• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisis FPC Setelah Direndam di Laut Selama 6 Bulan

Sifat fisis merupakan sifat yang diperoleh dari kayu atau turunan kayu dengan melakukan pengujian/pengukuran. Setelah dilakukan perendaman FPC di laut diperoleh data nilai sifat fisis dari FPC yang ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata nilai sifat fisis papan fiber plastic composite (FPC)setelah direndam di laut

Jenis Plastik Polipropilena: Serat Kerapatan (g/cm3) Kadar Air (%) Daya Serap Air (%) Pengembangan Tebal (%) PP Bening 50:50 0,94 13,60 9,80 6,93 60:40 0,95 14,24 9,16 4,51 70:30 0,89 8,38 6,75 4,65 PP Buram 50:50 0,96 17,84 13,05 4,83 60:40 0,91 17,47 9,63 6,08 70:30 0,89 9,39 3,24 4,04 Kerapatan

Kerapatan papan komposit merupakan sifat yang penting karena dapat memberikan gambaran tentang kekuatan papan komposit yang diinginkan. Kekuatan Papan komposit semakin baik dengan meningkatnya nilai kerapatan (Maloney, 1993). Selain itu menurut Setyawati, et al. (2006) kerapatan papan komposit merupakan salah satu sifat fisis yang sangat berpengaruh terhadap kualitas papan komposit. Nilai kerapatan diperoleh dari perbandingan antara massa dari berat kering udara contoh uji dengan volume contoh uji.

Menurut Maloney (1993), beberapa faktor kunci yang berpengaruh terhadap kualitas papan komposit adalah jenis kayu, bentuk partikel, kerapatan papan, profil kerapatan papan, jenis dan kadar serta distribusi perekat, kondisi pengempaan (suhu, tekanan dan waktu), kadar air adonan, konstruksi papan,

Pada penelitian ini dilakukan perhitungan nilai kerapatan sebelum dan setelah FPC direndam di laut. Hal ini dilakukan untuk mengukur perubahan

kerapatan FPC setelah direndam di laut. Nilai kerapatan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik nilai kerapatan FPC sebelum dan setelah direndam di laut

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai kerapatan FPC sebelum direndam di laut berkisar antara 0,88 g/cm3 - 0,92 g/cm3. Nilai kerapatan tertinggi terdapat pada PP Bening 50:50 dan PP Buram 70:30, sedangkan nilai kerapatan terendah terdapat pada PP Bening 70:30. PP Bening maksudnya adalah plastik

polypropilene yang mengalami sekali daur ulang (recycle), sedangkan PP Buram maksudnya adalah plastik polypropilene yang mengalami lebih dari sekali daur ulang (recycle). Nilai kerapatan FPC sebelum direndam di laut bervariasi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan perbandingan PP : serat, perbedaan jenis plastik yang digunakan serta interaksi keduanya tidak memberi pengaruh nyata terhadap kerapatan FPC sebelum direndam di laut.

Hasil ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi kerapatan papan komposit sebelum direndam di laut. Menurut Hakim, et al. (2011)

kerapatan disebabkan oleh terjadinya pemadatan sirekat akibat pengempaan sewaktu pembuatan papan komposit. Selain itu berdasarkan penelitian Mulyadi (2001), kerapatan akhir papan partikel ditentukan oleh besarnya tekanan kempa yang digunakan selama proses pembuatan lembaran papan. Penelitian Sakinah (2007) menyatakan bahwa suhu dan waktu pengempaan juga mempengaruhi kerapatan papan partikel.

Setelah dilakukan perendaman FPC di laut diperoleh hasil bahwa secara umum keseluruhan FPC mengalami kenaikan kerapatan. Nilai kerapatan FPC setelah direndam berkisar antara 0,89 g/cm3 – 0,96 g/cm3. Kerapatan tertinggi terdapat pada PP Buram 50:50, sedangkan kerapatan terendah terdapat pada PP Buram dan Bening 70:30. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya perbedaan perbandingan PP : serat yang memberi pengaruh nyata terhadap kerapatan FPC setelah direndam di laut. Uji lanjut Duncan yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa PP Buram 70:30 tidak berbeda nyata dengan PP Bening 70:30.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kerapatan FPC setelah direndam di laut. Hal ini berbeda dengan penelitian Nugroho (2007), pengumpanan 6 jenis kayu di laut menyebabkan terjadinya penurunan kerapatan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya bagian kayu yang dimakan oleh marine borer sehingga menyebabkan penurunan berat kering udara kayu tersebut, yang akan mempengaruhi kerapatannya juga.

