• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toksisitas Insektisida Uji terhadap Larva Plutella xylostella

Perlakuan dengan lima jenis insektisida komersial, yaitu deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, profenofos, dan spinetoram, mengakibatkan mortalitas larva P. xylostella yang secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu dan semakin besarnya konsentrasi insektisida (Gambar 1). Perkembangan mortalitas larva P. xylostella dari 24 sampai 96 JSP akibat perlakuan dengan 5 jenis insektisida tersebut pada kisaran konsentrasi yang diuji menunjukkan pola yang agak beragam.

Perlakuan dengan deltametrin 375–1500 mg b.a./l mengakibatkan kematian larva P. xylostella yang rendah pada 24 JSP kemudian meningkat nyata antara 24 dan 48 JSP serta meningkat lebih tajam antara 48 dan 72 JSP, dan selanjutnya peningkatan kematian larva melandai antara 72 dan 96 JSP (Gambar 1A). Deltametrin merupakan insektisida piretroid yang bekerja sebagai racun saraf, yaitu menunda penutupan saluran ion natrium pada akson saraf sehingga mengganggu transmisi impuls saraf dan mengakibatkan gejala hipereksitasi, gemetaran, kejang-kejang, kelumpuhan otot dan berbagai organ tubuh, dan akhirnya menyebabkan kematian (Yu 2008; Khambay dan Jewess 2010). Bagian sasaran pada sistem saraf larva P. xylostella tampaknya sudah tidak peka terhadap deltametrin sehingga kematian serangga uji yang seharusnya berlangsung cepat, pada penelitian ini tingkat kematian larva P. xylostella masih rendah pada 24 JSP.

Kematian larva P. xylostella akibat perlakuan dengan emamektin benzoat 0.95-6.6 mg b.a./l sudah cukup tinggi pada 24 JSP, kemudian masih meningkat dalam proporsi yang lebih rendah antara 24 dan 48 JSP sedangkan antara 48 dan 96 JSP peningkatan kematian larva melandai (Gambar 1B). Emamektin benzoat merupakan turunan semisintetik dari avermektin B1a dan B1b (makrolida) yang berasal dari aktinomiset tanah Streptomyces avermitilis (Pitterna 2007). Avermektin merupakan racun saraf yang menyebabkan pembukaan saluran ion klorida pada membran pascasinapsis sel saraf yang menyebabkan terjadinya peningkatan pemasukan ion klorida ke dalam sel saraf sehingga mengakibatkan gejala kelumpuhan dan kematian serangga (Pitterna 2007; Casida dan Durkin 2013). Insektisida tersebut bekerja cepat dan bagian sasaran larva P. xylostella

tampaknya masih peka terhadap insektisida tersebut sehingga perlakuan dengan emamektin benzoat sudah mengakibatkan kematian serangga uji yang cukup tinggi pada 24 JSP dan setelah itu hanya terjadi peningkatan kematian serangga uji yang rendah.

Perlakuan dengan klorantraniliprol 20–120 mg b.a./l, profenofos 250–2500 mg b.a./l, dan spinetoram 0.24–1.8 mg b.a./l mengakibatkan pola peningkatan kematian serangga uji yang hampir serupa, yaitu kematian larva sudah cukup tinggi pada 24 JSP, kemudian meningkat cukup tajam antara 24 dan 48 JSP, sementara antara 48 dan 96 JSP masih terjadi kematian larva dengan proporsi yang lebih rendah (Gambar 1C-E).

9

Gambar 2 .Perkembangan tingkat mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan deltametrin (A); emamektin benzoat (B); klorantraniliprol (C); profenofos (D); spinetoram (E); ekstrak T. vogelii (F). Satuan konsentrasi pada legenda adalah mg b.a./l untuk insektisida komersial dan mg ekstrak/l untuk ekstrak T. vogelii.

