• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Karakteristik Tanah

Tanah pada petak perlakuan kontrol tersusun dari 10% pasir, 43% debu dan 47% liat. Tanah pada petak perlakuan celup tersusun dari 16% pasir, 33% debu dan 51% liat. Tanah pada petak perlakuan sebar tersusun 18% pasir, 38% debu dan 48% liat. Petak kontrol, celup, dan sebar memiliki kisaran pH yang sama, yaitu pH 5. Kandungan karbon dari petak kontrol, celup, dan sebar secara berurutan ialah 1.97%, 1.81%, dan 1.91%. Kandungan nitrogen dari petak kontrol, celup, dan sebar secara berurutan ialah 0.17%, 0.17% dan 0.14%. Rasio C/N dari tiap petak ialah 12, 11 dan 14 (Lampiran 1).

Pengukuran Tinggi Tajuk dan Jumlah Anakan Padi

Hasil pengukuran tinggi tajuk tanaman padi menunjukkan bahwa perlakuan C memiliki tinggi paling maksimum dibandingkan dua perlakuan lain. Perlakuan K menempati posisi terbawah dari ketiganya. Perlakuan celup memiliki rataan tinggi 88 cm, perlakuan sebar 85.5 cm, dan perlakuan kontrol 77 cm.

11 Jumlah rataan anakan pada perlakuan celup dan sabar yang sama, menempati tempat di atas perlakuan kontrol. Perlakuan celup dan sebar memiliki rataan jumlah anakan 26, sedangkan perlakuan kontrol hanya 16 jumlah anakan (Gambar 3).

Gambar 3 Tinggi dan jumlah anakan padi pada perlakuan kontrol, celup, dan sebar pada 90 HST

Parameter lainnya yang diukur ialah bobot basah dan bobot kering dari tiap perlakuan. Komponen yang diukur ialah akar, rumpun dan gabah. Perlakuan celup memiliki bobot basah dan bobot kering tertinggi dibandingkan dua perlakuan lain pada semua komponen yang diukur. Perlakuan sebar menempati urutan kedua sedangkan perlakuan kontrol menempati urutan ketiga (Gambar 4 dan 5).

Gambar 4 Bobot basah dari rumpun, akar, dan gabah padi pada perlakuan kontrol, celup, dan sebar pada 90 HST

12

Gambar 5 Bobot kering dari rumpun, akar, dan gabah padi pada perlakuan kontrol, celup, dan sebar pada 90 HST

Ekstraksi DNA

DNA yang diekstrak dari tanah dengan menggunakan Power Soil DNA Isolation Kit menunjukkan hasil yang bervariasi berkisar 24 ~ 28 ng/µ L (Tabel 5). Hasil menunjukkan pola yang hampir konsisten pada setiap perlakuan pada setiap pengambilan. Konsentrasi DNA tertinggi diperoleh pada perlakuan kontrol 60 HST, sekitar 28 ng µL-1. Konsentrasi DNA terendah diperoleh pada perlakuan celup 30 HST dan celup 60 HST, yaitu sekitar 24.4 ng µL-1.

Tabel 5 Hasil ekstraksi DNA dengan menggunakan Power Soil DNA Isolation Kit

No Kode Konsentrasi DNA (ng µL-1) A260/A280 1 Kontrol, 30 HST 26 1.96 2 Celup, 30 HST 24.4 1.97 3 Sebar, 30 HST 24.5 1.9 4 Kontrol, 60 HST 28 1.94 5 Celup, 60 HST 24.4 1.95 6 Sebar, 60 HST 27.9 1.98 7 Kontrol, 90 HST 27.4 1.99 8 Celup, 90 HST 26.6 1.92 9 Sebar, 90 HST 27.2 1.98

13

Amplifikasi DNA

Sembilan sampel yang diamplifikasi dengan primer PolF-GC/PolR berhasil diperoleh. Ukuran fragment sesuai dengan yang diharapkan, yaitu 360 bp (Gambar 6) dan pita yang diperoleh single band. Pengecekan dilakukan pada gel agarosa 1.5%.

