• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Penelitian

Kondisi untuk suhu optimum adalah di lapangan terbuka dan kondisi suhu tinggi di dalam rumah kaca. Hasil pengukuran suhu untuk kondisi optimum berkisar 22°C-38°C, sedangkan untuk kondisi suhu tinggi berkisar 23°C-42°C. Beberapa tanaman disulam karena mati pada saat 1 MST dan 2 MST. Semua tanaman mulai dari awal penanaman sampai fase bunting ditanam dalam kondisi optimum. Fase bunting yaitu terjadinya penggembungan pada batang daun bendera. Hama belalang (Valanga nigricornis) menyerang tanaman saat fase vegetatif yang menyebabkan daun berlubang (Gambar 1(a)). Serangan belalang ini diatasi secara kimia dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif fipronil 50 g/l.

8

Belalang (Valanga nigricornis), wereng coklat (Nilaparvata lugens), dan walang sangit (Leptocorisa spp.) menyerang tanaman pada fase reproduktif. Wereng coklat menyerang bagian bawah batang padi yang menyebakan tanaman menjadi layu dan kering (Gambar 1(b)). Sugiono (2003) menyatakan bahwa pada gejala yang ekstrim serangan wereng coklat bisa menyebabkan tanaman layu dan mati dan area yang terserang bersifat tidak merata (bergerombol). Walang sangit menyerang bulir padi saat masak susu, sehingga bulir padi menjadi kosong atau hampa (Gambar 1(c)). Pengandalian wereng coklat dan walang sangit dilakukan secara kimia yaitu dengan penyemprotan pestisida. Burung juga merusak beberapa tanaman yang menyebabkan batang menjadi terkulai dan rebah (Gambar 1(d)). Pengendalian serangan burung yaitu dengan memasang jaring di atas dan di sekeliling area penelitian.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 1 Hama yang menyerang lahan penelitian, (a) belalang, (b) wereng coklat, (c) walang sangit, (d) burung

Pertumbuhan tanaman padi dibagi ke dalam tiga fase yaitu: 1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordia); 2) reproduktif (primordia sampai pembungaan); dan 3) pematangan (pembungaan sampai gabah matang) (Makarim dan Suhartatik 2009). Lama fase vegetatif tidak sama untuk semua varietas sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sedangkan fase reproduktif dan pematangan gabah umumnya sama untuk setiap varietas (BPTP Bengkulu 2007). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa genotipe mempengaruhi semua karakter pertumbuhan dan produksi padi, yaitu karakter kehijauan daun pada 45 HST, jumlah gabah bernas per tanaman, dan bobot gabah bernas per tanaman, sedangkan karakter yang berpengaruh sangat nyata yaitu tinggi tanaman pada 45 HST dan saat panen, kehijauan daun saat panen, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, umur heading, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah hampa per tanaman, jumlah gabah total per tanaman, presentase gabah hampa, dan bobot 1000 butir (Tabel 2).

Yoshida (1981) menyatakan bahwa suhu, radiasi matahari, dan curah hujan mempengaruhi hasil panen padi dengan mempengaruhi secara langsung proses fisiologis yang terlibat dalam produksi biji-bijian dan secara tidak langsung melalui penyakit dan serangga. Menurut Suhartatik et al. (2008), suhu udara yang tinggi pada fase vegetatif diperlukan untuk merangsang pembentukan anakan, sedangkan dari fase pengisian gabah sampai panen diperlukan udara yang sejuk.

Penelitian ini mulai diberi perlakuan suhu setelah fase bunting sehingga karakter tinggi tanaman dan kehijauan daun saat 45 HST tidak dipengaruhi oleh

9 suhu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kondisi suhu tinggi tidak mempengaruhi karakter tinggi tanaman pada saat panen, umur heading, umur berbunga, dan panjang malai, sedangkan karakter kehijauan daun saat panen, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, umur panen, jumlah gabah hampa per tanaman, jumlah gabah bernas per tanaman, jumlah gabah total per tanaman, presentase gabah hampa, bobot gabah bernas per tanaman, dan bobot 1000 butir sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu yang tinggi. Interaksi yang nyata antara genotipe dan suhu yaitu pada karakter umur heading, umur berbunga, jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, dan bobot gabah bernas per tanaman. Interaksi yang sangat nyata yaitu pada karakter tinggi tanaman saat panen, kehijauan daun saat panen, jumlah anakan produktif, umur panen, dan bobot gabah 1000 butir per tanaman (Tabel 2).