Klorantraniliprol termasuk dalam golongan diamida antranilat yang bekerja mengaktifkan reseptor rianodin sehingga membuka saluran ion kalsium di dalam retikulum sarkoplasma sel otot yang menyebabkan pelepasan ion kalsium secara berlebihan. Akibatnya ion kalsium di dalam sel otot berkurang dan pengaturan kontraksi otot terganggu, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya kelumpuhan dan kematian serangga (Cordova et al. 2006). Klorantraniliprol bekerja lebih lambat dibandingkan dengan racun saraf yang bekerja cepat dan kepekaan bagian sasaran tampaknya sudah menurun sehingga kematian serangga uji pada 24 JSP lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan emamektin benzoat, tetapi

A

Waktu pengamatan (JSP) Waktu pengamatan (JSP)

A

D

F B

10

meningkat cukup tajam antara 24 dan 48 JSP, yang selanjutnya antara 48 dan 96 JSP masih terjadi peningkatan kematian larva dengan proporsi yang lebih rendah.

Profenofos merupakan insektisida organofosfat yang menyebabkan kematian pada serangga akibat terjadinya penghambatan kerja enzim asetilkolinesterase pada celah sinapsis saraf (Casida dan Durkin 2013). Hal ini menyebabkan terjadinya penumpukan asetilkolin pada membran pascasinapsis sel saraf yang mengakibatkan gejala hipereksitasi, gemetaran, kejang-kejang, kelumpuhan, dan kematian (Yu 2008). Insektisida organofosfat merupakan racun saraf yang bekerja cepat tetapi kepekaan bagian sasaran tampaknya sudah menurun sehingga kematian larva P. xylostella pada 24 JSP lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan klorantraniliprol.

Spinetoram merupakan campuran turunan semisintetik dari spinosin J dan L (makrolida) yang berasal dari aktinomiset tanah Saccharopolyspora spinosa

(Crouse et al. 2007). Spinosin bekerja sebagai agonis reseptor asetilkolin pada membran pascasinapsis saraf sehingga saluran ion Na+ terbuka dan menimbulkan rangsangan terus-menerus sehingga akan terjadi gejala hipereksitasi, kejang-kejang, kelumpuhan dan kematian (Salgado dan Sparks 2010). Spinetoram bekerja relatif cepat dan bagian sasaran tampaknya masih peka terhadap insektisida tersebut sehingga perlakuan dengan spinetoram sudah mengakibatkan kematian serangga uji yang cukup tinggi pada 24 JSP, kemudian antara 24 dan 48 JSP masih terjadi peningkatan kematian larva yang cukup tajam, dan antara 48 dan 96 JSP masih terjadi kematian larva dengan proporsi yang lebih rendah.

Perlakuan dengan ekstrak T. vogelii 250–2000 mg/l juga mengakibatkan kematian larva yang cukup tinggi pada 24 JSP kemudian kematian larva meningkat secara bertahap antara 24 dan 96 JSP, kecuali pada perlakuan dengan konsentrasi tertinggi yang meningkat cukup tajam antara 72 dan 96 JSP (Gambar 1F). Senyawa aktif dalam daun T. vogelii, yaitu rotenon dan beberapa senyawa rotenoid lain (Delfel et al. 1970), bukan racun saraf tetapi racun respirasi sel yang menghambat transfer elektron dalam kompleks I dari rantai transpor elektron di dalam mitokondria sehingga menurunkan produksi ATP yang lambat laun mengakibatkan kematian serangga (Hollingworth 2001). Insektisida nabati ini bekerja relatif lambat, yaitu peningkatan kematian serangga uji antara 24 dan 96 JSP lebih tinggi daripada tingkat kematian pada 24 JSP.

Pada pengamatan terakhir (96 JSP), perlakuan dengan deltametrin 375–1500 mg b.a./l, emamektin benzoat 0.95–6.6 mg b.a./l, klorantraniliprol 20–120 mg b.a./l, profenofos 250–2500 mg b.a./l, dan spinetoram 0.24–1.8 mg b.a./l mengakibatkan kematian larva P. xylostella berturut-turut 14%-76%, 34%-96%, 22%-82%, 20%-80%, dan 32%-92% (Gambar 1). LC50 dan LC95 semua insektisida uji pada 96 JSP lebih kecil dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada 48 JSP (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan pola peningkatan kematian serangga uji dari 48 JSP ke 96 JSP (Gambar 1).

