerging antifungal-resistant Candida albicans. The study have evaluated sensitivity of C. albicans, which isolated from crops, intestines, and water samples, to the antifungals ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin. The result showed that isolated C. albicanswere killed by the antifungal ketoconazole, itraconazole, and griseofulvin except C. albicansthat isolated from intestine sample at TPU Jambu Raya was killed by ketoconazole, and C. albicansthat isolated by intestine and crop samples at RPH Bubulak were killed itraconazole, respectively. There were no significant differences between isolated and reference C. albicans sensitivity (p>0.05) toketoconazole and itraconazole, except to griseofulvin were more sensitive. The ketokonazole was more effective to kill C. albicans than itraconazole and griseofulvin.

(6)

PATRICIA NOREVA.KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin.Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan HERLIEN KRISNANINGSIH.

Kandidiasis, yang disebabkan oleh Candida albicans, merupakan salah satu penyakit mikosis terpenting dalam peternakan unggas. Seiring dengan berkembangnya teknologi pakan ternak, banyak faktor yang ikut mempengaruhi kesehatan unggas. Penggunaan anticendawan untuk pengobatan kandidiasis akan mempengaruhi resistensi anticendawan terhadap Candida albicans. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepekaan C. albicans, yang diisolasi dari tembolok, usus dan air, terhadap anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa C. albicansmasih peka terhadap pemberian anticendawan ketokonazol, itrakonazol, dan griseofulvin kecuali isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus TPU Jambu Raya terhadap ketokonazol serta isolat C. albicans yang berasal dari potongan usus dan tembolok RPH Bubulak terhadap itrakonazol. Tidak terdapat perbedaan nyata (p>0,05) dalam kepekaan anticendawan antara C. albicans yang diisolasi dari contoh dengan referensi, kecuali griseofulvin yang lebih peka. Ketokonazol lebih efektif membunuh isolat C. albicans dibandingkan itrakonazol dan griseofulvin.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI

BEBERAPA TEMPAT PEMOTONGAN UNGGAS DAN

PASAR TRADISIONAL TERHADAP OBAT

ANTICENDAWAN KETOKONAZOL,

ITRAKONAZOL DAN

GRISEOFULVIN

PATRICIA NOREVA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Skripsi : KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvin Nama : Patricia Noreva

NIM : B04070171

Disetujui,

Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS. Pembimbing I

drh.Herlien Krisnaningsih, MM. Pembimbing II

Diketahui,

drh. H, Agus Setiyono, MS., PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

(10)

dan hidayah-Nya penelitian serta penulisan skripsi dengan judul

KepekaanCandida albicans yangDiisolasidari Beberapa Tempat Pemotongan Unggasdan Pasar Tradisional terhadap Obat Anticendawan Ketokonazol, Itrakonazol dan Griseofulvindapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pikah. Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua dosen pembimbing Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS. dan drh. Herlien Krisnaningsih, MM. yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, motivasi, kesabaran, pemikiran, dan waktu selama proses penelitian serta penulisan skripsi. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, MS. selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan motivasi serta arahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc. yang selalu memberikan dukungan serta semangatnya, kepada seluruh pihak dari Dinas Peternakan Kota Bogor (Ibu Osliana, drh. Arif, drh. Mustika) serta seluruh staf bagian Mikrobiologi FKH IPB (pak Agus, mbak Selin, pak Said, pak Ismet, bu Esih, pak Jumli) atas bantuan serta kerjasamanya dalam menyelesaikan penelitian ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Papa dan Mama tercinta, Nur Syamsu, SE. dan Evelyne Engelica, SE. atas segala kasih sayang, motivasi, semangat, serta doa yang selalu menyertai. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu penelitian (Danah, Desi, Alvi), teman-teman satu bimbingan akademik (Arpha, Dara, Isma, Lina, Yasmin, dan Ardha), orang-orang terdekat (Wisnu, Gita, Astri, Fuji, Kenyo, Cholill, Nova, Ridwan, Dani, Arie, Dora, Rifqi, Sovie, Kak Winda, Wayan, Sri, Medina, Vidy) atas kebersamaan, dukungan, bantuan, serta semangatnya, serta keluarga besar GIANUZZI dan HKSA atas segala pertemanan dan pengalaman yang sangat berharga, serta semua pihak yang baik sengaja maupun tidak sengaja membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, April2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1989 dari ayah pasangan Nur Syamsu, SE. dan Evelyne Engelica, SE. Penulis merupakan anak tunggal.

Penulis memulai pendidikan di TK Ratna Kusuma pada tahun 1993-1995, kemudian penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SD Kartika XI-2, Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 49 Jakarta dan lulus pada tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 14 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

(12)

DAFTAR TABEL ... xii

Kasus Kandidiasis (Candidiasis) pada Ayam ... 8

Antibiotika dan Anticendawan dalam budidaya Ayam ... 10

Amfoterisin B ... 12

Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Metode ... 17

Pengambilan Contoh ... 17

Pengolahan Contoh ... 18

Pengamatan Terhadap Koloni C. albicans ... 18

Identifikasi Isolat C. albicans ... 18

Uji Kepekaan Anticendawan ... 19

Uji Penentuan Kadar Minimum Penghambatan (Minimum Inhibitory Concentration –MIC) ... 20

Analisis Data ... 21

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Lokasi Pemotongan Ayam ... 22

Identifikasi C. albicans ... 25

(13)

xi

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ... 36

Simpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(14)

Halaman

1 Obat anticendawan yang digunakan pada unggas dan burung ... 12 2 Lokasi dan jumlah pengambilan contoh ... 25 3 Hasil uji kecambah dan asimilasi gula-gula terhadap koloni yang diduga C.

albicans ... 27 4 Koloni khamir yang berhasil ditumbuhkan dari contoh yang diperiksa ... 28 5 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh

yang diperiksa ... 31 6 Nilai MIC terhadap beberapa isolat C. albicans dari contoh yang diperiksa

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Anatomi saluran pencernaan ayam ... 6

2 Fase C. albicans ... 8

3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B ... 13

4 Struktur kimia pembentuk flukonazol ... 13

5 TPU Jambu Raya ... 23

6 (a) Salah satu tembolok yang dijadikan contoh ... 24

(b) Salah satu potongan usus yang dijadikan contoh ... 24

7 Hasil pemeriksaan natif yang diwarnai dengan LPCB memperlihatkan C. albicans dalam bentuk sel khamir (blastospora) yang membentuk tunas (budding yeast) ... 26

8 Tabung kecambah yang dibentuk oleh koloni yang diduga sebagai C. albicans ... 27

(16)

Halaman

1 Hasil analisis statistika MIC ketokonazol terhadap C. albicans berdasarkan lokasi menggunakan perangkat lunak SAS ... 42 2 Hasil analisis statistika MIC itrakonazol terhadap C. albicans berdasarkan

lokasi menggunakan perangkat lunak SAS ... 44 3 Hasil analisis statistika MIC griseofulvin terhadap C. albicans berdasarkan

lokasi menggunakan perangkat lunak SAS ... 46 4 Hasil analisis statistika MIC ketokonazol terhadap C. albicans berdasarkan

contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS... 48 5 Hasil analisis statistika MIC itrakonazol terhadap C. albicans berdasarkan

contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS... 50 6 Hasil analisis statistika MIC griseofulvin terhadap C. albicans berdasarkan

contoh yang diperiksa menggunakan perangkat lunak SAS ... 52 7 Hasil analisis statistika perbandingan nilai MIC antar anticendawan

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging ayam merupakan salah satu bahan makanan utama mayoritas

masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena harga daging ayam dapat

dijangkau oleh masyarakat luas. Daging ayam mengandung protein yang tinggi

serta berlemak rendah. Murtidjo (2003) memaparkan bahwa daging ayam juga

memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih lunak jika dibandingkan dengan

dagingsapi dan ternak lain sehingga lebih mudah dicerna. Namun, sebelum

mendapatkan mutu daging ayam yang baik dan layak untuk dimakan oleh

masyarakat, perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu daging

ayam tersebut. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam budidaya ayam

pedaging komersil diantaranyapengelolaan pemeliharaan, pemberian pakan,

pencegahan dan penanggulangan terhadap penyakit, pengangkutan, pemotongan,

dan faktor-faktor lain.