Tabel 2 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengaruh genotipe dan suhu serta interaksinya pada karakter agronomi varietas nasional

No Karakter Genotipe (g) Suhu (s) genotipe*suhu (gxs) 1 Tinggi tanaman 45 HST ** tn tn 2 Kehijauan daun 45 HST * tn tn

3 Jumlah anakan total ** ** tn 4 Jumlah anakan produktif ** ** **

5 Umur heading ** tn *

6 Umur berbunga ** tn *

7 Tinggi tanaman saat panen ** tn ** 8 Kehijauan daun saat panen ** ** **

9 Umur panen ** ** **

10 Panjang malai ** tn tn

11 Jumlah gabah hampa/tanaman ** ** tn 12 Jumlah gabah bernas/tanaman * ** * 13 Jumlah total gabah/tanaman ** ** * 14 % gabah hampa/tanaman ** ** tn 15 Bobot gabah bernas/tanaman * ** * 16 Bobot gabah 1000 butir ** ** **

Huruf yang dicetak tebal belum dipengaruhi perlakuan suhu ; ** = berpengaruh sangat nyata (1%); * = berpengaruh nyata (5%); tn = tidak berpengaruh nyata

Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Padi pada Berbagai Genotipe serta Nilai Heritabilitas dan Koefisien Keragaman Genetik pada Karakter yang tidak

dipengaruhi Kondisi Suhu

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tinggi tanaman 45 HST yang tertinggi terdapat pada Situ Patenggang dan berbeda nyata dengan Mekongga, IR-64, Inpari-13, IPB 4S, IPB 6R, dan Kalimutu dan tidak berbeda nyata dengan IPB 3S, IPB 5R, dan IPB 7R. Kehijaun daun saat 45 HST dari semua genotipe berada pada rentang 3-4 dengan menggunakan bagan warna daun (BWD), namun yang memiliki kehijauan daun 45 HST yang terhijau adalah Situ Patenggang dan IR-64 berbeda nyata dengan Inpari-13, IPB 6R, dan IPB 7R (Tabel 3).

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa tinggi tanaman 45 HST dan saat panen tidak berbeda nyata pada kondisi suhu optimum maupun kondisi suhu tinggi. Begitu juga dengan karakter kehijauan daun saat 45 HST tidak berbeda nyata pada dua kondisi suhu yang berbeda. Hal ini dikarenakan semua tanaman

10

berada pada kondisi yang sama dari awal penanaman sampai fase bunting (Tabel 4).

Mc Whiter dalam Alnopri (2004) menyatakan bahwa nilai heritabilitas dibagi menjadi tiga, yaitu : tinggi apabila nilai heritabilitas > 50%, sedang apabila nilai heritabilitas 20-50%, dan rendah apabila nilai heritabilitas < 20%. Karakter tinggi tanaman 45 HST memiliki nilai heritabilitas yang tinggi. Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi mengindikasikan bahwa penampilan karakter tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan faktor lingkungan. Karakter kehijauan daun 45 HST memiliki nilai heritabilitas yang sedang. Faktor genetik dan faktor lingkungan, keduanya saling mempengaruhi penampilan karakter kehijauan daun 45 HST (Tabel 5).

Alnopri (2004) menyatakan bahwa nilai koefisien keragaman genetik (KKG) yang digunakan dibagi menjadi tiga, yaitu : sempit 0-10%, sedang 10-20%, dan luas > 20%. Karakter tinggi tanaman 45 HST memiliki kategori KKG yang sedang. Karakter kehijauan daun 45 HST memiliki nilai KKG yang sempit (Tabel 5). Nilai KKG yang sempit keragamannya rendah yaitu cenderung homogen sehingga menyulitkan dalam kegiatan seleksi.