Gambar 6 Hasil amplifikasi gen nifH dengan primer PolF-GC/PolR pada gel agarosa 1.5%. Sumur dari kiri ke kanan: marker 100 bp, (a) kontrol 30 HST, (b) celup 30 HST, (c) sebar 30 HST, (d) kontrol 60 HST, (e) celup 60 HST, (f) sebar 60 HST, (g) kontrol 90 HST, (h) celup 90 HST, (i) sebar 90 HST

Sembilan sampel yang diamplifikasi dengan primer 16S PRBA338F/PRUN518R berhasil diperoleh. Ukuran fragment sesuai dengan yang diharapkan, yaitu 196 bp (Gambar 7) dan pita yang diperoleh single band. Pengecekan dilakukan pada gel agarosa 1.5%.

Gambar 7 Hasil amplifikasi gen 16S rRNA dengan primer PRBA338F/PRUN518R pada gel agarosa 1.5%. Sumur dari kiri ke kanan: marker 100 bp, (a) kontrol 30 HST, (b) celup 30 HST, (c) sebar 30 HST, (d) kontrol 60 HST, (e) celup 60 HST, (f) sebar 60 HST, (g) kontrol 90 HST, (h) celup 90 HST, (i) sebar 90 HST

M a b c d e f g h i 3000 bp 1000 bp 500 bp 360 bp M a b c d e f g h i 3000 bp 1000 bp 500 bp 196 bp

14

Profil DGGE

Hasil DGGE berhasil memisahkan sampel yang dianalisis menjadi beberapa pita yang terpisah. Masing-masing pita yang terpisah mewakili satu spesies tersendiri. Pada DGGE untuk analisis gen nifH, terdapat 3 pita yang selalu muncul pada tiap perlakuan tiap bulannya. Perlakuan kontrol, memiliki jumlah pita yang terbanyak dengan variasi berbeda tiap bulannya. Perlakuan celup, cenderung tetap tiap bulan dengan 2 pita. Perlakuan sebar, terjadi peningkatan pita tiap bulan dari 4 pita pada bulan pertama menjadi 6 pita pada bulan ketiga (Gambar 8).

Hasil DGGE dengan menggunakan 16S rRNA, berhasil mendapatkan variasi pita yang sangat banyak. Fenomena yang berbeda teradapat pada sumur C, yaitu perlakuan sebar HST 30, terlihat pita yang relatif paling sedikit dibandingkan pita yang dihasilkan pada sumur lain. Hal ini disebabkan hasil PCR dari gen 16S dari perlakuan tersebut tidak terlihat tebal ketika dimigrasi pada gel agarosa. Template PCR yang tidak terlalu tebal mengakibatkan pita DGGE yang muncul pada perlakuan ini menjadi sedikit (Gambar 9).

Gambar 8 Hasil analisis DGGE gen nifH. Kiri: Foto dari G:BOX dan Kanan: Interpretasi dari piranti lunak Phoretix 1D. Angka di samping pita menunjukkan pita yang dipotong untuk diamplifikasi ulang. Sumur dari kiri ke kanan: (a) kontrol 30 HST, (b) celup 30 HST, (c) sebar 30 HST, (d) kontrol 60 HST, (e) celup 60 HST, (f) sebar 60 HST, (g) kontrol 90 HST, (h) celup 90 HST, (i) sebar 90 HST

a b c d e f g h i a b c d e f g h i 1 1 2 2 3 3 4 5 6 8 7 6 8 4 5 7

15

Gambar 9 Hasil analisis DGGE gen 16S rRNA. Kiri: Foto dari G:BOX dan Kanan: Interpretasi dari piranti lunak Phoretix 1D. Sumur dari kiri ke kanan: (a) kontrol 30 HST, (b) celup 30 HST, (c) sebar 30 HST, (d) kontrol 60 HST, (e) celup 60 HST, (f) sebar 60 HST, (g) kontrol 90 HST, (h) celup 90 HST, (i) sebar 90 HST

Potongan pita DGGE dari gen nifH diamplifikasi ulang dengan primer tanpa GC Clamps. Delapan pita yang dipotong berhasil diamplifikasi ulang dan menunjukkan fragmen yang diharapkan (Gambar 10). Hasil PCR tanpa GC Clamps ini kemudian disekuensing untuk mengetahui runutan basa sehingga dapat dianalisis dan dibuat pohon filogeninya.