Berdasarkan hasil analisis probit data kematian serangga uji pada 96 JSP, LC50 dan LC95 deltametrin masing-masing 928.40 dan 3677.09 mg b.a./l, emamektin benzoat 1.61 dan 9.28 mg b.a./l, klorantraniliprol 53.83 dan 362.36 mg b.a./l, profenofos 999.15 dan 10872 mg b.a./l, serta spinetoram 0.46 dan 3.63 mg b.a./l (Tabel 1).

11

Tabel 1 Toksisitas lima jenis insektisida komersial dan ekstrak T. vogelii terhadap larva P. xylostella

a

JSP: jam setelah perlakuan.

ba: intersep. b: kemiringan garis regresi. GB: galat baku, SK: selang kepercayaan.

c

: satuan ekstrak T. vogelii yaitu mg ekstrak/l. Insektisida Konsentrasi anjuran (mg b.a./l) Waktu pengamatan (JSP)a a ± GBb b ± GBb LC50 (SK 95%) (mg b.a./l)b LC95 (SK 95%) (mg b.a./l)b Deltametrin 10 48 -7.211 ± 0.724 2.089 ± 0.513 2827.30 (1879.00-8349.40) 17322.00 (6566.20-0.13) 96 -8.116 ± 0.704 2.752 ± 0.407 928.40 (807.29-1097.94) 3677.09 (2552.38-7013.49) Emamektin benzoat 10 48 -0.401 ± 0.129 1.528 ± 0.288 1.83 (1.34-2.33) 21.79 (11.34-86.61) 96 -0.449 ± 0.132 2.164 ± 0.322 1.61 (0.83-2.36) 9.28 (4.86-102.28) Klorantraniliprol 40 48 -3.420 ± 0.560 1.762 ± 0.320 87.29 (68.88-127.61) 748.62 (364.81-3311.94) 96 -3.438 ± 0.541 1.986 ± 0.316 53.83 (44.38-66.55) 362.36 (219.17-920.21) Profenofos 750 48 -4.279 ± 0.749 1.286 ± 0.251 2122.57 (1491.51-4007.89) 40312.00 (13772.00-0.42) 96 -4.759 ± 0.723 1.586 ± 0.246 999.15 (785.79-1316.99) 10872.00 (5769.60-34521.00) Spinetoram 12 48 0.278 ± 0.990 1.545 ± 0.269 0.66 (0.51-0.85) 7.66 (3.91-29.16) 96 0.611 ± 0.108 1.844 ± 0.285 0.46 (0.27-0.66) 3.63 (1.82-27.93) Ekstrak T. vogeliic - 48 -5.259 ± 0.844 1.667 ± 0.291 1430.00 (1098.47-219.41) 1387 (6471.80-6387.00) 96 -6.733 ± 0.875 2.419 ± 0.311 607.48 (375.21-952.48) 2907 (1528.00-2708.00) 11

12

Konsentrasi anjuran deltametrin, emamektin benzoat, klorantraniliprol, dan profenofos berturut-turut 10, 10, 40, dan 750 mg b.a./l, sedangkan konsentrasi anjuran spinetoram disamakan dengan konsentrasi anjuran spinosad (campuran spinosin A dan D) yaitu 12 mg b.a./l karena di Indonesia formulasi spinetoram belum terdaftar untuk mengendalikan P. xylostella. LC95 pada 96 JSP untuk deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos berturut-turut 367.7, 9.1, dan 14.5 kali lebih tinggi daripada konsentrasi anjuran masing-masing, sedangkan LC95

pada 96 JSP untuk emamektin benzoat dan spinetoram masing-masing 1.1 dan 3.3 kali lebih rendah daripada konsentrasi anjuran insektisida tersebut. Dengan demikian, larva P. xylostella asal Garut, Jawa Barat, sudah tidak rentan terhadap deltametrin, klorantraniliprol, dan profenofos, tetapi masih rentan terhadap emamektin benzoat dan spinetoram.