Pakan merupakan faktor yang berperan sangat besar dalam keberhasilan

suatu usaha budidaya ayam. Menurut Ahmad (2009), pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak. Komponen utama penyusun pakan adalah biji-bijian seperti jagung. Biji-bijian umumnya mengandung air, karbohidrat, protein termasuk enzim, lemak, mineral, dan vitamin sehingga bahan pakan tersebut mudah tercemari cendawan. Bahan pakan lainnya yang biasa digunakan sebagai penyusun ransum adalah bungkil kedelai, tepung tulang, dedak, polar putih, bungkil kelapa, garam, vitamin, mineral, antelmintik, pemacu pertumbuhan, dan tepung ikan. Pakan yang baik mempunyai kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan ternak, palabilitas tinggi, imbuhan pakan tepat, dan bebas dari cemaran mikroba patogen.

(18)

menyerang saluran pencernaan terutama tembolok, dan kadang-kadang rongga mulut, esofagus, dan proventrikulus.

Candida merupakan salah satu khamir yang secara normal berada di

sistem pencernaan manusia dan hewan yang sehat. Namun, jika khamir ini

terdapat dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan penyakit

yang disebut kandidiasis (Candidiasis). Penyakit ini mungkin saja menyerang ternak ayam yang diakibatkan oleh sanitasi peternakan yang sangat buruk atau akibat ayam sering diberi antibiotika terus-menerus (Fadilah dan Polana 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hastiono (1987), pemberian antibiotika ke dalam pakan sebagai imbuhan pakan (feed additive)dapat merangsang pertumbuhan dan meningkatkan jumlah khamir secara sangat nyata dalam tembolok ayam pedaging. Hal ini disebabkan oleh adanya kemampuan khamir menggunakan antibiotika untuk merangsang pertumbuhannya.

Selain antibiotika, anticendawan juga merupakan salah satu bahan tambahan yang dicampurkan ke dalam pakan ayam. Salah satu contoh anticendawan yang biasa ditambahkan dalam pakan adalah nistatin. Menurut Tabbu (2000), pemberian nistatin dalam pakan ayam dapat menurunkan jumlah

Candida dalam saluran pencernaan ayam sehingga dapat mencegah terjadinya kandidiasis. Selain itu, Fadilah dan Polana (2004) juga memaparkan bahwa pemberian nistatin pada pakan juga dapat mencegah serta menekan terjadinya kasus aspergillosis. Maka dari itu, pemberian anticendawan secara berkala dipercaya dapat menurunkan jumlah kasus mikosis.

(19)

3

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai spesies C.

albicans yang berada di pasar tradisional dan tempat pemotongan ayam yang

tahan terhadap obat-obatanticendawan.

Hipotesis

H0 : Ada beberapa spesies C. albicans dari pasar tradisional dan tempat

pemotongan ayam yang tahan terhadap obat-obatanticendawan

H1 : Tidak ditemukan spesies C. albicans dari pasar tradisional dan

tempat pemotongan ayam yang tahan terhadap

(20)

Ayam Pedaging

Ayam umumnya dapat menghasilkan daging maupun telur. Istilah

“pedaging” yang diperoleh ayam pedaging dapat diberikan kepada seluruh jenis ayam yang dapat memproduksi daging. Namun Rasyaf (2008) mendefinisikan

ayam pedaging sebagai ayam jantan dan ayam betina yang berumur di bawah

delapan minggu dan ketika dijual memiliki bobot tubuh tertentu, mempunyai

pertumbuhan yang cepat, serta mempunyai dada yang lebar, serta mempunyai

timbunan daging yang baik dan banyak. Pengertian ini menyebabkan ayam ras

pedaging lebih identik sebagai ayam pedaging jika dibandingkan dengan ayam

buras. Namun di Indonesia, salah satu ayam buras, yaitu ayam buras, juga banyak

digunakan sebagai ayam yang dijadikan bahan makanan,terutama di daerah

pedesaan yang umumnya memelihara ayam.

Ayam ras pedaging adalah ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki

karakteristik ekonomis. Ayam ini memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, angka

konversi pakan yang rendah, siap dipotong saat berumur relatif muda, dan

menghasilkan daging berserat lunak. Biasanya ayam ini dipasarkan saat berumur

6–8 minggu. Umumnya ayam jantan menunjukkan pertumbuhan lebih cepat 10–

15% dengan efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik dan persentase

karkasnya lebih besar (Murhananto dan Purbani 2008)

Ayam ras pedaging memiliki beberapa sifat, antara lain mempunyai sifat

dan mutu daging yang baik (meatness), laju pertumbuhan dan bobot badan (rate

of gain) tinggi, warna kulit kuning, konversi pakan rendah, bebas dari

kanibalisme, sehat dan kuat, kaki tidak mudah bengkok, tidak temperamental dan

cenderung malas dengan gerakan lamban, daya hidup tinggi (95%) tetapi tingkat

kematian rendah, serta kemampuan membentuk karkas tinggi (Yuwanta 2004).

Namun Murhananto dan Purbani (2008) menyatakan bahwa ayam ras pedaging

tergolong hewan yang mudah stres sehingga pemeliharaannya harus dilakukan di

tempat yang tenang dan agak jauh dari pusat-pusat keramaian. Ayam ini juga

(21)

5

Ayam buras (bukan ras) merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara

oleh masyarakat di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Ayam buras yang

biasa digunakan untuk bahan makanan dikenal sebagai ayam buras. Ayam ini

merupakan ayam jinak yang telah terbiasa hidup di tengah masyarakat, memiliki

daya adaptasi ayam ini sangat tinggi, karena mampu menyesuaikan diri dengan

berbagai situasi, lingkungan, dan iklim yang ada (Sarwono 2003).

Menurut Nuroso (2010), pemeliharaan ayam buras sangat mudah karena

tahan terhadap kondisi lingkungan dan pengelolaan yang buruk, tidak

memerlukan lahan yang luas dan dapat dipelihara di lahan sekitar rumah, harga

jualnya stabil dan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ayam pedaging lain,

serta tidak mudah stres terhadap perlakuan yang kasar dan daya tahan tubuhnya

lebih kuat dibandingkan dengan ayam pedaging lainnya. Namun, Cahyono (1996)

mengungkapkan bahwa ayam ini memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan

memelihara ayam ras pedaging, yaitu umumnya bertubuh kecil, memiliki

pertumbuhan yang lambat, produksi telur yang rendah dan berukuran kecil, serta

memiliki daya alih (konversi) pakan menjadi produk protein (daging) yang rendah

dibanding dengan ayam ras.

Saluran Pencernaan Ayam

Sistem pencernaan unggas berbeda dengan sistem pencernaan pada hewan

lainnya. Unggas tidak memiliki gigi sehingga tidak terjadi proses pengunyahan

pakan. Pakan akan melewati esofagus dan langsung menuju tembolok. Pakan di

dalam tembolok akan mendapatkan sekreta mukus yang berfungsi untuk

menghaluskan pakan. Setelah melewati tembolok, pakan menuju lambung

kelenjar (proventrikulus) yang merupakan organ berdinding tebal dan berada di

depan lambung otot (gizzard). Pakan disimpan secara sementara di proventrikulus

dan dicampur dengan enzim pepsin dan amilase yang dihasilkan oleh organ

tersebut. Setelah itu, pakan masuk ke lambung otot, yang merupakan organ

tersusun dari otot yang kuat, yang berisi bebatuan atau pasir, dan di dalamnya

pakan akan dihancurkan. Pakan kemudian berpindah menuju usus halus, sekum

(22)

cepat karena membutuhkan waktu cerna hanya 2½ jam pada ayam petelur dan

8-12 jam pada ayam lain (Scanes et al. 2004).