Gambar 10 Hasil amplifikasi ulang pita hasil DGGE dengan primer non GC Clamp agarosa 1.5% dengan marker 100bp. Sumur dari kiri ke kanan: marker 100 bp, pita 1, pita 2, pita 3, pita 4, pita 5, pita 6, pita 7, pita 8

360 bp

16

BLAST dan Pohon Filogeni

Hasil BLAST-N menunjukkan bahwa semua sekuen yang diperoleh berupa uncultured bacteria dinitrogenase (nifH) gene dari berbagai bakteri (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa sekuen bakteri yang diperoleh tergolong unculturable. Selain itu juga menunjukkan bahwa sekuen yang ditemukan tergolong baru karena persentase identitas dari hasil blast dengan sekuen database di bawah 95% dari ~360bp runutan basa.

Pita 1, 6, dan 8 merupakan pita yang terdapat pada gel DGGE pada tiap perlakuan setiap bulannya. Ketiga pita ini diduga merupakan bakteri yang dominan pada tanah sawah karena muncul pada tiap perlakuan tiap bulannya. Hasil BLAST menunjukkan pita 1 memiliki kedekatan sebesar 89% dengan Uncultured bacterium clone MDE_amb_35f2 dinitrogenase reductase (nifH) gene, partial cds. Pita 6 memiliki kedekatan sebesar 88% dengan Uncultured bacterium clone cloA-42 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds dan pita 8 memiliki kedekatan sebesar 92% dengan Uncultured bacterium clone Sipa-L24 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds.

Tabel 6 Hasil BLAST-N sekuen dari gen nifH

Pita Deskripsi Query

Cover

E Value Basa/Basa Identitas No Akses

1 Uncultured bacterium clone MDE_amb_35f2 dinitrogenase reductase (nifH) gene, partial cds

100% 5e-114 308/348 89% KF846889.1

2 Uncultured bacterium clone Sipa-40 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds

97% 5e-134 309/331 93% JX268437.1

3 Uncultured bacterium clone Sipa-36 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds

99% 5e-149 328/347 95% JX268435.1

4 Uncultured bacterium clone Sipa-34 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds

97% 3e-126 305/332 92% JX268433.1

5 Uncultured bacterium clone JSR8-2 dinitrogenase reductase (nifH) gene partial cds

98% 9e-107 292/330 88% HM750439.1

6 Uncultured bacterium clone cloA-42 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds

97% 2e-102 288/328 88% JX268272.1

7 Uncultured bacterium clone BG2.3 dinitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds

97% 3e-116 295/327 90% JX079620.1

8 Uncultured bacterium clone Sipa-L24 nitrogenase iron protein (nifH) gene, partial cds

100% 5e-139 331/360 92% KF032172.1

Hasil BLAST-X dari semua sekuen yang diperoleh dari 8 pita DGGE nifH yang dipotong menunjukkan bahwa sekuen merupakan sekuen DNA yang nantinya akan menyandikan protein dinitrogenase reduktase (Tabel 7). Hal ini

17 sesuai dengan yang diharapkan karena gen nifH memang bertugas menyandikan protein / enzim dinitrogenase reduktase.