Tabel 3 Nilai tengah tinggi tanaman dan kehijauan daun saat 45 HST

Varietas Karakter

Tinggi 45 HST (cm) Kehijauan daun 45 HST

Mekongga 102.9d 3.4abc IR64 96.2e 3.6a Inpari13 99.5de 3.3bc IPB 3S 123.1ab 3.5ab IPB 4S 117.4bc 3.5ab IPB 5R 121.5ab 3.3abc IPB 6R 115.3c 3.3bc IPB 7R 120.8abc 3.22c Situ Patenggang 125.2a 3.6a Kalimutu 90.4f 3.5abc

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT

Tabel 4 Nilai tengah karakter tinggi tanaman dan kehijauan daun saat 45 HST pada kondisi suhu optimum

Karakter Kondisi suhu optimum Kondisi suhu tinggi

Tinggi umur 45 HST (cm) 112.0 110.4 Kehijauan daun 45 HST 3.4 3.4

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata menurut uji DMRT

Tabel 5 Komponen ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik pada karakter tinggi tanaman dan kehijauan daun 45 HST

Karakter σ2 g σ2 p h2bs (%) KKG Tinggi tanaman 45 HST 154.82 161.37 95.94 11.15 Kehijauan daun 45 HST 0.01 0.02 35.75 2.46 σ2 g= ragam genetik ; σ2

p = ragam fenotipe ; h2bs = nilai heritabilitas ; KKG = koefisien keragaman genetik

11

Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Padi pada Berbagai Genotipe

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa IR-64, Mekongga, dan Kalimutu adalah genotipe yang memiliki jumlah anakan total paling banyak dan berbeda nyata dengan Inpari-13, IPB 3S, IPB 4S, IPB 5R, IPB 6R, IPB 7R, dan Situ Patenggang, namun jumlah anakan total tidak semua memiliki malai. Makarim dan Suhartatik (2009) menyatakan bahwa mata tunas akan tumbuh menjadi anakan ditentukan oleh jarak tanam, radiasi, hara mineral, dan budi daya. Jumlah anakan produktif adalah jumlah anakan yang mempunyai malai. Fadjry et al. (2012) menyatakan bahwa jumlah anakan produktif berpengaruh langsung terhadap jumlah malai yang dihasilkan, makin banyak anakan produktif makin tinggi jumlah gabah yang akan diperoleh. Genotipe Kalimutu, Mekongga, IR-64 memiliki jumlah anakan produktif yang paling banyak dan berbeda nyata dengan Inpari-13, IPB 3S, IPB 4S, IPB 5R, IPB 6R, IPB 7R, dan Situ Patenggang. Berdasarkan deskripsi varietas dari BB padi (2009) jumlah anakan produktif pada Mekongga yaitu 13-16 batang, sedangkan pada penelitian ini memiliki 26 batang. Jumlah anakan produktif Mekongga saat penelitian lebih banyak dari deskripsi varietas. Hal ini diduga suhu yang tinggi lebih cepat merangsang perkembangan jumlah anakan sehingga jumlahnya menjadi lebih banyak (Tabel 6).

Tabel 6 Nilai tengah jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif pada berbagai genotipe padi

Varietas Jumlah anakan total Jumlah anakan produktif

Mekongga 29.1a 26.3a IR64 30.2a 27.8a Inpari13 23.0b 22.7b IPB 3S 14.1c 13.5cd IPB 4S 12.7cd 11.8de IPB 5R 14.6c 13.5cd IPB 6R 15.1c 15.7c IPB 7R 14.9c 14.0cd Situ Patenggang 9.7d 9.3e Kalimutu 29.5a 28.5a

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT

Waktu heading adalah fase mulai munculnya malai pada batang daun bendera. Menurut Yetti dan Ardian (2010), umur keluarnya malai dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungannya. Berdasarkan Tabel 7 umur heading dan umur berbunga paling cepat yaitu Situ Patenggang dan berbeda nyata dengan semua genotipe lainnya. Umur heading, umur berbunga, dan umur panen memiliki hubungan yang positif yaitu semakin cepat heading, pembungaan dan umur panen akan semakin cepat pula. Penetapan umur panen yatitu 80% dari tanaman sudah menguning. Penelitian ini menunjukan bahwa Situ Patenggang memiliki umur panen yang pendek dan berbeda nyata dengan semua genotipe lainnya. Menurut Ooy Lesmana et al. (2002), umur tanaman pada Situ Patenggang yaitu berkisar antara 110-120 hari, namun pada penelitian ini umur Situ Patenggang adalah 103 hari. Umur panennya lebih cepat dari deskripsi varietas. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi dapat memperpendek umur tanaman dan heat unit untuk pertumbuhan lebih cepat terpenuhi. Tinggi tanaman saat panen