Kerapatan FPC yang meningkat disebabkan oleh adanya bagian-bagian dari

marine borer (cangkang, palet dan kapur hasil metabolisme) yang tertinggal di dalam FPC, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan berat kering udara dari

FPC tersebut. Selain itu, peninggkatan ini juga diduga karena adanya garam yang tertinggal di dalam FPC. Sebagaimana diketahui bahwa bahan berlignoselulosa memiliki sifat dasar yaitu sifat higroskopis. Hal ini yang menyebabkan FPC menyerap air laut yang mengandung garam, dan ketika dikeringkan sampai pada kering udara, maka garam yang terbawa bersama air laut tertinggal di dalam FPC. Penelitian ini juga melakukan pengukuran salinitas air laut di perairan Belawan, hasilnya menunjukkan bahwa salinitas air laut adalah 30 ppt.

Berdasarkan hasil pengukuran kerapatan FPC sebelum dan setelah direndam di laut, diperoleh hasil bahwa semua FPC sesuai dengan standar JIS A 5905-2003, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua FPC termasuk ke dalam kategori papan serat berkerapatan tinggi (hard fiberboard). Namun berdasarkan standar JIS A 5908-2003 hanya FPC PP Bening 70:30 (sebelum dan setelah direndam), PP Buram 70:30 (setelah direndam), PP Buram 50:50 (sebelum direndam) dan PP Buram 60:40 (sebelum direndam) yang termasuk ke dalam kategori papan partikel berkerapatan sedang.

Kadar Air

Kadar air merupakan sifat papan komposit yang mencerminkan kandungan air papan komposit dalam keadaan kesetimbangan dengan lingkungan sekitarnya (Setyawati, et al., 2006). Semakin besar kadar air dalam kayu atau produk kayu maka akan semakin berat dan sulit penanganannya. Juga sebaliknya, semakin kecil kadar air dalam kayu atau produk kayu maka akan semakin ringan dan mudah penanganannya (Subari, 2000).

Pada penelitian ini dilakukan perhitungan nilai kadar air FPC sebelum dan setelah direndam di laut. Hal ini dilakukan untuk mengukur perubahan kadar air

FPC setelah direndam di laut. Nilai kadar air FPC sebelum dan setelah direndam di laut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik nilai kadar air FPC sebelum dan setelah direndam di laut

Salah satu sifat plastik yang khas adalah tidak terdapatnya air dalam susunan kimiawinya atau dapat dikatakan juga kadar air plastik sama dengan nol. Berbeda dengan kayu yang sel-selnya selalu diikat dan dipengaruhi oleh air bahkan walaupun dikeringkan sampai kering tanur tetap terdapat air di dalam kayu (Subari, 2000). Selain itu, Nugroho (2007) menyatakan bahwa kayu merupakan bahan yang higroskopis, yang bersifat mudah mengikat dan melepas uap air dari udara sekelilingnya, sampai kayu mengalami kadar air kesetimbangan dengan sekitarnya. Gugus OH yang terdapat dalam selulosa dengan ikatan hidrogen yang dimilikinya mampu mengikat air.

Fiber plastic composite yang digunakan dalam penelitian ini merupakan papan buatan yang berasal dari serat kardus dan plastik polypropylene daur ulang. Serat kardus dan plastik polypropylene memiliki sifat yang bertolak belakang, dimana serat kardus yang pada dasarnya adalah selulosa memiliki sifat hidrofilik

Sulaeman (2003) untuk menyatukan kedua bahan tersebut diperlukan zat aditif sebagai compatibilizer. Compatibilizer akan membuat selulosa dan plastik dapat bereaksi secara kimia. Salah satu contoh compatibilizer adalah Maleat anhidrat (MAH). MAH bereaksi dengan gugus hidroksi (-OH) selulosa atau grup NH2

membentuk polimer cangkok rantai panjang dengan ikatan ester.

Fiber plastic composite yang digunakan dalam penelitian ini tidak menggunakan compatibilizer. Oleh karena itu, ikatan yang terjadi antar serat kardus dan plastik merupakan ikatan mekanik. Sehingga meskipun FPC mengandung plastik, namun pada dasarnya serat kardus mampu menyerap air dari sekelilingnya.