Gambar 1 Anatomi saluran pencernaan ayam (Bell 2002)

Tembolok adalah modifikasi dari esofagus. Fungsi utama dari organ ini

adalah untuk menyimpan pakan sementara, terutama pada saat ayam makan dalam

jumlah banyak. Bolus berada di tembolok selama dua jam.

Kapasitas tembolok mampu menampung pakan 250 g. Pada tembolok

terdapat saraf yang berhubungan dengan pusat kenyang-lapar di hipotalamus

sehingga banyak sedikitnya pakan yang terdapat dalam tembolok akan

memberikan respon pada saraf untuk makan atau menghentikan makan (Yuwanta

2004).

Tembolok mensekresikan mukus yang berfungsi sebagai cairan lubrikasi

yang dapat menghaluskan pakan. Jika ayam lapar, pakan akan melewati tembolok

dan menuju langsung ke proventrikulus dan lambung otot. Selama proses

memakan, tembolok mulai terisi dan bertindak sebagai organ penyimpanan

(Scanes et al. 2004).

Usus besar, atau kolon, pada unggas tergolong pendek dan mempunyai

struktur yang mirip dengan usus halus. Usus besar dianggap tidak memiliki

peranan yang nyata dalam proses pencernaan dan penyerapan.

Sekum merupakan organ berbentuk tabung yang buntu pada perbatasan

(23)

7

sekum yang besar, sedangkan pada tipe unggas lainnya hanya terdapat satu

kantung rudimenter bahkan terdapat beberapa unggas yang tidak memiliki sekum

sama sekali (Scanes et al. 2004).

C. albicans

C. albicans adalah khamir komensal (normal) di mukosa mulut, saluran

pencernaan dan vagina. Namun, khamir ini bisa menjadi masalah bila fase

pertumbuhannya berubah dari fase khamir ke fase kapang ketika berada di

membran mukosa inang. Kejadian ini biasa disebut kandidiasis (Berman dan

Sudbery 2002).

Blastospora (sel khamir) berbentuk bulat sampai oval dan selnya terpisah

satu sama lain. Selain blastospora, C. albicans juga dapat membentuk hifa sejati

dan pseudohifa. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang

pararel tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk

elipsoida yang tetap menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Perbedaan

antara hifa sejati dan pseudohifa adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan

cabang dari hifa sejati lain, sedangkan pseudohifa terbentuk dari blastospora atau

pertunasan dari hifa dan sel baru tersebut tetap menempel pada sel induknya dan

tetap menjulur (Calderone 2002). Fase-fase yang dapat dibentuk oleh C. albicans

ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.

Perubahan bentuk C. albicans dari khamir ke kapang bisa terjadi karena

pengaruh berbagai macam faktor lingkungan, antara lain perubahan dari

komposisi media, penambahan serum, tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang

tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu. Suhu dan pH yang optimal bagi

blastospora C. albicans berubah menjadi hifa adalah lebih dari 35oC dan 6,5-7,0

atau mendekati suasana basa. C. albicans juga dapat membentuk khlamidospora.

Khlamidiospora merupakan berntuk pertahanan yang dibentuk pada kondisi

(24)

Gambar 2 Fase pada C. albicans (Anonim 2010)

Menurut Sen dan Baksi (2009), klasifikasi C. albicans adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Fungi

Filum : Ascomycota

Subfilum : Ascomycotina

Kelas : Ascomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Famili : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Spesies : C. albicans

Kasus Kandidiasis (Candidiasis) pada Ayam

Candidadapat menyebabkan kandidiasis pada ayam. Kondisi yang dapat

memacu terjadinya kandidiasis antara lain adalah umur ayam. Ayam yang lebih

muda umumnya lebih rentan terhadap penyakit ini. Sanitasi kandang ataupun

peralatan, kondisi kandang dengan populasi yang padat, serta timbulnya cekaman

merupakan faktor-faktor lain yang dapat memicu terjadinya kandidiasis. Di

Indonesia, penyakit ini dapat dijumpai pada berbagai peternakan ayam komersial

yang tersebar di berbagai daerah. Penyakit tersebut kerapkali ditemukan juga pada

(25)

9

mempunyai tingkat sanitasi yang kurang memadai. Penyakit ini dapat ditemukan

pada berbagai jenis unggas pada semua tingkatan umur, terutama ayam, kalkun,

burung merpati, burung merak, burung puyuh, dan angsa. Manusia dan hewan

peliharaan juga peka terhadap kandidiasis. Faktor pendukung kejadian kandidiasis

adalah tingkat higienis dan sanitasi yang tidak memadai, penggunaan antibiotika

yang berlebihan, penurunan kondisi tubuh/kelemahan umum, dan berbagai

cekaman, misalnya kepadatan kandang yang tinggi dan defisiensi nutrisi (Tabbu

2000;Janmaat dan Morton 2010).

C. albicans merupakan spesies utama penyebab kandidiasis, meskipun

spesies Candida non-albicans juga telah diisolasi dari unggas sehat maupun sakit.

Dalam survei terhadap tembolok yang berasal dari ayam ras pedaging, 95% dari

isolat terdiri atas C. albicans, dan sisanya diidentifikasikan sebagai C. ravautii, C.

salmonicola, C. guilliermondii, C. parapsilosis, C. catenulata, atau C. brumptii.

Berdasarkan hasil penelitian, hanya C. albicans dan C. parapsilosis yang

berhubungan dengan kasus mikosis pada tembolok. Berdasarkan hasil isolasi dari

kalkun yang terjangkit candidiasis, terdeteksi C. albicans, C. rugosa, C. famata,

C. tropicalis, dan C. guilliermondii dengan hanya C. rugosa yang terisolasi dari

beberapa tembolok yang terinfeksi (Kunkle 2003).

Menurut Butcher dan Miles (2009), gejala klinis dari ayam yang menderita

kandidiasis berupa hilangnya berat badan, terjadi muntah secara berkala, dan

terlihat lesu. Gejala lain adalah menurunnya laju pertumbuhan pada ayam muda,

diare, dan terhambatnya pengosongan dan perbesaran tembolok. Selain gejala

klinis di atas, gejala lain yang biasanya muncul adalah terjadinya lesio di mulut

berupa peradangan kaseosa pada mulut. Lesio ini serupa dengan lesio pada

defisiensi vitamin A dan lesio proliferasi pada avian pox bentuk basah. Pada tahap

yang lebih parah, lesio pada mulut menjadi obstruktif dan dapat mengganggu

respirasi dan pencernaan, sehingga menyebabkan kelesuan dan terhambatnya

pertumbuhan serta penambahan bobot badan.

Tingginya kasus kandidiasis pada tembolok dikarenakan fungsi tembolok

sebagai tempat untuk menampung pakan sementara. Sisa-sisa pakan, terutama

spora jamur yang mencemari pakan, akan bertahan lama di dalam tembolok,

(26)

Kandidiasis tidak menular dari ayam satu ke ayam lainnya. Penyakit ini

dapat menular melalui oral karena memakan pakan atau meminum air minum atau

karena kontak dengan bahan/lingkungan yang tercemar oleh khamir tersebut.

Penyakit ini dapat menular dengan mudah melalui air minum yang kotor yang

tercemar oleh C. albicans (Tabbu 2000).