Tabel 7 Hasil BLAST-X sekuen dari gen nifH

Pita Deskripsi E-Value Identitas No Akses 1 Nitrogenase Iron Protein Pelobacter propionicus 2e-33 90% WP_011737276.1 2 Dinitrogenase reductase (Uncultured bacterium) 1e-65 95% AEU16550.1 3 Dinitrogenase reductase (Uncultured bacterium) 2e-74 97% ACO36762.1 4 Dinitrogenase reductase (Uncultured bacterium) 3e-35 87% AGR39788.1 5 Dinitrogenase reductase (Uncultured

nitrogen-fixing bacterium)

1e-52 79% AGE45125.1

6 Dinitrogenase reductase (Uncultured nitrogen-fixing bacterium)

1e-34 87% AAP59808.1

7 Dinitrogenase reductase (Uncultured bacterium) 5e-64 89% AEO13482.1 8 Dinitrogenase reductase (Uncultured bacterium) 4e-73 93% AHN50464.1

Pembuatan pohon filogeni dilakukan dengan best method yang dianjurkan dari MEGA 5.2 yaitu Tamura 3 parameter. Pohon filogeni dibuat dengan mode Neighbour Joining dengan nilai bootstrap 1000X (Gambar 11).

Gambar 11 Pohon filogeni dari 8 sekuen gen nifH yang diperoleh dari analisis DGGE. Pohon filogeni dibuat dengan metode Neighbour Joining, model Tamura-3-Parameter dengan nilai bootstrap 1000X

band 1

Uncultured bacterium clone MDE amb 35f2 dinitrogenase reductase (nifH) gene partial cds KF846889.1 Pseudomonas stutzeri FR669138.1

Gamma Proteobacterium BAL281 AY972874.1 Pseudomonas sp. GX-127 FJ822997.1 Halorhodospira halophila EF199951.1

Uncultured bacterium clone cloA-42 nitrogenase iron protein (nifH) gene partial cds JX268272.1 band 6

Uncultured bacterium clone BG2.3 dinitrogen reductase (nifH) gene partial cds JX079620.1 Uncultured bacterium clone Sipa-L24 nitrogenase iron protein (nifH) gene partial cds KF032172.1

Anaeromyxobacter sp. CP000769.1 band 8

band 7

Uncultured bacterium clone JSR8-2 dinitrogenase reductase (nifH) gene partial cds HM750439.1 band 5

Aeromonas sp. FJ687522.1 Pseudomonas sp. FJ687518.1

Uncultured bacterium clone Sipa-40 nitrogenase iron protein (nifH) gene partial cds JX268437.1 Uncultured bacterium clone Sipa-36 nitrogenase iron protein (nifH) gene partial cds JX268435.1 Uncultured bacterium clone Sipa-34 nitrogenase iron protein (nifH) gene partial cds JX268433.1 band 3

band 2 band 4

Azonexus hydrophilus EF626686.1

18

Pembahasan

Karakteristik Tanah

Berdasarkan kriteria dari USDA (1987), tanah dari perlakuan kontrol tergolong tanah Silty Clay, perlakuan celup tergolong tanah Clay dan perlakuan sebar tergolong Clay. Berdasarkan kriteria dari BALITANAH (2005), ketiga tanah yang digunakan tergolong masam (pH 4.5 - 5.5) dengan unsur karbon dan nitrogen tergolong rendah sedangkan rasio C/N dari ketiga tanah yang digunakan tergolong sedang. Menurut AGRISNET (2014), tanaman padi tumbuh baik pada tanah clay, silty clay dan silty loam clay. Kondisi pH yang optimum yang diperlukan untuk tumbuh dengan baik berkisar 5-7. Perez et al. (2014) melaporkan bahwa, tanah dengan pH 5 dapat mempengaruhi pertumbuhan padi menjadi tidak efektif.