Gambar 5. menunjukkan bahwa nilai kadar air FPC sebelum direndam di laut berkisar antara 1% - 5,82%. Nilai tertinggi (5,82%) terdapat pada PP Buram 70:30, sedangkan nilai terendah (1%) terdapat pada PP Bening 70:30. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan perbandingan PP : serat, perbedaan jenis plastik yang digunakan serta interaksi keduanya tidak memberi pengaruh nyata terhadap kadar air FPC sebelum direndam di laut. Hasil sidik ragam ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi kadar air FPC sebelum direndam di laut. Berdasarkan penelitian Pasaribu (2000), kadar air papan partikel dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, papan partikel cenderung untuk sama dengan kadar air kesetimbangan di sekitarnya pada saat pengkondisian (conditioning). Selain itu berdasarkan penelitian Sakinah (2007), suhu kempa dan lamanya waktu kempa mempengaruhi kadar air papan partikel.

Setelah dilakukan perendaman FPC di laut, maka diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan kadar air FPC. Nilai kadar air FPC setelah direndam di laut

berkisar antara 8,38% - 17,84%. Nilai terendah (8,38%) terdapat pada PP Bening 70:30, sedangkan nilai tertinggi (17,84%) terdapat pada PP Buram 50:50. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya perbedaan perbandingan PP : serat yang memberi pengaruh nyata terhadap kadar air FPC setelah direndam di laut. Uji lanjut Duncan yang dilakukan menunjukkan bahwa ada beberapa perlakuan yang tidak berbeda nyata, yaitu: PP BE 50:50 dengan PP BE 60:40, PP BU 50:50 dengan PP BU 60:40 dan PP BE 70:30 dengan PP BU 70:30.

Gambar 5. menunjukkan bahwa semakin besar jumlah plastik semakin rendah kadar airnya setelah direndam di laut atau sebaliknya semakin besar jumlah serat kardus maka semakin tinggi kadar airnya setelah direndam di laut. Penelitian Hasni (2008) juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu semakin besar jumlah plastik yang ditambahkan dalam pembuatan papan partikel maka kadar air papan partikel semakin kecil. Hal ini disebabkan karena semakin besar jumlah serat kardus pada papan FPC, maka akan semakin banyak gugus OH yang terdapat pada papan tersebut yang dapat mengikat air, sehingga semakin tinggi kadar airnya.

Berdasarkan hasil pengukuran kadar air FPC, sebelum direndam di laut diperoleh hasil bahwa hanya FPC PP Buram 70 : 30 yang memenuhi standar JIS A 5905-2003 dan JIS A 5908-2013. Namun setelah direndam FPC PP Bening 70 : 30 dan PP Buram 70 : 30 sesuai dengan standar JIS A 5905-2003 dan JIS A 5908-2003. Hal ini menunjukkan bahwa FPC dengan perbandingan PP : serat 70 : 30 termasuk ke dalam kategori yang dapat digunakan secara eksterior.

Daya Serap Air

Daya serap air adalah sifat fisis papan komposit yang menunjukkan papan untuk menyerap air selama direndam dalam air (Jamilah, 2009). Nilai daya serap air fiber plastic composite setelah direndam di laut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik nilai daya serap air FPC setelah direndam di laut

Nilai daya serap air FPC setelah direndam di laut berkisar antara 3,24% - 13,05%. Nilai tertinggi terdapat pada PP Buram 50:50, sedangkan nilai

terendah terdapat pada PP Buram 70:30.

Pada dasarnya nilai kadar air berbanding lurus dengan nilai daya serap air. Semakin besar jumlah serat kardus yang terdapat pada papan maka akan semakin besar gugus (-OH) yang dapat mengikat air, sehingga nilai daya serap airnya semakin tinggi.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya perbedaan perbandingan PP : serat yang memberi pengaruh nyata terhadap daya serap air FPC. Uji lanjut Duncan yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa PP BE 60 : 40, PP BU 60 : 40 dan PP BE 50 : 50 tidak berbeda nyata terhadap daya serap air.

Gambar 6. menunjukkan bahwa nilai yang bervariasi antara PP bening dan PP buram, namun berdasarkan hasil analisis sidik ragam perbedaan jenis plastik tidak berpengaruh nyata terhadap nilai daya serap air. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun memiliki nilai yang bervariasi pada dasarnya tidak ada perbedaan antara PP Buram dan PP Bening. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa FPC setelah direndam di laut masih memenuhi standar JIS A 5905-2003, yang mensyaratkan daya serap air ≤30%.