Antibiotika dan Anticendawan dalam Budidaya Ayam

Imbuhan pakan (feed additive) sering digunakan dalam pakan untuk

merangsang pertumbuhan dan kinerja ayam, seperti menghasilkan telur,

memperbaiki efisiensi pakan, dan berguna untuk memberikan pengendalian

terhadap kesehatan atau metabolisme ternak. Salah satu bahan yang sering

digunakan sebagai pakan tambahan adalah antibiotika (Scanes et al.

2004).Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bahri et al. (2005), hampir semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotika ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotika.

Menurut Windisch et al. (2008), antibiotika digolongkan sebagai feed

additive, karena tidak termasuk dalam kategori pakan meskipun dalam peternakan

ayam memiliki peranan penting dalam merangsang pertumbuhan dan

memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Antibiotika ini sanggup menekan

pertumbuhan mikroorganisme yang menyebabkan penyakitterutama bakteri

patogen sehingga absorpsi nutrisi dalam sistem pencernaan. Selain itu, pemberian

antibiotika ke dalam pakan juga memiliki dampak negatifkarena dapat

menimbulkan resistensi terhadap antibiotika.

Menurut Murtidjo (1987),penggunaan aureomisin (khlortetrasiklin),

teramisin (oksitetrasiklin) dan penisilin yang dicampurkan dalam pakan ternak

unggas berpengaruh merangsang pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan

ternak unggas yang memakan pakan tanpa dicampur antibiotika. Sedangkan

antibiotika seperti basitrasin, streptomisin, dan lainnya tidak dapat dipergunakan

karena berpengaruh buruk.

Pemberian CO2, kedap udara, fumigan (fosfin/PH3)dan metil bromida pada

(27)

11

Sedangkan untuk mencegah terjadinya timbulnya penyakit yang disebabkan oleh kapang ataupun khamir dapat dilakukan dengan pemberian nistatin melalui pakan (Ahmad 2009; Tabbu 2000)

Penggunaan antibiotika sebagai feed additive di Eropa dalam upaya untuk

meningkatkan produksi hewan telah dilarang. Namun, antibiotika ionofor masih

dipergunakan sebagai feed additive untuk mengontrol koksidiosis, meskipun

dalam aplikasinya juga dipergunakan sebagai pemacu pertumbuhan (Elwinger et

al. 1998). Menurut Hastiono (1987), antibiotika juga dapat menyebabkan jumlah

khamir, terutama khamir yang bersifat patogen, meningkat secara sangat nyata

dalam tembolok ayam pedaging. Keberadaan khamir yang terlacak di dalam

penelitian tersebut diantaranya C. albicans, C. guillermondii, C. krusei, C.

parapsilopsis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, Geotrichum sp., Rhodotula sp.,

Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp.Peningkatan jumlah

khamir oleh pemberian antibiotika ini terjadi karena khamir mempunyai

kemampuan menggunakan antibiotika, dalam hal ini penisilin dan tetrasiklin,

sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhannya.Selain itu, antibiotika juga

membunuh bakteri yang berfungsi untuk menyaingi khamir dalam memperoleh

zat-zat hara serta mengurangi ataupun menghilangkan jasad yang menghasilkan

bahan-bahan anticendawan.

Menurut Rochette et al. (2003), sejumlah anticendawan yang digunakan

untuk mengobati kandidiasis pada unggas adalah amfoterisin B (amphotericin B),

flukonazol (fluconazole), itrakonazol (itraconazole), ketokonazol (ketoconazole),

mikonazol (miconazole), nystatin (nystatin), dan parkonazol (parconazole) seperti

yang tercantum pada Tabel 1.

Dun (1999) mengungkapkan bahwa sejak diperkenalkannya anticendawan

golongan azol, sediaan ini lebih dipilih penggunaannya untuk mengobati infeksi

akibat Candida. Hal ini disebabkan karena terapi dan pengobatan dengan

menggunakan sediaan anticendawan dari golongan azol menghasilkan efek

samping yang lebih sedikit dan mengeliminasi cendawan sama baiknya dengan

(28)

Tabel 1 Obat anticendawan yang digunakan pada unggas dan burung (Rochette et

al. 2003)

Anticendawan Rute penggunaan Untuk infeksi oleh

Amfoterisin B Injectable lotions 3%, i.v.,

intratrakeal, nebulisasi

Aspergillus, Candida

Klotrimazol Nebulisasi Aspergillus

Flukonazol Oral (sediaan tablet, cair) Candida sistemik

Flusitosin Oral Aspergillus

Enilkonazol Spray Aspergillus pada mesin penetas

Itrakonazol Oral, sediaan di dalam

kapsul

Aspergillus, Candida

Ketokonazol Oral (tablet) Candida (Aspergillus)

Mikonazol Nebulisasi Aspergillus

Parkonazol Bubuk di dalam pakan Candida (trush) pada ayam

mutiara

Tiabendazol Smoke tablet Aspergillus

Amfoterisin B

Amfoterisin A dan B merupakan hasil fermentasi oleh Streptomyces

nodosus. Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dan sel dewasa.

Antibiotika ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung dari dosis dan

kepekaan cendawan yang dipengaruhi. Aktivitas anticendawan ini sangat terlihat

nyata pada pH 6,0-7,5 dan berkurang pada pH yang lebih rendah.

Mekanisme kerja amfoterisin B adalah dengan cara berikatan kuat dengan

sterol yang terdapat pada membran sel cendawan. Ikatan ini akan menyebabkan

membran sel bocor sehingga terjadi kehilangan beberpa bahan intrasel dan

mengakibatkan kerusakan yang permanen pada sel (Bahry dan Setiabudy 1995).

Amfoterisin B telah digunakan untuk mengobati infeksi cendawan baik

secara sistemik maupun topikal pada unggas. Formulasi intravena telah diberikan

dengan rute injeksi secara intravena, melalui trakea menggunakan kateter, atau

diinjeksikan ke kantung hawa yang terinfeksi. Formulasi intravena juga digunakan

melalui nebulisasi pada burung berparuh bengkok(psittacines) dan burung

(29)

13

Gambar 3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B (Ghannoum dan Rice 1999)

Flukonazol

Flukonazol adalah turunan dari triazol dan bersifat fungistatik. Gugus

derivat triazol, seperti imidazol (kloritomazol, ketokonazol, dll.), mempunyai

mekanisme kerja mengubah membran sel cendawan yang mempunyai kepekaan

terhadap anticendawan tersebut, sehingga meningkatkan permeabilitas dan

membiarkan komponen di dalam sel bocor dan mengganggu ikatan prekusor purin

dan pirimidin (Plumb 1999)

Flukonazol merupakan obat yang dapat diserap sempurna melalui saluran

cerna tanpa dipengaruhi adanya pakan ataupun keasaman lambung. Oleh karena

itu, flukonazol dikatakan ditoleransi dengan baik. Efek samping yang sering

ditemukan akibat penggunaan flukonazol adalah gangguan saluran pencernaan

(Bahry dan Setiabudy 1995).

Gambar 4 Struktur kimia pembentuk flukonazol (Ghannoum dan Rice 1999)

Berdasarkan penelitian Dun (1999) yang membandingkan efikasi

flukonazol dengan amfoterisin B dalam morbiditas dan mortalitas pada pasien

yang mengalami kandidiasis, menunjukkan bahwa flukonazol sama efektifnya

dengan amfoterisin dalam mengobati infeksi Candida sistemik. Selain itu, secara

nyata flukonazol juga memberikan efek samping yang jauh lebih sedikit

(30)

Itrakonazol

Itrakonazol merupakan anticendawan sistemik turunan triazol yang erat

hubungannya dengan ketokonazol dan dapat diberikan secara peroral. Aktivitas

anticendawannya diduga lebih luas sedangkan efek samping yang ditimbulkan

lebih kecil dibandingkan dengan ketokonazol. Itrakonazol dapat diserap lebih

sempurna bila diberikan bersama pakan (BahrydanSetiabudy 1995).