Selain itu, kadar C pada tanah juga memiliki peranan penting yang mempengaruhi komunitas diazotrof yang terdapat pada lingkungan tersebut, salah satunya bakteri pemfiksasi nitrogen. Perubahan kadar C di tanah dapat terjadi karena bermacam faktor, salah satunya manajemen penanaman padi. Kadar N pada tanah juga memiliki peranan. Coelho (2009) melaporkan bahwa peningkatan kadar N di tanah dapat menurunkan keragaman diazotrof yang terdapat pada daerah rizosfer. Oleh karena itu, pemupukan dengan pupuk nitrogen yang berlebih harus diperhatikan dengan seksama.

Pengukuran Tinggi Tajuk dan Jumlah Anakan Padi

Menurut Yoshida (1981), tinggi tanaman padi dapat dipengaruhi oleh unsur nitrogen. Unsur nitrogen yang sesuai dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman padi. Namun, penggunaan pupuk nitrogen sebagai suplai unsur N harus diperhatikan. Pemberian pupuk nitrogen pada umur-umur awal justru mengakibatkan tanaman padi menjadi rebah. Tanaman padi yang rebah dapat menyebabkan rusaknya pembuluh xilem dan floem sehingga berpotensi mengganggu aliran unsur hara dan fotosintat. Tingginya tanaman padi pada perlakuan celup dan sebar menunjukkan aktivitas bakteri pemfiksasi nitrogen dalam menyuplai nitrogen pada tanaman. Hal ini disebabkan tinggi tanaman pada perlakuan kontrol lebih rendah daripada perlakuan celup dan sebar yang mana diberi pupuk lebih sedikit dibandingkan kontrol.

Anakan atau tunas mulai tumbuh setelah tanaman padi memiliki 4 atau 5 daun (Makarim dan Suhartatik 2009). Perkembangan anakan berhubungan dengan perkembangan daun. Tanaman padi memiliki pola anakan berganda. Dari batang utama, akan tumbuh anakan primer, kemudian dari anakan primer akan tumbuh anakan sekunder, lalu dari anakan sekunder akan tumbuh anakan tersier (Yoshida 1981). Anakan padi merupakan indikator pertumbuhan tanaman padi yang sehat atau sakit, meskipun genetik varietas tanaman menentukan jumlah anakan. Varietas padi Ciherang rata rata akan menghasilkan 14-17 anakan produktif (LITBANGDEPTAN 2008). Perlakuan kontrol memperoleh rataan anakan sesuai dengan harapan, yaitu 16. Perlakuan celup dan sebar memperoleh rataan anakan 26. Kadar N di tanah dapat mempengaruhi pembentukan anakan. Kadar nitrogen di bawah 1% dapat menghambat pembentukan anakan (Murata dan Matsuhima 1978). Kadar nitrogen pada tanah sawah terukur di bawah 1% sehingga

19 diperlukan pemupukan. Pemupukan NPK dan pupuk hayati menghasilkan anakan yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian pupuk NPK saja.

Ekstraksi dan Amplifikasi DNA

Penggunaan kit PowerSoil DNA Extraction kit dikhususkan untuk isolasi tanah dari sampel lingkungan yang sulit dengan menghasilkan DNA genom yang murni. Kemampuan kit isolasi ini disebabkan larutan IRT yang telah dipatenkan yang dimiliki oleh kit tersebut. Larutan IRT berfungsi memisahkan DNA dari pengotornya dan meningkatkan keberhasilan template DNA yang dihasilkan dalam proses PCR. Beberapa penelitian yang menggunakan PowerSoil DNA Extraction antara lain Adetutu et al. (2011), Makadia et al. (2011),dan Aleer et al. (2014).