Hasil analisis probit data kematian serangga uji pada perlakuan dengan ekstrak T. vogelii menunjukkan bahwa LC50 dan LC95 pada 96 JSP masing-masing 607.48 dan 2907 mg/l (Tabel 1). LC95 ekstrak tersebut lebih rendah daripada LC95 deltametrin dan profenofos sehingga ekstrak T. vogelii berpotensi untuk digunakan sebagai alternatif dalam pengendalian hama P. xylostella yang resisten terhadap insektisida sintetik, khususnya deltametrin dan profenofos.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Moekasan et al. (2004) yang melaporkan bahwa larva P. xylostella dari Lembang dan Pangalengan (Bandung, Jawa Barat) sudah resisten terhadap deltametrin dengan LC90 masing-masing sekitar 15 000 kali dan lebih dari 1800 kali dibandingkan dengan konsentrasi anjuran insektisida tersebut serta resisten terhadap profenofos dengan LC90 masing-masing lebih dari 172 000 kali dan sekitar 315 kali dibandingkan dengan konsentrasi anjuran insektisida tersebut. Moekasan et al. (2004) juga melaporkan bahwa larva P. xylostella dari Kejajar-Dieng (Wonosobo, Jawa Tengah) dan Batu (Jawa Timur) sudah resisten terhadap abamektin dengan L90

masing-masing sekitar 15 dan 18 kali dibandingkan dengan konsentrasi anjuran insektisida tersebut.

Di luar negeri, resistensi hama P. xylostella terhadap insektisida piretroid dan organofosfat juga telah sering dilaporkan (Furlong et al. 2013). Berdasarkan mekanismenya, resistensi serangga hama terhadap insektisida piretroid dapat disebabkan oleh penurunan laju penetrasi insektisida melalui kutikula, penurunan kepekaan bagian sasaran (perubahan saluran ion natrium pada akson saraf), serta peningkatan detoksifikasi insektisida oleh enzim sitokrom P450 dan esterase (Khambay dan Jewess 2010). Sementara itu, resistensi serangga hama terhadap insektisida organofosfat dapat disebabkan oleh penurunan kepekaan bagian sasaran (perubahan enzim asetilkolinesterase) serta peningkatan detoksifikasi insektisida oleh enzim sitokrom P450, esterase, dan glutation-S-transferase (Yu 2008).

Klorantraniliprol (golongan diamida antranilat) merupakan insektisida yang relatif baru, tetapi penggunaannya yang intensif selama beberapa tahun terakhir menyebabkan P. xylostella cepat resisten terhadap insektisida tersebut. Di Tiongkok, populasi larva P. xylostella dari 6 lokasi di Provinsi Guangddong dilaporkan resisten terhadap klorantraniliprol dengan nisbah resistensi (NR) 2.6–

2000. Resistensi P. xylostella terhadap klorantraniliprol disebabkan oleh penurunan kepekaan bagian sasaran akibat mutasi tunggal pada bagian gen yang menyandi reseptor rianodin (Troczka et al. 2012).

13 Emamektin benzoat dan spinetoram merupakan insektisida semisintetik yang masih relatif baru dan tampaknya masih jarang digunakan oleh petani di lokasi tempat pengambilan larva P. xylostella yang digunakan dalam penelitian ini. Di Brasil, P. xylostella telah dilaporkan resisten terhadap abamektin (campuran avermektin B1a dan B1b dengan NR 61.7 (Santos et al. 2011). Di Amerika Serikat, seleksi resistensi larva P. xylostella terhadap spinetoram dapat dilakukan di laboratorium dengan NR 629 sampai 10 000 (Sparks et al. 2012).