Penyerapan itrakonazol sangat bergantung pada pH lambung dan

kehadiran pakan. Bioavabilitas itrakonazol hanya mencapai 50% atau kurang

ketika diberikan saat lambung kosong. Bioavabilitas akan mencapai 100%jika di

dalam lambung terdapat pakan. Itrakonazol mampu mengikat protein dan

disalurkan ke seluruh tubuh, terutama ke dalam jaringan yang memiliki

kandungan lemak yang tinggi karena obat ini bersifat lipofilik (Plumb 1999).

Ketokonazol

Ketokonazol digunakan untuk infeksi khamir sistemik maupun lokal.

Pengobatan dengan menggunakan ketokonazol secara peroral mencegah dan

mengobati kandidiasis pada tembolok di kalkun. Anticendawan ini juga efektif

untuk melawan kandidiasis di ayam (Roschette et al. 2003).

Ketokonazol merupakan anticendawan sistemik peroral yang diserap baik

melalui saluran pencernaan dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk

menekan aktivitas berbagai jenis cendawan. Sebanyak 84% ketokonazol di dalam

plasma darah berikatan dengan protein plasma, terutama albumin. Lima belas

persen berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar

dari obat ini mengalami metabolisme lintas pertama (Bahry dan Setiabudy 1995).

Menurut Plumb (1999), ketokonazol berifat fungistatik terhadap cendawan

yang peka. Pada kadar yang lebih tinggi untuk periode yang lama atau pada

organisme yang sangat peka, ketokonazol dapat bersifat fungisidal. Ketokonazol

dipercaya dapat meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan efek

metabolis sekunder dan menghambat pertumbuhan cendawan. Mekanisme kerja

secara pasti dari ketokonazol tidak diketahui. Kemungkinan karena ketokonazol

bekerja melalui sintesis ergosterol. Aktifitas fungisidal dari ketokonazol mungkin

(31)

15

Pemberian ketokonazol pada pakan unggas diberikan pada pakan atau air

minum. Pada air minum,dosis yang diberikan adalah 200mg/L untuk 7-14 hari

pada pH normal. Sedangkan pada pakan, dosis yang diberikan adalah 10-20

mg/kg untuk 7-14 hari dengan cara dimasukkan langsung ke dalam pakan atau

dihancurkan (Plumb 1999).

Mikonazol

Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil,

mempunyai spektrum anticendawan yang luas baik terhadap jamur sistemik

maupun cendawan dermatofita. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui

sepenuhnya. Mikonazol menghambat sintesis ergosterol yang menyebabkan

permeabilitas membran sel jamur meningkat. Mungkin pula terjadi gangguan

sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel cendawan yang akan

menimbulkan kerusakan (Bahry dan Setiabudy 1995).

Nistatin

Nistatin merupakan suatu antibiotika polien yang dihasilkan oleh

Streptomyces noursel. Nistatin bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan

berbagai cendawan dan ragi, tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan

virus. Anticendawan ini hanya efektif pada berbagai macam jenis cendawan,

namun secara klinis digunakan untuk mengobati infeksi Candida topikal,

osofaringeal, dan gastrointestinal. Nistatin mempunyai mekanisme kerja yang

sama dengan amfoterisin B. Nistatin hanya akan diikat oleh khamir atau kapang

yang sensitif. Aktivitas anticendawan tergantung dari adanya ikatan dengan sterol

pada membran sel kapang atau khamir, terutama ergosterol. Akibat terbentuknya

ikatan antara sterol dengan anticendawan ini adalah terjadinya perubahan

permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan berbagai molekul kecil.

C. albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap nistatin (Bahry dan

(32)

Parkonazol

Parkonazol digunakan untuk mengobati kandidiasis di ayam mutiara.

Parkonazol mempunyai toksisitas yang renndah dan residu daily intake di bawah

ADI (acceptable daily intake), meskipun telah diberikan setelah 24 jam

(33)

BAB 3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan bulan

Desember 2011. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi

Medik Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner,

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas objek, kaca

penutup, mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, rak tabung reaksi, öse, bunsen,

inkubator, ice box, pinset, vortex, cotton swab, mikropipet, tabung Durhamdan

pipet.

Bahan yang digunakan antara lain tembolok ayam, contoh air yang

digunakan sebagai sumber air bersih dan limbah hasil pencucian, potongan usus

besar, Lactophenol Cotton Blue (LPCB), Potatoes Dextrose Agar (PDA), putih

telur bebek, larutan NaCl, air suling sucihama, antibiotika (kloramfenikol), larutan

Potatoes Dextrose Broth (PDB)dan anticendawan (itrakonazol, ketokonazol, dan

griseofulvin)

Metode

Pengambilan Contoh

Contoh pemeriksaan yang digunakan dalam penelitian adalah tembolok

dan potongan usus besar ayam pedaging ras dan ayam bukan ras (ayam buras), air

bersih yang digunakan untuk pencucian karkas, sertalimbah air hasil pencucian di

pasar tradisional Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, dan Pasar Warung Jambu dan

tempat pemotongan unggas (TPU) Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH

(34)

Pengolahan Contoh

Pengolahan contoh dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh

Hastiono (1987) yang mengacu pada Thompson (1969). Contoh diproses di ruang

inokulasi. Pengolahan tiap-tiap tembolok dilakukan secara “dilution plating

(pengolahan bahan pemeriksaan ke dalam cawan-cawan petri yang mengandung

medium perbiakan dengan pengenceran secara bertingkat). Tahapan-tahapan

yang dilakukan adalah

(a) tembolok, potongan usus, air bersih untuk pencucian karkas, dan air limbah

hasil pencucian dimasukkan ke dalam kantung plastik kosong sucihama

berkode lengkap. Sebanyak 1 g potongan usus dan tembolok, serta 1 mL air

bersih untuk pencucian karkas dan air limbah hasil pencucian kemudian

dibubuhi larutan NaCl fisiologis yang sucihama sebanyak sembilan kali bobot

potongan tembolok sehingga diperoleh pengenceran 1/10;

(b) masing-masing contoh yang telah dimasukkan ke dalam larutan NaCl

dihomogenisasikan dengan menggunakan vortexdan cairan suspensi yang

dihasilkan dimasukkan ke dalam cawan petri masing-masing sebanyak 1,0

mL dan 0,1mL agar didapatkan pengenceran 1:10 dan 1:100;

(c) cawan-cawan yang telah terisi suspensi kemudian di tuangi media PDA yang

telah dicairkan dan telah ditambahkan antibiotika kloromfenikol 0,05 mg/mL

medium, dihomogenkan sampai bercampur dan dibiarkan membeku. Media

yang sudah diolah ini lalu diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 37 oC

selama 48 jam.

Pengamatan Terhadap Koloni C. albicans

Koloni yang tumbuh pada pembiakan PDA diamati warna, bentuk, dan

baunya. Kemudian secara mikroskopik diperhatikan ukuran dan bentuk selnya,

ada tidaknya miselium, kapsul dan ciri-ciri morfologik yang lain (Hastiono 1987)

Identifikasi isolat C. albicans

Identifikasi isolat C. albicans dilakukan menurut cara Al-Doory (1980).

Pengidentifikasian isolat pertama kali dilakukan dengan cara pemeriksaan natif.

(35)

19

tembolok, usus besar, air limbah maupun air bersih yang digunakan untuk

membersihkan daging ayam dan diteteskan dengan pewarna LPCB diatas gelas

objek,ditutup dengan kaca penutup dan diperiksa dengan mikroskop.

Tahap selanjutnya adalah dilakukan inokulasi pada suhu 37ºC. Hal ini

dilakukan untuk memastikan apakah isolat tersebut patogen atau tidak. Isolat

murni diinokulasikan kembali ke dalam media PDA baru, lalu dinkubasikan pada

suhu 37 oC.