Larutan larutan yang digunakan dalam proses ekstraksi memiliki fungsi-fungsi tersendiri. Larutan C1 berfungsi-fungsi sebagai detergen yang berperan dalam lisis membran sel, lebih tepatnya mendegradasi asam lemak yang terdapat pada membran sel. Larutan C2 dan C3 merupakan larutan IRT yang berfungsi mengendapkan materi organik selain DNA dan materi anorganik seperti asam humat, protein dan sisa-sisa sel. Proses ini penting karena dapat meningkatkan kemurnian dan hasil template DNA yang dihasilkan sehingga proses selanjutnya seperti PCR dapat berjalan optimal. Larutan C4 merupakan larutan garam dengan konsentrasi yang tinggi yang akan membantu pengikatan DNA pada membran filter yang terdiri atas silika. Larutan C5 merupakan etanol yang berfungsi membersihkan DNA yang terjerap pada membran filter. Larutan ini membersihkan DNA dari sisa-sisa kontaminan seperti garam, asam humat dan material pengganggu lainnya. Larutan C6 merupakan larutan elusi yang berfungsi melepaskan DNA yang terjerap pada membran filter yang terbuat dari silika. DNA akan terlarut pada larutan C6 yang komposisinya ialah 10 mM Tris.

Kemurnian DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi ini cukup baik dengan parameter A260/A280 rata-rata berkisar 1.9 (Tabel 5). Nilai A260/A280 yang baik dan dianjurkan berkisar 1.8 - 2.0 (Sambrook dan Russell 2001). Tingkat kemurnian dan kuantitas DNA yang diperoleh mempengaruhi proses aplikasi berikutnya, seperti PCR. Kuantitas template DNA yang rendah dapat mengakibatkan kegagalan pada proses PCR dengan kondisi umum. Selain itu, kemurnian DNA yang kurang baik juga dapat mengakibatkan misspriming pada primer sehingga produk PCR yang diharapkan tidak muncul (Sambrook dan Russell 2001).

Penggunaan primer PolF/PolR dalam mengamplifikasi gen nifH telah banyak dilaporkan. Primer ini dirancang khusus oleh Poly et al. (2001) untuk mengamplifikasi gen nifH yang dimiliki bakteri secara universal. Hasil risetnya melaporkan bahwa primer ini menghasilkan produk PCR yang jelas dan sesuai dengan targetnya, yaitu 360bp. Primer ini juga sudah terbukti berhasil mengamplifikasi 19 spesies bakteri pemfiksasi nitrogen penting seperti Azospirillum, Agrobacterium, Burkholderia, Pseudomonas, Rhizobium, Streptomyces, dan Xanthomonas (Poly et al. 2001).

Penelitian ini menggunakan pendekatan Direct PCR dalam menganalisis gen nifH yang terdapat pada sampel tanah. Pendekatan Nested PCR sebenarnya lebih dianjurkan dan disarankan dalam mengamplifikasi gen nifH. Hal ini disebabkan kelimpahan diazotrof yang rendah di tanah (Zhan dan Sun 2012).

20

Namun, teknik nested juga memiliki kelemahan, yaitu hasil PCR yang diperoleh dapat terjadi bias karena terjadi 2 kali amplifikasi. Dikhawatirkan tidak semua sekuen DNA yang teramplifikasi pada process nested. Selain itu, nested PCR juga memiliki preferensi yang khusus dalam prosesnya, sehingga tidak sesederhana dengan metode direct PCR. Gene pool nifH yang cukup stabil dapat dijadikan alasan dalam pemilihan direct PCR. Optimasi yang dilakukan menjadi lebih sederhana dan lebih mudah diperkirakan (Wartiainen et al. 2008)

Primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA ialah PRBA338F/PRUN518R yang digunakan oleh Ovreas et al. (1997). Primer ini hanya mengamplifikasi V3 region dari sekuen DNA 16S. Seperti yang diketahui bahwa daerah 16S terdiri atas 9 region, yaitu V1, V2, V3, V4, V5, V6, V7, V8, V9. Setiap region memiliki panjang yang berbeda dan memiliki karakteristik yang unik pada setiap spesies bakteri sehingga dapat dijadikan sebagai alat identifikasi spesies (Van der Peer et al. 1996). Daerah V3 region terletak pada nukleotida ke 433 sampai 497 dengan jumlah 65 nukloetida. Menurut Charavorty (2007), analisis sekuen 16S dengan menggunakan V3 region lebih baik dibandingkan V2 region. V3 region dengan ukuran yang lebih pendek (65 bp) lebih mampu membedakan spesies dibandingkan V2 region yang lebih panjang (106 bp). Oleh karena itu penggunaan V3 region lebih lazim digunakan karena amplikon PCR yang dihasilkan dapat dianalisis lebih lanjut seperti Real Time PCR (Chakravorty 2006) dan DGGE.