Pengembangan Tebal

Salah satu sifat fisis yang perlu diukur pada papan komposit adalah pengembangan tebal. Menurut Hakim dan Febrianto (2005) sifat ini digunakan dalam penentuan penggunaan papan komposit tipe eksterior atau interior. Selain itu menurut Setyawati, et al. (2006) apabila pengembangan tebal rendah, berarti stabilitas dimensinya tinggi.

Lazimnya untuk semua bahan komposit akan terdapat dua fasa berlainan yang dipisahkan oleh suatu kawasan yang dinamakan antar muka (Hull, 1992). Pada komposit-komposit yang diperkuat dengan pengisi alami biasanya terdapat suatu kekurangan pada adhesi antar muka di antara serat-serat selulosa hidrofilik

dengan resin-resin hidrofobik yang berpengaruh terhadap ketidakserasian (incompability). Kandungan air dan penyerapan kelembaban yang tinggi pada serat-serat selulosa menyebabkan pembengkakan (swelling) dan efek

pemplastikan yang menyebabkan ketidakstabilan dimensional (Mwaikambo dan Ansell, 1999).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ketidakserasian antara plastik dan serat serta penyerapan air oleh serat yang menyebabkan FPC

mengalami pengembangan tebal (pembengkakan). Hal ini sesuai dengan penelitian Pasaribu (2000) yang menyatakan bahwa meningkatnya kadar air dari partikel mengakibatkan timbulnya pengembangan dari masing-masing partikel kayu dan melemahnya ikatan antar partikel sehingga partikel-partikel kayu dapat membebaskan diri dari tekanan yang dialami pada waktu pengempaan.

Nilai pengembangan tebal FPC yang diukur setelah direndam di laut dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik nilai pengembangan tebal FPC setelah direndam di laut

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai pengembangan tebal FPC berkisar antara 4,04% – 6,93%. Nilai terendah terdapat pada PP BU 70 : 30, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada PP Bening 50 : 50. Nilai pengembangan tebal semua FPC masih memenuhi standar JIS A 5908-2003. Hasil sidik ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa faktor tunggal perlakuan dan interaksi keduanya tidak memberi pengaruh nyata terhadap pengembangan tebal FPC.

Nilai pengembangan tebal ini termasuk ke dalam kategori rendah bila dibandingkan dengan nilai pengembangan tebal papan komposit yang telah diteliti

sebelumnya. Subari (2000) juga melakukan penelitian penggunaan limbah plastik dalam pembuatan papan partikel. Nilai pengembangan tebal yang diperoleh dalam penelitian tersebut berkisar antara 13-15%. Nilai yang rendah ini tidak terlepas dari adanya plastik yang kedap air sehingga mampu meminimumkan

pengembangan tebal papan akibat penyerapan air. Selain itu Wardani, et al. (2013) juga melakukan penelitian penggunaan plastik daur ulang

dalam pembuatan papan komposit. Nilai pengembangan tebal yang diperoleh berkisar antara 0,41% - 2,12%. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai pengembangan tebal pada penelitian ini. Hal ini disebabkan adanya penggunaan MAH dan BPO yang sangat membantu mengurangi sifat pengembangan tebal pada papan komposit. Menurut Hasni (2008), hal lain yang mempengaruhi pengembangan tebal adalah lamanya waktu perendaman.

Nilai pengembangan tebal berhubungan dengan nilai kadar air dan daya serap air. Semakin tinggi nilai daya serap airnya maka akan semakin besar pula nilai pengembangan tebalnya. Secara keseluruhan berdasarkan hasil pengukuran nilai sifat fisis dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan antara PP buram dan PP bening, hal ini disebabkan karena pada dasarnya sifat plastik yang tidak suka dengan air sehingga tidak mempengaruhi apakah plastik tersebut sudah didaur ulang sekali atau lebih dari sekali. Selain itu, hasil pengukuran sifat fisis menunjukkan bahwa papan dengan perbandingan polypropylene dengan serat 70:30 yang paling tahan terhadap penggunaan eksterior.