Uji tabung-kecambah (germ tube test) dilakukan untuk mengidentifikasi

spesies dari Candida yang telah diisolasi. Jika terbentuk tabung kecambah, maka

biakan tersebut kemungkinan adalah C. albicans atau C. stellaoidea. Uji ini

dilakukan dengan cara biakan murni berumur 24 jam dibiakkan ke dalam 0,5 mL

putih telur bebek dan kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2-4 jam.

Setelah dua jam, biakan diperiksa dengan mikroskop untuk mengetahui ada

tidaknya tabung kecambah.

Uji asimilasi gula-gula dilakukan untuk memastikan spesies isolat C.

albicans. Uji ini menggunakan tabung reaksi yang berisi media cair Sugar

assimilation medium yang terdiri dari glukosa, galaktosa, sukrosa, maltosa,

laktosa, dan manitol. Sedikit koloni khamir dipindahkan menggunakan öse atau

jarum ke dalam tabung reaksi yang di dalamnya terdapat 2mL air suling

sucihama, kemudian dilakukan pengadukan dengan menggunakan vortex hingga

merata. Suspensi khamir yang dihasilkan disamakan kepekatannya dengan larutan

McFarland #1. Sebanyak 0,2mL suspensi khamir dimasukkan ke tabung-tabung

gula-gula yang telah disiapkan. Tabung-tabung tersebut diinkubasi pada suhu

30ºC selama tujuh hari. Hasil positif ditandai dengan adanya pertumbuhan dan

terjadinya kekeruhan pada tabung jika dibandingkan dengan tabung kontrol

(tabung yang tidak diimbuhi dengan gula).

Uji Kepekaan Anticendawan

Uji pembentukan zona hambat dilakukan untuk melihat kepekaan isolat C.

albicans terhadap anticendawan yang digunakan. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini berdasarkan metode yang digunakan oleh Kusumaningtyas et al.

(36)

Media disiapkan terlebih dahulu dengan cara menuangkan 20 mL PDA ke

dalam cawan Petri dan dibiarkan memadat. Masing-masing suspensi C.

albicans,yang setara dengan kandungan khamir sejumlah 106cfu/mL, kemudian

dioleskan secara merata pada permukaan media dengan menggunakan spatula atau

cotton swab. Setelah permukaan mengering, kurang lebih 20 menit, dibuatlah

lubang dengan diameter lima milimeter dan kedalaman 0,5 cm dengan

menggunakan tabung Durhamsucihama. Setiap lubang diisi dengan 25µL

anticendawan yang telah diencerkan dengan menggunakan mikropipet. Kemudian

diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37◦C dan dilihat pembentukan zona

hambatnya. Anticendawan yang digunakan adalah ketokonazol dengan kadar

mulai dari 0,125 µg/mL, itrakonazol dengan kadar mulai dari 0,125 µg/mL, dan

griseofulvin dengan kadar mulai dari 0,25 µg/mL dan kadar masing-masing obat

terus dinaikkan sampai membentuk zona hambat pada masing-masing isolat.

Uji Penentuan Kadar Minimum Penghambatan (Minimum Inhibitory Concentration- MIC)

Tahap akhir dari tata kerja penelitian ini adalah dilakukan penentuan kadar

hambat minimum (minimum inhibition concentration,MIC). Uji ini digunakan

untuk mengetahui kadar terendah anticendawan yang dapat menghambat

pertumbuhan koloni khamir hingga 80% dari pertumbuhan koloni khamir. Uji ini

mengikuti teknik yang telah dilakukan oleh Espinel-Ingroff dan Cantón (2007).

Uji ini digunakan untuk mengetahui kadar terendah anticendawan yang

dapat menghambat pertumbuhan koloni C. albicansyang ada dalam tembolok dan

usus ayam maupun air bersih yang akan digunakan untuk mencuci karkas ayam

serta air limbah pencucian ayam.

Uji ini diawali dengan menempatkan koloni C. albicans umur 24 jam ke

tabung reaksi yang di dalamnya terdapat sembilan mililiter air suling

sucihama.Dilakukan pengadukan hingga menyatu. Suspensi C. albicans yang

dihasilkan disamakan kepekatannya dengan larutan McFarland #1 yang setara

dengan kandungan khamirsejumlah 108 CFU/mL. Kemudian,suspensi C.albicans

diencerkan dengan cara memindahkan sebanyak 1 mL larutan suspensi C.

albicans ke dalam 9 mL larutan PDB untuk menghasilkan larutan suspensi yang

(37)

21

dengan memindahkan suspensi yang telah dihasilkan tersebut sebanyak 1mL ke

dalam 9 mL larutan PDB untuk menghasilkan larutan suspensi yang mengandung

khamir sejumlah 106 CFU/mL. Setelah itu sebanyak 11,25 µL anticendawan yang

akan diujiditambahkan ke dalam suspensi khamir terakhir. Anticendawan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah ketokonazol dengan kadar 8 µg/mL, 2

µg/mL, 0,5 µg/mL, dan 0,125 µg/mL; itrakonazol dengan kadar 16 µg/mL, 4

µg/mL, 0,5 µg/mL, dan 0,125 µg/mL; serta griseofulvin dengan kadar 128µg/mL,

16µg/mL, 2 µg/mL, dan 0,25 µg/mL. Suspensi C. albicans yang telah ditambahi

dengan anticendawandiencerkan sampai ke tingkat pengenceran 10-7. Sebanyak

satu mililiterdari masing-masing tabung pengenceran 10-3 sampai 10-7 dituangkan

ke dalam satu cawan petri. Setelah itu, ke dalam semua cawan dituangi media

PDA yang mengandung sebelumnya telah diimbuhi antibiotika kloramfenikol

dengan dosis 0,05 mg/mL medium. Pencampuran harus merata sehingga cawan

yang telah ditambahkan media dihomogenkan dengan cara membentuk angka 8

beberapa saat untuk seterusnya didiamkan hingga media agar memadat. Seluruh

cawan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh setelah

masa inkubasi dicapai dihitung koloni dengan aturan hanya cawan yang

diperkirakan koloni yang tumbuh pada kisaran 25-250 CFU saja yang akan

dihitung.

Analisis Data

Data kepekaan anticendawan terhadap C. albicans yang dihasilkan pada

penelitian kali ini diolah dengan menggunakan analisis One Way ANOVA

(38)

Lokasi Pemotongan Ayam

Pemotongan unggas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pemotongan ini biasanya dilakukan di rumah potong unggas (RPU), tempat

pemotongan unggas (TPU), dan pasar tradisional. RPU merupakan kompleks

bangunan dengan rancangan dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan

teknis dan higiene yang digunakan sebagai tempat memotong unggas untuk

kebutuhan masyarakat umum (SNI 1999). Pemotongan unggas juga dilakukan

TPU dan pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap

daging ayam karena ini tidak dapat diimbangi oleh RPU. Namun, pola

pemotongan yang dilakukan oleh TPU, terutama TPU pada skala rumah tangga,

dan pasar tradisional,seringkali tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi.

Oleh karena itu, sering muncul kekhawatiran terhadap status aman, sehat, utuh

dan halal (ASUH) dari karkas ayam yang dihasilkan (Ditjennak 2010; Sutrisno

2010)

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil contoh dari tiga TPU dan

tiga pasar tradisional. TPU tempat dilakukannya pengambilan contoh adalah TPU

Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak. Sedangkan untuk pasar

tradisional dilakukan di Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, dan Pasar Warung

Jambu. Penentuan tempat pengambilan contoh ini didasari oleh beberapa faktor,

antara lain sumber air yang digunakan untuk pencucian, jenis ayam yang

dipotong, dan kondisi tempat pemotongan.