Profil DGGE

Profil DGGE gen nifH menunjukkan keragaman pita yang bervariasi pada tiap perlakuan. Keragaman pita pada gel menunjukkan keragaman bakteri pemfiksasi nitrogen yang terdapat pada tanah sawah yang diambil. Keragaman bakteri juga dianalisis dengan metode clustering (Gambar 12).

Gambar 12 Analisis clustering dari tiap perlakuan pada DGGE gen nifH Perlakuan kontrol 30 HST terlihat sebagai perlakuan dengan tingkat kedekatan paling jauh dari semua perlakuan. Hal ini disebabkan banyaknya pita yang ditemui pada perlakuan tersebut sehingga menimbulkan perbedaan dengan

Celup 30 HST Kontrol 60 HST Sebar 30 HST Sebar 60 HST Sebar 90 HST Kontrol 90 HST Celup 60 HST Celup 90 HST Kontrol 30 HST

21 perlakuan lain. Perlakuan celup dan sebar rata-rata memiliki kemiripan pada tiap masa pengambilan. Perlakuan sebar pada 60 HST dan 90 HST memiliki kemiripan, sama seperti halnya celup 60 HST dan 90 HST. Variasi terlihat pada node pohon atas, yaitu terdapat kemiripan antara perlakuan celup dan sebar 30 HST dengan kontrol yang telah memasuki 60 HST.

Keragaman pita yang ditemukan pada perlakuan kontrol dibandingkan dengan perlakuan celup dan sebar kemungkinan karena pada perlakuan kontrol tidak diberikan pupuk hayati sehingga tidak terjadi efek dominansi. Pupuk hayati yang berisi isolat bakteri metanotrof mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman padi. Namun, introduksi pupuk hayati mempengaruhi komunitas mikrob yang terdapat di lahan sawah tersebut, tidak terkecuali dengan komunitas bakteri pemfiksasi nitrogen.

Namun, keragaman bakteri pemfiksasi nitrogen pada perlakuan kontrol tidak terlalu berperan mendorong pertumbuhan tanaman padi. Tanaman padi pada perlakuan kontrol memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif kurang baik dibandingkan dengan perlakuan celup dan sebar. Banyak alasan yang dapat menyebabkan fenomena ini terjadi. Pertama, keragaman bakteri pemfiksasi nitrogen yang terdapat pada perlakuan kontrol mungkin tinggi namun belum tentu aktif. Aktif atau tidaknya gen nifH pada saat pengambilan dapat lebih akurat diketahui jika dianalisis berdasarkan RNA (Perez et al. 2014). Kedua, isolat bakteri yang digunakan sebagai pupuk hayati mampu mendorong pertumbuhan padi karena sudah teruji menurut Pingak (2013). Ketiga, beberapa isolat bakteri metanotrof yang digunakan sebagai pupuk hayati juga memiliki kemampuan fiksasi nitrogen (Bintarti 2011).

Selain itu, keragaman total bakteri pemfiksasi pada berbagai perlakuan dapat dipengaruhi dari faktor lingkungan pula. Zhan dan Sun (2012) melaporkan bahwa, komunitas diazotrof (bakteri pemfiksasi nitrogen) dapat dipengaruhi oleh eksudat rizosfer, fase pertumbuhan tanaman, dan iklim. Wartiainen et al. (2008), menemukan korelasi perubahan komunitas bakteri pemfiksasi nitrogen dengan periode pemupukan dengan pupuk kimia, eksudat akar. Coelho (2009) memperhatikan bahwa keragaman bakteri pemfiksasi nitrogen pada rizosfer dengan bulk soil juga berbeda. Selain itu, perbedaan kultivar padi, dan pemupukan juga mempengaruhi komunitas diazotrof. Perez et al. (2014) melihat keragaman bakteri pemfiksasi nitrogen dapat dipengaruhi oleh sistem penanaman yang digunakan, perubahan musim, iklim, dan pemupukan yang diberikan.