Ketahanan FPC Terhadap Serangan Organisme Penggerek di Laut (Marine

Borrer)

Deteriorasi hasil hutan adalah semua proses dan akibat yang menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas hasil hutan. Terjadinya deteriorasi hasil hutan

diakibatkan oleh berbagai penyebab (causing agents), yaitu faktor biologis (biotik) dan fisik (abiotik) (Tarumingkeng, 2008 dalam Noviantho, 2009). Faktor abiotik diantaranya adalah cuaca, panas (thermal), kimia dan mekanis. Faktor

biotik adalah serangga, jamur dan bakteri, dan marine borers (Zabel dan Morell, 1992 dalam Bitama 2007).

Faktor biotik (marine borer) mengakibatkan terjadinya deteriorasi pada FPC setelah direndam di laut. Deteriorasi dapat dilihat dari penurunan kuantitas FPC (terjadinya penurunan berat dan intensitas serangan pada FPC). Selain penurunan kuantitas, penurunan kualitas juga terjadi pada FPC. Hal ini terlihat dari berkurangnya nilai estetika FPC yang diakibatkan oleh banyaknya organisme penempel pada FPC. Penurunan kualitas FPC dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Fiber plastic composite yang diserang oleh organisme penempel

Selain faktor biotik, faktor abiotik juga menjadi penyebab terjadinya deteriorasi kayu/produk kayu. Faktor abiotik terbagi menjadi 3 bagian yaitu faktor fisik (suhu, kelembaban, panas matahari, api, udara dan air), faktor mekanik (pukulan, gesekan, tarikan, tekanan, dan lain sebagainya) dan faktor kimia (garam, asam dan basa). Hal ini juga dikatakan oleh Sudiyani et al. (2003), biodeteriorasi juga dapat dilihat dari perubahan warna dan tekstur pada kayu/ produk kayu.

Perubahan ini disebabkan adanya pengaruh kombinasi dari sinar matahari, curah hujan, oksigen dan spesies reaktif, debu, serta variasi suhu dan kelembaban. Penyinaran matahari yang mengandung UV adalah faktor dominan yang menyebabkan depolimerisasi lignin dalam matriks dinding sel yang kemudian hilang/tercuci karena hujan.

Perendaman FPC di laut selama 6 bulan tidak menunjukkan adanya perubahan warna, yang dapat dilihat pada Gambar 9. Sinar UV yang merupakan faktor dominan penyebab perubahan warna pada FPC tidak secara langsung mengenai FPC karena adanya penghalang dari air laut. Selain itu, air laut yang mengandug substrat lumpur juga dapat mengurangi dampak langsung sinar UV pada FPC.

Gambar 9. Perbandingan warna FPC (A. sebelum direndam, B. setelah direndam)

Setelah dilakukan perendaman FPC di laut maka ditemukan beberapa jenis organisme yang menempel pada FPC, hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. Terdapat 17 jenis organisme laut yang ditemukan menempel pada FPC selama

dilakukan pengamatan, yaitu Alpheus sp., Balanus sp., Barbatia sp.,

Coryphella sp., Crepidula sp., Cylindrotis quadrasi, Echinometra sp.,

Limnoria sp., Membranipora membranecea, Musculista senhousia,

Ophiocoma dentata, Teredo sp., Parasesarma sp., Thais aculate, Trapezia sp.,

Gambar 10. Diagram jumlah organisme laut yang ditemukan pada FPC selama minggu pengamatan

Gambar 10. menununjukkan bahwa organisme laut yang paling sering muncul pada FPC adalah Balanus sp., Crepidula sp., Membranipora membranecea dan Teredo sp. Meskipun ditemukan 17 jenis organisme laut yang menempel pada FPC selama direndam di laut, namun hanya ada 2 jenis yang termasuk kepada organisme penggerek di laut yaitu Teredo sp. dan Limnoria sp. Menurut Turner (1966), keluarga bor laut terdiri dari bermacam-macam jenis, namun hanya dibedakan menjadi 2 golongan yaitu Moluska dan Krustasea. Dari Moluska golongan yang paling dikenal adalah Teredo, Bankia dan Martesia, sedangkan golongan Krustasea meliputi genus Limnoria, Chelura dan

Sphaeroma. Selain itu berdasarkan penelitian Baesono (2008) terdapat organisme laut yang hanya menempel pada bangunan pantai yang disebut dengan nama organisme penempel (fouling organisms).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah individu yang menempel pada FPC dimulai dari minggu pengamatan ke-1 sampai ke-13 adalah berkisar antara 325-3438 individu. Pada Tabel dibawah ini dapat dilihat jumlah total individu organisme laut yang menempel pada FPC di setiap minggu pengamatan.