Sumber air yang digunakan untuk pencucian karkas ayam pada tempat

dilakukannya pengambilan contoh umumnya berasal dari PDAM. Lokasi yang

menggunakan sumber air PDAM, yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, TPU

Jambu Raya, TPU Pondok Rumput, dan RPH Bubulak. Sedangkan Pasar Warung

Jambu menggunakan air sungai untuk pencucian karkas ayam. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan Noverita (2009), sumber air minum maupun air sungai

telah tercemar oleh kapang dan khamir, sehingga membahayakan untuk kesehatan

(39)

23

lokasi. PadaPasar Gunung Batu,air yang digunakan untuk mencuci umumnya

ditampung terlebih dahulu oleh pedagang, setelah itudigunakan untuk mencuci

dan air hasil cucian pun tetap ditampung pada suatu tempat penampungan.

Sedangkan di tempat pemotongan lain,yaitu Pasar Anyar; Pasar Warung Jambu;

TPU Jambu Raya; TPU Pondok Rumput; dan RPH Bubulak, air bersih yang

digunakan untuk mencuci merupakan air yang mengalir dan air hasil

pencuciannya mengalir ke dalam suatu saluran berupa parit setelah ditampung

dahulu di suatu wadah tertentu. Teknik ini mempengaruhi sanitasi dari lokasi

tempat pemotongan ayam sehingga tingkat kehigienisan berbeda-beda.

Jenis ayam yang dipotong pada tempat pemotongan ayam biasanya adalah

ayam ras pedaging. Tetapi, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, masih

dilakukan pemotongan ayam buras di Pasar Anyar. Hal ini dimungkinkan oleh

masih tingginya permintaan ayam buras dari konsumen. Menurut Rasyaf (2008),

ayam buras memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ayam ras pedaging,

yaitu memiliki daging yang liat sehingga untuk masakan yang harus mengalami

proses perebusan dengan waktu yang lama, daging ayam buraslebih cocok karena

tidak akan hancur. Selain itu, sebagian masyarakat juga berpendapat rasa daging

ayam buras lebih gurih sehingga lebih memilih daging ayam buras sebagai bahan

makanan.

Perhatian terhadap sanitasi di tempat pemotongan sangat mempengaruhi

mutu cemarandan mutu daging yang dihasilkan. Seperti yang diperlihatkan

dalam Gambar 5 di bawah ini.

(40)

TPU Jambu Raya, yang ditampilkan dalam Gambar 5, menunjukkan salah

satu tempat pemotongan unggas yang menurut penilaian Ditjennak termasuk TPU

yang memadai (Ditjennak 2010). Area pemotongan dinilai cukup higienisdan

pekerjanya diharuskan memakai perlengkapan yang telah dibakukan. Upaya

penciptaan kondisi seperti ini akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang

mencemari daging, karkas, maupun organ dalam yang akan digunakan sebagai

bahan makanan, terutama cemaran mikroorganisme pada saat penanganannya.

Setelah dilakukan penentuan tempat, contoh diambil untuk mendapatkan

ada tidaknya C. albicansdi contoh-contoh tersebut. Jenis contoh yang diambil

dibagi menjadi empat jenis contoh, yaitu tembolok, potongan usus, air bersih

untuk pencucian karkas, serta air limbah bekas pencucian. Gambar 6

menunjukkan contoh organ yang diambil (tembolok dan usus) yang diambil untuk

diidentifikasi ada tidaknya C. albicans di dalam organ tersebut.

(a) (b)

Gambar6Salah satutembolok (a) dan potongan usus (b) yang dijadikan contoh

Menurut Tabbu (2000), kandidiasis umumnya menginfeksi saluran

pencernaan terutama tembolok, sehingga menjadi pertimbangan utama mengapa

dilakukan isolasi C. albicans dari organ tersebut. Selain itu, air bersih untuk

pencucian maupun air limbah bekas pencucian juga dijadikan contoh. Noverita

(2009) menyatakan bahwa di perairan, seperti sungai, kolam, danau, maupun laut,

dapat ditemukan berbagai macam khamir yang dapat menimbulkan penyakit,

salah satunya adalah Candida spp. Selain itu, Cook dan Schlitzer (1981) juga

mengisolasi adanya C. albicans dari aliran sungai serta parit. Namun jumlah C.

(41)

25

Tabel 2 menunjukkan data jumlah contoh yang diambil pada setiap lokasi

dengan tujuan untuk mengetahui keberadaan C. albicans yang terdapat pada

contoh yang diambil tersebut.

Tabel 2 Lokasi dan jumlah pengambilan contoh

Lokasi pengambilan contoh

Jumlah contoh yang diambil berdasarkan jenis

Jumlah Tembolok Air-1 Air-2 Potongan

usus

Catatan: Air-1: air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Air-2: air limbah

Penelitian ini menggunakan 119 contoh yang terdiri dari 60 contoh berasal

dari tembolok, 42 contoh berasal dari potongan usus, 7 contoh berasal dari sumber

air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas, dan 10 contoh lainnya berasal

dari air limbah yang telah digunakan untuk mencuci karkas ayam. Tembolok yang

dijadikan contoh terdiri dari dua jenis, yakni 13 contoh tembolok berasal dari

ayam buras, yaitu 12 contoh diambil di Pasar Anyar dan 1 contoh diambil di Pasar

Gunung Batu, sedangkan 47 contoh lainnya merupakan tembolok dari ayam ras

pedaging. Potongan usus yang digunakan menjadi contoh juga dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu 10 contoh potongan usus yang berasal dari ayam buras dan 32

contoh lainnya berasal dari ayam ras pedaging. Potongan usus dari ayam buras

hanya diperoleh di Pasar Anyar.

Identifikasi C. albicans

Isolasi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya C. albicans dari contoh

yang diambil. Isolasi awal dilakukan dengan mengidentifikasi koloni yang diduga

sebagai C. albicans dari contoh yang telah diolah secara dilution plating.

Kemudian koloni tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam dan setelah

masa inkubasinya tercapai, koloni yang tumbuh diamati dengan pemeriksaan

(42)

Secara makroskopik, dapat dilihat bahwa koloni yang diduga C. albicans

telihat koloni berbentuk bulat, berwarna putih, mempunyai permukaan yang halus

dan licin, serta memiliki bau seperti ragi. Hasil pemeriksaan mikroskopik

menunjukkan C. albicans dalam fase sel khamir (blastospora). Fase ini

merupakan fase normal, dimana C. albicans berkembang biak dengan cara

membentuk tunas atau yang biasa disebut budding cell (Gambar 7). Sedangkan

beberapa C. albicans terlihat dalam fase sel hifa sejati. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi fase ini, seperti perubahan komposisi media, penambahan serum,

tumbuh pada kondisi kadar CO2 yang tinggi atau semi anaerobik, pH dan suhu

(Calderone 2002)

Gambar 7 Hasil pemeriksaan natif yang diwarnai dengan

LPCB memperlihatkan C. albicans dalam

bentuk sel khamir (blastospora) yang

membentuk tunas (budding cell)

Tabel 3 menunjukkan hasil pemeriksaan biokimiawi terhadap

koloni-koloni yang diduga sebagai koloni-koloni Candida. Uji yang dilakukan terdiri dari uji

asimilasi gula-gula untuk menentukan spesies Candida yang diisolasi dari contoh

dan uji tabung kecambah. Uji ini merupakan salah satu uji biokimiawi didasari

oleh kemampuan khamir untuk melakukan metabolisme oleh enzim yang

(43)

27

Catatan: T3A, T9B, dan T5B berasal dari tembolok. AB1B berasal dari air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Glu= Glukosa, Gal= Galaktosa, Suk= Sukrosa, Mal= Maltosa, Lak= Laktosa, Man= Manitol

Tanda positif pada uji asimilasi menunjukkan bahwa media berubah

menjadi keruh. Kekeruhan tersebut menandai adanya pertumbuhan dari khamir

karena khamir mampu memanfaatkan nutrisi berupa karbohidrat yang terdapat

pada media yang diberikan.