12

tertinggi yaitu terdapat pada IPB 3S dan IPB 5R. Genotipe ini berbeda nyata dengan Mekongga, IR-64, Inpari-13, IPB 4S, IPB 6R, IPB 7R, Situ Patenggang, dan Kalimutu. BB Padi (2009) menyatakan bahwa tinggi padi IR-64 yaitu berkisar 115-126 cm, sedangkan dalam penelitian ini memiliki tinggi 109.1 cm. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini laju pertumbuhan fase vegetatif berkurang dan bisa memperpendek umur tanaman. Kehijauan daun saat panen pada semua genotipe mengalami penurunan kehijaun daun dari fase sebelumnya. Hal ini dikarenakan suplai hara dari daun berkurang yang disalurkan ke organ lain seperti bulir padi. Kehijauan daun saat panen yang terhijau menurut penelitian ini terdapat pada Inpari-13 dan IPB 5R dan genotipe ini berbeda nyata dengan genotipe lainnya (Tabel 7).

Tabel 7 Nilai tengah umur heading, umur berbunga, umur panen, tinggi tanaman dan kehijuauan daun saat panen

Varietas Karakter Umur heading (HSS) Umur berbunga (HSS) Umur panen (HSS) Tinggi saat panen (cm) Kehijaunan daun saat panen Mekongga 76.9a 80.9a 112.3ab 111.3d 1.2cd IR64 73.8b 77.8b 110.2de 109.1d 1.5cd Inpari13 73.4b 77.4b 113.5a 112.0d 2.2a IPB 3S 74.4b 78.4b 113.2a 141.3a 1.6bcd IPB 4S 73.5b 77.5b 108.8e 132.9b 1.6bc IPB 5R 74.7b 78.7b 113.0ab 138.3a 2.0ab IPB 6R 77.1a 81.1a 111.7bc 131.8bc 1.6bc IPB 7R 76.6a 80.6a 112.8ab 132.6b 1.3cd Situ Patenggang 65.1c 69.1c 103.0f 128.7c 1.1d Kalimutu 73.2b 77.2b 110.5cd 104.8e 1.4cd Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT

Menurut penelitian ini genotipe IPB 3S, IPB 4S, IPB 5R, IPB 6R, dan IPB 7R memiliki panjang malai yang terpanjang dan berbeda nyata dengan Mekongga, IR-64, Inpari-13, Situ Patenggang dan Kalimutu. Padi unggul dari IPB memiliki panjang malai yang lebih panjang dibandingkan varietas lainnya. Dokumentasi panjang malai terdapat pada Lampiran 4.

Jumlah gabah hampa yang tinggi disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga terjadi sterilitas dan bisa disebabkan oleh serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Suhartatik et al. (2008) menyatakan bahwa suhu optimal untuk mencapai sterilitas rendah yaitu berkisar 23°C-27°C. Penelitian ini menunjukan bahwa jumlah gabah hampa yang paling sedikit adalah Situ Patenggang dan Kalimutu, genotipe ini berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Genotipe Mekongga, Inpari-13, IPB 3S, IPB 4S, IPB 5R, IPB 6R, IPB 7R, dan Kalimutu memiliki jumlah gabah bernas yang paling banyak dan berbeda nyata dengan IR-64 dan Situ Patenggang. Jumlah gabah total yaitu penjumlahan gabah hampa dengan gabah bernas. Genotipe IPB 6R, Mekongga, Inpari-13, IPB 3S, IPB 5R, dan IPB 7R memiliki jumlah gabah total banyak dan berbeda nyata dengan IR-64, IPB 4S, Situ Patenggang, dan Kalimutu. Menurut Suhartatik et al.