Lima insektisida komersial yang diuji merupakan racun saraf, sedangkan ekstrak T. vogelii mengandung rotenon yang bekerja sebagai racun respirasi sel. Larva P. xylostella yang resisten terhadap insektisida racun saraf tampaknya tidak menunjukkan resistensi silang terhadap rotenon yang bekerja sebagai racun respirasi sel sehingga ekstrak T. vogelii efektif terhadap serangga hama tersebut.

Pengaruh Insektisida Uji terhadap Perkembangan P. xylostella

Faktor lain yang tidak kalah penting dalam penelitian ini yaitu pengamatan perkembangan larva P. xylostella yang bertahan hidup. Pengamatan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh insektisida yang digunakan dalam menghambat perkembangan larva P. xylostella. Pengamatan dilakukan pada semua perlakuan dan dilakukan hanya pada 3 taraf konsentrasi terendah dan kontrol. Jumlah pupa yang terbentuk dan imago yang muncul dicatat dan diolah dengan menggunakan analisis ragam menggunakan program SAS 9.1 (SAS Institute 2002).

Perlakuan dengan deltametrin 375-750 mg b.a./l, klorantraniliprol 20-50 mg b.a./l, profenofos 250-800 mg b.a./l, dan ekstrak T. vogelii 250-700 mg/l tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan larva P. xylostella yang bertahan hidup menjadi pupa (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh insektisida tersebut tidak berlanjut setelah larva uji diberi daun tanpa perlakuan. Sementara itu, pada perlakuan dengan emamektin benzoat 1.90 mg b.a./l dan spinetoram 0.6 mg b.a./l, persentase pupa yang terbentuk lebih rendah secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Tampaknya kerja emamektin benzoat dan spinetoram sebagai racun saraf dapat memengaruhi proses fisiologi yang mengatur perkembangan serangga.

Perlakuan dengan klorantraniliprol dan ekstrak T. vogelii juga tidak berpengaruh nyata terhadap persentase kemunculan imago P. xylostella. Pengaruh nyata terhadap persentase kemunculan imago terjadi pada perlakuan deltametrin 750 mg b.a./l, emamektin benzoat 1.9 mg b.a./l, dan profenofos 250-800 mg b.a./l. Sifat racun saraf yang kuat dari ketiga insektisida tersebut tampaknya dapat menyebabkan pengaruh jangka panjang terhadap perkembangan P. xylostella

14

Tabel 2 Pengaruh perlakuan lima jenis insektisida komersial dan ekstrak T. vogelii terhadap persentase pupa yang terbentuk dan imago P. xylostella

yang muncul

Perlakuan Konsentrasi (mg b.a./l)

Jumlah larva yang hidup pada

96 JSP Pupa terbentuk (%)a Imago muncul (%)a Deltametrin Kontrol 50 92.0a 88.0a

375 42 88.3a 79.1a 525 38 86.4a 76.4ab 750 31 80.3a 63.4b Emamektin

benzoat

Kontrol 50 100.0a 98.0a 0.95 33 100.0a 90.9ab 1.52 31 90.5ab 90.9ab 1.90 28 88.6b 80.6b Klorantraniliprol Kontrol 49 92.0a 88.6a 20 39 90.0a 86.0a 30 34 88.5a 82.5a 50 28 81.9a 78.6a Profenofos Kontrol 50 88.0a 88.0a 250 40 86.6a 73.7b 450 35 85.0a 71.4bc 800 31 82.8a 60.0c Spinetoram Kontrol 50 100.0a 94.0a 0.24 34 97.1ab 88.6a 0.36 28 89.3ab 85.9a 0.60 23 87.0b 83.0a Ekstrak T.

vogeliib

Kontrol 50 92.0a 88.0a 250 38 92.0a 88.0a 400 34 89.6a 82.4a 700 27 88.1a 81.8a

a

Angka dalam lajur yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. Persentase pupa yang terbentuk dan imago yang muncul dihitung relatif terhadap jumlah larva yang bertahan hidup pada 96 JSP.

b

15

Dokumen terkait