Tabel 6. Jumlah total organisme yang ditemukan pada FPC setiap minggu pengamatan Minggu ke- Jumlah Total Individu Kondisi

I 325 Surut II 663 Pasang III 875 Surut IV 783 Gerak Pasang V 700 Surut VI 735 Pasang VII 1170 Pasang VIII 1878 Surut IX 3438 Gerak Pasang X 1835 Pasang XI 1572 Surut

XII 1536 Gerak Pasang

XIII 1280 Surut

Jumlah organisme laut yang menempel pada FPC di setiap minggu pengamatan cukup bervariasi. Tabel 6. menunjukkan bahwa pada minggu pengamatan ke-9 terdapat jumlah total individu organisme tertinggi. Nilai yang bervariasi ini diduga disebabkan beberapa faktor lingkungan, karena tidak dapat dikatakan bahwa pada saat pasang atau surut atau gerak pasang organisme laut paling banyak menempel pada FPC.

Berikut akan dideskripsikan setiap organisme yang ditemukan, dari 17 jenis yang ditemukan hanya 16 jenis yang dapat diidentifikasi. Ditemukan 1 jenis organisme laut yang tidak teridentifikasi, namun diduga dari filum Bryozoan. Balanus sp.

Gambar 11. Balanus sp. yang menempel pada FPC

Klasifikasi Balanus sp. sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Invertebrata Kelas : Crustaceae Ordo : Thoraciceae Famili : Ballonoidae Genus : Balanus Spesies : Balanus sp.

Balanus merupakan organisme laut yang menempel pada bagunan yang terdapat di laut. Pengamatan yang dilakukan menunjukkan bahwa Balanus sp. tidak hanya menempel pada FPC namun juga pada tiang-tiang dermaga yang terbuat dari beton. Menurut Pereira et al. (2002) organisme penempel berkoloni pada struktur-struktur buatan manusia. Selain itu menurut Boesono (2008) Dominasi Balanus sp. disebabkan senyawa arthropodine yang dikeluarkannya sehingga spesies Balanus sp. yang sama akan berkumpul dan tumbuh hingga terjadi penumpukan. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian jumlah Balanus yang ditemukan setiap pengamatan sangat banyak dibandingkan dengan organisme yang lain. Selain itu berdasarkan pengamatan Balanus sp. yang menempel pada FPC meninggalkan bekas berwarna putih, hal ini juga terjadi pada penelitian Budiman (2010).

Balanus sp. ditemukan mulai pada minggu pengamatan ke-5 sampai kepada minggu pengamatan ke-13, organisme ini ditemukan pada seluruh FPC. Jumlah total individu yang ditemukan pada FPC adalah 10.027 individu. Besarnya jumlah disebabkan oleh lamanya perendaman FPC di laut. Berdasarkan penelitian Boesono (2008), lama perendaman memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah penempelan organisme penempel. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Zebua (2008), Budiman (2010) dan Pratama (2010) yang melakukan perendaman baik itu papan komposit maupun kayu solid selama 3 bulan. Jumlah jenis dan individu yang diperoleh dalam penelitian tersebut lebih kecil dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan pada FPC (perendaman).

Gambar 12. Organisme penempel pada tiang dermaga yang terbuat dari beton

Crepidula sp.

Gambar 13. Crepidula sp. yang Menempel pada FPC

Klasifikasi Crepidula sp. sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Mollusca Kelas : Gastropoda Famili : Calyptraeidae Genus : Crepidula Spesies : Crepidula sp.

Crepidula sp. merupakan salah satu organisme penempel pada FPC. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Crepidula sp. menempel pada FPC dan meniggalkan zat kapur pada FPC. Setelah dilakukan pengamatan, ditemukan beberapa jenis Crepidula. Crepidula sp. ditemukan hampir di setiap minggu dan pada setiap FPC. Jumlah total individu Crepidula sp. yang ditemukan adalah 2374

individu. Sama halnya dengan Balanus sp., jumlah individu Crepidula sp. yang ditemukan disebabkan lamanya perendaman FPC di laut.

Membranipora membranecea

Gambar 14. Membranipora membranecea yang menempel pada FPC Klasifikasi Membranipora membranecea sebagai berikut:

Dokumen terkait