13 (2008) persentase kehampaan ditentukan oleh suhu udara pada fase kritis. Fase kritis yaitu saat terjadi meiosis (9-10 hari sebelum terjadinya pembungaan) dan saat pembungaan. Menurut penelitian ini Situ Patenggang memiliki presentase gabah hampa sebesar 34.7%, sedangkan menurut penelitian Choliq et al. (2004) Situ Patenggang memiliki presentase gabah hampa sebasar 7.9%. Terdapat perbedaan presentase yang cukup jauh. Hal ini diduga kondisi suhu saat ini lebih tinggi sehingga mengganggu dalam proses pengisian gabah. Genotipe Mekongga, Situ Patenggang, Kalimutu, IPB 4S, dan IPB 3S memiliki presentase gabah hampa sedikit dan berbeda nyata dengan IR-64, Inpari-13, IPB 5R, IPB 6R dan IPB 7R. Bobot gabah bernas pada genotipe Mekongga, Inpari-13, IPB 3S, IPB 4S, IPB 6R, dan Kalimutu memiliki bobot gabah bernas yang tinggi dan berbeda nyata dengan IR-64, IPB 5R, IPB 7R, dan Situ Patenggang. Bobot 1000 butir dapat menggambarkan ukuran gabah padi yaitu besar kecilnya gabah. Semakin berat bobot 1000 butir mengindikasikan genotipe tersebut memiliki gabah yang besar. Bobot 1000 butir pada penelitian ini menunjukan bahwa IPB 4S, IR-64, IPB 3S, Situ Patenggang dan Kalimutu adalah yang paling berat dan berbeda dengan Mekongga, Inpari-13, IPB 5R, IPB 6R, dan IPB 7R. Berdasarkan penelitian ini Inpari-13 memiliki bobot 1000 bulir 23.1 g, sedangkan berdasarkan Fadjry et al. (2012) bobot 1000 bulir Inpari13 adalah 33.3 g. Penurunan bobot 1000 butir diduga karena adanya cekaman suhu yang tinggi (Tabel 8).

Tabel 8 Nilai tengah panjang malai, jumlah gabah hampa, jumlah gabah bernas, jumlah gabah total, presentase gabah hampa, bobot gabah bernas, dan bobot 1000 butir per tanaman pada berbagai genotipe

Varietas Karakter Panjang malai (cm) Jumlah gabah hampa (butir) Jumlah gabah bernas (butir) Jumlah gabah total (butir) % gabah hampa bobot gabah bernas (g) Bobot 1000 butir (g) per tanaman Mekongga 23.4d 1178.8cd 2010.3a 3189.2abc 36.7e 49.8a 24.9 b IR64 24.1cd 1312.7bcd 1444.5bc 2757.3bc 47.3abc 36.1cd 25.6ab Inpari13 25.7b 1621.5ab 1787.0ab 3408.5ab 46.7abcd 41.8abcd 23.1c IPB 3S 29.7a 1214.8cd 1781.0ab 2996.0abc 40.4bcde 48.8ab 26.1ab IPB 4S 29.1a 1162.2d 1697.5abc 2859.5bc 40.1cde 46.2abc 26.8a IPB 5R 30.4a 1837.2a 1591.0abc 3428.2ab 53.3a 37.9bcd 22.5c IPB 6R 29.6a 1760.2a 1917.3a 3677.5a 47.6ab 42.7abcd 22.4c IPB 7R 29.1a 1573.8abc 1594.8abc 3168.5abc 48.4a 34.9d 21.9c Situ

Patenggang 24.4bcd 696.3e 1303.0c 2643.3d 34.7e 34.0d 25.7 ab

Kalimutu 25.2bc 1018.7de 1624.7abc 2643.3cd 39.7de 43.7abcd 25.6ab Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata menurut uji DMRT

Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Padi pada Berbagai Kondisi Suhu

Suhu menjadi faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keragaan pertumbuhan dan produksi tanaman padi. Setiap tanaman mempunyai kisaran suhu optimum untuk tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Estiningtyas dan

14

Irianto (1993) menyatakan bahwa metode akumulasi satuan panas (heat unit) merupakan metode kuantitatif tentang hubungan suhu dan tanaman. Menurut Wang (1960), penggunaan metode akumulasi heat unit didasari bahwa suhu dipandang sebagai faktor yang mewakili tersedianya energi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Heat unit adalah jumlah panas yang harus tersedia bagi tanaman untuk optimalisasi pertumbuhan (Bootsma 1993).

Jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif pada kondisi suhu optimum berbeda nyata dengan kondisi suhu yang tinggi. Jumlah anakan total dan produktif pada kondisi suhu optimum lebih banyak dibandingkan pada kondisi suhu yang tinggi. Kehijauan daun saat panen pada kondisi suhu optimum berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi. Tanaman pada kondisi suhu tinggi memiliki daun yang lebih hijau (Tabel 9). Hal ini dikarenakan di dalam rumah kaca terdapat efek naungan. Lakitan (2001) menyatakan bahwa daun yang ternaungi lebih tampak berwarna hijau karena merupakan adaptasi daun agar menyerap cahaya lebih efektif.

Umur heading, umur berbunga, dan panjang malai pada kondisi suhu optimum tidak berbeda nyata dengan kondisi suhu yang tinggi. Umur panen pada kondisi suhu optimum berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi. Umur panen pada kondisi suhu yang tinggi lebih cepat panen. Hal ini dikarenakan suhu yang tinggi dapat menurunkan laju pertumbuhan tanaman. Lama fase vegetatif akan lebih pendek dari biasanya karena heat unit lebih cepat terpenuhi, sedangkan lama fase reproduktif dan pematangan tetap. Umur heading, berbunga dan panen memiliki hubungan yang positif, yaitu semakin cepat umur heading maka umur berbunga dan panen akan semakin cepat pula. Jumlah gabah hampa per tanaman pada kondisi suhu optimum berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi. Jumlah gabah hampa pada kodisi suhu tinggi lebih sedikit dikarenakan jumlah anakan produktif lebih sedikit dari kondisi suhu optimum, sehingga gabah yang dihasilkan lebih sedikit. Jumlah gabah bernas dan jumlah gabah total per tanaman pada kondisi suhu optimum lebih banyak dan berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi. Presentase gabah hampa pada kondisi suhu optimum lebih tinggi dan berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi. Bobot gabah bernas dan bobot 1000 butir per tanaman pada kondisi suhu optimum lebih berat dan berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi (Tabel 9).

Tanaman padi membutuhkan suhu yang lebih tinggi pada saat fase vegetatif, sedangkan pada fase pengisian gabah suhu yang tinggi akan mengganggu proses pengisian gabah. Bobot 1000 butir pada kondisi suhu tinggi lebih rendah hal ini diduga karena saat proses pengisian gabah tidak maksimal dan berakibat pada pengurangan bobot. Tsukaguci dan Iida (2008) menyatakan bahwa suhu yang tinggi menyebabkan meningkatnya putih susu atau biji putih pada bulir padi yang mengindikasikan bahwa pengisian gabah yang tidak maksimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya akumulasi pati selama tahap pematangan. Dampak yang dapat ditimbulkan adalah penurunan kualitas gabah seperti mudah pecah saat dilakukan proses penggilingan padi. Hal ini akan merugikan para produsen beras secara ekonomi dan untuk konsumen tidak mendapatkan kualitas beras yang baik.

15 Tabel 9 Nilai tengah karakter pertumbuhan dan hasil pada kondisi suhu optimum

dan kondisi suhu tinggi

Karakter Kondisi suhu optimum

Kondisi suhu tinggi Jumlah anakan total 21.9a 17.5b Jumlah anakan produktif 19.6a 17.1b Tinggi saat panen(cm) 124.4 124.2 Kehijauan daun saat panen 1.0b 1.4a Umur heading (HSS) 73.9 73.8 Umur berbunga (HSS) 77.9 77.8 Umur panen (HSS) 111.9a 109.9b Panjang malai (cm) 27.1 26.9 Jumlah gabah hampa (butir) 1625.3a 1049.9b Jumlah gabah bernas (butir) 1808.9 a 1541.3b Jumlah gabah total (butir) 3434.2a 2591.2b Bobot 1000 butir (g) 25.9a 23.0b Bobot gabah bernas (g) 47.4a 35.8b