Tanda positif pada uji tabung kecambah menunjukkan bahwa terbentuknya

tabung kecambah (Gambar 8) pada isolat khamir tersebut. Uji tabung kecambah

dilakukan dengan membiakkan isolat C. albicans dalam putih telur bebek dan

diinkubasi pada suhu 37◦C dalam waktu 2-4 jam. Uji ini dilakukan untuk melihat

kemampuan membentuk tabung kecambah yang dilakukan koloni khamir untuk

menghindari bentuk blastospora dan membentuk hifa berfilamen. Namun, tabung

kecambah ini hanya dapat dibentuk oleh C. albicans dan C. stellatoidea. Hasil

positif tabung kecambah dari C. parapsilosis, C. rugosa, dan C. krusei

berdasarkan Tabel 3 kemungkinan merupakan hasil positif palsu yang

dikarenakan pembiakan yang terlalu lama (Al-Doory 1980; Abu-Elteen dan

Hamad 2007)

Gambar8Tabung kecambah yang dibentuk oleh isolat

(44)

C. albicans yang diperoleh dari contoh-contoh yang diperiksa dari

beberapa lokasi dipaparkan pada Tabel 4di bawah ini.

Tabel4 Koloni khamir yang berhasil ditumbuhkan dari contoh yang diperiksa

Lokasi pengambilan contoh

Dugaan koloni yang diisolasi dari contoh

Tembolok Air-1 Air-2 Potongan usus

Pasar Gunung Batu C. abicans - C. albicans C. krusei

C. albicans C. albicans C. albicans C.albicans C. rugosa

TPU Jambu Raya C. albicans - - C. albicans

TPU Pondok Rumput C. albicans. - - C.albicans.

RPH Bubulak C. albicans - - C. albicans

Catatan: Air-1: air bersih yang digunakan untuk mencuci karkas. Air-2: air limbah

Berdasarkan Tabel 4diatas, terdapat beberapa spesies Candida dari

contoh-contoh yang diambil. Secara normal, spesies Candida dapat ditemukan

sebagai mikroflora normal di dalam saluran pencernaan yang sehat, begitu pula

dengan khamir lain yang dapat ditemukan di saluran pencernaaan seperti

Rhodotorula sp., Saccharomyces sp., Torulopsis sp., dan Trichosporon sp.

(Hastiono 1987; Kunkle 2003).

Berdasarkan hasil yang terdapat di dalam Tabel 4, C. albicansmerupakan

khamir yangmendominasi di dalam baik usus maupun tembolok ayam jika

dibandingkan dengan jenis khamir lainnya. Hal ini dikarenakan C. albicans

umumnya terdapat pada saluran pencernaan ayam, baik ayam sehat maupun ayam

sakit. Penelitian Kunkle (2003) memberikan data bahwa sebanyak 95% C.

albicansdiisolasi dari tembolokayam ras pedaging.Selain pada saluran

pencernaan, C. albicans secara normal juga dapat ditemukan di sistem reproduksi

dan urinari (Vieira dan Coutinho2009). Selain C. albicans terdapat pula C. rugosa

dan C. parapsilosis di dalam tembolok serta C. krusei dan C. rugosa di dalam

potongan usus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hastiono (1987)

yang menyatakan adanya isolasi dari C. albicans,C. guillermondii, C. krusei, C.

parapsilosis, C. pseudotropicalis, C. tropicalis, C. rugosa, C. parakrusei, C.

(45)

29

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, hanya C. albicans dan C.

parapsilosis yang berkaitan dengan mikosis pada tembolok (Kunkle 2003)

Contoh air bersih untuk mencuci karkas maupun air limbah hasil cucian

umumnya tidak tercemar oleh khamir yang dicari. Namun, beberapa tempat masih

menunjukkan adanya cemaran dari Candida sp. Berdasarkan hasil penelitian

Noverita (2009), terbukti bahwa 70% dari contoh air terdapat cemaran khamir.

Candida sp. merupakan salah satu jenis khamir yang ditemukan dan spesiesnya

yang dapat membahayakan kesehatan, yaitu C. albicans ditemukan di dalam

perairan.

Kadar Hambat Minimum (MIC)

MIC ditentukan berdasarkan kadar terendah anticendawan yang dapat

menghambat pertumbuhan koloni cendawan sebanyak 80% (Espinel-Ingroff dan

Cantón 2007).Umumnya, penentuan MIC dilakukan dengan metode baik

makrodilusi maupun mikrodilusi. Metode makrodilusihanya menggunakan satu

isolat cendawan dan satu zat anticendawan yang terlarut dengan kadar

tertentuyang kemudian dilakukan perbandingan dengan kontrol menggunakan

spektofotometri. Namun, metode ini dianggap kurang efektif untuk pemeriksaan

dalam jumlah besar. Metode mikrodilusi merupakan metode umum yang

digunakan oleh laboratorium klinis untuk meneliti kepekaan isolat dalam jumlah

besar terhadap agen anticendawan dengan menggunakan mikrotiter dan kemudian

dilihat kejernihannya(Espinel-Ingroff dan Cantón 2007; Moran et al. 2007).

Penelitian ini menggunakan metode dilusi agar untuk menentukan

kepekaan anticendawan. Metode ini dapat menggambarkan hasil MIC secara

kuantitatif jika dibandingkan dengan metode zona hambat yang hanya dapat

menggambarkan secara kualitatif (Hanlon et al. 2007).

Sebagai uji pendahuluan, dilakukan uji zona hambat untuk menentukan

kisaran anticendawan yang mungkin efektif untuk isolat C. albicans dari

masing-masing lokasi pengambilan contoh. Keefektifan dari anticendawan diketahui

dengan terbentuk atau tidaknya zona hambat seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 9. Namun keefektifan anticendawan yang digunakan tidak dapat

Gambar

Gambar 1 Anatomi saluran pencernaan ayam (Bell 2002)
Gambar 2 Fase pada C. albicans (Anonim 2010)
Gambar 3 Struktur kimia pembentuk amfoterisin B (Ghannoum dan Rice 1999)
Gambar 9 Zona hambat yang dibentuk oleh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Prof Tien prihatin melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang lebih cenderung membeli produk pangan dengan brand luar atau produk impor.. Tantangan bagi Indonesia saat

Hasil yang telah dicapai selama perawatan ortodonti 16 bulan ini adalah diastema multipel pada regio anterior atas dan bawah telah dapat dihilangkan (kecuali pada regio 42 dan

1) Meningkatnya pengetahuan dan pemahaman ibu-ibu post partum tentang masalah ASI dan solusinya, dimana produksi ASI yang kurang tidak hanya tergantung masalah nutrisi tetapi juga

Di dalam prakteknya, ada sebagian kaum muslimin yang melakukan sunnah mentaḥnik bayi yang baru lahir, karena meyakini bahwa taḥnik adalah imunisasi islami atau

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecepatan reaksi kaki, kelentukan dan keseimbangan dalam cabang olahraga karate.. Penelitian ini termasuk jenis

Although he had never reached the Spice Islands, he had learned a great deal about them from a friend, one Francisco Serrão, a Portuguese skipper who had been so smitten with

Esemble Random Forest to Trees (ERFTrees) merupakan sebuah metode untuk seleksi fitur pada dataset yang memiliki dimensi fitur yang besar namun memiliki jumlah

Pada sub tema 2 Kebersamaan dalam Keberagaman, materi mata pelajaran yang belum sesuai dengan Kurikulum 2013 adalah SBdP, Bahasa Indonesia, Matematika, dan PJOK.. Untuk