Profil DGGE gen 16S juga menunjukkan variasi pada tiap perlakuan. Berdasarkan analisis clustering, keragaman komunitas total bakteri pada tiap perlakuan memiliki kemiripan pada waktu pengambilan tanah yang sama (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa komunitas total bakteri pada tiap perlakuan tidak terlalu berbeda jauh. Hal yang unik yang terlihat ialah kedekatan perlakuan celup dan sebar pada HST 60 dan HST 90. Kedua perlakuan menunjukkan kemiripan komunitas total bakteri dibandingkan dengan kontrol. Hal ini dapat diasumsikan bahwa perlakuan pupuk hayati juga mempengaruhi komunitas total bakteri yang terdapat pada tanah. Perlakuan celup maupun sebar memiliki pengaruh terhadap komunitas total bakteri yang ada. Hal yang agak berbeda terlihat pada HST 30, komunitas yang mirip ialah perlakuan kontrol dengan celup. Kemungkinan hal ini terjadi karena template DNA yang dimigrasi pada gel DGGE dari perlakuan sebar

22

cenderung sedikit. Oleh sebab itu, pita yang muncul pada gel DGGE tidak terlalu banyak seperti pada perlakuan kontrol dan celup.

Gambar 13 Analisis clustering dari tiap perlakuan pada DGGE gen 16S rRNA Dari analisis clustering dapat dilihat pula bahwa, keragaman komunitas total bakteri pada masa vegetatif memiliki kemiripan dengan masa generatif akhir (ripening) dibandingkan dengan masa generatif awal (reproduktif). Seperti yang terlihat pada gambar 14, fase vegetatif terjadi pada 0-35 HST, fase generatif awal (reproduktif) pada 35-70 HST sedangkan fase generatif akhir (pematangan) 70-100 HST (Makarim dan Suhartatik 2009; IRRI 2014). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa keragaman komunitas bakteri yang menunjang fase vegetatif memiliki kemiripan dengan keragaman komunitas bakteri yang menunjang fase generatif akhir.

Gambar 14 Fase pertumbuhan padi

Celup 60 HST Sebar 60 HST Kontrol 60 HST Celup 90 HST Sebar 90 HST Kontrol 90 HST Kontrol 30 HST Celup 30 HST Sebar 30 HST

23

BLAST dan Pohon Filogeni

Hasil BLAST-N menunjukkan semua sekuen dari pita yang dipotong memiliki kedekatan dengan uncultured bacteria nitrogenase. Ini menunjukkan bahwa masih banyak bakteri pemfiksasi nitrogen yang belum teridentifikasi dan dikenali. Hasil ini diperkuat dengan hasil BLAST-X yang membuktikan bahwa sekuen DNA yang diperoleh merupakan sekuen yang akan menjadi enzim dinitrogenase reduktase. Persentase identitas yang rendah juga mendukung asumsi bahwa sekuen DNA yang ditemukan tergolong baru dan bisa jadi novel spesies. Namun, hal ini harus ditelaah lebih lanjut karena penggunaan sekuen yang dipakai tergolong pendek yaitu 360 bp. Dari pohon filogeni (Gambar 5) dapat dilihat bahwa pita 1, 6 dan 8 memiliki kedekatan dengan Pseudomonas stutzeri, Halorhodospira halophila dan Anaeromyxobacter sp. dengan catatan jumlah basa yang dibandingkan berkisar ~360 bp.

Pseudomonas stutzeri merupakan bakteri yang memiliki habitat yang luas dan relatif tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan (Lalucat et al. 2006).

Dokumen terkait