Persentase hampa 46.5a 40.2b

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata menurut uji BNT

Interaksi Pengaruh Genotipe dengan Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi

Suatu genotipe padi bisa menampilkan keragaan yang berbeda pada kondisi yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya interaksi antara genotipe dengan suhu. Tabel 10 menunjukan bahwa jumlah anakan produktif yang paling banyak adalah IR-64 pada kondisi suhu tinggi dan Kalimutu pada kondisi suhu optimum. Guswara dan Yamin (2008) menyatakan bahwa perbedaan jumlah anakan padi yang terjadi pada fase vegetatif lebih dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman atau tergantung pada sensitivitas dari varietas terhadap lingkungan. Situ Patenggang mempunyai jumlah anakan produktif yang paling sedikit baik pada kondisi suhu optimum maupun kondisi suhu tinggi. Genotipe Mekongga, IPB 4S, IPB 6R, IPB 7R, dan Situ Patenggang pada kondisi suhu optimum maupun kondisi suhu tinggi memiliki jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata. Genotipe IR-64 pada kondisi suhu tinggi memiliki jumlah anakan produktif lebih banyak dan berbeda nyata pada kondisi suhu optimum. Genotipe Inpari-13, IPB 3S, IPB 5R, dan Kalimutu memiliki jumlah anakan produktif lebih banyak pada kondisi suhu optimum dan berbeda nyata pada kondisi suhu tinggi.

Umur heading memiliki hubungan positif dengan umur berbunga dan umur panen. Situ Patenggang memiliki umur heading yang paling cepat dibandingkan genotipe lain. Umur heading Mekongga, Inpari-13, IPB 3S, IPB 4S, IPB 5R, IPB 6R, IPB 7R, Situ Patenggang, dan Kalimutu pada kondisi suhu optimum tidak berbeda nyata dengan kondisi suhu tinggi, sedangkan IR-64 berbeda nyata antara dua kondisi. Umur berbunga yang paling cepat adalah Situ Patenggang dan berbeda nyata dengan genotipe lain. Semua genotipe baik pada kondisi suhu

16

optimum maupun kondisi suhu tinggi umur heading dan umur berbunga tidak berbeda nyata kecuali IR-64 (Tabel 10).

Tabel 10 Nilai tengah interaksi genotipe dengan suhu pada karakter jumlah anakan produktif, umur heading, dan umur berbunga

Varietas Jumlah anakan produktif Umur heading (HSS) Umur berbunga (HSS) Suhu optimum Suhu tinggi Suhu optimum Suhu tinggi Suhu optimum Suhu tinggi Mekongga 27.0b 25.7b 76.3abcd 77.7a 80.0abcd 81.7a IR64 24.0b 31.7a 75.1bcdef 72.4g 79.3bcde 76.3fg Inpari13 27.0b 18.3c 74.3defg 72.5f 78.3bdefg 76.7fg IPB 3S 15.7cd 11.3ef 74.7cdefg 74.1defg 78.7bcdef 78.3bdefg IPB 4S 13.3def 10.3f 73.7fg 73.3fg 77.7defg 77.3efg IPB 5R 16.0cd 11.0f 73.9efg 75.4abcdef 78.0cdefg 79.3abcde IPB 6R 15.3cde 16.0cd 76.9abc 77.3ab 80.7ab 81.7a IPB 7R 15.7cd 12.3def 76.2abcde 77.0ab 80.3abc 81.0a Situ

Patenggang 10.3f 9.0f 64.3h 65.8h 68.3h 69.7h Kalimutu 31.7a 25.3b 74.1defg 72.3g 78.0cdefg 76.0g Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris dan peubah yang sama menunjukan hasil yang berbeda nyata menurut uji DMRT

Tinggi tanaman saat panen yang paling tinggi adalah IPB 3S pada kondisi suhu optimum sedangkan yang paling rendah adalah Kalimutu pada kondisi suhu tinggi. Genotipe IR-64, IPB 4S, IPB 7R memiliki perbedaan yang nyata pada dua

Dokumen terkait